"Kamu.. kalo udah selesai, cepet susuin Baby Dam. Jangan males-malesan!" ujarnya judes, setelah berhasil mengendalikan diri.
Tanpa basa-basi, pria itu berbalik dan keluar kamar. Lela sendiri hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Tapi, entah mengapa rasanya dia jadi malu dan takut menemui Bara lagi! Untungnya, Lela berhasil memompa asi meski tidak sebanyak biasanya. Gadis itu pun keluar untuk mencari Baby Dam. Namun siapa sangka dia malah menemukan Dosen sekaligus Bosnya itu sedang menunggunya sambil mencoba menenangkan Baby Dam yang terus menangis. Tatapan Bara sudah seperti namanya--membara! Lela sampai takut saat mengulurkan tangan untuk menggendong Baby Dam. Diambilnya Baby Dam lalu diberikannya bayi itu, asi di kamar. Sementara itu, Bara pergi ke kamar untuk bersih-bersih. Namun belum sempat masuk kamar, Bara langsung disuguhkan pemandangan Baby Dam tantrum. Putranya itu menangis kencang. Segera saja, Bara menghampiri Lela dan Baby Dam. "Astagah, La! Kenapa nangis lagi?!" omelnya langsung merebut Baby Dam dari gendongan Lela. Lela pun menunduk takut. Sebenarnya, ia harus bagaimana menjelaskannya pada Bara? Perkara asi ini membuatnya agak risih kalau bicara langsung padanya. Akhirnya, Bi Tati yang sejak awal di sana pun maju untuk menjelaskan, "Saya rasa Baby Dam gak kenyang minum asinya, Tuan." "Kenapa?! Bukannya asi kamu keluar, La?" tanyanya dengan nada tak ramah. Lela mengangguk, ia memaikan jarinya karena gugup. "Keluar Pak, tapi sedikit, saya sudah berusaha pompa dan stimulasi tapi gak mempan," balas Lela menunduk. Bara pun menghela napas, "Ngomong dong dari tadi! Bawa perlengkapan Baby Dam, kita ke dokter sekarang!" "Kenapa tidak mengundang dokter ke sini saja, Tuan?" tanya Bi Tati. Bara berdecak. "Hari Senin Greg full praktik di RS, ingat?" Bi Tati meringis, ia lupa hari. Jadi di sinilah Lela sekarang---di ruang pemeriksaan dokter kandungan. Jujur, ia merasa gugup. Dirinya saja belum hamil masa sudah ke dokter kandungan? Kebetulan Dokter Greg juga sedang membantu proses melahirkan. Jadi yang mereka hadapi adalah dokter kandungan yang lain. Oleh karena itu, Bara sudah memperingati Lela agar Lela bisa berakting layaknya suami istri. Diam-diam, Lela memperhatikan Bara yang dengan luwes menggendong Baby Dam sambil membawa tas keperluan bayi itu. Entah mengapa, Lela merasa lucu sekaligus senang. Setidaknya, di antara keburukan Bara, ia bisa melihat sisi baiknya. Apalagi Bara tipe ayah yang selalu menemui anaknya meski sibuk. Setiap akan berangkat dan pulang kerja, ia akan menemui anaknya. Bahkan, di kantor pun, ia akan menghubungi Bi Tati untuk Video Call, ingin melihat keadaan anaknya. Pasti haters Bara akan tercengang melihat kenyataan itu! Sementara fansnya akan memujanya lagi dan lagi. "Baik Ibu Laila, karena Asi Ibu berkurang, biasanya ada beberapa faktor, di antaranya adalah stres. Apakah ada pikiran yang berat sehingga Anda merasa terganggu dengan itu?" tanya dokter, memecah keheningan. Lela sontak tersadar dari lamunannya. Dia pun melihat Bara yang juga menatapnya sambil menaikan alis, sebelum akhirnya menjawab, "Ya, sedikit." Mendengar itu, Bara tampak menatapnya tajam. Tapi, Lela buru-buru mengalihkan pandangannya dari pria itu. "Oke, karena Bu Laila mengakuinya. Saya akan berikan solusi dan peringatan untuk Ibu dan Bapak selama proses menyusui. Jadi, jangan mengira kalau proses mang-asi-hi ini hanya kegiatan Ibu dan Anak, tapi sebenarnya proses ini dilakukan oleh kedua orang tua bayi." "Maksudnya gimana, Dok?" tanya Bara. "Gini Pak, baik Ibu hamil