Sang ayah ternyata menepati janjinya. Dilara akhirnya dibebaskan dari penjara. Namun, kebebasan itu terasa pahit. Tidak ada yang menyambutnya. bahkan sang ayah hanya memberikannya sebuah alamat–tempatnya bekerja sebagai ibu susu. "Aku harus melupakan semuanya," gumam Dilara dalam hati, "ini adalah awal baru bagiku." Tak lama kemudian, Dilara menaiki sebuah bus menuju alamat yang diberikan. Namun tak lama setelah masuk ke dalam bis dan mencari tempat duduk, Dilara melihat pemandangan yang membuat hatinya terasa tertusuk duri. Suaminya bersama dengan seorang wanita yang Dilara tahu adalah mantan tunangan pria itu! Keduanya begitu mesra dan akrab … sembari menggendong seorang bayi mungil. Tunggu, bukankah mantan tunangan Arman mandul...? "Nona, kita sudah sampai di tempat tujuan yang nona sebutkan!" Seorang kondektur bis menepuk bahu Dilara, hingga lamunannya pun seketika menjadi buyar. “Terima kasih.” Dilara lantas menyerahkan uang pecahan lima puluh ribuan pada kondektur
Dilara membuka matanya perlahan kala sang ayah memukul-mukul wajahnya. Rasa sakit membuatnya tersadar dari pingsan. "Jangan kacaukan transaksi ini, Dilara. Ingat utang budimu yang harus dibalas! Mendiang istriku bahkan sudah memberikan darah dan ginjalnya pada kau yang hanya anak pungut!" teriak Ibnu penuh kemarahan, sebelum meninggalkan Dilara yang terdiam. Ya, hal lain yang membuat Dilara tak berani melawan adalah fakta ini. Sebelum ibunya pergi untuk selama-lamanya, hubungannya dan sang ayah jauh lebih harmonis. Namun setelah ibunya meninggal tepatnya tujuh tahun silam, segalanya berubah. Menahan pedih, Dilara menahan tangis.Hanya saja, interaksi antara Dilara dan ayahnya itu tak luput dari pandangan David. Pria tampan itu mengintip dari balik jendela yang ada di lantai dua mansion mewah miliknya. Entah mengapa David sendiri seperti merasa ada sesuatu dalam diri ibu susu bayinya itu? Ia juga tidak tahu alasannya, tapi bayang-bayang Dilara seolah sangat sulit untuk mengh
"Tadi sudah aku jelaskan secara rinci. Bagaimana merawat bayi dengan benar." "Oh iya, aku lupa ... bayi Tuan David habis mengalami dehidrasi, jadi kamu harus menyusuinya sesering mungkin!" Dilara lantas mengangguk saat mendengar penjelasan dari dokter anak mengenai cara merawat bayi dengan baik. Lebih dari satu jam, ia menerima pelatihan dan penjelasan dari mereka yang berada di ruangan bersamanya. Meski demikian, Dilara takut kalau sampai dirinya itu melakukan kesalahan karena ia harus menyusui dan merawat seorang bayi yang notabene bukan anak kandungannya. Bahkan, semua itu hanyalah sebuah pekerjaan…. "Saya mengerti! Saya akan melakukannya dengan sangat baik!" ujar Dilara pada akhirnya, sembari menyembunyikan wajah yang masih babak belur dan bengkak. Ada rasa malu dengan penampilannya ini. Namun, dia harus tetap tegar demi keberlangsungan hidupnya dan balas budi pada sang ayah. Satu hal lagi … demi mencari tahu kebenaran perihal anak kandungnya. Entah menga
