Home / Romansa / Ibu Sambung Untuk Shanaya / Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

Share

Ibu Sambung Untuk Shanaya
Ibu Sambung Untuk Shanaya
Author: cobaltpen

Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

Author: cobaltpen
last update Last Updated: 2025-02-07 10:17:58

"Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---"

"Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," 

"Pak jangan, Pak!!" 

Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. 

Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. 

"Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---

"Ah minggir!!!" 

Bruak..

Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. 

Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdikan dirinya menjadi pengasuh panti asuhan. 

Tangis Herlina pecah begitu melihat suaminya jatuh, serta para pria bertubuh kekar itu berhasil mengangkut televisi. 

Mungkin harga televisi itu tidak mencapai seperempat hutang mereka, namun benda itu termasuk benda yang amat mewah dan berharga di kontrakan ini. 

"Pak berhenti!!!!" ucap seorang wanita yang berani menghadang pria itu di depan pintu. 

"He nona minggir!!" 

Bentakan pria itu tak menciutkan nyali wanita itu.

"Ambil ini, dan tolong kembalikan tv-nya," ucap Wanita itu sembari menyerahkan amplop coklat berisi puluhan lembar uang. 

Pria itu membuka amplopnya lalu menghitung uang tersebut. Beberapa detik kemudian, dia melirik wanita itu dengan sinis. 

"Maaf untuk bulan ini aku hanya bisa mencicil setengah saja. Aku janji bulan depan akan membayar kekurangan serta bunganya," ucap Wanita itu. 

"Baiklah! Tapi sebagai jaminannya tv ini kami bawa," 

"Tapi pak---"

"Ayo cepat pergi dari sini!!"

Kekuatan pria itu terlalu kuat untuk dilawan seorang wanita. Hingga akhirnya mereka membawa tv itu pergi. Biarpun uang sudah di tangan mereka. 

"Isyana..," Surya memanggil putri semata wayangnya. 

"Ayah! Ayah tidak papa," ujar wanita berambut panjang itu sembari menghampiri ayahnya. 

Surya menggelengkan kepala. 

Isyana beralih menghampiri ibunya yang duduk di kursi roda. Tangisnya masih terdengar. 

"Ibu! Ibu tidak pa---"

"JANGAN DEKATI AKU! PERGI SANA!!" 

Mendengar bentakan sang ibu, langkah Isyana terhenti seketika. 

"Andai saja kau dapat pekerjaan mapan, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Andai saja ada pria yang mau menikahimu, mungkin sekarang Ibu tidak akan kesepian meski tv-nya sudah diambil. Seharusnya saat ini aku sudah menggendong cucu," ujar Herlina dengan nada naik turun. 

Hati Isyana bak teriris mendengar ucapan sang ibu. Wanita mana yang tidak mau menikah, dan wanita mana yang tidak mau menjadi ibu. Tapi apalah daya jika wanita yang sudah memasuki kepala 3, sering ditolak pria hanya karena ada masalah di rahimnya. 

"Ibu, aku juga ingin seperti wanita lain yang bisa menikah dan menjadi seorang ibu. Sama halnya seperti ibu. Aku---"

"Lantas kenapa kau memilih menjadi pengasuh panti asuhan. Apa kau buta ha? Keluargamu lebih membutuhkan, dan kau memilih mengabdikan dirimu menjadi pengasuh?" potong Herlina. 

"Ibu, aku---"

"Cukup!!! Aku sudah sudah cukup malu dan sakit hati karena setiap hari mendengar gunjingan tentang anakku yang tak kunjung menikah. Dan sekarang tetangga pasti akan menghina kita lagi karena hutang," lanjut Herlina. 

Isyana menjatuhkan dirinya di depan sang ibu. Air matanya tumpah seketika. "Maafkan Isyana bu," ucapnya. 

Nafas Herlina terdengar sesak. Sebelum akhirnya dia tak mampu untuk bicara. 

Surya segera mendekatinya. Begitu juga dengan Isyana. 