atau menyusui, keduanya sama-sama tidak boleh stres, karena kondisi psikis Ibu mempengaruhi bayi dan asi yang keluar. Sehingga suami harus menjadi suport sistem yang baik bagi istri, agar asinya lancar dan bayi bisa berkembang dengan suasana yang harmonis," jelas dokter ramah. Bara mulai merasa tidak enak dengan penjelasan itu. Sementara Lela terlihat menyimak dengan fokus layaknya mahasiswa yang sedang diberi kuliah oleh dosennya. "Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk menstimulasi asi, salah satunya yang paling ampuh adalah ... ini yang paling disukai para suami nih, pasti Bapak suka." Bara tertawa garing sebagai formalitas. Hal itu diikuti Lela dengan tampang polosnya. "Apa itu, Dok?" tanya pria itu pada akhirnya. "Bapak bisa membantunya dengan memijat payudara istri," ucap sang dokter begitu profesional, "atau menyedotnya langsung lewat mulut...." Deg! "Apa?!"wkwkwk shik shak shok kan... ramaikan kolom komennya gaes˙˚ʚ(´◡`)ɞ˚˙
Sang dokter tertawa. Ternyata, dia bercanda. Hanya saja, gara-gara konsultasi tadi, Lela dan Bara masih canggung, bahkan saling diam selama perjalanan pulang. Syukurlah tadi Lela sudah diajari stimulasi oleh dokter sehingga kini Baby Dam bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang. Akan tetapi, mereka berdua tak sengaja bertemu di dapur saat Lela sedang makan! "Ehem..." deham Bara menormalkan suara, "Kita perlu bicara." "Di--di mana, Pak?" tanya Lela berusaha menelan makanannya dengan susah payah. "Di kamar Baby Dam, saya mau Bi Tati juga dengar." "Baik Pak," balas Lela, meski bingung. Segera dia berusaha menghabiskan makannya meski agak sulit karena konsentrasinya terpecah saat memperhatikan Bara yang mengambil air minum di dekatnya. Jujur, suasananya sangat canggung, sampai Lela rasanya mau pingsan saja, biar bisa kabur. "Oke. Setelah kamu makan, langsung naik." Lela tersentak kaget dari lamunannya, tapi ia lalu mengangguk dan menatap kepergian Bosnya dengan perasaan kh
"Kamu belum revisi ini, kan?" Lela mengangguk. "Belum semua, Pak." Bara menatap hasil revisian Lela yang masih seberantakan sebelumnya. "Lela, saya tau kamu sibuk dengan anak saya, tapi apa kamu mau minta simpati saya karena kamu yang mengurusnya? Kamu pikir dengan itu saya akan menoleransi segala kesalahan kamu?" ucapnya pedas. "Enggak Pak, saya tau saya salah. Tapi beri waktu saya lagi, semalam saja untuk merevisi lagi." "Kamu kira saya akan menyetujui itu?" Lela menggeleng lagi, tetapi kali ini ia diam tanpa meminta keringanan waktu. Ia tau bahwa permohonannya hanya akan terbuang sia-sia. Bara tetaplah Bara yang disiplin dan tidak bisa menoleransi kesalahan sekecil apapun. "Kalau gitu, saya tunggu sejam dari sekarang," putus Bara. Ia menyerahkan laptopnya dan langsung menyuruh Lela merevisi skripsi itu di laptopnya. Tanpa pikir panjang, Lela langsung merevisinya. Saking fokusnya, ia sampai tidak menyadari kalau ia masih ada di ruangan sang dosen. Meski begitu, usa
"Astagah!!!" Dika ikut kaget saat Bara kaget. Ia tahu Bara sedang melamun, tetapi ia tak pernah melihat Bosnya kaget sampai seperti itu. "Ma--maaf, Bos. Tadi saya sudah mengetuk pintu tapi Anda sepertinya sedang serius," ujar Dika, takut bosnya marah. Bara berdeham, lalu mengangguk. "Ada apa?" "Ini draft Tim Perencana yang tadi pagi Anda minta," jawab Dika menyerahkan file tersebut. Bara pun menerimanya dan melihat perencanaan yang mereka susun. Lalu ia mengangguk, merasa cukup dengan file tersebut. Namun, moodnya turun setelah mendengar ucapan Dika selanjutnya, "Oh ya, Pak. Untuk acara makan malam dengan Nona Cantika, jadi kan? Saya disuruh Tuan Besar untuk menanyakan kepastiannya." Ck! Ayahnya terus menjadwalkannya untuk bertemu dengan anak perempuan kolega bisnisnya. "Bilang sama Papa, saya agak gak enak badan. Saya ingin pulang dan langsung istirahat." "Baik, Pak," balas Dika sebelum akhirnya pamit pergi. Bara menyenderkan badannya di kursi. Ia ingin istirahat saja se