Byur! Mimpi itu menghilang. Dilara dipaksa bangun karena tubuhnya diguyur dengan seember air! "Bangun! Kenapa kau tidur begitu pulas? Bayi Tuan David sudah menangis kencang sejak tadi, kau harus segera menyusuinya!" Seorang Suster yang membawa ember di tangannya nampak menatap Dilara dengan tatapan tajam. Suster yang lain juga terlihat menggendong bayi David yang masih menangis kencang. Dilara hanya diam--tidak menanggapi ucapan Suster itu. Ia masih merasa bingung, ingatannya masih tertuju pada mimpinya itu. Apa hubungan dirinya dengan Ara? Apakah ini ingatannya waktu kecil atau hanya bunga tidur semata?Ceklek!Tak berselang lama, pintu terbuka dari arah luar, menampakkan sosok David yang memasuki kamar dengan wajah merah padam. "Lepas semua baju yang menempel padanya, biarkan dia polos tanpa sehelai benang. Anakku sudah sangat kehausan jika harus menunggu dia mengganti bajunya yang basah dulu!" perintah David dengan suara baritone yang tak terbantahkan. Dilara mengigit
Cahaya pagi yang hangat mulai menyelinap melalui celah-celah jendela. Perlahan, Dilara membuka matanya, berusaha bangun walaupun rasa kantuk masih menyelimuti kesadarannya. Cepat-cepat, dia duduk dan mengambil bayi mungil didalam kotak bayi lalu memeluknya erat. "Untung kamu belum nangis, Sayang," ucap Dilara lembut, sambil membuka kancing bajunya untuk menyusuinya. Ya, Dilara teringat dengan bisikan para pelayan di rumah ini, jika melakukan kesalahan. Tuan David tidak segan menghukum dan memasukkan ke dalam kandang singa. Sungguh Dilara masih ingin hidup dan membuktikan, kalau putri kandungnya masih hidup. Ceklek! Suara pintu terbuka, David pun masuk bersama beberapa suster yang mengikutinya dari belakang. "Setelah ini, aku akan mengecek dan menimbang berat badan anakku. Awas, kalau sampai berat badan bayi ku turun gara-gara semalam kau tidur nyenyak!" Dalam hati, Dilara bergidik ngeri mendengar ancaman David. Dia menyesali kejadian semalam yang membuatnya takut berh
Dilara di hias sangat cantik, dan para perias profesional itu benar benar melakukan tugas mereka dengan sangat baik. Sekarang wajah Dilara begitu mirip dengan wanita yang dipanggil Keira, bahkan lebih cantik Dilara dibandingkan dengan Keira, jika keduanya sama sama dirias. Tiba tiba terdengar suara bayi David yang menangis kencang, membuat Dilara yang sekarang ini sudah mengenakan gaun ketat sontak berdiri. Karena Dilara memang tidak terbiasa mengenakan pakaian ketat, hal itu hampir saja membuat tubuhnya itu terjatuh. "Kenapa kau tidak hati hati? Kau hampir saja jatuh!" Untung saja saat keseimbangan Dilara buruk, ada David yang berdiri di samping Dilara untuk menopang tubuhnya. Jadi wajah Dilara yang sudah terlihat sangat cantik, tidak mencium lantai. "Ma - maaf Tuan, saya hanya panik saat mendengar bayi Anda menangis. Saya ingin segera menyusuinya," sahut Dilara dengan wajah terbata. Dia berusaha menjauhkan tubuhnya dari cengkraman David. Namun, sadar David seperti seper
"Dilara ingat pesan ku tadi, kau harus berpura pura menjadi istriku." Ucapan David sontak membuat Dilara menoleh ke arah sumber suara. Bahkan jantungnya tiba tiba berdebar kencang, saat David menggenggam tangannya tiba-tiba. Ia merasa tangannya seperti terdengar aliran listrik. "Sekarang ini kita harus bersikap mesra layaknya sepasang suami istri." David mulai menarik pergelangan tangan Dilara untuk berjalan bersama. Dilara hanya bisa menjawab dengan anggukan, lidahnya kelu. "Jangan sampai melakukan kesalahan! Aku akan memberikan bonus banyak padamu," bisik David pada Dilara saat mereka sudah memasuki area tasyakuran. Pipi Dilara memerah, karena interaksinya sekarang ini dengan David. Sekarang ini baik Dilara maupun David sedang berada di balik tirai yang ada di balik panggung. "Tuan, bolehkah saya meminta bonus yang lain?" celetuk Dilara sembari menarik tangannya kembali, saat tangan David ingin menarik tangannya untuk keluar dari balik tirai. Ekspresi wajah Davi