"Bu, bertahanlah. Ayah dimana obatnya," ujar Isyana sambil berdiri. 

"Sudah habis nak. Ayah lupa mengabarimu," sahut Surya.

"Ha baiklah, aku.. aku akan ke apotik dulu. Ayah jaga ibu dulu ya," ujar Isyana. Tangannya meraba lantai untuk mencari tasnya. 

*

Apotek Medika Lestari~

"Ini uangnya, terimakasih," ucap Isyana sembari mengulurkan sejumlah uang.

"Terimakasih kembali. Semoga lekas membaik," ujar petugas apotek. 

Usai memasukkan dompet dan obatnya ke dalam tas, Isyana mempercepat langkahnya menuju jalan raya. 

Saat menunggu ojek, dia mengamati jalan raya yang lebih ramai dari biasanya. 

"Ya Tuhan kuatkan ibuku," ujarnya sambil menatap sekeliling. 

Pandangannya tertuju pada pusat perbelanjaan yang berada di samping apotek. Matanya yang jeli menangkap apa saja yang bergerak di halaman mall yang luas itu. 

Yang pertama dia lihat adalah dua cepol mini dengan ikat rambut pink di kepala bayi yang merangkak di halaman mall. Isyana memusatkan perhatiannya ke mall itu. Ia sempat ragu benarkah apa yang dia lihat itu bayi. Atau jangan-jangan boneka?

Banyak orang berlalu lalang disana tapi tidak ada satupun yang peduli pada bayi tersebut. 

Hati Isyana tergerak seketika saat ia yakin bahwa itu adalah bayi sungguhan. Ia lantas berlari menuju mall tersebut.

Begitu tiba, ia langsung menggendong bayi itu. 

Siapa sangka ditengah kepanikan Isyana, bayi perempuan itu justru tersenyum menunjukkan gusinya pada Isyana. 

"Nak, dimana orang tuamu. Kenapa kau  bisa disini," ucapnya sembari membelai rambut bayi itu. 

Yang paling membangongkan adalah bayi itu tampak ceria berada di gendongannya. Sampai tangan mungilnya memegang baju Isyana. 

"Tunggu," ucap Isyana begitu matanya melihat gelang pada bayi perempuan itu. 

Bandol gelang itu bertuliskan 'Shanaya'. 

"Oh jadi namamu Shanaya," ucap Isyana pada bayi itu. 

Senyuman bayi itu disertai suara cekikian khas bayi, membuat Isyana enggan melepas bayi itu. 

"Ouh sayang, kau manis sekali," ucap Isyana gemas. 

Kilatan petir mengejutkan Isyana. Tanda-tanda akan datangnya hujan semakin terasa. 

"Sebentar lagi hujan, dan orang tuanya tak kunjung datang. Aku harus bagaimana. Ibu pasti menunggu obat ini," ujar Isyana. 

Biarpun berat melepas bayi itu, Isyana tidak boleh terus-terusan larut dalam suasana ini. 

"Sebaiknya aku titipkan saja ke panti asuhan," ujarnya. 

Ia segera mengeluarkan payung dari dalam tasnya. Sebelum hujannya semakin deras, ia harus tiba di panti yang jaraknya tak jauh dari sini. Dimana panti asuhan itu merupakan tempatnya bekerja sekaligus mengabdi. 

Bukan sekedar mengabdi melainkan untuk menghibur dirinya kala dekat dengan anak-anak.

*

"SHANAYA!!!"

"SHANAYA, KAU DIMANA NAK," 

Satu jam kemudian, seorang pria tampak panik sambil berteriak dari dalam mall. 

"Nyonya, apakah anda melihat anak ini? Umurnya 11 bulan. Di rambutnya ada cepol mini berawarna pink," ujarnya sambil menunjukkan layar ponselnya  pada setiap orang yang ia temui. 

