Home / Romansa / Ibu Sambung Untuk Shanaya / Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

Share

Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

Author: cobaltpen
last update Last Updated: 2025-02-07 10:22:16

Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana.

"PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.

Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.

BRAK! BRAK!

"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.

Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.

Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.

Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit.

"Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. 

 

Wanita itu selalu menjadi garda terdepan melawan pria bertubuh kekar itu. 

"Ya memang belum. Tapi cicilan kalian bulan lalu belum lunas," jelas pria itu.

"Hei jangan lupa kalian sudah mengambil tv-ku. Bukankah itu sudah cukup menjadi jaminan. Lalu kalian--"

"Ahh banyak omong! Grebek rumahnya," potong pria itu. 

Ia akhirnya memerintahkan anak buahnya memasuki kontrakan Isyana secara paksa. 

Lagi dan lagi kontrakan sempit itu diberantaki dan diacak-acak. Mereka layaknya penagih hutang yang tak punya hati. 

Ayah Isyana terlihat letih menghalangi aksi mereka. Begitu juga dengan Isyana. Sedangkan sang ibu hanya bisa melihat mereka dengan pasrah sambil duduk diatas kursi roda. 

"Tidak ada barang berharga lagi bos," ucap salah satu preman. 

"Kalau begitu ambil saja kursi rodanya," 

"Baik bos,"

Mendengar hal itu Isyana langsung menghalangi para preman yang bergerak menuju ibunya. 

"Heh jangan! Jangan ambil kursi roda ibuku," teriak Isyana. 

"Minggirrr!!" 

"Lepaskan kursi rodanya, heh lepaskan!! Aku mohon jangan," 

"Hei nona, apa susahnya melunasi hutangmu, daripada kami harus bertindak kasar seperti ini," ucap salah satu dari mereka. 

"AKAN KU LUNASI SEMUA HUTANG ISYANA!" 

Suara itu membuat semua orang diam. Mereka menoleh, menatap pria yang baru saja datang dengan ekspresi tak percaya.

Rizwan melangkah masuk, melepas kacamatanya dengan gerakan santai. Di belakangnya, ada seorang pria berjas abu-abu yang merupakan asisten pribadinya. 

Isyana terpaku di tempat. Matanya membesar, tak menyangka pria yang pernah menolaknya kini berdiri di depan kontrakannya dengan penuh wibawa. Sementara itu, kedua orang tuanya yang baru saja keluar dari kamar juga menatap Rizwan dengan ekspresi kaget dan bingung.

"Berapa hutangnya?" tanya Rizwan. 

"1 M 500 juta," 

Rizwan kemudian memberikan kartu atm premiumnya pada asistennya. 

"Kalian semua ikutlah dengan asistenku," ujar Rizwan. 

Mereka semua mengikuti langkah Bastian tanpa ragu. 

Kini di dalam rumah itu hanya ada Rizwan dan keluarganya Isyana. 

"Nak Rizwan," ucap Surya mendekati pria itu. 

Rizwan segera menundukkan badan sambil mencium punggung tangan Surya. "Pak Surya, apa kabar," ujar Rizwan. 

"Ya seperti yang kau lihat. Bapak pangling nak, kau sekarang banyak berubah," ujar Surya kagum melihat pria yang dulu nyaris menjadi menantunya. 

Surya kemudian menyatukan kedua telapak tangannya. "Bapak ucapkan terimakasih banyak atas bantuan yang nak Rizwan berikan. Bapak tidak bisa menjamin uang nak Rizwan akan kembali, tapi---"

"Pak, saya ikhlas," potong Rizwan. 

Surya mempersilahkan pria itu duduk di sofa rumahnya yang sudah sobek. 

"Nak, geser sedikit. Sofanya---"

"Tidak masalah pak, saya nyaman duduk disini," sahut Rizwan tampak menikmati duduk di sofa itu. 

Isyana datang menyajikan minuman atas perintah ibunya. Dia menatap Rizwan dengan datar. Biarpun sikap dan sopan santu Rizwan masih sama seperti dulu, tapi bagi Isyana mantan kekasihnya itu adalah ayah yang buruk. 

"Silahkan nak," ucap Surya. 

Rizwan tak ragu minum teh buatan Isyana. Dia sangat menghargai jamuan keluarga ini tanpa melihat status sosial. 

"Maaf bila bapak lancang nak. Atas apa yang nak Rizwan lakukan tadi, itu sangat berjasa bagi kami nak. Kami bahkan sekarang punya hutang budi dengan nak Rizwan," ujar Surya sungkan. 

