"Ah ... tidak. Saya hanya ingin mengucapkan terima kasih banyak karena telah menjadi ibu asuh yang baik buat Sam." Pak Hartawan menukas, tersenyum lembut. Bahagia bercampur bangga pada sang putri yang masih belum bisa ia rengkuh."Oh, sama-sama, Pak. Saya juga senang karena bertemu dengan Sam," sahut Ayleen, mengangguk. Senyumnya terlihat kikuk."Apa kamu benar-benar menyayangi Sam?" tanya Pak Hartawan, melepaskan pegangan tangannya, membantu Ayleen duduk.Meskipun tidak mengerti kenapa kakek dari Sam itu bertanya. Ayleen serta merta mengangguk."Syukurlah. Saya lega mendengarnya. Oh ya, bolehkah saya meminta sesuatu padamu, hmm ... Ayleen, benar?" pinta Pak Hartawan. "maaf, saya kadang suka lupa nama seseorang. Mungkin faktor usia," ungkapnya terkekeh kecil."Benar, Pak. Nama saya Ayleen Arunika. Semoga Bapak terus mengingatnya," tukas Ayleen, ikut terkekeh kecil."Iya, tentu. Saya pasti akan mengingatnya dengan baik." Pak Harta
Abraham memenuhi janjinya untuk menjaga Ayleen dan juga Sam dengan baik. Bahkan hingga mereka keluar dari mall. Namun, sepertinya ketiganya tidak bisa pulang karena hujan tiba-tiba turun dengan derasnya.Abraham bahkan melirik ke arah Ayleen yang nampak memeluk Sam dengan erat, melindungi putranya dari angin dan bias hujan yang menerpa."Gak papa, Sayang. Mama Ayleen ada di sini buat jagain kamu," ucap Ayleen, berusaha menenangkan Sam yang nampak gelisah, menepuk-nepuk punggungnya pelan. Sesekali menatap ke arah hujan yang tidak terlihat akan teduh.Abraham merasa tidak tega. Bahkan saat dirinya mendengar gerutuan para pengunjung mall yang lain perihal bakal terlambat pulang, membuatnya semakin tidak tega pada keduanya."Ay!" panggilnya sedikit keras."Ya, Pak!" sahut Ayleen, ikut bersuara keras, menoleh pada sang majikan."Kamu tunggu di sini, ya!" ujar Abraham, berlari menembus hujan tanpa menunggu sahutan dari Ayleen.
"Bukan gitu, Pak," ringis Ayleen, berharap lelaki itu percaya."Lalu, apa?!" tuduh Abraham lagi. Kembali meringis karena kepalanya justru semakin berdenyut. "sudahlah! Cepat kemari kan buburnya, biar saya bisa segera minum obat," titahnya, menyodorkan tangan.Ayleen menurut, memberikan mangkuk ke hadapan sang majikan, bersiap meninggalkan lelaki itu. Namun, baru saja dirinya berbalik, suara denting sendok yang terjatuh ke atas lantai justru terdengar. Refleks dirinya berbalik dan terkejut saat melihat raut pucat Abraham."Pak! Bapak gak apa-apa?!" pekiknya, tanpa sadar memegang pundak Abraham dengan raut panik di wajah."Bantu saya menyuap bubur, Ay," titah Abraham."Baik, Pak. Sebentar, saya ambilkan sendok yang baru," ujar Ayleen, berjalan ke arah pintu keluar. Tak lama kemudian, wanita itu kembali dengan sendok yang baru, lalu dengan telaten menyuapi sang majikan yang kini duduk bersender.Ayleen bahkan membantu Abraham meminu
"... Abra! Abra bangun! ABRA!" panggil seseorang dengan kencang, menggoyangkan lengan atas lelaki itu yang sedari tadi bergerak gelisah, keringat bercucuran serta mulut mengigau.Abraham pun seketika membuka mata. Ia terengah-engah sambil beringsut duduk dengan tatapan nyalang ke sekitar, nampak linglung.Tatkala dirinya benar-benar sadar seratus persen, lelaki itu menatap nanar ke arah orang yang telah membangunkan tidurnya. "Ma ... ma," panggilnya teramat lirih."Iya, ini Mama, Nak. Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba berteriak kencang seperti itu? Apa kamu tengah bermimpi buruk?" tanya Bu Emil bertubi-tubi."Aku—," Suara Abraham tercekat. Ia bahkan berusaha menarik napas yang seketika tersendat. Jakunnya bahkan terlihat naik turun karena tenggorokannya mengering.Bu Emil yang melihat sang putra nampak kesulitan, segera meraih segelas air yang berada di atas nakas, memberikannya pada lelaki itu yang segera meminumnya setelah mengucapkan basm
