Ayleen segera kembali setelah selesai mengganti pakaiannya. Namun ia segera menghentikan langkah, begitu tiba di belakang Abraham yang nampak sibuk menerima panggilan telepon.
"Iya, Ma. Sudah sama saya, kok. Mama tenang aja," tukas Abraham dengan lembut. Nampak begitu sabar mendengarkan seluruh ucapan ibunya."Beneran?! Terus, Ayleen nya mana?" desak Bu Emil, antusias."Ayleen lagi ganti baju, Ma," terang Abraham."Tadi bajunya kotor jadi saya minta untuk ganti. sekarang kami sedang mampir di salah satu rumah makan yang ada di kawasan jalan XXX. Karena Ayleen bilang kalo dia lapar," beber Abraham, sebelum sang mama bertanya lebih jauh lagi."Ohh ... Ayleen lapar, toh! Makanya langsung berangkat ke rumah makan," goda Bu Emil, meledek Abraham.Abraham mendengkus, enggan menjawab karena tak mau ribet.Sementara di sisi lain, tampak Ayleen sudah selesai dengan aktifitas ganti bajunya. Ia segera mendekat, memanggil sang majik"S-saya tidak berani, Pak," elak Ayleen, semakin menunduk.Abraham menghela napas pendek, mulutnya terkatup rapat. Lelaki itu bergegas membuka pintu, keluar dari dalam mobil.Ayleen menyusul kemudian. Keduanya berjalan beriringan menuju pintu depan. Abraham menekan bel, dan tak lama berselang, pintu dibuka dari dalam oleh Bik Ida, disusul oleh Bu Emil yang menatap Ayleen dengan sorot khawatir."Assalamualaikum, Ma," ucap Abraham sopan, berdiri membelakangi Ayleen."Wa'alaikum salam," sahut Bu Emil cepat, mendorong tubuh sang putra agar menyingkir ke samping kanan, membuat lelaki itu menatap heran pada ibunya. Namun wanita itu tidak ambil perduli.Ia justru segera menarik kedua bahu Ayleen, membawanya masuk ke dalam pelukan hingga membuat wanita itu terpana, tak bisa berkata apa-apa."Kamu baik-baik saja, kan?" tanya Bu Emil, mengurai pelukan, memindai sekujur tubuh pengasuh sang cucu, memastikan wanita itu benar baik-baik saja.
"Ayleen," panggil Abraham saat keduanya berpapasan di ruang tamu. Lelaki itu nampaknya baru saja dari arah luar karena terlihat bulir keringat membasahi keningnya.Sementara Ayleen tengah menggendong Sam, berniat membawa bocah itu jalan-jalan sore. "Iya, Pak.""Mau kemana kalian?" tanya Abraham penuh selidik."Mau ke pekarangan depan, Pak. Ngajak Sam jalan-jalan sore. Mumpung cuaca gak panas," ungkap Ayleen.Abraham terdiam. Namun kepalanya mengangguk singkat, mengizinkan. Ia bahkan menepi, menyilakan wanita itu lewat. Ayleen mengerti, ia lantas meneruskan langkah menuju pintu depan."Ay!" panggil Abraham, menghentikan langkah Ayleen, membuatnya berbalik."Ya, Pak.""Hati-hati! Jangan keluar pagar. Karena saya khawatir masih ada orang yang berniat jahat sama kamu. Nanti bukan hanya kamu yang celaka. Tapi, anak saya juga. Faham?!" peringat Abraham."Baik, Pak. Saya mengerti," sahut Ayleen lugas, menganggukkan kep
Tak lama kemudian, Erwin tiba dengan seragam orange miliknya, menatap tajam pada keduanya. Nampak menahan geram. Namun dirinya tidak bisa melakukan apa-apa karena dua orang petugas kepolisian berdiri di belakangnya.Ayleen sendiri segera memalingkan wajah, masih merasakan marah pada perbuatan gila lelaki itu yang menyisakan trauma mendalam pada dirinya. Tubuhnya bahkan tanpa sadar bergetar hebat hingga membuat Abraham tidak tega.Lelaki itu refleks mengulurkan tangan, memegang pundak kiri Ayleen, membuat gerakannya terhenti sekaligus menarik atensi Erwin yang kini mulai berprasangka yang bukan-bukan terhadap keduanya.Namun belum sempat dirinya menyeletuk, suara panggilan dari dalam meminta atensi semuanya yang berada di sana sekaligus membuat keduanya segera masuk ke dalam ruang sidang.Bertepatan dengan itu, Pak Erick tiba dengan langkah tergesa-gesa. "Maaf, saya datang terlambat," tukasnya tidak enak hati."Tidak apa-apa, Pak. Kami j
Abraham dan Ayleen saling bungkam seribu bahasa selama sisa perjalanan mereka. Bahkan wajah sang majikan nampak mengeras, cenderung dingin sehingga Ayleen pun tidak berani meminta ijin. Meskipun dirinya merasa keadaan yang ia alami saat ini begitu mendesak.Namun gesture tubuhnya tidak bisa menutupi kegelisahannya. Wanita itu sedari dari bergerak ke kanan dan ke kiri sambil sesekali meringis, mencengkram kuat ujung hijab yang ia kenakan.Abraham yang sedari tadi berusaha mengabaikan, akhirnya merasa tidak nyaman. Lelaki itu melirik sekilas dengan ujung kening mengerut. "Kenapa?" tanyanya, tidak sabar."Eh, m-maaf, Pak." Ayleen terkejut, ia menunduk, semakin mencengkram kuat ujung hijab hingga sedikit kusut."Saya tidak menyuruh kamu meminta maaf. Saya justru bertanya, kenapa kamu gelisah seperti itu?" desak Abraham, tatapan matanya lurus ke depan, memelankan laju mobilnya karena mereka tengah memasuki kawasan padat merayap."A-anu, itu, P
