"Jadi istri saya yang sesungguhnya!" ucap Rafa memperjelas. Rafa menghentikan mobil tepat di depan restoran yang akan menjadi tempat bertemu dengan baby sitter Arumi. Dia menghadapkan tubuh sepenuhnya ke arah Eva.Eva tertawa canggung. "Pak Rafa apa-apaan sih?" Eva bukan tidak tahu maksud ucapan Rafa, namun dia tidak ingin bawa perasaan untuk hal yang baginya tidak mungkin. Yang dia ketahui, Rafa belum bisa melupakan mendiang istrinya dan Eva sendiri punya Sofyan. Hubungan mereka hanya sebatas status di mata hukum dan agama. Tetapi, tidak di hati dan pikiran keduanya. "Saya serius Eva!" tutur Rafa dengan wajah serius. "Nggak-nggak. Pak Rafa nggak usah ngelucu. Garing banget, sumpah. Pak Rafa nggak usah baperin saya. Nggak mempan, Pak." Eva mengangkat tubuh mungil di pangkuannya untuk menggerakkan kakinya yang terasa keram."Saya nggak sedang melucu, Eva. Saya sudah memikirkan hal ini. Saya—" "Pak, ini bukan saatnya kita bicarakan hal ini di sini. Saya ... saya bahkan tidak bisa berp
"Hai, Kak," sapa Gadis itu. "Kak Rafa, ngapain di sini?" Seorang gadis yang seumuran dengan Eva menyapa dengan ramah. Dia langsung duduk di samping Rafa dan memperhatikan Arumi yang digendong Eva."Kamu? Kamu di sini? Sendirian aja?" tanya Rafa tidak kalah ramah dan senang dengan gadis itu. Namun, Rafa terlihat aneh karena langsung mengambil Arumi dari pangkuan Eva. "Iya, Kak. Arumi udah besar ternyata. Kak Rafa kok nggak pernah datang ke rumah lagi?" tanya gadis itu. Kini, dia mulai menempeli Rafa sambil membuat gerakan menusuk-nusuk pipi tembam Arumi.Eva mengernyit bingung dengan kehadiran gadis itu. Dia bertanya-tanya, siapakah gerangan gadis itu? Sangat berani menempeli Rafa dan Arumi. Bahkan Rafa tidak merasa risih sedikitpun. Bukankah Rafa tidak suka didekati orang lain? 'Kirain buat batasin diri biar nggak dideketin cewek itu ternyata Arumi dijadikan alat biar bisa deketan sama tuh cewek. Dasar buaya!' batin Eva merasa kesal."Saya sibuk. Nanti saya berkunjung ke sana bareng
"Istri?" beo Senja tidak percaya. Dia menggeleng pelan sambil tertawa sumbang. "Nggak mungkin. Kak Rafa, itu nggak bener 'kan? Kak Rafa nggak mungkin nikah lagi. Kak Rafa pernah bilang bakal setia sama Kak Cahaya. Kenapa?""Duduklah dulu, Senja. Aku akan jelaskan semuanya," ucap Rafa menarik tangan Senja untuk duduk."Nggak, Kak. Makasih. Lain kali saja, kakak jelasin." Senja pura-pura menatap ponselnya. "Teman-teman, aku di luar nyariin aku. Tadi aku datang ke sini karena liat Kak Rafa jadi aku samperin dan nggak sempat beritahu teman-teman. Aku ... aku pergi dulu ya, Kak. Bye."Rafa dan Eva menatap kepergian gadis itu yang terlihat kecewa dan kaget. Bahkan dia terlihat terburu-buru demi menghindari berbicara banyak dengan Rafa."Pak Rafa nggak kejar Senja?" tanya Eva ketika melihat Rafa malah duduk di kursinya."Nanti saja. Kita harus selesaikan dulu urusan di sini. Lagipula dia sedang nongkrong bareng teman-temannya. Masa aku nyela di sana sambil jelasin duduk perkaranya. Nanti diki
"Eh, Pak Rafa itu masih status duda atau udah ada istri?" tanya Ajeng kepada penyewa kos lain.Saat ini, beberapa penyewa tengah berkumpul di teras. Baru saja menyelesaikan makan bersama. Ada tiga orang termasuk Eva. Biasanya ada Rida juga, tapi gadis itu sedang berkunjung ke rumah saudaranya. Mereka sering melakukan ini karena penghuni lantai dua di lorong kamar Eva memiliki satu kesamaan, yaitu malas makan kalau tidak ada yang temani. "Nggak ada angin, nggak ada hujan, kenapa tiba-tiba kamu bahas bapak kos?" Fara menimpali."Penasaran aja. Tadi sore, aku papasan sama bapak kos sebelum masuk gang. Aku lihat dia lagi bareng sama cewek," tutur Ajeng. "Seriusan?" Fara membulatkan mata. "Lihat mukanya nggak? Wah, boleh juga duren satu itu. Belum setahun istrinya meninggal, udah gandeng cewek aja."Eva yang mendengar ucapan Ajeng dan Fara menegakkan tubuhnya. Dia tahu jelas siapa cewek yang bersama Rafa. Cewek itu tentu saja dirinya. Dia menahan napas menunggu jawab dari Ajeng. Dia merap