"Maaf, tidak Pak," 

"Coba lihat sekali lagi Nyonya. Mungkin  anda pernah melihatnya tapi anda lupa," 

"Maaf, tapi saya tidak pernah melihat anak bapak,"

Tampak jelas raut kekecewaan di wajah pria itu. Sampai akhirnya dia berjalan lagi untuk mencari putri kecilnya yang hilang beberapa jam yang lalu. 

Pria itu merupakan ayah dari bayi yang ditemukan oleh Isyana tadi. Namanya, Rizwan Cakrakusuma, Direktur dari perusahaan Paradise Group. 

Satu jam yang lalu dia baru saja memecat baby sitternya yang lalai dalam menjaga Shanaya. 

"Kau dimana nak," ucapnya sembari mengusap layar ponselnya. 

Sampai akhirnya seorang satpam mendatanginya. 

"Selamat malam pak. Apa benar anda merupakan ayah dari bayi yang bernama Shanaya," 

Rizwan mengangkat kepalanya. Fokusnya beralih pada satpam tersebut. 

"Iya benar. Bapak tau dimana dia sekarang," sahut Rizwan. 

"Tadi ada wanita yang menggendongnya menuju panti asuhan 'kasih bunda'. Lokasinya tak jauh dari sini," jelas satpam. 

"APA!! Lancang sekali wanita itu," maki Rizwan. 

"Maaf pak, saya tidak bermaksud membela wanita itu. Akan tetapi dia masih peduli memberikan laporan pada kami. Itu artinya---"

"Bawa aku ke panti asuhan itu, SEGERA," potong Rizwan.

Related chapters

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

    Last Updated : 2025-02-07
  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

    Last Updated : 2025-02-07

Latest chapter

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Ya! Aku Bersedia.

    Playground~"Ayo buka mulutmu nak. Makan sedikit ya," Rizwan tampak letih sembari menggendong putrinya sambil membawa mangkuk kecil. Dia rela habis dari kantor mengajak putrinya ke playground agar putrinya mau makan. "Ayolah Shanaya, buka mulutmu," bujuk Rizwan. Rizwan menghela napas panjang, menatap Shanaya yang tetap membuang muka. Sendok kecil di tangannya terangkat, tetapi tetap tak bisa menembus pertahanan bocah itu yang sudah bersikeras mengatupkan bibirnya rapat-rapat.Di sekelilingnya, anak-anak lain tertawa riang, berlarian ke sana kemari di dalam playground penuh warna. Beberapa ibu muda dengan santainya menyuapi anak mereka tanpa drama. Rizwan semakin jengkel."Ayah sudah lelah, Shanaya," gumamnya pelan, separuh mengeluh. Shanaya hanya menatapnya sekilas sebelum kembali mengalihkan pandangannya, matanya berbinar-binar melihat anak-anak lain bermain perosotan.Rizwan yang tengah terfokus pada Shanaya, tanpa sengaja menyenggol botol susu yang ada di meja kecil dekatnya. D

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Aku Akan Melunasi Semua Hutangnya!

    Suara gedoran keras menggema di depan kontrakan Isyana."PAK SURYA! KELUAR PAK!" suara garang seorang pria membelah pagi yang masih sunyi.Isyana yang baru saja menyeduh kopi di dapurnya langsung menoleh ke pintu dengan napas tercekat. Jantungnya berdegup cepat, sudah bisa menebak siapa yang datang.BRAK! BRAK!"WOI! BUKA PINTUNYA!!" teriakan itu makin keras, disertai suara sepatu menghentak-hentak di teras sempit kontrakan.Dari jendela, Isyana bisa melihat tiga orang pria berdiri dengan wajah bengis. Salah satunya, lelaki bertubuh kekar dengan kaus hitam ketat, menendang tempat sandal di depan pintu hingga terbalik.Tetangga-tetangga mulai mengintip dari balik jendela dan celah pintu, tapi tak satu pun yang berani keluar atau membantu. Mereka sudah tahu reputasi orang-orang itu.Isyana mengepalkan tangan, mencoba menenangkan diri. Tak ada gunanya bersembunyi. Ia menarik napas panjang, lalu melangkah ke pintu, membukanya sedikit."Pak bukankah belum jatuh tempo?" ujar Isyana. Wanita

