Share

Nyaris Di Penjara

Author: cobaltpen
last update Last Updated: 2025-02-07 10:18:47

Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.

Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya.

"Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. 

"Lihat gambar yang aku buat!"

Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu.

"Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.

Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. 

Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam.

"Dimana bayi itu," ucapnya heran. 

Dengan langkah santai, dia berjalan menuju dapur tempat Liora biasa sibuk mengurus sarapan anak-anak. Dan benar saja, perempuan bertubuh mungil itu tengah mencuci beberapa piring, rambutnya yang dikuncir tampak sedikit berantakan.

"Liora," panggil Isyana sambil menyandarkan tubuh ke pintu. 

"Kau masih ingat, bayi yang ku bawa kesini tadi malam? Dimana dia sekarang?" tanya Isyana. 

Liora menoleh sebentar sebelum kembali ke piringnya. "Oh bayi itu, sudah dijemput ayahnya tadi malam."

Isyana mengangkat alis. "Benarkah? Cepat sekali,"

Liora mengangguk. "Itu bukan bayi buangan melainkan bayi yang hilang. Ayahnya mencarinya sampai mengerahkan puluhan bodyguard. Dan kau tau?"

"Apa?"

"Ayah bayi itu bukan orang sembarangan,"

"Maksudmu bukan orang sembarangan?"

"Ayahnya adalah konglomerat. Tapi aku lupa menanyakan namanya,"

Isyana hanya mengangguk. Ia sudah menduga bayi itu bukan dari keluarga biasa. Pakaian yang dikenakan, gelang kecil bertuliskan namanya, bahkan ekspresi wajahnya—semua mencerminkan bahwa dia berasal dari lingkungan yang berkecukupan.

"Terlepas dari itu semua, semoga kejadian yang sama tidak terulang," Isyana menghela napas pendek. 

"Yang penting sekarang dia aman." Pungkasnya.

Setelahnya, dia kembali ke tugasnya. Mengecek stok perlengkapan anak-anak, memastikan semua masih cukup hingga minggu depan. 

Sesekali, dia melirik ke arah halaman belakang, memperhatikan anak-anak yang berlarian dengan riang. Mereka berteriak-teriak gembira, bermain kejar-kejaran, sementara beberapa anak yang lebih besar sibuk dengan permainan papan di bawah pohon rindang.

Rutinitasnya berjalan seperti biasa sampai Liora mendatanginya, kali ini dengan wajah panik dan nafas memburu.

"Isya!" panggilnya, setengah berlari ke arah Isyana yang sedang duduk di meja kerja, mencatat pengeluaran panti.

Isyana mendongak, dahi mengernyit. "Iya, ada apa?"

Liora menelan ludah, tampak ragu sejenak sebelum akhirnya berkata, "Di depan ada polisi yang mencarimu."

Tangan Isyana yang memegang pena langsung terhenti. "Apa? Mencariku?"

"Iya, Isya." tegas Liora.

Isyana memandang Liora, berharap dia hanya bercanda. Tapi melihat ekspresi wajahnya yang serius, rasa dingin langsung menjalar di punggungnya.

*

Paradise Group~

Bastian mengetuk pintu dengan pelan, masuk tanpa menunggu persetujuan. 

Di dalam ruangan yang terkesan megah dan minimalis, Rizwan duduk dibalik meja besar dengan berkas-berkas tersebar di sekitarnya. Wajahnya yang biasanya tenang kini tampak serius, sesekali menatap layar komputer di depannya.

“Pak, saya sudah memerintahkan polisi untuk memenjarakan wanita itu,” ujar Bastian 

Rizwan berhenti sejenak, menatap Bastian dengan tatapan heran. Wanita? Wanita mana yang dimaksud? Belum sempat ia bertanya, ingatannya kembali kepada kejadian yang terjadi semalam. Ketika emosinya memuncak, dia pernah bersumpah ingin memberi hukuman pada wanita yang membawa anaknya ke panti. 

Ucapannya itu mewakili emosinya yang meledak setelah tau seseorang telah membawa anaknya ke panti. Tanpa berpikir alasan orang itu tapi bagi Rizwan apa yang dilakukannya dicap sebagai kejahatan. 

“Bagus, mungkin kau tahu sesuatu tentang wanita itu,” ujar Rizwan pelan, sambil menutup berkas yang ada di hadapannya.

Bastian, yang sepertinya sudah mengerti arahnya, segera menjelaskan.

“Ya, Pak. Namanya Isyana Audya Wijaya. Wanita itu bekerja sebagai pengasuh panti asuhan,” jawab Bastian..

Bastian melanjutkan penjelasannya dari apa yang dia tau. 

Nama itu langsung menghantam Rizwan dengan keras, seperti hantaman gelombang yang tak bisa dihentikan. Sejenak, ia mematung. 

Isyana-- Sekilas bayangan wajahnya kembali muncul dalam pikirannya, mengingatkan pada kenangan yang sudah lama terkubur dalam hidupnya—kenangan yang tak ingin dia ingat.

"Kau gila!! Cabut laporannya sekarang!" Bentak Rizwan. 

