"Lela? Ngapain kamu di rumah saya?"
Mendengar itu, Lela seketika merapikan bajunya. "Ja–jadi... Bapak adalah Ayah dari Baby Dam?" tanyanya–memastikan.
Melihat Bara mengangguk, Lela tercengang.
Ruangan seketika hening dan baru terpecah karena Baby Dam mulai menangis.
Jadi, Lela langsung bereaksi untuk menggendongnya dan memberikan Asi kembali untuk Baby Dam.
Lela bahkan lupa kalau Bara masih di sana.
Untungnya, pria dingin itu peka dan langsung keluar dari kamar anaknya agar Lela leluasa memberikan asi pada anaknya.
Hanya saja, wajah Bara tampak mengeras. saat menemui asistennya.
"Dika, kamu apa-apaan sih, dia itu mahasiswa bimbingan saya! Kok bisa kamu sampai nggak tahu?!"
Dika sendiri tampak terkejut. "Mohon maaf Pak, tapi saya tidak mendapatkan informasi itu. Hanya, yang saya tahu, Mbak Lela atau Laila itu memang kuliah di Universitas yang sama dengan tempat Anda mengajar, tapi saya tidak tahu kalau dia anak bimbingan Anda," jelasnya.
Ctas!
Bara membanting tempat pulpennya hingga jatuh dan pecah.
Dika yang terbiasa dengan itu tidak gentar. Ia tahu bosnya tidak sepenuhnya menyalahkannya.
"Masalahnya dia adalah mahasiswa saya, gimana jadinya kalau dia bekerja sebagai ibu Asi dari anak saya?"
"Maafkan saya Pak, tidak mencari informasi dengan lengkap, tapi ... bukannya Anda juga melihat informasi Mbak Lela?"
Bara menghela napas kasar. "Saya pikir hanya namanya yang sama karena saya tidak mengira kalau dia benar-benar mau menjadi Ibu Asi dengan statusnya yang masih mahasiswa."
"Salah saya tidak membuka foto itu," ujar pria itu pada akhirnya.
Bara tampak merutuki kesilapannya. Dika sendiri hanya memilih diam. Ia mengerti bagaimana sibuknya Bara karena masalah bisnis di Singapur, mmungkin itulah yang menyebabkannya tak focus pada urusan Baby Dam.
"Bagaimana kalau kita batalkan kontrak ini?" tanya Bara–tiba-tiba.
"Mudah membatalkan kontrak, tapi masalahnya induksi laktasi itu sudah berjalan, Pak. Bahkan jika Mbak Lela tidak menyusui Tuan Muda. Air asinya akan terbuang sia-sia atau berakhir di bank asi. Lalu kita harus mencari orang lain lagi," jelas Dika lesu, “dan belum tentu juga Tuan Muda bisa menerimanya.”
"Atau mungkin Bapak bisa bicara dulu dengan Mbak Lela, agar semuanya bisa clear?" saran sekretaris pria itu pada Bara.
Bara akhirnya mengangguk dan memberi kode pada Dika untuk menjalankan tugasnya.
Dia menunggu Lela di ruangannya dan tak lama gadis itu masuk menemuinya. "Permisi!"
“Silakan duduk.”
“Baik, Pak.”
Setelahnya, gadis itu duduk di hadapan Bara.
Jika biasanya Bara akan kesal melihat gadis itu yang selalu gagal merevisi skripsinya, kini pria itu malah merasa berdosa karena sudah memanfaatkan mahasiswanya sendiri untuk hal pribadinya.
Penampilan Lela juga berubah. Ia bahkan menggunakkan blazer untuk menutupi dadanya terkadang basah karena tidak ditampung.
Bara menghela napas kasar. "Tolong jelaskan apa yang terjadi. Kenapa kamu daftar padahal kamu gak punya asi...." Merasa salah bicara, pria itu buru-buru meralat. "Kami punya kriteria dan sudah tertulis. Jadi, kenapa kamu daftar? Kamu kan masih kuliah dan belum menikah?"
Lela mengangguk, ia bingung harus menjelaskan dengan cara seperti apa.
"Maaf sebelumnya Pak, saya salah baca dan waktu itu saya akan pergi sebelum Baby Dam melihat saya, lalu dia gak mau lepas dari saya."
