"Tidak ada, Ma. Kisah kami sudah berakhir tepat di pengadilan," ungkap Abraham, menghela napas panjang.
"Syukurlah," tukas Bu Emil, lega. Ia mematikan sambungan telepon, kembali menatap pada Ayleen. "Ay, Ibu boleh nanya sesuatu, gak?" pintanya."Nanya apa, Bu?" tanya Ayleen balik, menganggukkan kepala."Sebelum itu, mending kita ke kamar Sam aja, biar bisa sekalian jagain dia," ajak Bu Emil.Ayleen kembali menganggukkan kepala. Merekapun berjalan beriringan."Ibu mau nanya apa?" Ayleen kembali bertanya, duduk di atas sofa setelah mengecek Sam yang masih tertidur pulas."Tadi kan Ibu nanya sama Abra, tentang kejadian kalian ketemu sama si ular kepala dua. Terus kan, Abra cerita. Tapi, kok, Ibu ngerasa dia gak bicara jujur, ya! Kamu kan kebetulan juga berada di sana. Bisa, gak, ceritain sama Ibu, apa saja yang terjadi dan apa saja yang mereka bicarakan?" pinta Bu Emil, antusias.Ayleen bungkam. Ia bahkan menghela napas, naAyleen nampak sibuk merapikan semua barang-barang yang diperlukan Sam selama di rumah sakit karena hari ini jadwal bocah tampan itu imunisasi.Sam bahkan sudah rapi dan wangi dalam gendongan Bu Emil yang nampak senang membawanya berjalan-jalan keliling kamar karena sedari tadi dirinya ingin bersama sang ibu susu."Bentar, ya, Nak. Mama Ayleen belum selesai nyiapin punya kamu," hibur Bu Emil, melirik pada Ayleen yang tengah menenteng tas."Ayo, Bu," ajaknya, berdiri di hadapan keduanya."Ayo!" sahut Bu Emil, semangat.***"Kamu beneran gak bisa ikut, Abra?" tanya Bu Emil saat mereka telah tiba di parkiran rumah sakit tujuan."Saya ada rapat 1 jam lagi, Ma. Setelah selesai rapat, saya akan jemput kalian," sahut Abraham penuh sesal."Ya udah, jangan telat jemput, ya!" titah Bu Emil, membuka pintu penumpang bagian depan."Iya, Ma, saya janji."Bu Emil mengangguk, keluar dari sana disusul Ayleen yang nampak menggendong Sam, keluar dari balik pintu belakang. Sementara tas perlengkapan bocah
"Ah ... tidak. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak karena telah menjadi ibu asuh yang baik buat Sam." Pak Hartawan menukas, tersenyum lembut. Bahagia bercampur bangga pada sang putri yang masih belum bisa ia rengkuh."Oh, sama-sama, Pak. Saya juga senang karena bertemu dengan Sam," sahut Ayleen, mengangguk. Senyumnya terlihat kikuk."Apa kamu benar-benar menyayangi Sam?" tanya Pak Hartawan, melepaskan pegangan tangannya, membantu Ayleen duduk.Meskipun tidak mengerti kenapa kakek dari Sam itu bertanya. Ayleen serta merta mengangguk."Syukurlah. Saya lega mendengarnya. Oh ya, bolehkah saya meminta sesuatu padamu, hmm ... Ayleen, benar?" pinta Pak Hartawan. "maaf, saya kadang suka lupa nama seseorang. Mungkin faktor usia," ungkapnya terkekeh kecil."Benar, Pak. Nama saya Ayleen Arunika. Semoga Bapak terus mengingatnya," tukas Ayleen, ikut terkekeh kecil."Iya, tentu. Saya pasti akan mengingatnya dengan baik." Pak Harta
Abraham memenuhi janjinya untuk menjaga Ayleen dan juga Sam dengan baik. Bahkan hingga mereka keluar dari mall. Namun, sepertinya ketiganya tidak bisa pulang karena hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.Abraham bahkan melirik ke arah Ayleen yang nampak memeluk Sam dengan erat, melindungi putranya dari angin dan bias hujan yang menerpa."Gak papa, Sayang. Mama Ayleen ada di sini buat jagain kamu," ucap Ayleen, berusaha menenangkan Sam yang nampak gelisah, menepuk-nepuk punggungnya pelan. Sesekali menatap ke arah hujan yang tidak terlihat akan teduh.Abraham merasa tidak tega. Bahkan saat dirinya mendengar gerutuan para pengunjung mall yang lain perihal bakal terlambat pulang, membuatnya semakin tidak tega pada keduanya."Ay!" panggilnya sedikit keras."Ya, Pak!" sahut Ayleen, ikut bersuara keras, menoleh pada sang majikan."Kamu tunggu di sini, ya!" ujar Abraham, berlari menembus hujan tanpa menunggu sahutan dari Ayleen.
