Arjuna duduk di tepi ranjang, wajahnya tampak gelisah. Sasha berjalan masuk, membawa secangkir kopi panas dan meletakkannya di meja. Dia duduk di seberang Arjuna, menatap pria itu dengan wajah yang tegang. "Sayang, kita perlu bicara," kata Sasha, suaranya datar namun tegas. Arjuna menatapnya tajam, seolah mencoba membaca maksud di balik kata-katanya. "Apa lagi? Tentang bayi tabung itu?" Sasha mengangguk. "Iya, kamu tidak bisa menyerah begitu saja." Arjuna berusaha untuk lebih tenang, "Sebaiknya kamu saja yang hamil, dengan begitu kita tidak perlu repot-repot menjalani program bayi tabung." Sasha terdiam sejenak, hatinya serasa tercekat. "Aku tidak mau hamil. Aku tidak siap melihat tubuhku berubah, aku juga belum siap kehilangan karirku di dunia model," ujarnya, suaranya kini bergetar, tangan memegangi lengan Arjuna, seakan mencoba mencari pemahaman di mata suaminya. “Lagipula, kita juga sudah terlanjur membayar Melody,” kata Sasha lagi. “Jadi apa yang aku harus lakukan, Sasha?
"Siapkan semua dokumenmu, besok kita menikah.” Kata-kata itu terus terngiang-ngiang di telinga Melody. Kini, ia sedang terjebak dalam masalah besar yang semakin rumit. Dalam kegelisahannya, Melody terus memandang putrinya, Alea, yang sudah tertidur pulas, seolah mencari ketenangan dari sosok yang tak menyadari kekalutannya. "Kenapa ini bisa terjadi?" ujar Melody, suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan kebingungan. "Seandainya aku bisa memilih, aku pasti tidak ingin ini semua terjadi," bisiknya pada diri sendiri. Melody mengusap lembut kening Alea. Dengan suara pelan, ia membangunkan putrinya, "Sayang, bangun nak." Tubuh mungil Alea menggeliat, diiringi dengan kelopak matanya yang perlahan terbuka. "Ada apa, Bu? Alea masih ngantuk nih," kata Alea, suaranya serak dan matanya setengah terpejam saat mengusap wajahnya. Melody menjawab dengan tegas, "Kita pulang malam ini juga, Nak." Alea terkejut, hampir tidak percaya, "Pulang? Benarkah?" tanyanya, ekspresinya berubah m
Keesokannya, Melody berdiri di depan cermin besar, mengenakan kebaya putih pengantin yang indah. Namun, gaun itu terasa seperti beban berat di tubuhnya. Riasan wajahnya sempurna, tapi air matanya hampir tak terbendung. Ia menatap dirinya sendiri dengan perasaan kosong."Ibu, kamu cantik sekali!" ujar Alea, dengan mata berbinar. "Ibu terlihat seperti pengantin. Ibu mau menikah, ya?" tanya Alea dengan rasa ingin tahu.Alea mengerutkan keningnya, masih tidak mengerti sepenuhnya. "Tapi ayah bagaimana? Kenapa Ibu harus menikah dengan Tuan Arjuna? Bukankah aku sudah punya ayah?" tanya Alea dengan suara kecil.Melody menunduk, berusaha menahan tangis yang semakin sulit ia bendung. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menemukan kata-kata yang tepat, meskipun hatinya terasa begitu rapuh."Iya, Nak," jawab Melody pelan, mencoba menyembunyikan perasaan sesaknya. "Ini adalah bagian dari pekerjaan, jadi Ibu harus menikah dengan Tuan Arjuna."Pintu kamar terbuka dengan suara pelan. Sasha, melangk