Bastian tampak terkejut dengan reaksi atasannya itu. Dia menatap Rizwan bingung.

“Loh, tapi kenapa, Pak? Polisi sudah dalam perjalanan ke panti asuhan sekarang.” Bastian mencoba untuk menjelaskan, namun melihat betapa kakunya Rizwan, dia langsung diam. 

"Ah tidak berguna!!" 

Rizwan segera mengambil kunci mobilnya. 

20 menit kemudian dia tiba di panti asuhan. 

Teriakan anak-anak terdengar ricuh. Mendadak beberapa massa mengepung tempat itu.  

"Bebaskan dia! Aku ingin mencabut laporanku!" kata Rizwan dengan suara membentak, namun penuh otoritas. 

Suasana yang semula mencekam berubah seketika. Polisi yang tadi hendak membawa Isyana kini mundur, membiarkan wanita itu bebas.

Isyana, yang masih terkejut dan malu, berdiri dengan tubuh kaku. Semua mata tertuju padanya, beberapa warga sekitar mulai berbisik. 

Isyana yang merasa dipermalukan. Dia berjalan maju, matanya mencari sosok pria yang telah menyebabkan kekacauan ini. 

Dihadapkannya kali ini ada punggung yang sangat pantas untuk dihantam batu. Isyana menarik bahu pria itu dengan kasar, memaksanya untuk menghadapnya. Begitu wajah pria itu terlihat jelas di hadapannya, tanpa pikir panjang, Isyana menampar pipinya.

Suasana seketika hening. Semua orang, termasuk polisi, terkejut melihat seorang wanita berani menampar seorang konglomerat sekelas Rizwan. Mereka memandang dengan heran, seolah tak percaya dengan kejadian yang baru saja mereka saksikan.

"Kau pikir dengan gelarmu sebagai konglomerat, kau bisa menentukan nasib orang lain?" ujar Isyana dengan nada naik turun. 

Wajah Rizwan memerah. Dia memegangi pipinya yang terkena tamparan itu. Perlahan, dia melepas kacamata hitam yang menutupi matanya. 

Sorot mata mereka bertemu, dan seketika, dunia sekitar seakan berhenti. Isyana tak menyangka pria yang berdiri di depannya sekarang adalah orang yang pernah ia cintai 10 tahun lalu, yang tiba-tiba pergi memutuskan hubungan.

"Kau..." ucap Isyana, suaranya serak.

Rizwan tak menjawab, dia berbalik dan mencoba untuk berjalan pergi. 

Namun Isyana justru menghadangnya. 

"Jadi Shanaya adalah putrimu? Kau sudah punya anak?" tanya Isyana.

Ada rasa penasaran yang membuncah dalam hatinya, bercampur dengan kemarahan yang tak bisa ia tahan.

Rizwan menoleh sebentar, wajahnya berubah datar. Dia teringat betul ekspresi Isyana saat 10 tahun lalu, ketika dia memutuskan hubungan mereka. 

"Lalu kau menelantarkan putrimu?" tanya Isyana lebih detail. 

"Heh, jaga bicaramu!" Rizwan mendengus, wajahnya kini menatap wanita itu dengan lekat.

"Kenapa? Apa ada yang salah dengan kata-kataku? Bayi itu kutemukan di depan mall! Ada banyak bahaya yang mendekat, sementara dirimu, dimana kau saat bayimu membutuhkanmu, ha? Dan sekarang kau mau memenjarakan orang yang telah menyelamatkan bayimu?" ujar Isyana.

Rizwan berusaha menahan amarahnya. "Dengar! Aku sudah mencabut laporanku. Apa itu kurang?"

Isyana memiringkan kepalanya, senyum sinis terukir di wajahnya. 

"Lagipula, kau tahu apa soal bayi itu? Kau sendiri saja tidak bisa menjadi ibu---

"Hanya karena ada sedikit masalah di rahimku, lantas aku tidak bisa menjadi seorang ibu? Pemikiranmu sangat kuno," jawab Isyana  Matanya tajam menatap Rizwan.

Rizwan terdiam, tak tahu harus berkata apa. Isyana terus melangkah maju, menunjuk deretan anak-anak panti yang kini melihat mereka. Mereka semua menyaksikan perdebatan ini dengan tatapan kosong.

"Lihat mereka! Mereka semua adalah anak-anakku," ujar Isyana, suaranya melunak. Meskipun dia marah, ada kelembutan yang muncul saat ia menyebut anak-anak itu.

Rizwan memandang anak-anak itu. Ada rasa iba yang timbul di hatinya, entah mengapa. Dia melihat sorot mata mereka yang penuh harapan, yang begitu ingin mendapatkan perhatian, kasih sayang, dan tempat untuk pulang.

"Kau merasa paling benar setelah menuduhku menculik putrimu? Tapi kau sendiri tidak becus mengurus anak. Kau..." kata Isyana, suaranya semakin lantang, menantang.

"CUKUP!" Rizwan membentak, emosinya memuncak.

Related chapters

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

    Last Updated : 2025-02-07

Latest chapter

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status