"Pak, coba tanyain dokternya Arumi. Kalau bayi menangis terus itu kira-kira apa penyebabnya!" Eva memerintah sambil berusaha menenangkan Arumi. "Iya bener. Kenapa aku nggak kepikiran itu sih?" Rafa tersadar dan langsung meraih ponselnya. Dia menekan nomor dokter anak dan menunggu panggilan tersambung.Tangisan Arumi sudah mereda saat Eva memberinya susu Sambil baring di keranjangnya, bayi itu mengisap dotnya kuat-kuat seperti takut ada yang merebutnya. Eva mengelus-elus pipi Arumi dan menatapnya dengan lekat. Namun, ketenangan bayi itu hanya berlangsung sebentar. Arumi kembali menangis kejer membuat Eva dan Rafa kompak menoleh."Dia kenapa lagi, Eva?" tanya Rafa."Nggak tau, Pak. Tadi dia udah diam sambil minum susu, kenapa tiba-tiba nangis lagi." Eva menjadi panik dan segera menggendong Arumi. Dia memeluk erat bayi itu sambil berdesis. Hanya itu yang bisa dia lakukan untuk menenangkan Arumi. Tetapi, bayi itu makin keras tangisnya."Pak buruan deh telpon dokternya. Kalau Arumi kenapa
"Apa? Mau tendang saya lagi?" tanya Rafa begitu Eva terbangun. Eva kaget melihat Rafa ada di sebelah kanan Arumi sedang memandanginya. Dia langsung duduk dan memeriksa seluruh tubuhnya."Saya nggak apa-apain kamu. Tenang aja." Rafa mengucapkan itu seolah tahu pemikiran Eva.Eva mendengus sebal. Dia menatap tajam pada Rafa. "Pak Rafa, kenapa nggak bangunin saya sih?" Rafa mengubah posisinya jadi telentang dan meletakkan tangannya di belakang kepala sebagai bantal. "Sengaja. Biar bisa rasain tidur bareng kamu dan Arumi di ranjang yang sama."Eva melempar bantal dan tepat mengenai wajah Rafa. "Dasar mesum!" Eva mengumpat.Bukannya marah, Rafa malah tertawa. "Saya nggak mesum Eva. Saya nggak sentuh kamu, beneran. Kita cuma baring di ranjang yang sama. Di tengah-tengah kita ada Arumi juga, tangan saya nggak sampai di kamu." Rafa membela diri."Pak Rafa tau darimana kalau tuh tangan nggak pernah sentuh saya?" tanya Eva curiga."Saya belum tidur sejak semalam. Saya cuma baring di sini. Saya
"Gimana cara balik ke kamar kos ya? Gara-gara Pak Rafa nih nyuruh jagain Arumi lagi. Kan nggak bisa pulang aku kalau udah pagi. Nanti diliat sama teman-teman penyewa lain, bisa-bisa jadi bahan gosip aku." Eva menggerutu sambil mengintip di balik jendela. "Belum balik?" Suara Rafa dari arah belakang membuat Eva terlonjak kaget. "Pak Rafa bisa nggak sih datangnya jangan tiba-tiba gitu. Jantung saya bisa copot kalau kayak gini." Eva mengelus-elus dadanya dan mengomel."Loh, kok malah marah-marah sama saya?" tanya Rafa sambil menggosok-gosok rambutnya dengan handuk kecil."Iyalah. Gara-gara Pak Rafa, saya harus mendekam di sini sampai semua penghuni kos keluar. Padahal saya juga mau ke kampus. Bakalan telat sih aku ini. Mana hari pertama." Eva mengeluh dengan raut muka cemberut."Ya udah sih, tinggal keluar dari rumah terus jalan ke kamar kos, apanya yang ribet?" kata Rafa dengan santai."Pak Rafa sebaiknya diam aja kalau nggak mau saya patahin lehernya sekarang," kata Eva mengancam deng
"Beneran Eva? Kamu dari rumah utama? Ngapain?" cecar Rida yang sudah bergabung."Abis ngapain di sana?" tanya Fara menambah kegugupan Eva.'Duh, apa mereka liat aku ke sana? Harus jawab apa nih?' Eva membatin dengan raut cemas.Rida menjentikkan jari di depan wajah Eva. "Eva, woy! Jawab. Malah bengong." "Hah? Apa?" tanya Eva linglung. "Kita penasaran, dia malah hah-hah, apa? Jawab Eva! Kamu beneran abis dari rumah bapak kos?" Rida menjadi gemas dan mengulang pertanyaannya."Hem ... itu, a-aku ...," ucap Eva gugup. Dia bingung harus mengatakan apa. Haruskah dia jujur?"Astaga, Eva! Bisa mati aku kalau nunggu kamu jawab. Aku udah tahan napas juga." Fara memotong."Lagian, ngapain kamu nahan napas. Orang Eva yang mau jawab." Ajeng geleng-geleng kepala."Diam semua! Eva bicara dan jawab yang benar!" tuntut Rida tidak sabaran.Eva meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Tiba-tiba saja, dirasakan paru-parunya kekurangan stok oksigen akibat ditanyai seperti itu sama teman-temannya. Aliran darany