Belum sampai Arman bisa mengeluarkan suara untuk menjawab pertanyaan yang baru saja keluar dari bibir istrinya, tiba-tiba Yasinta sudah nerocos dan melanjutkan ucapannya. "Jangan bilang Mas Arman itu tertarik dengan istri mafia kejam itu! Bisa bisa nyawa Mas itu melayang, dan Anggita nantinya bisa tidak memiliki ayah." "Astaga Yasinta! Kenapa kamu menuduhku seperti itu? Hanya karena aku memandang istri dari Tuan David beberapa detik saja. Tolong jaga ucapanmu itu!" Arman langsung memalingkan pandangannya kearah lain. Bagaimana pun tuduhan yang baru saja diucapakan oleh istrinya itu tidak masuk akal. Dan pada hakekatnya, pria juga tidak suka dituduh tanpa alasan yang jelas. Bahkan Arman merasa jika perilaku Yasinta akhir -akhir ini sangat berubah setelah keduanya memiliki bayi. Sifat Yasinta yang dulunya penurut, baik dan juga kalem sekarang seakan akan berubah menjadi seratus delapan puluh derajat, sungguh semua sifat -sifat baik yang dimiliki oleh istri yang baru di nika
Laras dengan santainya berjalan ke arah sisi Albert Wongso, tatapan matanya sinis melirik ke arah Ditya yang mematung dengan raut muka merah padam. Darah Ditya seakan mendidih, jantungnya berdegup kencang saat menyaksikan pembantunya yang tak tahu malu itu berdiri dengan angkuh di samping orang yang selama ini sangat dia percayai. Ditya tertawa sini, lalu dia berkata, "Ternyata, hal buruk itu sudah kalian berdua rencanakan sebelumnya." Suaranya gemetar, mengingat kejadian di kamar dimana Laras dengan liciknya memberikan obat perangsang kepadanya. "Iya, tentu saja. Aku adalah orang yang pintar, gak mungkin jika seorang pelayan rendahan memiliki banyak uang untuk membeli beberapa kamera tersembunyi itu, ingat apapun yang terjadi kau harus bertanggung Jawab apa yang sudah kamu lakukan,," sahut Laras dengan nada tinggi dan penuh keangkuhan. Dia menatap Ditya dengan pandangan yang penuh kemenangan, seolah-olah telah memenangkan pertarungan yang tidak seimbang. "Kalau kau
David bingung melihat ekspresi wajah istrinya yang terlihat begitu terkejut. "Sayang, apa yang terjadi?" tanya David khawatir. 'Gimana ini? Apakah harus jujur, tapi sekarang ini kakek melakukan hal yang membuatku membencinya. Bahkan David bisa juga muak dengannya.' 'Tapi bagaimana pun juga, kakek adalah kakek kandungku. Orang yang berjasa merawat ku setelah kedua orang tuaku tiada, takutnya nanti kalau David itu beneran benci sama kakek.' Melihat istrinya melamun gak jelas, David pun mencium bibir istrinya. Hal itu langsung membuat lamunan Dilara buyar, bahkan wajah malah menjadi merah merona. "David," teriak Dilara pura-pura kesal. "Kenapa kamu tiba-tiba mencium ku." "Kenapa? Gak ada yang salah dengan mencium bibir istriku sendiri, hmm ... Bahkan seluruh tubuhmu, aku juga sudah melihatnya," goda David dengan nada nakal. Hal itu membuat wajah Dilara semakin merah, bahkan terlihat seperti kepiting rebus. "Ayo kita main dulu!" ajak David seraya menaikkan turunkan
