"Pak Arjuna, saya sudah memeriksa Bu Melody. Ternyata, area kewanitaan beliau bengkak dan itu menyebabkan nyeri yang sangat hebat. Efek dari rasa sakit tersebut membuat beliau demam dan menggigil." ujar dokter dengan suara lembut dan penuh empati.Arjuna dan Sasha saling berpandangan, tatkala dokter menjelaskan keluhan yang dirasakan oleh Melody. Terutama Arjuna, yang tampak sedikit tertegun mendengar penjelasan tersebut.Dengan penuh rasa penasaran, Sasha bertanya, "Penyebabnya apa, Dok?""Maaf, itu disebabkan oleh hubungan intim," jawab dokter dengan tenang."Dok, Melody itu janda dengan satu anak. Bagaimana mungkin dia merasakan nyeri hebat sampai bengkak, kecuali jika dia masih perawan?" sahut Sasha membantah penjelasan dokter."Begini, Bu Sasha," ujar sang dokter dengan tenang, "Nyeri iritasi yang mengakibatkan pembengkakan pada area kewanitaan bukan hanya dialami oleh wanita yang masih perawan. Wanita yang sudah lama menikah pun bisa merasakannya, terutama jika dalam hubungan in
Arjuna baru saja menuruni anak tangga dan tercengang melihat Melody yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan. Dengan langkah tergesa-gesa, Arjuna mendekat, dan raut wajahnya tampak menyimpan amarah."Bi! Semalam aku sudah menyuruhmu untuk menjaga Melody, kenapa sekarang dia ada di sini malah membantu pekerjaanmu?" ujar Arjuna dengan sorot mata tajam.Pelayan tua itu menundukkan wajah, jelas terlihat ketakutan yang menyelimuti dirinya. Tubuhnya sedikit bergetar, seolah tak mampu menahan beratnya kemarahan Arjuna."Tuan, saya yang memaksa. Karena saya sudah merasa pulih," jawab Melody dengan nada lembut, berusaha melindungi pelayan itu dari amukan Arjuna.Arjuna menghela napas kasar, matanya semakin membara. "Kembali ke kamar! Jangan buat semuanya menjadi berantakan!" serunya dengan suara yang keras, menambah ketegangan di ruangan itu."T-tapi Tuan, saya hanya membantu sedikit pekerjaan di rumah ini," sanggah Melody, suaranya penuh kecemasan, berusaha menjelaskan, namun takut menamb
Seminggu kemudian...Melody berdiri di depan cermin kamar mandi, memegangi alat tes kehamilan yang sudah dipakai. Tangannya gemetar, napasnya terasa berat. Wajahnya pucat, lelah, dan matanya sayu, tak ada sinar harapan. Kecemasan menghantui tubuhnya, membuatnya terasa semakin berat.Di hadapannya, garis merah samar muncul, semakin jelas dan nyata. Namun, kegelisahan tumbuh dalam hatinya. "Bagimana ini?" pikirnya, tubuhnya kaku. Suara desakan Sasha di luar kamar mandi membayangi pikirannya, membuatnya semakin takut.Garis itu... satu garis saja... tidak ada tanda dua garis merah yang menyatakan kehamilan.Sepuluh detik berlalu, namun rasanya seperti berjam-jam. Tak ada yang berubah. "Negatif," bisik Melody dalam hati. Ia memandang alat tes itu dengan tatapan kosong, air matanya mulai mengalir. Sesuatu yang berat menekan dadanya, membuatnya sesak.Di luar kamar mandi, suara Sasha yang tak sabar makin terdengar jelas. "Ayo, cepat!" suaranya seolah semakin memaksa, menghancurkan kehening
"Leo?" suaranya nyaris tercekat, "Kamu ngapain di sini?" Bisiknya dengan nada yang sulit disembunyikan.Leo, dengan senyum khas menatapnya dengan penuh percaya diri. "Aku ikut Pak Barata, ada meeting besar tentang proyek baru dengan perusahaan ini."Sasha membelalakan kedua manik matanya, tatapannya langsung terfokus pada Leo. Bibirnya sedikit terbuka, terkejut bukan main. Tidak disangka, dua pria yang selama ini menjadi bagian dari dunia rahasianya, sekarang justru bekerja sama dengan perusahaan Arjuna."Batalkan saja proyeknya," ujarnya dengan suara rendah, namun tegas. "Kamu bisa cari kerjaan lain. Kebetulan, aku punya kenalan agensi yang sedang mencari fotografer." Tawaran itu terdengar lebih seperti perintah, seolah ia berharap Leo tak akan menolak.Leo hanya terkekeh, senyum nakalnya tak pernah hilang. "Aku enggak minat tuh!" jawabnya, suaranya penuh ejekan. "Aku lebih tertarik ikut proyek bareng Tuan Arjuna si kanebo kering itu," bisiknya dengan santai, seraya melangkah mendeka