Melody menutupi tubuhnya dengan selimut. Malam pertama yang gagal membuatnya semakin tertekan, karena hal itu hanya akan memperpanjang waktu.Pakaian dalam yang berserakan kembali dipungut Melody untuk segera dipakai. Namun, baru saja ia selesai mengenakan pakaian dalamnya, tiba-tiba suara pintu kamar terbuka, memperlihatkan Arjuna yang kembali datang."T-tuan... kembali lagi?" ujar Melody, suaranya bergetar."Tanggalkan pakaian dalammu," ujar Arjuna dengan suara dingin, mata tajam menatapnya.Perlahan-lahan, Melody melepas kembali pakaian dalamnya, kali ini tidak ada sehelai benang pun yang menutupi keindahan tubuhnya. Tubuh Arjuna memanas, darahnya berdegup kencang, saat matanya melihat lekuk tubuh Melody yang sempurna, kulitnya yang putih dan halus, dan bentuknya yang proporsional.Arjuna mendorong pelan tubuh Melody ke ranjang, kali ini Arjuna tidak ingin bermain terlalu lama, ia menghujamkan dengan keras tanpa ampun, membuat Melody tersentak kaget menahan nyeri dibagian area sens
Kilatan cahaya kamera terus menyambar, memotret setiap lekuk tubuh Sasha yang tampak cantik, namun ekspresinya terlihat canggung, seolah tidak bisa menyesuaikan diri dengan suasana. Beberapa kali ia berpose, namun wajahnya tampak kosong, seperti kehilangan arah.Pria bergaya kasual yang berprofesi sebagai fotografer, Leo, menghentikan sesi pemotretan.“Stop, Sasha. Kamu kenapa jadi nggak fokus gini?” tanyanya dengan nada sedikit cemas, menatap Sasha yang terlihat kehilangan konsentrasi.Sasha menarik napas, sedikit tertegun. “Maaf, Leo. Aku lagi banyak pikiran,” jawabnya pelan, mencoba menyusun kata-kata.Leo mengangguk, merasa ada yang tidak beres. "Kalau kamu butuh teman curhat, aku siap mendengarkan," tawarnya dengan lembut, mengajak Sasha duduk di salah satu kursi dekat studio.Sasha menghela napas panjang, lalu tanpa ragu berkata, “Suamiku menikah lagi.”Leo terdiam sejenak, lalu tertawa kecil, “Suamimu yang kaya kanebo keri
Sasha mulai sadar dari tidurnya, kedua tangannya menggenggam kepala yang terasa sangat berat. Ia merasakan kedinginan yang menusuk kulitnya, dan saat menyadari bahwa ia hanya mengenakan pakaian dalam, Sasha terkejut. Di sampingnya, ia melihat Leo terbaring tanpa busana, yang membuatnya semakin terkejut dan bingung."Apa yang terjadi?" Sasha bertanya dengan suara yang terdengar gemetar dan tidak stabil, kedua tangannya masih menggenggam kepalanya, seolah-olah mencoba untuk mengingat apa yang telah terjadi sebelumnya. Sasha kemudian bergerak cepat untuk memakai kembali gaunnya yang tergeletak di lantai, dengan tangan yang gemetar dan napas yang terengah-engah. Setelah itu, ia menggoyangkan tubuh Leo dengan kasar, berusaha untuk membangunkan dari tidurnya yang lelap. Goyangan kasar itu membuat tubuh Leo terguncang, namun ia masih belum sadar dan terus terbaring dengan mata yang tertutup."Leo, bangun!" teriak Sasha.Leo membuka kedua kelopak matanya, terjaga dengan sisa-sisa nyawa yang
Malam harinya, entah mengapa rasa sakit di daerah sensitif milik Melody semakin terasa nyeri. Bahkan, Melody mulai mengalami demam, menggigil, dan kedinginan. Alea, yang sejak tadi setia menemani Melody, dengan penuh perhatian merawat ibunya. Sesekali, Alea mengganti kompres di dahi Melody, berusaha memberikan rasa nyaman dan meringankan demam yang semakin tinggi. "Ibu, demamnya masih belum turun. Apa aku harus panggil Papa untuk bawa Ibu ke dokter?" tanya Alea khawatir sambil memeras handuk kecil dengan hati-hati. "Jangan, Alea. Ibu nggak apa-apa, Ibu cuma butuh istirahat," cegah Melody lemah, berusaha meyakinkan putrinya. "Dan, jangan panggil Tuan Arjuna 'Papa' begitu, itu nggak sopan, Alea." "Tapi, Bu..." Alea terlihat ragu. "Jangan membantah, ya, Alea. Lebih baik kamu minta obat paracetamol sama Bibi," ujar Melody dengan lembut namun tegas. "Baik, Bu," jawab Alea dengan suara pelan, lalu perlahan berjalan pergi. Alea perlahan membuka pegangan pintu, langkah kecilnya t