"Saya juga baru tahu kalau nama keluarga Anda adalah Raniero, karena di dalam penulisan nama di kampus, Anda hanya menggunakan inisial 'R'."
Bara seketika bersandar di kursinya dan memijit keningnya.
Ia frustasi menghadapi semua kesalahan-kesalahan kecil yang berdampak besar seperti ini.
Padahal, biasanya Bara hati-hati. Namun, bisa-bisanya dia melewatkan membaca data Lela.
Walau memang sedang tidak fokus gara-gara mantan istrinya membuat rumor tak jelas di media sosial dan membuat citranya tercoreng, seharusnya Bara tetap melakukannya.
"Lalu bagaimana? Apakah kamu akan membatalkan kontraknya atau...?"
"Sebenarnya, tadi Mas Dika juga udah menyampaikan hal itu. Kontrak bisa dengan mudah dibatalkan, tapi saya sudah terlanjur memproduksi Asi. Jadi biar gak mubazir, sepertinya kita lanjutkan saja, Pak," jelas Lela, "terlebih, saya juga memiliki utang pada Anda."
Bara sontak mengerutkan kening. Di satu sisi lega, tapi di sisi lain moralnya... "Kamu yakin?" tanya pria itu ragu.
Lela mengangguk. "Iya, Pak. Saya sudah memikirkan banyak konsekuensi sebelum menyetujui itu."
"Jadi, kamu siap untuk jadi Ibu Asi Damian 2 tahun ke depan?"
Sebenarnya pertanyaan itu tidak perlu dijawab karena sudah pasti ia harus menyetujuinya, tapi Lela tetap menjawabnya dengan sopan, "Iya, saya siap, Pak."
"Oke, karena kamu sudah siap, mari kita bicarakan teknisnya dan rahasiakan kontrak ini pada siapapun itu."
"Baik, Pak."
Setelahnya, mereka terdiam sejenak.
Bara juga sedang melihat data Lela dan mengepaskannya. Dalam diam, Lela sebenarnya sedang berpikir keras.
Berhadapan dengan Bara di kampus, sudah cukup membuat ia stress karena temperamennya yang tidak bagus. Akan tetapi, dua tahun ke depan ia akan sering terlibat dengan pria ini setiap saat karena mereka bisa bertemu setiap saat di mansion mewah itu.
Mampukah dia...?
'Pilihanku gak salah, kan?' batinnya campur aduk, 'tapi, di mana lagi aku mendapat kerja dengan gaji sebesar ini?'
Gimana menurut kalian tentang pilihan Lela?
Untungnya ... setelah pertemuan itu, Lela berhasil menghindari Bara. Dia hanya berkomunikasi lewat chat atau email untuk mengirim dokumen revisinya. Tampaknya, Bara juga berlaku demikian. Hanya saja, tepat tengah malam, Bara yang baru pulang dari kantor mampir ke kamar Baby Dam yang didesign agar diapit kamar utama yang ditempatinya dan kamar pengasuhnya. Namun, Bara tak menyangka jika Lela tertidur di sana dengan posisi memberikan asi padanya. 'Shit...' ucapnya dalam hati. Seketika, dia teringat bahwa mahasiswinya itu sudah menjadi ibu susu putranya. Masalahnya ... posisi Lela miring menghadap ke pintu, sehingga sebagian dada gadis itu terlihat! Srak! Bara langsung melemparkan jasnya ke arah Lela sebelum mendekat untuk memindahkan Baby Dam ke keranjang bayinya. Sebisa mungkin, dia tak melihat aset mahasiswinya itu. Sayangnya, saat ia akan mengambil Baby Dam, tiba-tiba Lela bangun. "Aaaaa!" teriaknya, kaget. Matanya melebar dan penuh tuduhan. "Oeeek!" Gara-gara teriakan