Rizwan tersenyum. "Saya juga memiliki hutang budi pada putri bapak," sahut Rizwan. 

Surya mengerutkan dahi. "Maksut nak Rizwan apa?" 

"Putri bapak sudah menyelamatkan nyawa anak saya. Tadi malam sempat diculik, tapi berkat putri bapak, putri saya akhirnya selamat," jelas Rizwan sesekali dia menatap Isyana yang menundukkan kepala. 

Herlina menatap putrinya dengan berkaca-kaca. Baru kali ini dia terlihat kagum pada putrinya. 

"Tapi itu tidak sebanding dengan---"

Rizwan kembali memotong pembicaraan. Karena dia tidak tega melihat orang tua seperti pak Surya merendah dihadapannya. 

"Maka dari itu pak, saya datang kesini selain untuk membantu bapak, saya ingin melamar putri bapak," ucap Rizwan. 

Ruangan itu mendadak hening. Isyana membatu, tatapannya kosong, seolah otaknya masih mencoba memproses kata-kata yang baru saja didengarnya. 

Pak Surya mengerjapkan mata beberapa kali, raut wajahnya menunjukkan keterkejutan yang luar biasa. Mulutnya sedikit terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. 

Berbeda dengan suaminya, Herlina justru menutup mulutnya dengan kedua tangan. Mata berkaca-kaca, wajahnya yang semula tegang kini berubah berseri-seri. Bahunya yang sempat tegang perlahan merosot turun, seolah baru saja menghempaskan beban yang selama ini menghimpitnya.

"Tapi bukankah nak Rizwan sudah menikah dan memiliki anak," sahut Surya. 

Rizwan menundukkan kepala. 

"Benar pak, tapi dua bulan yang lalu saya memutuskan untuk berpisah. Dan sekarang saya butuh sosok ibu untuk anak saya, Shanaya. Dan saya rasa Isyana adalah---"

"Aku tidak mau!" 

Semua perhatian tertuju pada Isyana yang tiba-tiba berdiri.

"Isyana, duduk!" pinta Surya. 

Isyana akhirnya duduk kembali. Sang ibu memegang tangannya. 

"Lanjutkan nak," pinta Surya. 

"Saya rasa ada ikatan batin antara anak saya dengan Isyana. Saya mohon Pak, bila bapak mengizinkan, saya ingin Isyana menjadi ibu bagi anak saya," 

"Ayah!! Aku tidak mau. Katakan padanya, aku tidak mau," Isyana kembali memberontak. 

Rizwan langsung diam. Dia tau betul alasan wanita itu menolaknya mentah-mentah. 

Surya tampak merenung. 

"Isyana dengar! Kesempatan tidak datang dua kali nak. Rizwan melamarmu dengan penuh kesungguhan. Dia juga sudah berjasa di hidup kita. Sekarang dia juga melamarmu untuk---"

"Aku tidak mau bu. Aku tidak mau menikah dengan Rizwan," sahut Isyana sambil menggelengkan kepala.

"Kau tidak perlu khawatir Isyana, kau hanya perlu menjadi ibu bagi Shanaya. Sisanya kau bebas mau melakukan apapun. Aku jamin aku tidak akan---" Rizwan mulai meyakinkan Isyana. 

"Ibu, aku tidak mau," Isyana terus menolak. 

Disatu sisi Rizwan bisa melihat trauma dan rasa sakit akan masa lalu pada diri wanita itu.

"Dengar nak, dengar! Kau sayang pada ibumu kan? Kau mau melakukan apapun demi ibumu kan? Kalau begitu lakukan semua ini atas dasar karena cintamu pada ibu. Menikahlah dengan Rizwan. Ibu ridho nak, ibu ikhlas. Rizwan pria yang baik, dia telah membantu keluarga kita nak, ingat itu," bujuk Herlina sambil mengusap rambut putrinya. 

Isyana menggelengkan kepala. Sebagai keputusan finalnya, dia menatap ayahnya yang sejak tadi menatapnya denganya sayu. 

"Ayah rasa, ibumu benar Isyana! Menikahlah dengan Rizwan," pinta Surya. 

Isyana lemas seketika mendengar keputusan sang ayah. Dia berharap ayahnya membelanya. Tapi justru ayahnya menyarankan hal yang sama. 

"Isyana, maukah kau menikah denganku," kali Ini Rizwan menatap Isyana dengan serius. 

Wanita menggelengkan kepala. "Maaf, aku tidak bisa," sahut Isyana sembari beranjak dari tempat duduknya.

Related chapters

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

    Last Updated : 2025-02-07

Latest chapter

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status