Mendengar ucapan asal Alex, Bara menggelengkan kepala. "Jaga ucapan lo ya, Tokek! Gue sama sekali gak fokus sama dianya, gue justru bingung sama diri gue sendiri yang tertarik sama dia!" "Oke-oke, jadi lo gak terima dengan perasaan itu?" Bara mengangguk, "Lo bayangin aja, masa gue suka sama dia?" umpatnya. Saking frustasinya, dosen galak itu pun minum banyak wine sampai Alex kualahan menghentikannya. Pria itu sampai meminta wanita penghibur yang dipesannya untuk pergi! Sepertinya, Bara benar-benar galau. Tapi jujur, baru kali ini ia melihat Bara bertanya soal permasalahan yang mudah tapi ia seolah terus menyangkal. Bara tak mungkin tak tau kalau ia sedang tertarik dengan seorang wanita secara khusus, tetapi berusaha menyangkalnya dengan keras. Coba bayangkan dua botol wine dihabiskannya, sampai mabuk? "Udah cukup, anjir! Lu udah mabok!" ucap Alex, menghentikannya. Sahabat Bara itu langsung meminta pelayan night club memindahkan semua gelas dan botol alkohol di mejanya dan m
Sayangnya, Bara tak bisa berkonsentrasi karena alkohol! Melihat itu, Alex menghela napas dan membawanya pulang ke mansion mewah milik ayah Damian itu. Maka, ketika pulang, pegawai di mansion sudah tertidur, kecuali satu orang. Lela! Dan gadis itu sangat takut melihat Bara yang pulang dipapah oleh temannya. Terlebih, bau alkohol menguar dari keduanya. Gadis polos itu sampai bengong. Bara yamg biasanya bersikap dingin dengan wajah datar, sekarang tersenyum teler. "Hai!" Suara teman Bara menyadarkan Lela dari lamunan. "Hai!" balasnya, "Anu... Pak Bara kenapa ya?" Jujur, dia sedikit khawatir. Namun, pria yang memapah Bara itu tak menjawab hanya senyum menatapnya. Tanpa basa-basi, ia kemudian masuk ke ruang tamu dan menidurkan Bara di sofa yang ada di sana. "Gak apa-apa, Bara cuma mabuk. Kamu baru pertama liat orang mabuk?" Lela sontak mengangguk polos, ia juga agak was-was dengan Alex. Meski wajahnya tampan, dia terlihat memakai pakaian seperti bad boy. Jaket kulit,
"Ehmm..." Lela merasakan dekapan yang sangat erat di sekeliling tubuhnya. Ini pertama kalinya semenjak ia remaja merasakan pelukan yang seperti ini. Rasanya seperti tali yang mengikat, tapi tali itu terlalu besar dan hangat. Teksturnya tidak keras, tapi tidak lembek juga. Asing dan aneh, tapi kok nyaman? Ingin mencari tahu, Lela perlahan mulai membuka mata. Namun, pemandangan di depannya membuat gadis itu hampir menjerit! Ada Bara di sampingnya yang masih tidur dan memeluk Lela dengan hangat. Hah? Panik, Lela pun mencoba melepaskan tangan pria itu dari tubuhnya. Untung, tak sesulit kemarin, sehingga dia bisa menjauh. Hanya saja.... "Aaaaaaa!" Bugh! Lela gagal untuk tidak berteriak saat melihat Bi Tati yang sedang menggendong Baby Dam. Saking paniknya, Lela bahkan terjatuh ke atas karpet dan lupa kalau teriakannya itu tipe yang menggelegar. Semua penghuni mansion seketika kaget. Bahkan, Bara sampai terbangun dari tidurnya! "Kenapa kalian di sini?" tanya pria itu, ta
