"... Abra! Abra bangun! ABRA!" panggil seseorang dengan kencang, menggoyangkan lengan atas lelaki itu yang sedari tadi bergerak gelisah, keringat bercucuran serta mulut mengigau.
Abraham pun seketika membuka mata. Ia terengah-engah sambil beringsut duduk dengan tatapan nyalang ke sekitar, nampak linglung.Tatkala dirinya benar-benar sadar seratus persen, lelaki itu menatap nanar ke arah orang yang telah membangunkan tidurnya. "Ma ... ma," panggilnya teramat lirih."Iya, ini Mama, Nak. Ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba berteriak kencang seperti itu? Apa kamu tengah bermimpi buruk?" tanya Bu Emil bertubi-tubi."Aku—," Suara Abraham tercekat. Ia bahkan berusaha menarik napas yang seketika tersendat. Jakunnya bahkan terlihat naik turun karena tenggorokannya mengering.Bu Emil yang melihat sang putra nampak kesulitan, segera meraih segelas air yang berada di atas nakas, memberikannya pada lelaki itu yang segera meminumnya setelah mengucapkan basm"M-maaf, Pak. Tapi, saya boleh bertanya, gak?" ucap Ayleen takut-takut."Tanyalah," sahut Abraham penasaran bersama degup jantungnya yang berdetak semakin kencang."Itu ... kejadian tadi malam, apakah Bapak tidak mengingatnya sedikit pun?" desak Ayleen.Abraham bungkam, matanya menatap lurus pada Ayleen yang seketika ikut gugup, menahan tegang. "Tidak." Lelaki itu berujar tegas.Ayleen seketika menghela napas lega, mengusap dadanya, sedikit tersenyum."Kenapa kamu terlihat lega seperti itu? Apa itu berarti, tidak ada yang terjadi di antara kita?" tanya Abraham, sedikit berbinar."Iya, Pak. Tidak ada," sahut Ayleen, tersenyum lebar."Oh, syukurlah. Saya takut telah bertingkah aneh padamu saat sakit. Karena jujur saja, saya suka bertingkah manja. Jadi saya sangat senang mendengar ucapan kamu ini," ungkap Abraham senang.Namun, tatkala dirinya melihat perubahan signifikan reaksi Ayleen, lelaki itu kembali diserang
Hartawan terlihat menghela napas berat, nampak beban berat menggelayuti wajahnya sehingga membuat keduanya saling pandang dengan kening berkerut. "Tapi, sebelum Papah mengatakannya? Lebih baik kita makan terlebih dahulu, karena topik pembicaraan yang akan kita bahas ... berat.""Apakah pembicaraan itu berhubungan dengan kami berdua?" tanya Abraham."Tentu saja, dan hal ini berkaitan erat dengan Ayleen. Karena itu ...," Pak Hartawan kembali menarik napas dalam-dalam, merasa sangat gugup saat ditatap sedemikian rupa oleh keduanya. "mari kita makan terlebih dahulu," ajaknya."Baik. Saya paham, Pah. Ayo, Ay, kita makan dulu," ajak Abraham, menengahi.Ayleen menurut, kembali duduk di tempatnya semula. Sementara Sam kini ia letakkan di atas stroller yang memang mereka bawa dari rumah. Bocah itu terlihat asyik bermain dengan food feeder miliknya.Ketiganya makan dalam diam, hanya terdengar bunyi denting alat makan beradu sehingga atmosfer ruanga
Ayleen akhirnya tenang setelah beberapa saat berlalu. Wanita itu bahkan kini telah menyelesaikan makannya yang sempat tertunda.Ruangan nampak hening, semuanya terlihat larut dalam lamunan masing-masing saat pintu tiba-tiba dibuka dari luar, membuat Ayleen dan juga Abraham menoleh serempak."Akhirnya kamu datang juga!" seru Pak Hartawan sambil tersenyum lebar. Ia bahkan segera bangkit berdiri guna menyambut kedatangan orang tersebut. Berbeda dengan Abraham yang justru segera membuang muka. Wajahnya bahkan terlihat begitu dingin.Sementara Ayleen sedikit kikuk, bingung antara menyambut atau diam saja."Papah nyuruh aku datang, buat apa?" tanya Airin sedikit ketus saat melihat keberadaan Ayleen di sana. Ia meletakkan sedikit kasar tas tangan miliknya di atas meja. Namun tatkala dirinya melihat keberadaan Abraham, wanita itu segera mengubah mimik wajahnya menjadi lebih lembut."Eh, ada papahnya Sam." Rambut panjangnya segera ia selipkan di b
Ayleen langsung membuang wajahnya menatap ke arah jalanan. Andai saja dia sedang sendirian saat ini, mungkin ia akan mengibas-ngibas wajahnya dengan telapak tangannya.'Kenapa wajahku memanas gini cuma karena hal sepele begitu, sih?' rutuk Ayleen dalam hati.Ia lantas berusaha mengalihkan fokusnya dengan mengajak Sam berceloteh meskipun bocah kecil itu belum bisa menyahuti celotehan Ayleen. Sementara, Abraham tetap fokus menyetir hingga akhirnya mobil yang mereka tumpangi berhenti.Abraham sigap turun lebih dulu dan membantu Ayleen menggendong Sam. "Saya masuk duluan, ya," ucap Abraham seraya bersiap melangkah."Iya, Pak. Silakan." Ayleen menyahut singkat saat dirinya sibuk membereskan beberapa barang bawaan di dalam bagasi mobil. Abraham lantas berjalan masuk ke rumah lebih dulu, sementara Ayleen menyusul setelahnya, tangan kanan dan kirinya penuh dengan barang barang bawaan Sam, termasuk stroller. Rumah mewah itu tampak lengang, sepertinya Bi Ida dan Bu Emil sudah masuk ke kamar d