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Penolong Sejati

    20.30 WIBRizwan baru saja menidurkan Shanaya. Meskipun sudah seharian bekerja dan mengurus segalanya, pikirannya tak bisa lepas dari kejadian siang tadi, sebuah pertemuan tak terduga dengan mantan kekasihnya. Wajah wanita itu pernah mengisi hatinya sekarang kembali terbayang, dan perasaan benci sempat muncul kini terasa menghilang begitu saja, tergantikan dengan rasa cemas.Namun, semua pikiran itu hilang ketika ia mendengar suara tangisan Shanaya.Baru saja 10 menit berlalu sejak bayi itu tidur, tapi tangisannya pecah membuat seluruh anggota keluarga terbangun. Rizwan mendekati tempat tidur anaknya, menggendongnya dengan hati-hati, mencoba menenangkan suara tangisan yang semakin keras. Akhirnya, dengan sedikit usaha, bayi itu diam juga.Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di luar kamar. Ayahnya, Arjuna, menunggu diluar dengan wajah cemas."Rizwan, kemarilah," pinta Arjuna dari luar kamar.Rizwan menidurkan anaknya kembali dengan hati-hati, kemudian keluar mengikuti ayahnya.

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Nyaris Di Penjara

    Pagi itu, panti asuhan "Kasih Bunda" sudah dipenuhi suara tawa anak-anak. Udara masih terasa sejuk, sisa embun menempel di dedaunan halaman belakang tempat beberapa anak berlarian, sementara yang lain duduk rapi di teras, sibuk dengan mainan mereka. Isyana melangkah masuk, tas selempangnya masih tersampir di bahu.Dia tersenyum melihat anak-anak bermain. Beberapa dari mereka langsung menyambutnya."Kak Isya! Kak Isya!" Seorang anak perempuan menarik ujung bajunya. "Lihat gambar yang aku buat!"Isyana menunduk, memperhatikan coretan warna-warni di selembar kertas. "Wah, bagus sekali! Ini gambar apa?" tanyanya sambil mengusap kepala anak itu."Ini keluarga!" Jawab bocah itu dengan mata berbinar.Isyana hanya tersenyum tipis sebelum berdiri lagi, matanya menyapu ruangan. Panti terlihat seperti biasa, ramai dan hangat. Tak ada tanda-tanda sesuatu yang aneh—atau lebih tepatnya, tak ada tanda-tanda bayi yang ia temukan tadi malam."Dimana bayi itu," ucapnya heran. Dengan langkah santai,

  • Ibu Sambung Untuk Shanaya   Diremehkan Hanya Karena Belum Menikah

    "Pak tolong, beri kami kesempatan. Kami janji akan melunasi hutang---""Ahh BOHONG! Grebek saja rumahnya, keluarkan semua barangnya," "Pak jangan, Pak!!" Surya menghalangi lima orang pria bertubuh kekar itu yang berusaha memasuki kontrakannya. Sudah seminggu jatuh tempo dimana dia harus mencicil hutangnya. Sementara sang istri, Herlina yang duduk di kursi roda hanya bisa berteriak agar mereka tidak mengambil barang-barangnya. "Jangan ambil barang kami," teriaknya. "Pak, saya mohon Pak!! Saya janji---"Ah minggir!!!" Bruak..Mereka yang dibayar untuk menagih hutang sesekali tak segan mendorong pria paruh baya itu hingga jatuh ke lantai. Sungguh malang nasib keluarga kecil ini. Niatnya ingin merubah nasib dengan berhutang demi menyekolahkan anaknya sampai perguruan tinggi. Namun siapa sangka mereka menggali lubangnya sendiri. Pekerjaan dan masa depan yang cerah hanya menjadi angan-angan saja, usai anak semata wayang mereka yang merupakan sarjana psikologi justru memilih mengabdika

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status