Setelah mengetik pesan itu, Bara hendak mengirimnya. Akan tetapi, pria itu ingat, ia tak boleh melakukannya! Terlebih, kata-kata Greg dan istrinya yang kebetulan merupakan dokter anak, mendadak terngiang di kepala Bara. "Perpisahan antara kamu dan Riri sebenarnya merupakan sebuah keputusan yang beresiko pada anak, terutama bayi yang baru lahir. Timingnya gak pas." "Damien perlu sosok ibu yang bisa menjadi sandarannya." Kala itu, Bara tidak mengelak. Dia yang terkenal gengsian, bahkan sudah sampai memohon pada Riri agar tetap bertahan selama 2 tahun ke depan. Tapi, dia bisa berbuat apa jika Riri malah mengancam bunuh diri kalau tidak diceraikan? Wanita itu sudah tak sabar bersatu dengan pria idamannya yang mampu membuatnya tidak merasa sepi! "Hah...." Tanpa sadar, Bara menghela napas. Dan kini, Damien sepertinya sudah bersandar pada Lela. Sepertinya, Bara harus menoleransi mahasiswinya kali ini. [Ok] balasnya singkat pada Lela. Dipijitnya kening yang mendadak terasa pen
Bukan hanya Bara yang frustasi. Lela pun sama. Setelah bimbingan yang cukup lancar itu, gadis itu terkejut mendengar Baby Damian yang terus saja menangis entah karena apa. Apakah Baby Dam sudah dikasih asi? Sudah! Saat dipompa tadi, asi-nya keluar stabil. Pakaiannya bersih. Popoknya juga baru. Lela menghela napas. Ia terus menimang dan berusaha menenangkan Baby Dam--mengabaikan pinggangnya yang mulai pegal sekali tanda-tanda haid. Ceklek! Tiba-tiba pintu kamar terbuka. "Ada apa lagi nih?" tanya Bara melihat anaknya yang terus menangis. Lela menyadari pakaian dosen sekaligus atasannya itu sudah rapi, sepertinya hendak berangkat kerja. "Saya juga tidak tahu, Pak," jawab Lela lemas, sembari terus menggendong Baby Dam. "Coba lihat mana asinya?" Lela pun menunjukkan botol Asi yang ia pompa sebelum memberi asi pada baby Dam. Namun tanpa diduga, Bara malah mencicipi Asi itu dengan santai--tidak memperhatikan bagaimana reaksi Lela yang terkejut dan malu! Apakah Bara memang tida
"Minder kenapa? Lagian kan ada Papa sama Mama yang bisa ngatur semuanya." "Ya udah sih orang udah lewat." "Bisa aja kan kalo Bara mau, kenapa kalian gak ninggalin pasangan masing-masing?" "Mom! Please, Bara udah bahagia sama pasangannya," kecam Blenda. "Maksudnya si perempuan kampungan itu?" Blenda menghela napas, ia tak suka dengan sikap ibunya yang suka merendahkan orang itu. Maklum, ia anak orang kaya dari lahir dan menikah dengan ayahnya yang merupakan salah satu penguasa di negeri ini. "Gak usah marahlah, Mami kan cuma mau kamu menyelesaikan semuanya dengan jelas. Ceraikan saja Greg yang tidak tahu diri itu." Blenda menghela napas, "Akan aku pikirkan." ••• Bara baru selesai dengan pekerjaannya siang itu, kemudian memilih untuk istirahat. Ia sudah melewatkan satu jam waktu istirahat.Rasanya sangat lelah sekali karena harus membereskan semua kekacauan itu dan memulai dari awal. Ia benar-benar kelhilangan banyak pekerja, kepercayaan klien dan semua yang terkait de
"Seperti yang kamu denger kemarin, sedang diproses." Lela pun terkejut, "Apa gak ada keringanan?" Bara menoleh pada istrinya sambil mengancingkan jasnya. "Kita bicarain setelah aku balik dari Amerika ya." Setelah itu Bara menyeret kopernya, menciun dan memeluk istrinya sejenak sebelum benar-benar pergi. Kemudian, Lela menidurkan Baby Alesha sebelum akhirnya menyusul suaminya ke lantai dasar untuk mengantarnya pergi. "Kamu buru-buru banget ya," ujar Lela menahan tangan Bara yang akan masuk ke mobil. Bara pun berbalik dan menoleh melihat istrinya yang terlihat sedang tidak ingin ditinggal. Wajahnya cemberut dengan tatapan sedih, sepertinya ia masih kepikiran apa yang menimpanya. "Sayangku, aku harus cepet sampai di sana karena ini darurat banget. Aku usahain untuk selesain secepatnya ya." Lela mengangguk dan melepaskan pegangan tangannya pada lengan sama suami. Melihat itu, Bara pun menarik Lela ke dalam pelukannya lagi dan mencium kepalanya. "Udah ya, Sayang. Aku