"Apa gara-gara baku hantam tadi? Ada sesuatu yang serius dengan kepalamu?" Wajah David nampak kebingungan setelah mendengar celotehan istrinya. David sontak memegang kepalanya sendiri, dia mencoba mengingat. 'Bukankah tadi saat bertengkar dengan Samuel, tidak memakai kepala?' gumam David tanpa sadar dalam hatinya. Otaknya masih terus mengingat. Tapi yang dia ingat, tadi otaknya masih utuh dan tidak terkena guncangan apapun. "Ayo kita kerumah sakit! Periksakan kepalamu, kenapa bisa kamu itu tiba -tiba lupa. Jika semua uangmu itu ada di aku," kata Dilara dengan nada khawatir. Wajah kebingungan yang sebelumnya ditunjukkan David langsung berubah masam. Setelah dia menyadari pikiran konyol yang ada didalam otak istrinya. "Astaga Dilara, kamu mengira kalau aku itu pikun. Bahkan takutnya nanti aku dengan mudah melupakan jika kamu itu istriku, itu-kan hal yang kamu takutkan sekarang," tebak David yang mana langsung mendapatkan anggukan kepala dari Dilara. Dilara memas
"Dilara, ayo kita pergi dari sini!" titah David dengan wajah masam. Melihat tangan istrinya yang masih disentuh orang lain, sifat posesif David muncul. "Dilara sepertinya kamu sudah menikah, kenapa tidak mengundangku?" tanya pria itu, dia enggan melepaskan tangannya dari tangan Dilara. "Samuel, sudah lama sekali kita gak bertemu. Bahkan aku belum pernah mendengar kabarmu. Bagaimana caranya aku memberikan undangan?" jawab Dilara tanpa rasa canggung menghangat kedekatan mereka dulu. Dilara terus memperhatikan Samuel dari atas ke bawah. "Samuel, aku gak tahu kalau kamu bisa berubah begini! Lepaskan dulu, suamiku sangat posesif," titah Dilara dengan senyuman lebar, bahkan ucapannya diselingi dengan canda dan tawa. Dahi David mengernyit, dia bingung dengan sikap istrinya. 'Kenapa dia begitu berani? Bermesraan dengan pria lain didepanku?' David menatap tajam ke arah istrinya. "Oh ... Ya." Samuel menaikkan satu alisnya. Dia menatap Dilara dengan tatapan yang sulit untuk didesk
"Aku ingin sekali menghancurkan kehidupan cucumu dengan suami bucin -nya. Cucumu itu telah merebut David- ku," jawab Laras berbisik tepat ditelinga Ditya. Dengan wajah yang terlihat jijik, Ditya menjauhkan tubuh Laras yang begitu dekat dengannya. Selama ini dia bisa bertahan menjadi duda yang hanya setia kepada mendiang istrinya, kalau tidak gara-gara Laras. Ditya mungkin saja masih duda sampai sekarang. Melihat tatapan Ditya, Laras hanya tersenyum sarkas. Tapi Ditya mengerti arti dari senyuman Laras itu. "Jadi kau menjebakku agar menikahimu demi menghancurkan cucuku sendiri. Kau gak pantas buat David. Kau harusnya sadar diri, hanya pembantu," kata Ditya melotot tajam. Laras tertawa sarkas lalu berkata, "setelah kamu menikahiku, tentu saja aku bukan pembantu lagi." Ditya ingin mencekik Laras, tapi Laras malah tertawa keras dan terlihat seperti orang gila. "Disini ada beberapa kamera yang sudah aku pasang, dan kamera itu sudah terhubung dengan seseorang." U
Laras merasakan jantungnya berdebar kencang saat menerima telepon dari Aland. Dia tahu, dirinya sebelumnya terlalu sombong. Demi membuat David dan Dilara menderita, dia harus mengeluarkan banyak sekali uang untuk Devandra. Bahkan seluruh tabungannya yang dia kumpulkan saat bekerja pada David sebelumnya sudah habis. Suara Aland terdengar lelah namun lega, "Laras, aku dan Devandra sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit. Tapi aku butuh uang untuk biaya taksi dan beberapa keperluan lain." Laras menggigit bibirnya, berusaha keras untuk tenang. Dengan suara yang berusaha terdengar meyakinkan, dia menjawab, "Tenang, aku akan mengurusnya. Aku tahu bagaimana mendapatkan uang dari kakek Ditya. Aku akan segera mengirimkan uangnya padamu." Dari balik telepon Aland bingung, dahinya nampak berkerut. Tapi, dia dan Laras hanya partner. Dia membantu Laras, dan Laras sendiri membantunya untuk tetap hidup. Garis ketegangan tergambar jelas di wajah Laras saat dia memutuskan panggilan
