Share

Ya! Aku Bersedia.

Penulis: cobaltpen
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-07 10:23:19

Playground~

"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," 

Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. 

"Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. 

Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel.

"Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. 

Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.

Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. Dengan refleks, ia meraih botol itu, berusaha menahannya agar tidak jatuh. Namun, tak disangka, sebuah tangan lain dengan cepat menangkapnya lebih dulu.

Rizwan menoleh, dan seketika matanya bertemu dengan mata Isyana yang berdiri di depannya. Keduanya terdiam sesaat, seolah waktu berhenti sejenak. Rizwan masih memegang botol susu itu, begitu juga dengan Isyana. Sebelum akhirnya Rizwan melepaskan botol itu.

"Kau lagi," ucap Rizwan. Pria itu memalingkan wajahnya ke samping. Rasa jengkel akibat ditolak masih terasa sampai sekarang. 

Isyana meletakkan botol susu itu kembali diatas meja. 

"Dunia ini sempit sekali. Kenapa aku harus bertemu lagi denganmu! Atau jangan-jangan kau sengaja mengikutiku," ujar Rizwan berujung menuduh. 

"Jangan lupa play ground ini masih serumpun dengan panti asuhan tempatku bekerja," ujar Isyana. 

Sontak Rizwan menatap papan nama yang di dekat permainan anak-anak. Yang benar saja dia baru tau nama play ground ini persis seperti nama panti asuhan itu. 

"Oh," sahut Rizwan mulai salah tingkah. 

"Kau kira hanya dengan menggedongnya saja bisa membangkitkan nafsu makannya," sindir Isyana.

"Lalu aku harus bagaimana?" sahut Rizwan muak. 

"Berikan padaku," pinta Shanaya. 

Rizwan terlihat bingung dengan ucapan wanita itu. Lantas dia memberikan mangkok kecil itu pada Isyana. 

Isyana menerima mangkuk itu lalu meletakkannya diatas meja. 

"Maksutku, Shanaya," jelas Isyana. 

"Ohhh, ini," Rizwan segera menyerahkan putrinya pada wanita itu.

Isyana, yang menerima Shanaya dengan lembut, segera menggendongnya. Tangannya dengan cekatan mengambil mangkuk yang tadi diletakkan di atas meja, lalu berbalik menuju wahana permainan anak-anak yang tidak jauh dari situ.

Rizwan, dengan ragu namun penasaran, mengikuti langkah Isyana. Ia terdiam sejenak saat melihat Isyana mengajak Shanaya bermain, menunjuk berbagai permainan yang ada di sekitar mereka. Di tangan Isyana, Shanaya terlihat lebih tenang, matanya berbinar mengikuti gerakan tangan Isyana yang mengarah ke berbagai hal menarik.

Setelah beberapa saat, dengan senyum yang semakin lebar, Isyana berhasil mengalihkan perhatian Shanaya. Keadaan bayi itu yang tadinya cemberut dan menolak makan, kini berubah. Shanaya mulai membuka mulutnya, menerima sendok berisi bubur yang Isyana tawarkan.

Dan tak lama kemudian, dengan gerakan lucu Shanaya terlihat menepukkan kedua telapak tangannya, tanda dia senang dengan apa yang baru saja terjadi. 

"Luar biasa, mantra apa yang digunakan sampai putriku luluh padanya," ucap Rizwan dalam hati sampai tak sengaja tersenyum dengan sepenuh hati melihat momen di depannya. 

Hingga akhirnya karena makanannya sudah habis, Isyana menyerahkan bayi itu pada rekannya untuk cuci tangan. 

Isyana lantas melirik Rizwan yang berdiri di dekat pintu sembari merenung. Dia mendekatinya untuk mengembalikan mangkuk itu. 

"Terimakasih," 

Isyana terkejut begitu mendengar suara Rizwan. Padahal Rizwan menghadap ke belakang bagaimana dia tau kalau Isyana ada disitu. 

Rizwan berbalik badan. 

"Tunggu sebentar, Shanaya masih--"

"Aku tau," potong Rizwan. 

Isyana sama sekali tak berani menatap pria itu. Yang ia lihat dari wajahnya adalah beban dan penderitaan. Ia tak mampu melihat wajah pria itu.

"Kau tau Isyana, menjadi orang tua tunggal itu tidak mudah. Mungkin sekarang anakku damai disini. Tapi begitu tiba di rumah dia akan tantrum lagi," ucap Rizwan.

"Anak-anak memang begitu. Terkadang sebagai orang tua memang harus sabar," sahut Isyana. 

"Sabarku sudah habis. Aku tidak punya stok kesabaran lagi. Di kantor aku harus sabar menghadapi investor, dan juga masalah proyek. Sedangkan di rumah, Shanaya selalu menguji kesabaranku. Belum lagi aku harus mencari cara agar bisa memenangkan hak asuh Shanaya. Dan kau bilang, aku harus sabar?" Rizwan menjelaskan semuanya dengan nada naik turun. 

Mendengar hal itu hati Isyana turut merasakan beban yang dirasakan oleh Rizwan. 

"Aku rasa semua ini adalah karma," Rizwan berbalik badan membelakangi Isyana. 

"Dulu aku pernah meninggalkanmu setelah orang tuaku menolak mentah-mentah. Dan sekarang giliran aku yang ditinggalkan. Bahkan ditolak untuk yang pertama kalinya. Kalau bukan untuk Shanaya, aku tidak akan berlutut pada wanita manapun," sambung Rizwan. 

"Jika Shanaya kau anggap beban, lalu kenapa kau tidak membiarkannya diasuh oleh mantan istrimu," sahut Isyana. 

"Tidak! Itu semua tidak boleh terjadi. Shanaya adalah alasan terakhirku untuk bernafas," 

Isyana mendengarkan dengan seksama. Tak sadar ia ikut menangis. Rizwan menyeka air matanya lalu berbalik badan.

Isyana segera membersihkan air mata di wajahnya sendiri. Tapi Rizwan masih bisa melihat sisa air mata itu. 

"Terimakasih Isyana. Selain bantuan, kau telah memberiku tamparan untuk yang kedua kalinya," ucap Rizwan hendak pergi. 

"Tunggu," ujar Isyana menghentikan langkah Rizwan. 

Rizwan berhenti sejenak. 

"Aku bersedia menjadi ibu sambung untuk Shanaya," 

Deg!

Rizwan terdiam sejenak, seolah semua perasaan yang ia simpan selama ini meledak. Matanya seketika berbinar, ekspresinya penuh ketidakpercayaan. Saat ini belum  ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, hanya pandangan tajam dan penuh harap yang mengarah pada Isyana.

"K-kau bilang apa tadi? Apa aku tidak salah dengar? Katakan lagi Isyana, ayo, ulangi lagi. Sepertinya telingaku bermasalah," Rizwan memegang telinganya berulang kali. 

"Kau tidak salah dengar. Aku bersedia menikah denganmu," ujar Isyana dengan yakin. 

Rizwan menganggukkan kepala sembari menyeka air matanya. "Terimakasih banyak Isyana. Terimakasih," ujar Rizwan terharu. 

"Tapi hanya sebagai ibu untuk Shanaya bukan sebagai istrimu," tegas Isyana sekali lagi. 

Bab terkait

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

    Terakhir Diperbarui : 2025-02-07

Bab terbaru

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status