"M-maaf, Pak. Tapi, saya boleh bertanya, gak?" ucap Ayleen takut-takut."Tanyalah," sahut Abraham penasaran bersama degup jantungnya yang berdetak semakin kencang."Itu ... kejadian tadi malam, apakah Bapak tidak mengingatnya sedikit pun?" desak Ayleen.Abraham bungkam, matanya menatap lurus pada Ayleen yang seketika ikut gugup, menahan tegang. "Tidak." Lelaki itu berujar tegas.Ayleen seketika menghela napas lega, mengusap dadanya, sedikit tersenyum."Kenapa kamu terlihat lega seperti itu? Apa itu berarti, tidak ada yang terjadi di antara kita?" tanya Abraham, sedikit berbinar."Iya, Pak. Tidak ada," sahut Ayleen, tersenyum lebar."Oh, syukurlah. Saya takut telah bertingkah aneh padamu saat sakit. Karena jujur saja, saya suka bertingkah manja. Jadi saya sangat senang mendengar ucapan kamu ini," ungkap Abraham senang.Namun, tatkala dirinya melihat perubahan signifikan reaksi Ayleen, lelaki itu kembali diserang
Hartawan terlihat menghela napas berat, nampak beban berat menggelayuti wajahnya sehingga membuat keduanya saling pandang dengan kening berkerut. "Tapi, sebelum Papah mengatakannya? Lebih baik kita makan terlebih dahulu, karena topik pembicaraan yang akan kita bahas ... berat.""Apakah pembicaraan itu berhubungan dengan kami berdua?" tanya Abraham."Tentu saja, dan hal ini berkaitan erat dengan Ayleen. Karena itu ...," Pak Hartawan kembali menarik napas dalam-dalam, merasa sangat gugup saat ditatap sedemikian rupa oleh keduanya. "mari kita makan terlebih dahulu," ajaknya."Baik. Saya paham, Pah. Ayo, Ay, kita makan dulu," ajak Abraham, menengahi.Ayleen menurut, kembali duduk di tempatnya semula. Sementara Sam kini ia letakkan di atas stroller yang memang mereka bawa dari rumah. Bocah itu terlihat asyik bermain dengan food feeder miliknya.Ketiganya makan dalam diam, hanya terdengar bunyi denting alat makan beradu sehingga atmosfer ruanga
Ayleen akhirnya tenang setelah beberapa saat berlalu. Wanita itu bahkan kini telah menyelesaikan makannya yang sempat tertunda.Ruangan nampak hening, semuanya terlihat larut dalam lamunan masing-masing saat pintu tiba-tiba dibuka dari luar, membuat Ayleen dan juga Abraham menoleh serempak."Akhirnya kamu datang juga!" seru Pak Hartawan sambil tersenyum lebar. Ia bahkan segera bangkit berdiri guna menyambut kedatangan orang tersebut. Berbeda dengan Abraham yang justru segera membuang muka. Wajahnya bahkan terlihat begitu dingin.Sementara Ayleen sedikit kikuk, bingung antara menyambut atau diam saja."Papah nyuruh aku datang, buat apa?" tanya Airin sedikit ketus saat melihat keberadaan Ayleen di sana. Ia meletakkan sedikit kasar tas tangan miliknya di atas meja. Namun tatkala dirinya melihat keberadaan Abraham, wanita itu segera mengubah mimik wajahnya menjadi lebih lembut."Eh, ada papahnya Sam." Rambut panjangnya segera ia selipkan di b
Ayleen langsung membuang wajahnya menatap ke arah jalanan. Andai saja dia sedang sendirian saat ini, mungkin ia akan mengibas-ngibas wajahnya dengan telapak tangannya.'Kenapa wajahku memanas gini cuma karena hal sepele begitu, sih?' rutuk Ayleen dalam hati.Ia lantas berusaha mengalihkan fokusnya dengan mengajak Sam berceloteh meskipun bocah kecil itu belum bisa menyahuti celotehan Ayleen. Sementara, Abraham tetap fokus menyetir hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti.Abraham sigap turun lebih dulu dan membantu Ayleen menggendong Sam. "Saya masuk duluan, ya," ucap Abraham seraya bersiap melangkah."Iya, Pak. Silakan." Ayleen menyahut singkat saat dirinya sibuk membereskan beberapa barang bawaan di dalam bagasi mobil. Abraham lantas berjalan masuk ke rumah lebih dulu, sementara Ayleen menyusul setelahnya, tangan kanan dan kirinya penuh dengan barang barang bawaan Sam, termasuk stroller. Rumah mewah itu tampak lengang, sepertinya Bi Ida dan Bu Emil sudah masuk ke kamar d