Indira melahirkan, tapi dia tidak dibawa ke layanan kesehatan melainkan melahirkan di camp agen. Indira menggenggam erat tangan Esti saat mengucapkan kata-kata penuh kebencian itu. Matanya yang merah menatap lurus ke arah bayi yang baru saja dia lahirkan. "Aku benci anak ini," gumamnya hampir tak terdengar. Bayi itu menangis, suaranya melengking kecil memecah kesunyian ruangan, namun tidak mampu mencairkan kebekuan di hati Indira. Esti, dengan lembut membelai punggung Indira, mencoba menenangkan teman baiknya itu. "Indira, dia bayi yang tidak berdosa. Jangan biarkan luka dari masa lalumu meracuni hati ini," ucap Esti, suaranya penuh kelembutan dan pengertian. Tetapi, Indira hanya menggigit bibirnya, matanya tak lepas dari wajah bayi yang terlalu mirip dengan Etnan, pria yang telah memberinya luka begitu dalam. "Bagaimana mungkin aku mencintai sesuatu yang selalu mengingatkanku pada dia?" kata Indira dengan nada getir. Esti menghela napas, hatinya terasa berat m
Dilara merasa kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya. Sementara kedua alis David nampak menyatu. "Ada apa memangnya antara kakek Ditya dan juga Laras?" tanya David bingung. Bahkan rasa penasaran mulai membuncah didalam dirinya. Baru kali ini, David merasa sekepo ini tentang urusan yang tidak ada hubungannya sama sekali dengan dirinya. "Kakek Ditya melakukan hubungan terlarang dengan Laras, nanti aku akan menikahkan mereka berdua kalau Laras itu hamil," celetuk Dilara yang mana membuat David semakin terkejut. Mengingat Laras juga seumurannya. "Astaga," sahut David, kedua bola matanya langsung menatap ke arah langit yang dipenuhi bintang. "Ayo sekarang pindah dari rumah kakekku, kita tinggal dimansionmu!" titah Dilara matanya sembab. David ingin menolak mengingat sudah tengah malam, tapi istrinya bersikeras. Di bawah langit yang berkelip bintang, David menelan ludah, berusaha mencerna informasi yang baru saja dihembuskan oleh istrinya. "Mengapa kau bilang
Laras terisak dalam ruangan itu, air matanya mengalir membasahi pipinya yang pucat. Rambutnya yang biasanya rapi kini acak-acakan, dan bajunya yang terbuat dari kain halus tampak kusut dan berserakan. Namun, di balik air mata dan rupa yang menyedihkan itu, ada senyuman tipis yang tersembunyi di sudut bibirnya. Rencananya telah berjalan dengan mulus. Di hadapannya, Kakek Ditya berdiri dengan wajah yang bingung dan terkejut, tangannya gemetar. Giginya gemertak, merasakan sebuah amarah yang tak bisa tertahankan. Dia ingin sekali mengejar cucunya Dilara yang marah karena memergoki aksinya yang tdia "Kakek Ditya, kamu harus bertanggung jawab. Karena kamu telah melakukan hal buruk padaku," ucap Laras dengan suara yang lirih namun penuh dengan tuduhan. Kakek Ditya, yang semula ingin menyalahkan Laras, kini terhenti kata-katanya. Dia menatap Dilara, yang berlari ke luar kamarnya, ingin mengejarnya namun kaki tuanya tidak secepat dulu. Ditya menoleh kembali ke Laras,