Untungnya, Bi Tati menyusul masuk dengan teko di tangannya.Wanita paruh baya itu langsung menyapa mantan Nyonya mansion itu yang sedang menatap Lela. "Selamat datang, Nyonya. Mau ketemu sama Tuan Muda ya?" tanya Bi Tati. Jujur, Lela kaget karena Bi Tati terlihat sangat berani menghadapi Riri yang memiliki wajah judes itu.Bi Tati bahkan tak peduli dengan Riri yang terlihat kesal. "Hallo, kamu pengasuh barunya?" tanya wanita itu menatap tajam Lela. Lela mengangguk, "Betul, Nyonya." "Gak pelu panggil Nyonya, aku bukan istri Bos kalian lagi," ujarnya lalu maju untuk melihat putranya. Baby Dam terlihat menatapnya dengan heran seolah menelisik siapa yang ada di depannya. Melihat respon Baby Dam yang pasif, wajah Riri seolah kecewa dan langsung melepaskan tangannya dari kepala si bayi. "Ck! Saya pamit dulu!" ujarnya pergi dari sana. Bi Tati pun mengikutinya, meninggalkan Lela dengan Baby Dam. Melihat kepergian sang ibu, Baby Dam seolah tak merasa terusik, ia hanya diam d
"Kamu.. kalo udah selesai, cepet susuin Baby Dam. Jangan males-malesan!" ujarnya judes, setelah berhasil mengendalikan diri. Tanpa basa-basi, pria itu berbalik dan keluar kamar. Lela sendiri hanya bisa mengangguk, mengiyakan. Tapi, entah mengapa rasanya dia jadi malu dan takut menemui Bara lagi! Untungnya, Lela berhasil memompa asi meski tidak sebanyak biasanya. Gadis itu pun keluar untuk mencari Baby Dam. Namun siapa sangka dia malah menemukan Dosen sekaligus Bosnya itu sedang menunggunya sambil mencoba menenangkan Baby Dam yang terus menangis. Tatapan Bara sudah seperti namanya--membara! Lela sampai takut saat mengulurkan tangan untuk menggendong Baby Dam. Diambilnya Baby Dam lalu diberikannya bayi itu, asi di kamar. Sementara itu, Bara pergi ke kamar untuk bersih-bersih. Namun belum sempat masuk kamar, Bara langsung disuguhkan pemandangan Baby Dam tantrum. Putranya itu menangis kencang. Segera saja, Bara menghampiri Lela dan Baby Dam. "Astagah, La! Kenapa nangis lagi?
Sang dokter tertawa. Ternyata, dia bercanda. Hanya saja, gara-gara konsultasi tadi, Lela dan Bara masih canggung, bahkan saling diam selama perjalanan pulang. Syukurlah tadi Lela sudah diajari stimulasi oleh dokter sehingga kini Baby Dam bisa tidur nyenyak dengan perut kenyang. Akan tetapi, mereka berdua tak sengaja bertemu di dapur saat Lela sedang makan! "Ehem..." deham Bara menormalkan suara, "Kita perlu bicara." "Di--di mana, Pak?" tanya Lela berusaha menelan makanannya dengan susah payah. "Di kamar Baby Dam, saya mau Bi Tati juga dengar." "Baik Pak," balas Lela, meski bingung. Segera dia berusaha menghabiskan makannya meski agak sulit karena konsentrasinya terpecah saat memperhatikan Bara yang mengambil air minum di dekatnya. Jujur, suasananya sangat canggung, sampai Lela rasanya mau pingsan saja, biar bisa kabur. "Oke. Setelah kamu makan, langsung naik." Lela tersentak kaget dari lamunannya, tapi ia lalu mengangguk dan menatap kepergian Bosnya dengan perasaan kh
"Kamu belum revisi ini, kan?" Lela mengangguk. "Belum semua, Pak." Bara menatap hasil revisian Lela yang masih seberantakan sebelumnya. "Lela, saya tau kamu sibuk dengan anak saya, tapi apa kamu mau minta simpati saya karena kamu yang mengurusnya? Kamu pikir dengan itu saya akan menoleransi segala kesalahan kamu?" ucapnya pedas. "Enggak Pak, saya tau saya salah. Tapi beri waktu saya lagi, semalam saja untuk merevisi lagi." "Kamu kira saya akan menyetujui itu?" Lela menggeleng lagi, tetapi kali ini ia diam tanpa meminta keringanan waktu. Ia tau bahwa permohonannya hanya akan terbuang sia-sia. Bara tetaplah Bara yang disiplin dan tidak bisa menoleransi kesalahan sekecil apapun. "Kalau gitu, saya tunggu sejam dari sekarang," putus Bara. Ia menyerahkan laptopnya dan langsung menyuruh Lela merevisi skripsi itu di laptopnya. Tanpa pikir panjang, Lela langsung merevisinya. Saking fokusnya, ia sampai tidak menyadari kalau ia masih ada di ruangan sang dosen. Meski begitu, usa