"Pak Arjuna, saya sudah memeriksa Bu Melody. Ternyata, area kewanitaan beliau bengkak dan itu menyebabkan nyeri yang sangat hebat. Efek dari rasa sakit tersebut membuat beliau demam dan menggigil." ujar dokter dengan suara lembut dan penuh empati.Arjuna dan Sasha saling berpandangan, tatkala dokter menjelaskan keluhan yang dirasakan oleh Melody. Terutama Arjuna, yang tampak sedikit tertegun mendengar penjelasan tersebut.Dengan penuh rasa penasaran, Sasha bertanya, "Penyebabnya apa, Dok?""Maaf, itu disebabkan oleh hubungan intim," jawab dokter dengan tenang."Dok, Melody itu janda dengan satu anak. Bagaimana mungkin dia merasakan nyeri hebat sampai bengkak, kecuali jika dia masih perawan?" sahut Sasha membantah penjelasan dokter."Begini, Bu Sasha," ujar sang dokter dengan tenang, "Nyeri iritasi yang mengakibatkan pembengkakan pada area kewanitaan bukan hanya dialami oleh wanita yang masih perawan. Wanita yang sudah lama menikah pun bisa merasakannya, terutama jika dalam hubungan in
Keesokan harinya, suasana pagi itu terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tak terungkapkan. Melody, Arjuna, dan Sasha berada di dalam mobil, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri. Saat mobil berhenti di depan gedung rumah sakit, Arjuna, yang biasanya tenang dan penuh kontrol, secara refleks menggenggam tangan Melody dengan lembut. Genggaman itu, meski sederhana, terasa begitu berat. Melody, yang merasakan sentuhan itu, seolah terhenti sejenak. Jantungnya berdebar hebat, seperti ada ribuan serangga yang berkumpul di dalam dadanya, merayap naik ke tenggorokan, mematikan kata-kata. Sasha, yang duduk di kursi belakang, menatap pemandangan itu dengan rasa tidak suka yang begitu jelas. "Sayang," suaranya tajam, penuh nada protes, "Kita tidak sedang menyeberangi jalan. Kenapa kamu harus menggenggam tangannya seperti itu?" Nada suaranya mencerminkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan, seolah mengingatkan Arjuna akan kenyataan yang tak bisa ia elakkan.Arjuna, yang m
Melody terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat, matanya setengah tertutup, seolah dunia di sekitarnya berputar begitu cepat. Arjuna, Sasha, dan dokter sudah berkumpul di sekelilingnya, masing-masing menatap dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Dokter itu, dengan tangan terampil, memeriksa kondisi Melody, namun ekspresinya berubah serius setelah beberapa saat. Ia berhenti sejenak, memandang Melody dengan pandangan penuh perhatian."Kapan terakhir kali Nona datang bulan?" suara dokter itu terdengar lembut, namun ada keheningan yang terasa begitu berat.Melody menatap ke bawah, mengumpulkan tenaga untuk menjawab, suara nyaris tak terdengar. "Sekitar satu bulan yang lalu, dan... hingga akhir bulan ini, saya belum juga datang bulan, Dok."Dokter itu mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. Namun, ia tak segera mengalihkan pandangannya dari Melody. Sekilas, ia melirik Arjuna yang berdiri di dekat pintu, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun matanya beg