Abraham bungkam seribu bahasa. Sementara Ayleen tidak berani berkata sepatah katapun, meski dirinya sedikit khawatir dengan lelaki itu. Ia bahkan memberanikan diri curi-curi pandang sedari tadi. Namun setiap kali sang majikan melirik, wanita itu berpura-pura menatap ke arah lain hingga berhasil mengusik ketenangan Abraham."Ngomong aja, Ay! Saya tahu jika kamu ingin mengatakan sesuatu!" titahnya, mencengkram kuat setir mobil hingga buku jarinya memutih."Anu ... itu ... maaf, Pak, jika saya dianggap lancang. Tapi, hmm ...," Ayleen menundukkan kepala, mencengkram erat sabuk pengaman, berusaha mengatur napas agar bisa berbicara dengan jelas."Katakan!" titah Abraham tegas.Ayleen sedikit berjengit kaget. Jantungnya berdetak sedikit lebih laju daripada sebelumnya. "Maaf, Pak. Tapi, saya penasaran kenapa Bapak tidak menerima permintaan Bu Airin soal rujuk?" tanyanya cepat, lalu menahan napas dengan mulut terkatup rapat, merasa takut seketika saat melihat sang majikan terbelalak lebar, bahk
"Iya, Ma. Akan saya pastikan itu," tukas Abraham, ikut menahan geram. "Mama tenang saja," lanjutnya, menghela napas."Iya. Mama percaya sama kamu, Abra." Bu Emil, ikut menghela napas, yakin dengan ucapan sang putra.Bu Emil kembali menatap pada Ayleen, mengulas senyum miris, benar-benar tidak tega pada wanita itu. "Kamu benar baik-baik saja, kan? Gak sedang membohongi Ibu, kan?!" desaknya.Ayleen mengangguk sambil tersenyum tipis. "Iya, Bu.""Syukurlah," desah Bu Emil, teramat lega. Senyum keibuannya bahkan hadir menghiasi wajah teduhnya."Ma, saya mau lihat Sam dulu," tukas Abraham, meminta ijin."Iya," sahut Bu Emil, menoleh pada sang putra, menganggukkan kepalanya.Abraham berlalu, meninggalkan keduanya tanpa berucap sepatah katapun. Lelaki itu hanya mengangguk singkat pada Ayleen, menghormati ibu asuh putranya itu.Sepeninggal sang putra, Bu Emil lantas menghela Ayleen ke arah sofa, duduk berdampingan. Ia bahkan menggenggam erat tangan wanita itu.Ayleen yang tidak tega, membiarkan
"Tidak ada, Ma. Kisah kami sudah berakhir tepat di pengadilan," ungkap Abraham, menghela napas panjang."Syukurlah," tukas Bu Emil, lega. Ia mematikan sambungan telepon, kembali menatap pada Ayleen. "Ay, Ibu boleh nanya sesuatu, gak?" pintanya."Nanya apa, Bu?" tanya Ayleen balik, menganggukkan kepala."Sebelum itu, mending kita ke kamar Sam aja, biar bisa sekalian jagain dia," ajak Bu Emil.Ayleen kembali menganggukkan kepala. Merekapun berjalan beriringan."Ibu mau nanya apa?" Ayleen kembali bertanya, duduk di atas sofa setelah mengecek Sam yang masih tertidur pulas."Tadi kan Ibu nanya sama Abra, tentang kejadian kalian ketemu sama si ular kepala dua. Terus kan, Abra cerita. Tapi, kok, Ibu ngerasa dia gak bicara jujur, ya! Kamu kan kebetulan juga berada di sana. Bisa, gak, ceritain sama Ibu, apa saja yang terjadi dan apa saja yang mereka bicarakan?" pinta Bu Emil, antusias.Ayleen bungkam. Ia bahkan menghela napas, na
Ayleen nampak sibuk merapikan semua barang-barang yang diperlukan Sam selama di rumah sakit karena hari ini jadwal bocah tampan itu imunisasi.Sam bahkan sudah rapi dan wangi dalam gendongan Bu Emil yang nampak senang membawanya berjalan-jalan keliling kamar karena sedari tadi dirinya ingin bersama sang ibu susu."Bentar, ya, Nak. Mama Ayleen belum selesai nyiapin punya kamu," hibur Bu Emil, melirik pada Ayleen yang tengah menenteng tas."Ayo, Bu," ajaknya, berdiri di hadapan keduanya."Ayo!" sahut Bu Emil, semangat.***"Kamu beneran gak bisa ikut, Abra?" tanya Bu Emil saat mereka telah tiba di parkiran rumah sakit tujuan."Saya ada rapat 1 jam lagi, Ma. Setelah selesai rapat, saya akan jemput kalian," sahut Abraham penuh sesal."Ya udah, jangan telat jemput, ya!" titah Bu Emil, membuka pintu penumpang bagian depan."Iya, Ma, saya janji."Bu Emil mengangguk, keluar dari sana disusul Ayleen yang nampak menggendong Sam, keluar dari balik pintu belakang. Sementara tas perlengkapan bocah
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara