Untungnya, Bi Tati menyusul masuk dengan teko di tangannya.
Wanita paruh baya itu langsung menyapa mantan Nyonya mansion itu yang sedang menatap Lela.
"Selamat datang, Nyonya. Mau ketemu sama Tuan Muda ya?" tanya Bi Tati. Jujur, Lela kaget karena Bi Tati terlihat sangat berani menghadapi Riri yang memiliki wajah judes itu.Bi Tati bahkan tak peduli dengan Riri yang terlihat kesal.
"Hallo, kamu pengasuh barunya?" tanya wanita itu menatap tajam Lela. Lela mengangguk, "Betul, Nyonya." "Gak pelu panggil Nyonya, aku bukan istri Bos kalian lagi," ujarnya lalu maju untuk melihat putranya. Baby Dam terlihat menatapnya dengan heran seolah menelisik siapa yang ada di depannya. Melihat respon Baby Dam yang pasif, wajah Riri seolah kecewa dan langsung melepaskan tangannya dari kepala si bayi. "Ck! Saya pamit dulu!" ujarnya pergi dari sana. Bi Tati pun mengikutinya, meninggalkan Lela dengan Baby Dam. Melihat kepergian sang ibu, Baby Dam seolah tak merasa terusik, ia hanya diam dan menikmati bermain sendiri dengan dunianya. Entah kenapa Lela merasa tak nyaman, hatinya terusik dan merasa prihatin. Namun, Baby Dam sama sekali tidak merasakan apa-apa, ia benar-benar mengabaikan ibu kandungnya. "Sayang, kalau besok kamu sudah besar, kamu temui Mama kamu terus bilang kalo kamu sayang sama dia, ya," ujar Lela. Ia mencium kening Baby Dam dengan hikmat, membuat Baby Dam malah tertawa geli. Siangnya, Lela pun menuju kampus untuk bimbingan dengan Bara seperti yang sudah disepakati. Meski mereka tinggal di atap yang sama, Bara tetap menyarankan untuk membuat janji di kampus bukan di rumah. Hal itu bertujuan untuk menegaskan profesionalismenya sebagai seorang dosen dan mahasiswa bimbingan. Jadi di sinilah Lela--menunggu Bara melihat hasil revisiannya.Pria itu terlihat mengetik di laptopnya, tetapi Lela tidak tau apa yang ia kerjakan.
Hanya saja, kali ini Lela tidak diwajibkan untuk mencetak hasil revisinya dan hanya menyerahkan soft copy.
Ting! "Sudah saya kirimkan, silahkan kamu pahami, kemudian tanyakan jika ada yang perlu kamu ketahui!" perintah Bara--memecah keheningan. "Baik, Pak, terima kasih." Lela lantas membuka emailnya dan melihat ada file yang tadi dikoreksi Bara. Padahal, ia sudah optimis bahwa ia sudah mengikuti kiat-kiat yang diberikan Bara sebelumnya. Tetapi, ia salah lagi.Ada banyak sekali coretan di sana...!
Melihat Bara yang tampaknya sibuk mengerjakan sesuatu, Lela jadi ragu. Tapi, dia ingin sekali memprotes ini!"Pak, mohon maaf izin bertanya. Di bab tiga ini, saya sudah mengikuti seluruh catatan Bapak yang kemarin," ujarnya, "Tapi, kenapa--"
Belum sempat menyelesaikan ucapan, Bara sudah memotongnya, "Mana catatan saya yang kemarin?"
"Tidak saya bawa Pak, ketinggalan di rumah," ujar Lela menyesal. "Kalau mau protes, sertakan bukti. Udah kerjain aja sesuai yang saya koreksi!" Lela mengepalkan tangan menahan, kesal.Rasanya, Bara sedang mempermainkannya!
Padahal, gadis itu sudah berusaha memenuhi standar yang Bara sampaikan padanya. Tapi, kenapa malah sekarang ia membuat revisiannya semakin banyak dan rumit?
"Tapi, kemarin Bapak menulis kalau menggunakan data ini gak apa-apa, sekarang kenapa jadi tidak bisa?" protes Lela lagi. "Lela, kalo kamu protes terus, kamu gak selesai-selesai. Saya tunggu besok siang!" ungkap Bara langsung pergi dari sana. Lela terdiam. Jelas, dirinya stress.Segera, dia berkutat di perpustakaan--mencari referensi, mencatat yang ia perlukan, dan mengetik dengan gila-gilaan!
Dia merasa Bara sengaja memberikan kasus yang jarang ditangani sehingga informasinya sangat langka.
Dan Lela ... harus mengumpulkan semua itu besok siang!
"Ya Allah... begini amat punya Dosen Pembimbing," keluhnya berbisik.Kepalanya mau pecah. Rasanya menyesal mengambil topik aneh ini.
Tapi, dia pun sadar Bara juga tidak akan membiarkannya mengerjakan topik yang mainstream.
Pria itu tipe Dosen yang selalu ingin 'beda'. Keluhan itu bukan hanya ia yang rasakan, tapi semua mahasiswa bimbingannya. Mereka sampai membuat grup chat tanpa Bara untuk menggunjing pria itu dengan bebas.Tapi, Lela selama ini diam saja.
Sekarang, dia rasanya ingin join misuh-misuh bersama mereka.
Namun, siapa sangka kalau stres akan skripsi ini akan berdampak besar bagi Lela dan Bara?
Sebab, ini mempengaruhi banyaknya asi yang ia hasilkan untuk Baby Dam!
"Oeeeee!"
Baby Dam menangis saat disusui oleh Lela, padahal biasanya ia akan gembira saat menerima susu darinya.
"Ada apa ini?" tanya Bi Tati.
Lela menggeleng, bingung. "Gak tau Bi, aku kira asiku gak enak, tapi rasanya gak berubah kok."
"Loh kenapa ya?" tanya Bi Tati, lalu mengangkat Baby Dam dari gendongan Lela dan menimangnya.
Ia kira mungkin Baby Dam sedang bosan atau tidak nyaman?
Diceknya juga popok Baby Dam yang ternyata baru diganti. Bayi itu juga sudah mandi.
Bi Tati bingung. Dia pun mengajak Baby Dam ke taman, lalu bermain dan berputar-putar di sana, tapi tangisnya belum juga reda.
Bahkan, sampai Bara pulang!
Melihat anaknya menangis, pria itu pun menghampirinya dan mencoba mengangkatnya, tapi Baby Dam memberontak dan mencari seseorang sambil menangis.
"Lela mana, Bi?" tanya Bara to the point.
"Di kamar, Tuan. Lagi mompa Asi," balas Bi Tati.
Entah mengapa, wajah Bara kelihatan sekali mengeras melihat anaknya tantrum. Ia pun segera menghampiri kamar Baby Dam yang agak terbuka sedikit, di sana Lela sedang membelakangi pintu.
Sret!
Lela pun kaget dan menoleh, ia tak menyangka kalau yang datang Bara.
"Pak...?"
Panik, Lela segera merapihkan bajunya dan hijabnya, ia sungguh malu dengan posisi sedang memompa asi meskipun dari belakang.
Sementara itu, Bara yang pun terkejut. Dia bahkan sampai terbengong! "Kamu..."
Kamu apa, Bar? Komen yuk!
"Kamu.. kalo udah selesai, cepet susuin Baby Dam. Jangan males-malesan!" ujarnya judes, setelah berhasil mengendalikan diri. Tanpa basa-basi, pria itu berbalik dan keluar kamar. Lela sendiri hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Tapi, entah mengapa rasanya dia jadi malu dan takut menemui Bara lagi! Untungnya, Lela berhasil memompa asi meski tidak sebanyak biasanya. Gadis itu pun keluar untuk mencari Baby Dam. Namun siapa sangka dia malah menemukan Dosen sekaligus Bosnya itu sedang menunggunya sambil mencoba menenangkan Baby Dam yang terus menangis. Tatapan Bara sudah seperti namanya--membara! Lela sampai takut saat mengulurkan tangan untuk menggendong Baby Dam. Diambilnya Baby Dam lalu diberikannya bayi itu, asi di kamar. Sementara itu, Bara pergi ke kamar untuk bersih-bersih. Namun belum sempat masuk kamar, Bara langsung disuguhkan pemandangan Baby Dam tantrum. Putranya itu menangis kencang. Segera saja, Bara menghampiri Lela dan Baby Dam. "Astagah, La! Kenapa nangis lagi?