"Airin memang karakternya seperti itu, Ay. saya rasa kamu nggak perlu terlalu mikirin sikap dia ke kamu. Dia memang begitu sikapnya," ucap Abraham berusaha menghibur gundah hati yang dirasakan Ayleen.Ayleen terdengar menghela napasnya berat. Rasanya ia masih tidak menyangka kalau ternyata dia dan Airin adalah saudara kembar yang cukup lama terpisah. "Pak Abra benar, seharusnya ini menjadi kabar yang membahagiakan buat saya, bukan? Nggak seharusnya saya bersedih begini," sahut Ayleen. Entah mengapa perasaannya justru jauh lebih baik dari sebelumnya."Benar, seharusnya kamu bahagia dengan kabar itu, Ay. Sungguh, saya juga nggak menyangka kalau ternyata kamu merupakan anak kandung Papah juga. Itulah kenapa, saat pertama melihatmu saya seperti melihat Airin, tapi dengan versi yang berbeda, bahkan sempat berburuk sangka bahwa kamu adalah Airin yang sedang mencari perhatian saya kembali dengan melakukan penyamaran." Abraham pun menyatakan pendapatnya tentang fakta yang baru terungkap mala
Sinar mentari pagi menembus masuk ke dalam kamar Abra, melalui celah ventilasi. Abraham yang baru saja membuka mata, tampak menggeliat perlahan untuk meregangkan otot-ototnya.Abraham duduk lalu bersandar di kepala ranjang. Duda tampan beranak satu itu tiba-tiba mengusap wajahnya beberapa kali dengan kasar."Astaga … bisa-bisanya aku menawarkan Ayleen untuk mengantarnya mengunjungi makam ibunya. Apa-apaan kau ini, Abra!" rutuk Abra pada dirinya sendiri.Ya, pria itu memang menyesali ucapannya pada Ayleen sepanjang malam. Ia pikir karena terbawa suasana saja sampai-sampai dia menawarkan untuk mengantar Ayleen."Cih, ada-ada saja kau, Abra. Terlalu terbawa suasana, malah mengatakan hal yang tak perlu," ucapnya lagi sambil mengusap-usap wajahnya yang terasa kasar. Cambang halusnya mulai memanjang, dan Abra pikir hari ini dia harus bercukur sedikit. "Ayleen pasti bingung dengan perkataan saya itu, pokoknya saya harus jelaskan biar dia tidak salah paham," ucapnya. Pria itu lantas turun d
"Maaf, tapi maksud Ibu apa ya?" tanya Ayleen ragu-ragu.Ayleen melirik ke arah Abraham yang tampak sibuk menatap jam tangannya. Abraham bahkan pura-pura tak melihat saat Ayleen menanyakan kenapa Bu Emil bersikap begini secara tiba-tiba dari gerak bibir tipisnya.Pria itu justru berdiri tanpa memberi jawaban pada Ayleen yang dilanda kebingungan. "Ma, Abra berangkat ke kantor dulu," ucap Abraham menginterupsi. Bu Emil lantas melepaskan pelukannya terhadap Ayleen dan melihat putranya bersiap pergi.Abraham mengulurkan tangan untuk meraih punggung tangan Bu Emil lantas menciumnya takzim sebelum berangkat ke kantornya. Hal yang selalu dia lakukan selama ini meskipun terkesan kolot, karena kebanyakan sudah tidak ada yang melakukan hal demikian saat hendak pergi ke mana pun."Hati-hati di jalannya, Abra," ucap Bu Emil sembari mengusap pelan belakang kepala Abraham. Pria itu mengangguk, lalu kini tatapannya beralih pada Sam yang berada di gendongan Ayleen yang masih menanti jawaban dari ibu
Airin terbangun saat matahari sudah meninggi. Wanita cantik yang memiliki postur tubuh proporsional itu lantas menggeliatkan tubuhnya. "Ugh, jam berapa sekarang?" gumamnya dengan suara khas orang yang baru bangun tidur.Airin meraih ponselnya di bawah bantal untuk melihat jam. "Cih, udah siang ternyata. Untungnya hari ini nggak ada schedule, jadi aku bisa nyantai," ucap Airin bermonolog sendiri. Sedetik kemudian, Airin malah asyik berselancar di media sosial. Menscroll aplikasi jingga yang biasa gunakan untuk memposting segala kegiatan hariannya.Airin pun tergoda untuk memosting fotonya di laman itu. Ia tampak sibuk memilih dan memilah foto yang hendak dia posting pagi itu. "Ini aja deh, aura kecantikanku terlihat sempurna di foto ini," ucap Airin sambil bersiap memosting foto pilihannya dan beberapa deret caption untuk sekadar menyapa para followersnya di sana."Only me." Airin menulis caption demikian saat mengirim foto itu. Tak perlu waktu lama sampai fotonya mendapat ratusan l