Lela menghela nafas melihat bagaimana media membicarakan tentangnya dan Bara. Terutama membahas soal dirinya yang pernah melakukan induksi laktasi. Banyak yang mengkritik mereka karena melakukan tindakam ilegal dan melanggar norma. Akan tetapi lewat perjanjian itu pula banyak pakar hukum yang bilang kalau itu tidak melanggar hukum. Ia sekarang pun sedang menyusui putrinya, dan teringat saat dulu menyusui Demian yang sekarang sudah mulai belajar dengan guru yang diundang ke Mansion. Terkait Damien, sebenarnya Bara sempat berpikir untuk tidak membiarkan Demian sekolah di sekolah biasa. Bara ingin Demian homeschooling saja. Lela jelas tidak setuju, karena jika itu terjadi, bisa saja Demien tidak bahagia. Artinya Lela akan setuju untuk membiarkan Demien homeschooling jika Demien yang menginginkannya, tidak ada paksaan dari mereka berdua sebagai orang tua. Lalu syaratnya, harus homeschooling yang tetap keluar rumah. Lela tidak ingin Demien tumbuh menjadi Tuan Muda yang tidak berbaur
Semua orang pun langsung terkejut dan mulai riuh dengan banyak obrolan di dalam sana. Sorotan cahaya kamera semakin menggila membuat Lela sampai harus memejamkan mata karena tidak kuat dengan silaunya yang dihasilkan dari kamera-kamera itu. Lalu Bara segera memberinya kacamata hitam untuk melindunginya. Ia benar-benar suami yang act of service. Lela dan Bara melakukan konferensi tidak membawa anak-anak, karena posisi itu tidak aman sehingga anak-anak harus dititipkan di rumah. Setelah itu, Bara pun bersuara lagi memecah keributan yang ada di sana. "Oke kita balik lagi! Sebenarnya agak aneh kalau kalian terkejut dengan fakta ini, karena sudah diungkapkan, dan sudah ada bukti. Rasanya apa yang kalian ragukan dari bukti itu karena tidak berasal dari saya langsung kan? Maka saya konfirmasi bahwa itu benar." Bara terus memberikan menarik ulur penjelasannya agar para wartawan berpikir kritis dan tidak asal menulis berita dan bertanya lagi. Namun, tentu saja itulah pekerjaan mer
"Untuk apa kalian tau?" tanya Bara balik. Sebenarnya ia main-main saja, tapi Bara akan menjelaskannya seperti kesepakatannya dengan sang istri sebelumnya. Orang yang ditanya malah bingung, sehingga Bara terkekeh melihatnya. Sebelum bicara lagi, Bara menatap mata para wartawan di sana. "Ya kalau kalian bingung menjawabnya, saya gak mau jawab. Kenapa?" Ia menjeda lagi, melihat istrinya yang duduk tenang dan terus bermain-main dengan pikiran mereka. "Ya harusnya kalian juga berpikir dong, kenapa kalian harus tahu, lalu apa sih yang membuat kalian harus tahu? Kenapa kami harus memberitahu kalian tentang apa yang tidak kami beritahu kepada kalian?" Diam lagi. Semua diam tanpa berani menjawab. "Nah hal seperti itu harusnya kalian dalami dulu sebelum bertanya. Pertanyaan kalian harus ada basisnya. Kalian tuh harus jelas membutuhkan informasi itu. Kalo cuma fomo atau viral, itu jadi hoax karena informasinya gak guna buat kalian. Lah iya, kenapa kalian harus tau? Kalau hanya ka