Sang dokter tertawa. Ternyata, dia bercanda. Hanya saja, gara-gara konsultasi tadi, Lela dan Bara masih canggung, bahkan saling diam selama perjalanan pulang. Syukurlah tadi Lela sudah diajari stimulasi oleh dokter sehingga kini Baby Dam bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang. Akan tetapi, mereka berdua tak sengaja bertemu di dapur saat Lela sedang makan! "Ehem..." deham Bara menormalkan suara, "Kita perlu bicara." "Di--di mana, Pak?" tanya Lela berusaha menelan makanannya dengan susah payah. "Di kamar Baby Dam, saya mau Bi Tati juga dengar." "Baik Pak," balas Lela, meski bingung. Segera dia berusaha menghabiskan makannya meski agak sulit karena konsentrasinya terpecah saat memperhatikan Bara yang mengambil air minum di dekatnya. Jujur, suasananya sangat canggung, sampai Lela rasanya mau pingsan saja, biar bisa kabur. "Oke. Setelah kamu makan, langsung naik." Lela tersentak kaget dari lamunannya, tapi ia lalu mengangguk dan menatap kepergian Bosnya dengan perasaan kh
"Kamu belum revisi ini, kan?" Lela mengangguk. "Belum semua, Pak." Bara menatap hasil revisian Lela yang masih seberantakan sebelumnya. "Lela, saya tau kamu sibuk dengan anak saya, tapi apa kamu mau minta simpati saya karena kamu yang mengurusnya? Kamu pikir dengan itu saya akan menoleransi segala kesalahan kamu?" ucapnya pedas. "Enggak Pak, saya tau saya salah. Tapi beri waktu saya lagi, semalam saja untuk merevisi lagi." "Kamu kira saya akan menyetujui itu?" Lela menggeleng lagi, tetapi kali ini ia diam tanpa meminta keringanan waktu. Ia tau bahwa permohonannya hanya akan terbuang sia-sia. Bara tetaplah Bara yang disiplin dan tidak bisa menoleransi kesalahan sekecil apapun. "Kalau gitu, saya tunggu sejam dari sekarang," putus Bara. Ia menyerahkan laptopnya dan langsung menyuruh Lela merevisi skripsi itu di laptopnya. Tanpa pikir panjang, Lela langsung merevisinya. Saking fokusnya, ia sampai tidak menyadari kalau ia masih ada di ruangan sang dosen. Meski begitu, usa
"Astagah!!!" Dika ikut kaget saat Bara kaget. Ia tahu Bara sedang melamun, tetapi ia tak pernah melihat Bosnya kaget sampai seperti itu. "Ma--maaf, Bos. Tadi saya sudah mengetuk pintu tapi Anda sepertinya sedang serius," ujar Dika, takut bosnya marah. Bara berdeham, lalu mengangguk. "Ada apa?" "Ini draft Tim Perencana yang tadi pagi Anda minta," jawab Dika menyerahkan file tersebut. Bara pun menerimanya dan melihat perencanaan yang mereka susun. Lalu ia mengangguk, merasa cukup dengan file tersebut. Namun, moodnya turun setelah mendengar ucapan Dika selanjutnya, "Oh ya, Pak. Untuk acara makan malam dengan Nona Cantika, jadi kan? Saya disuruh Tuan Besar untuk menanyakan kepastiannya." Ck! Ayahnya terus menjadwalkannya untuk bertemu dengan anak perempuan kolega bisnisnya. "Bilang sama Papa, saya agak gak enak badan. Saya ingin pulang dan langsung istirahat." "Baik, Pak," balas Dika sebelum akhirnya pamit pergi. Bara menyenderkan badannya di kursi. Ia ingin istirahat saja se