“Ibu… buka pintunya…” Suara teriakan Alea yang penuh ketegangan terdengar dari luar kamar, memecah keheningan yang mencekam. Melody terdiam, tubuhnya menggigil, seolah tak mampu bergerak. Namun, teriakan Alea memberinya kekuatan, dan dengan tergesa-gesa, ia berusaha membuka pintu itu.Di sisi lain, Suripto berdiri dengan wajah penuh amarah. “Aku akan kembali… untuk menagih uang itu,” ujarnya dengan suara dingin, sebelum meloncat keluar dari jendela kamar, menghilang dalam gelapnya malam.Melody mengatur pernafasannya dari ketegangan yang baru saja ia rasakan. Hampir saja ia disetubuhi oleh pria yang sudah dengan jelas menjatuhkan talak."Ibu, kenapa pintu kamarnya dikunci?" tanya Alea, matanya penuh rasa ingin tahu saat ia masuk bersama bibi pelayan."Maaf, Nak, tadi pintunya sedikit eror," jawab Melody cepat, mencoba memberi penjelasan yang sederhana."Bibi bawa makanan sama jus buah bit, Non Melody," ujar pelayan tua itu dengan senyum ramah sambil meletakkan nampan berisi hidangan
"Ma-maf Tuan, saya tidak sengaja," Melody segera bangkit dari pelukan Arjuna.Sementara itu sang juru rias hanya bisa menutup mulut dengan kedua telapak tangan, melihat insiden yang barubsaja terjadi. Sedangkan Arjuna melirik kearah Melody tatapannya berhenti sejenak, melihat penampilan Melody yang sangat berbeda."Bos, aku bakalan latih Melody sampai bisa, maaf ya Bos," ujar juru Make up yang takut dipecat."Buktikan kinerjamu, nanti malam aku lihat hasilnya," ujar Arjuna yang langsung berlalu pergi.Juru make up itu kembali mendekat kearah Melody, "Ayo coba lagi, waktu kita sangat terbatas.sLantas Melody pun kembali berlatih memakai heels, kali ini ia bersungguh Sungguh berlatih menyeimbangkan tubuhnya, agar setiap langkah kakinya berjalan lancar.Malam pun tiba, dan pesta dari rekan kerja Arjuna dimulai. Ballroom yang megah dipenuhi tamu-tamu anggun, berbincang dan tertawa riang. Lampu kristal memancarkan cahaya lembut, semen
"Tuan, gaun saya... tersangkut," suara Melody terdengar pelan, hampir tak terdengar, namun cukup bagi Arjuna untuk mendengarnya.Arjuna menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu dengan gerakan tegas membuka sedikit pintu mobil. Melody segera menarik sisa kain gaun yang terjepit keluar, gerakan tangannya tampak canggung. Para wartawan semakin mendekat, suara klik kamera mulai terdengar."Alex, cepat, jalankan mobilnya!" Arjuna memberi perintah dengan nada tajam.Arjuna memandangi Melody, ekspresinya mulai berubah kesal. "Seharusnya kamu tidak memakai gaun seperti itu," katanya dengan suara yang berat, "Menyusahkan saja."Melody menunduk, sedikit ragu sebelum mengangkat wajahnya dengan mata yang tampak penuh kesungguhan. "Tapi Tuan... gaun ini pemberian Tuan." Arjuna membuang pandangannya kearah jendela, bibirnya terkatup rapat. Bagaimana ia bisa lupa dengan gaun pemberiannya? Alex melaju kencang, terdesak oleh sejumla