Arumi berdiri di sudut dapur yang remang-remang, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Suasana yang sepi menambah ketegangan di dalam hatinya. Ia mengangkat telepon dari Barata dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapannya.“Arumi, kamu dengar aku?” suara Barata terdengar rendah dan penuh tekanan.Arumi mendekatkan telepon ke telinga, berusaha berbicara dengan pelan. “Iya, saya dengar. Apa yang harus saya lakukan sekarang?”Suara Barata terdengar seperti berbisik dari ujung telepon, "Apa kamu punya rencana baru?"Arumi menelan ludah, menatap sekeliling dapur dengan waspada. "Saya sebenarnya sudah punya rencana...."Namun, tepat saat itu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungnya dengan keras. Arumi terlonjak kaget, hampir saja menjatuhkan ponselnya. Ia menoleh dengan cepat."Bibi sedang telepon siapa?"Keheningan yang menggantung di udara pecah ketika Alex memecahnya dengan suara yang datar dan penuh penekanan.Arumi tersentak, jantungnya
"Sayang, aku dengar kamu batalkan kerja sama dengan Pak Barata?" tanya Sasha dengan suara serak, mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Arjuna melepaskan dasinya dengan gerakan cepat, lalu menoleh dengan pandangan yang tajam, "Dari mana kamu tahu?" jawabnya, suaranya rendah, seolah membawa beban yang berat."Aku tahu dari Leo," ujar Sasha, hampir berbisik. "Dia memintaku untuk membujukmu, agar kamu jangan batalkan kerja sama itu."Arjuna diam sejenak, lalu terbaring di kasur, seolah ingin tenggelam dalam pikiran yang membingungkan dan kacau. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka, menambah keheningan yang mendalam.Sasha, tak bisa duduk diam, akhirnya duduk di tepi ranjang dan menyentuh lengan Arjuna dengan lembut, seakan mencoba memberi ketenangan pada jiwa yang tengah bergelora. "Sayang, aku rasa keputusanmu itu salah besar."Arjuna menghela napas panjang, kemudian menjawab dengan nada datar namun tegas, "Keputusanku sudah tepat. Aku tidak bisa han
Kenapa Tuan mengatakan hal itu pada Tuan Barata?" tanya Melody, suaranya bergetar sedikit saat ia duduk kembali di dalam mobil, tatapannya penuh tanya dan bingung.Dengan ekspresi serius, Melody melanjutkan, "Bukankah Tuan dan Nyonya sendiri yang meminta agar status saya di keluarga kalian tetap disembunyikan? Lalu kenapa tiba-tiba... seperti itu?"Arjuna terdiam, perlahan mengatur pernafasannya yang mulai terasa berat. Rasa bingung dan kekesalan menyelimuti hatinya, seolah ada kekuatan yang tak terduga mendorongnya untuk membongkar rahasia itu di hadapan Barata. Ia tak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar begitu saja, seakan-akan semuanya terjadi tanpa kendali. Keheningan semakin menekan, membiarkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab terus menggelayuti pikirannya."Saya takut karir Nyonya Sasha akan hancur jika Tuan Barata membeberkan rahasia ini pada media," ujar Melody dengan nada gugup, matanya tak berani menatap Arjuna.Arjuna menatapnya tajam, suaranya berubah tajam dan p
Melody berjalan dengan langkah yang masih gemetar, setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Hati dan pikirannya bergejolak, dipenuhi dengan rasa takut dan kecemasan yang semakin mendalam. Saat sampai di pintu kamar Alea, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Begitu pintu terbuka, Alea yang duduk di sudut kamar langsung berlari kecil menyambutnya. “Ibu!” Alea memanggil dengan riang, melompat ke pelukan Melody. “Alea kangen, Ibu!"Melody membalas pelukan Alea, merasakan kehangatannya yang sedikit menenangkan. Namun, kekhawatiran tentang ancaman Sasha terus membayangi pikirannya. Melihat Alea, Melody merasa beban semakin berat di dadanya.Alea melepas pelukan dan menatap ibunya dengan penuh perhatian. “Ibu kenapa sih? Kok mukanya kayak capek banget?” tanya Alea, khawatir melihat ekspresi Melody yang tampak lelah.Melody tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik wajah yang lembut. “Ibu nggak