"Sayang...." panggil Bara dengan manja. Lela terus memunggunginya di tempat tidur karena masih kesal dengan betapa jahatnya Greg dan betapa pasifnya Bara merespon hal itu. Padahal ia selalu melihat Bara yang galak pada karyawannya dan selalu tegas, tapi terhadap sahabat-sahabatnya ia bisa bersikap lemah lembut. "Say, kok masih marah sama aku sih? Aku udah minta maaf dan aku akan coba untuk beri dia sanksi, biar nggak kebiasaan," bujug Bara. "Itu kan yang kamu omongin, tapi faktanya kamu nggak ngelakuin itu. Kamu terlalu lembek sama Dokter Greg hanya karena persahabatan yang baik. Tapi kan kamu biasanya selalu ngikutin prinsip. Masa kamu gak tega sama dia?" Bara menghela napas, istrinya mulai melakukan konfrontasi. "Masalahnya aku juga terbatas sama keinginan dari Blenda. Dia nggak pengen aku ngungkapin permasalahan dalam rumah tangga mereka." "Ya tapi kamu dirugikan. Ini bukan hanya tentang Blenda, tapi kan kamu juga butuh keadilan. Kontrak yang harusnya dia tanda tangani seb
"Maaf... aku udah janji sama Blenda, kalau aku nggak akan membongkar hal itu." Lela merasa tidak adil, tapi bagaimana lagi semuanya sudah terjadi dan Blenda meminta agar mereka tidak buka mulut. Saat memikirkan itu, tiba-tiba. Bruk! Bara tergeletak di atas soda dengan lemas. "Mas!" Lela langsung berusaha menaikkan Bara ke atas kasur. Bara masih setengah sadar sehingga Lela tidak benar-benar mengangkat Bara sepenuunya. Ia kemudian menghubungi dokter keluarga Raniero yang lain. Sembari menunggu dokter datang, Lela pun mencoba untuk mengompres Bara dan memijit pelan-pelan badannya, agar ia lebih rileks. Namun, Bara masih mendengar suara Lela yang terus mengoceh karena sangat mengkhawatirkan suaminya. "Aku cuma butuh istirahat, Sayang. kamu nggak usah khawatir." Lela mendelik menatap suaminya, tidak setuju. "Hanya butuh istirahat apanya?! Kamu udah ngedrop banget! Kamu udah kecapean dari kemarin-kemarin. Kenapa sih, kamu susah banget kalau diajak istirahat? Kamu selalu p
Bara meminta istrinya untuk tenang, sementara itu ia akan mengurus semuanya. Meski disuruh tenang di rumah, Lela tentu tak bisa melakukannya. Bagaimanapun ia perduli dengan suaminya yang sedang terkena musibah. Lagian apa-apaan Dinda dan Greg itu? Keduanya sudah diberi ruang untuk intropeksi, tapi malah mengabaikannya dan membuat perkara. Lela fokus kembali dengan anak-anaknya, menemani mereka dan menghabiskan waktu dengan mereka, sehingga masalah yang tadi pagi ia ketahui tidak lagi mengganggunya karena terlalu asik dengan anak-anaknya. Namun malam harinya, ketika Arum yang menemaninya mengurus anak-anaknya. Seperti biasa Bi Tati mulai mengabaikan beberapa tugasnya. Akan tetapi Lela masih saja mempertahankannya, ia belum mengatakan semua itu pada Bara karena takut Bara tak percaya juga. Di kamar Damien saat Damien dan Alesha tidur. Harusnya tidur siang, karena terlalu asyik bermain sore hari setelah mandi mereka berdua ketiduran. Apalagi Baby Alesha sedang lucu-lucunya. Arum
"Tidak ada yang terjadi...." gumam Lela. Saat itu pintu kamarnya terbuka datanglah sosok suaminya yang habis pulang dari bisnisnya. Kekhawatirannya yang sebelumnya ternyata hanya bentuk traumanya. Tiba-tiba sebelum Bara mengucapkan sapaan, Lela langsung memeluknya. Bruk! Bara terkejut, tetapi perlahan membalas pelukan istrinya. "Kenapa, Sayangku?" tanya Bara. "Gak papa, pingin peluk aja." Bara pun menghela napas dan melepaskan pelukan mereka, menatap istrinya dengan seksama. Ada tanda kekhawatiran di sana, ia pun merasa ada yang tidak beres. "Oke, aku bersih-bersih dulu. Abis itu kita tidur," ujarnya mengelus rambut istrinya lembut. Lela pun mengangguk, melepaskan tangan suaminya sebelum akhirnya naik ke tempat tidur. Setelah Bara selesai bersih-bersih, Lela malah sudah tidur duluan. Ia pun tersenyum dan segera menyusul istrinya. Ia tidur sambil memeluk Lela, rasanya sangat tenang dan nyaman. "Semuanya akan baik-baik saja, Sayangku," gumam Bara sebelum tidur. •••