"Bukan gitu, Pak," ringis Ayleen, berharap lelaki itu percaya."Lalu, apa?!" tuduh Abraham lagi. Kembali meringis karena kepalanya justru semakin berdenyut. "sudahlah! Cepat kemari kan buburnya, biar saya bisa segera minum obat," titahnya, menyodorkan tangan.Ayleen menurut, memberikan mangkuk ke hadapan sang majikan, bersiap meninggalkan lelaki itu. Namun, baru saja dirinya berbalik, suara denting sendok yang terjatuh ke atas lantai justru terdengar. Refleks dirinya berbalik dan terkejut saat melihat raut pucat Abraham."Pak! Bapak gak apa-apa?!" pekiknya, tanpa sadar memegang pundak Abraham dengan raut panik di wajah."Bantu saya menyuap bubur, Ay," titah Abraham."Baik, Pak. Sebentar, saya ambilkan sendok yang baru," ujar Ayleen, berjalan ke arah pintu keluar. Tak lama kemudian, wanita itu kembali dengan sendok yang baru, lalu dengan telaten menyuapi sang majikan yang kini duduk bersender.Ayleen bahkan membantu Abraham meminu
"... Abra! Abra bangun! ABRA!" panggil seseorang dengan kencang, menggoyangkan lengan atas lelaki itu yang sedari tadi bergerak gelisah, keringat bercucuran serta mulut mengigau.Abraham pun seketika membuka mata. Ia terengah-engah sambil beringsut duduk dengan tatapan nyalang ke sekitar, nampak linglung.Tatkala dirinya benar-benar sadar seratus persen, lelaki itu menatap nanar ke arah orang yang telah membangunkan tidurnya. "Ma ... ma," panggilnya teramat lirih."Iya, ini Mama, Nak. Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba berteriak kencang seperti itu? Apa kamu tengah bermimpi buruk?" tanya Bu Emil bertubi-tubi."Aku—," Suara Abraham tercekat. Ia bahkan berusaha menarik napas yang seketika tersendat. Jakunnya bahkan terlihat naik turun karena tenggorokannya mengering.Bu Emil yang melihat sang putra nampak kesulitan, segera meraih segelas air yang berada di atas nakas, memberikannya pada lelaki itu yang segera meminumnya setelah mengucapkan basm
"M-maaf, Pak. Tapi, saya boleh bertanya, gak?" ucap Ayleen takut-takut."Tanyalah," sahut Abraham penasaran bersama degup jantungnya yang berdetak semakin kencang."Itu ... kejadian tadi malam, apakah Bapak tidak mengingatnya sedikit pun?" desak Ayleen.Abraham bungkam, matanya menatap lurus pada Ayleen yang seketika ikut gugup, menahan tegang. "Tidak." Lelaki itu berujar tegas.Ayleen seketika menghela napas lega, mengusap dadanya, sedikit tersenyum."Kenapa kamu terlihat lega seperti itu? Apa itu berarti, tidak ada yang terjadi di antara kita?" tanya Abraham, sedikit berbinar."Iya, Pak. Tidak ada," sahut Ayleen, tersenyum lebar."Oh, syukurlah. Saya takut telah bertingkah aneh padamu saat sakit. Karena jujur saja, saya suka bertingkah manja. Jadi saya sangat senang mendengar ucapan kamu ini," ungkap Abraham senang.Namun, tatkala dirinya melihat perubahan signifikan reaksi Ayleen, lelaki itu kembali diserang
Hartawan terlihat menghela napas berat, nampak beban berat menggelayuti wajahnya sehingga membuat keduanya saling pandang dengan kening berkerut. "Tapi, sebelum Papah mengatakannya? Lebih baik kita makan terlebih dahulu, karena topik pembicaraan yang akan kita bahas ... berat.""Apakah pembicaraan itu berhubungan dengan kami berdua?" tanya Abraham."Tentu saja, dan hal ini berkaitan erat dengan Ayleen. Karena itu ...," Pak Hartawan kembali menarik napas dalam-dalam, merasa sangat gugup saat ditatap sedemikian rupa oleh keduanya. "mari kita makan terlebih dahulu," ajaknya."Baik. Saya paham, Pah. Ayo, Ay, kita makan dulu," ajak Abraham, menengahi.Ayleen menurut, kembali duduk di tempatnya semula. Sementara Sam kini ia letakkan di atas stroller yang memang mereka bawa dari rumah. Bocah itu terlihat asyik bermain dengan food feeder miliknya.Ketiganya makan dalam diam, hanya terdengar bunyi denting alat makan beradu sehingga atmosfer ruanga
Ayleen akhirnya tenang setelah beberapa saat berlalu. Wanita itu bahkan kini telah menyelesaikan makannya yang sempat tertunda.Ruangan nampak hening, semuanya terlihat larut dalam lamunan masing-masing saat pintu tiba-tiba dibuka dari luar, membuat Ayleen dan juga Abraham menoleh serempak."Akhirnya kamu datang juga!" seru Pak Hartawan sambil tersenyum lebar. Ia bahkan segera bangkit berdiri guna menyambut kedatangan orang tersebut. Berbeda dengan Abraham yang justru segera membuang muka. Wajahnya bahkan terlihat begitu dingin.Sementara Ayleen sedikit kikuk, bingung antara menyambut atau diam saja."Papah nyuruh aku datang, buat apa?" tanya Airin sedikit ketus saat melihat keberadaan Ayleen di sana. Ia meletakkan sedikit kasar tas tangan miliknya di atas meja. Namun tatkala dirinya melihat keberadaan Abraham, wanita itu segera mengubah mimik wajahnya menjadi lebih lembut."Eh, ada papahnya Sam." Rambut panjangnya segera ia selipkan di b