"Astagah!!!" Dika ikut kaget saat Bara kaget. Ia tahu Bara sedang melamun, tetapi ia tak pernah melihat Bosnya kaget sampai seperti itu. "Ma--maaf, Bos. Tadi saya sudah mengetuk pintu tapi Anda sepertinya sedang serius," ujar Dika, takut bosnya marah. Bara berdeham, lalu mengangguk. "Ada apa?" "Ini draft Tim Perencana yang tadi pagi Anda minta," jawab Dika menyerahkan file tersebut. Bara pun menerimanya dan melihat perencanaan yang mereka susun. Lalu ia mengangguk, merasa cukup dengan file tersebut. Namun, moodnya turun setelah mendengar ucapan Dika selanjutnya, "Oh ya, Pak. Untuk acara makan malam dengan Nona Cantika, jadi kan? Saya disuruh Tuan Besar untuk menanyakan kepastiannya." Ck! Ayahnya terus menjadwalkannya untuk bertemu dengan anak perempuan kolega bisnisnya. "Bilang sama Papa, saya agak gak enak badan. Saya ingin pulang dan langsung istirahat." "Baik, Pak," balas Dika sebelum akhirnya pamit pergi. Bara menyenderkan badannya di kursi. Ia ingin istirahat saja se
Mendengar ucapan asal Alex, Bara menggelengkan kepala. "Jaga ucapan lo ya, Tokek! Gue sama sekali gak fokus sama dianya, gue justru bingung sama diri gue sendiri yang tertarik sama dia!" "Oke-oke, jadi lo gak terima dengan perasaan itu?" Bara mengangguk, "Lo bayangin aja, masa gue suka sama dia?" umpatnya. Saking frustasinya, dosen galak itu pun minum banyak wine sampai Alex kualahan menghentikannya. Pria itu sampai meminta wanita penghibur yang dipesannya untuk pergi! Sepertinya, Bara benar-benar galau. Tapi jujur, baru kali ini ia melihat Bara bertanya soal permasalahan yang mudah tapi ia seolah terus menyangkal. Bara tak mungkin tak tau kalau ia sedang tertarik dengan seorang wanita secara khusus, tetapi berusaha menyangkalnya dengan keras. Coba bayangkan dua botol wine dihabiskannya, sampai mabuk? "Udah cukup, anjir! Lu udah mabok!" ucap Alex, menghentikannya. Sahabat Bara itu langsung meminta pelayan night club memindahkan semua gelas dan botol alkohol di mejanya dan m
Sayangnya, Bara tak bisa berkonsentrasi karena alkohol! Melihat itu, Alex menghela napas dan membawanya pulang ke mansion mewah milik ayah Damian itu. Maka, ketika pulang, pegawai di mansion sudah tertidur, kecuali satu orang. Lela! Dan gadis itu sangat takut melihat Bara yang pulang dipapah oleh temannya. Terlebih, bau alkohol menguar dari keduanya. Gadis polos itu sampai bengong. Bara yamg biasanya bersikap dingin dengan wajah datar, sekarang tersenyum teler. "Hai!" Suara teman Bara menyadarkan Lela dari lamunan. "Hai!" balasnya, "Anu... Pak Bara kenapa ya?" Jujur, dia sedikit khawatir. Namun, pria yang memapah Bara itu tak menjawab hanya senyum menatapnya. Tanpa basa-basi, ia kemudian masuk ke ruang tamu dan menidurkan Bara di sofa yang ada di sana. "Gak apa-apa, Bara cuma mabuk. Kamu baru pertama liat orang mabuk?" Lela sontak mengangguk polos, ia juga agak was-was dengan Alex. Meski wajahnya tampan, dia terlihat memakai pakaian seperti bad boy. Jaket kulit,