Mendengar ucapan asal Alex, Bara menggelengkan kepala. "Jaga ucapan lo ya, Tokek! Gue sama sekali gak fokus sama dianya, gue justru bingung sama diri gue sendiri yang tertarik sama dia!" "Oke-oke, jadi lo gak terima dengan perasaan itu?" Bara mengangguk, "Lo bayangin aja, masa gue suka sama dia?" umpatnya. Saking frustasinya, dosen galak itu pun minum banyak wine sampai Alex kualahan menghentikannya. Pria itu sampai meminta wanita penghibur yang dipesannya untuk pergi! Sepertinya, Bara benar-benar galau. Tapi jujur, baru kali ini ia melihat Bara bertanya soal permasalahan yang mudah tapi ia seolah terus menyangkal. Bara tak mungkin tak tau kalau ia sedang tertarik dengan seorang wanita secara khusus, tetapi berusaha menyangkalnya dengan keras. Coba bayangkan dua botol wine dihabiskannya, sampai mabuk? "Udah cukup, anjir! Lu udah mabok!" ucap Alex, menghentikannya. Sahabat Bara itu langsung meminta pelayan night club memindahkan semua gelas dan botol alkohol di mejanya dan m
Sayangnya, Bara tak bisa berkonsentrasi karena alkohol! Melihat itu, Alex menghela napas dan membawanya pulang ke mansion mewah milik ayah Damian itu. Maka, ketika pulang, pegawai di mansion sudah tertidur, kecuali satu orang. Lela! Dan gadis itu sangat takut melihat Bara yang pulang dipapah oleh temannya. Terlebih, bau alkohol menguar dari keduanya. Gadis polos itu sampai bengong. Bara yamg biasanya bersikap dingin dengan wajah datar, sekarang tersenyum teler. "Hai!" Suara teman Bara menyadarkan Lela dari lamunan. "Hai!" balasnya, "Anu... Pak Bara kenapa ya?" Jujur, dia sedikit khawatir. Namun, pria yang memapah Bara itu tak menjawab hanya senyum menatapnya. Tanpa basa-basi, ia kemudian masuk ke ruang tamu dan menidurkan Bara di sofa yang ada di sana. "Gak apa-apa, Bara cuma mabuk. Kamu baru pertama liat orang mabuk?" Lela sontak mengangguk polos, ia juga agak was-was dengan Alex. Meski wajahnya tampan, dia terlihat memakai pakaian seperti bad boy. Jaket kulit,
"Ehmm..." Lela merasakan dekapan yang sangat erat di sekeliling tubuhnya. Ini pertama kalinya semenjak ia remaja merasakan pelukan yang seperti ini. Rasanya seperti tali yang mengikat, tapi tali itu terlalu besar dan hangat. Teksturnya tidak keras, tapi tidak lembek juga. Asing dan aneh, tapi kok nyaman? Ingin mencari tahu, Lela perlahan mulai membuka mata. Namun, pemandangan di depannya membuat gadis itu hampir menjerit! Ada Bara di sampingnya yang masih tidur dan memeluk Lela dengan hangat. Hah? Panik, Lela pun mencoba melepaskan tangan pria itu dari tubuhnya. Untung, tak sesulit kemarin, sehingga dia bisa menjauh. Hanya saja.... "Aaaaaaa!" Bugh! Lela gagal untuk tidak berteriak saat melihat Bi Tati yang sedang menggendong Baby Dam. Saking paniknya, Lela bahkan terjatuh ke atas karpet dan lupa kalau teriakannya itu tipe yang menggelegar. Semua penghuni mansion seketika kaget. Bahkan, Bara sampai terbangun dari tidurnya! "Kenapa kalian di sini?" tanya pria itu, ta
Setelah mengetik pesan itu, Bara hendak mengirimnya. Akan tetapi, pria itu ingat, ia tak boleh melakukannya! Terlebih, kata-kata Greg dan istrinya yang kebetulan merupakan dokter anak, mendadak terngiang di kepala Bara. "Perpisahan antara kamu dan Riri sebenarnya merupakan sebuah keputusan yang beresiko pada anak, terutama bayi yang baru lahir. Timingnya gak pas." "Damien perlu sosok ibu yang bisa menjadi sandarannya." Kala itu, Bara tidak mengelak. Dia yang terkenal gengsian, bahkan sudah sampai memohon pada Riri agar tetap bertahan selama 2 tahun ke depan. Tapi, dia bisa berbuat apa jika Riri malah mengancam bunuh diri kalau tidak diceraikan? Wanita itu sudah tak sabar bersatu dengan pria idamannya yang mampu membuatnya tidak merasa sepi! "Hah...." Tanpa sadar, Bara menghela napas. Dan kini, Damien sepertinya sudah bersandar pada Lela. Sepertinya, Bara harus menoleransi mahasiswinya kali ini. [Ok] balasnya singkat pada Lela. Dipijitnya kening yang mendadak terasa pen