Perjalanan panjang yang penuh lika-liku akhirnya mencapai ujungnya. Melody dan Arjuna tiba di rumah, namun rasa penasaran Melody masih terus membayangi setelah mendengar ucapan Arjuna mengenai Barata. Tanpa ragu, ia pun mengikuti langkah Arjuna, bertekad untuk menemukan jawaban yang selama ini mengganggu pikirannya."Tuan, kenapa kita harus menemui Tuan Barata? Bukankah kita sedang menghindarinya?" tanya Melody, sambil berlari-lari kecil, berusaha menyusul langkah Arjuna yang secepat kilat.Arjuna tiba-tiba menghentikan langkahnya dengan tiba-tiba, dan tanpa peringatan, kening Melody yang tengah mengejar langkahnya langsung "bertemu" dengan punggung Arjuna. Plak! Seketika, Melody merasa seperti ditabrak tembok, matanya berputar sejenak, dan dia pun hampir kehilangan keseimbangan.Melody mengusap keningnya yang sedikit sakit karena terbentur punggung Arjuna. “Maaf, Tuan,” ucapnya dengan cepat, suara sedikit cemas. Arjuna hanya mengangguk pelan tanpa menoleh, lalu berbalik dan menatapny
Barata memasuki rumah dengan langkah tergesa-gesa, wajahnya tampak penuh amarah. Begitu sampai di depan ruang tamu, ia melihat Suripto sedang duduk santai di salah satu kursi, namun begitu melihat ekspresi Barata, Suripto langsung merasakan ketegangan yang mencekam.Tanpa berkata banyak, Barata mendekat dengan langkah cepat dan langsung membuang kata-kata yang penuh kemarahan. "Suripto, kamu saya pecat," katanya dengan suara dingin, tanpa ada sedikit pun ampun.Suripto terkejut dan berdiri dari kursinya. "Apa? Kenapa Tuan Barata tiba-tiba memecat saya?" tanyanya dengan nada kebingungan, mencoba mencari penjelasan.Barata menatapnya dengan tatapan tajam, matanya penuh api kemarahan. "Semua rencanamu gagal, Suripto!" jawabnya, suaranya keras dan penuh amarah. "Aku tidak berhasil membawa Melody ke rumah! Kamu gagal melaksanakan tugasmu!"Suripto merasa jantungnya berdegup kencang. Ia telah bekerja keras untuk Barata, dan tak pernah terbayang akan berada dalam situasi seperti ini. Ia tahu
Sosok yang muncul di sudut mata Melody adalah Arjuna. Dengan langkah cepat dan tegas, Arjuna mendekat dan langsung menghentikan langkah Barata, berdiri di antara keduanya dengan sikap yang jelas menunjukkan perlindungan. Melody merasa sedikit lega meskipun ketegangan masih terasa di udara.Arjuna tiba tepat pada saat yang paling kritis, sementara Melody dengan sigap menepis tangan Barata dan berlari, bersembunyi di balik perlindungan Arjuna. Barata mendengus kesal, merasa semua rencananya hancur seketika akibat kehadiran Arjuna yang tak terduga."Apa yang sebenarnya Pak Barata lakukan? Saya melihat Pak Barata seolah memaksa Melody," ujar Arjuna, berusaha menahan emosinya agar tetap terkendali.Barata tersenyum dingin, mencoba menyembunyikan nada agresifnya. "Maaf, Pak Arjuna, saya hanya meminta Melody untuk mengantar saya ke toko kue. Namun, dia menolak dengan sangat keras. Pak Arjuna tahu sendiri, saya tidak suka sekali ditolak." Nadanya penuh d