"Alex, bagaimana perkembangan berita semalam?" tanya Arjuna, matanya tajam menatap, seakan menunggu jawaban yang bisa mengubah arah percakapan ini.Alex buru-buru memeriksaponselnya, mencari berita yang semalam sempat menggemparkan. Berita tentang Arjuna dan Melody di pesta itu, yang sempat viral. Namun, saat membuka layar, yang ia temukan justru keheningan. Tidak ada lagi berita Arjuna dan Melody. Yang ada kini, hanyalah video mesum seorang model yang tiba-tiba menguasai pemberitaan pagi ini."Berita tentang Tuan dan Nona Melody? Sudah tak terdengar lagi di media sosial. Sekarang, yang jadi sorotan adalah sebuah video viral yang memperlihatkan panas seorang model berinisial N.A." Arjuna mengernyitkan dahinya, ia meraih ponselnya, penasaran dengan berita viral yang baru saja disebutkan Alex."Cari tahu siapa model itu. Aku ingin semua informasi tentangnya," perintah Arjuna dengan suara tegas dan penuh kekuasaan."Segera, Tuan," jawab Alex, cepat dan penuh kesungguhan.Belum sempat A
Melody perlahan membuka matanya, perasaan hangat dan nyaman menyelimutinya, berkat efek obat pereda rasa sakit yang membuatnya bisa beristirahat dengan tenang. Namun, ada sesuatu yang membuatnya tersenyum kecil, Arjuna yang tertidur di kursi samping ranjangnya, tangannya masih menggenggam lembut tangan Melody.Dengan hati-hati, Melody menggerakkan jarinya, membelai rambut Arjuna yang berantakan. Meskipun gerakan itu lembut, tak lama kemudian Arjuna terbangun, dan dengan cepat Melody menarik tangannya, merasa malu."Sudah bangun? Apa kamu masih merasa sakit?" tanya Arjuna, suaranya dingin seperti biasanya, tapi Melody bisa merasakan kehangatan yang tersembunyi dalam kata-katanya.Melody menundukkan kepala, sedikit canggung. "Sedikit, apa saya bisa pulang sekarang, Tuan? Kasihan Alea, dia pasti sedih."Arjuna hanya mengangguk pelan, namun jawabannya singkat, membuat suasana sedikit kaku. "Belum," kata Arjuna. Lalu dengan suara lebih pelan, "Alea ada Alex dan Arumi."Melody hanya terseny
Setibanya di rumah sakit, suasana semakin mencekam, seperti terperangkap dalam kegelapan yang tak terhindarkan. Melody segera dilarikan ke ruang UGD, tubuhnya yang lemas terguncang oleh setiap detik yang berlalu. Arjuna duduk gelisah di ruang tunggu, matanya kosong namun dipenuhi kecemasan. Setiap detak jantungnya seolah menjadi guntur yang mengguncang dada, rasa takut yang tak terkendali semakin menguasai dirinya.Sasha muncul, duduk dengan santai di samping Arjuna. Wajahnya tidak menunjukkan kepanikan sedikit pun. "Melody selalu menyusahkan saja," ujarnya dengan nada sinis. "Dari awal kamu harusnya cari pengganti dia."Arjuna menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Semua ini nggak akan terjadi kalau kamu nggak egois!" teriaknya, suaranya bergetar karena emosi yang meluap.Namun, tidak ada waktu lebih lama untuk berdebat. Dokter yang menangani Melody keluar, wajahnya serius dan penuh kekhawatiran. "Ikuti saya," katanya, tanpa banyak bicara.Begitu mereka duduk di ruang dokter, kete
Setibanya di rumah, suasana semakin terasa tegang. Begitu mereka memasuki ruang tamu, Arjuna berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya menatap Melody dengan tatapan yang penuh keraguan dan kecemasan."Melody," katanya dengan suara pelan, namun tegas, "Apakah keputusan yang kamu ambil sudah kamu pikirkan dengan matang?"Melody hanya berdiri, menatap Arjuna dengan tatapan kosong, mencoba menutupi kerisauan yang menyelubungi hatinya. Dia tahu betul apa yang diinginkan Arjuna, namun rasa tanggung jawabnya terhadap janin ini jauh lebih besar dari apapun."Keputusan saya sudah bulat, Tuan," jawab Melody dengan suara yang tegas, meski ada sedikit getaran dalam setiap kata yang diucapkannya. "Saya akan tetap pertahankan janin ini."Arjuna, yang masih belum bisa menerima kenyataan, mendekat dan memegang kedua pundak Melody dengan lembut, namun ada ketegangan yang jelas terbayang di wajahnya. "Melody," suaranya berubah menjadi lebih serius, lebih dalam, "Pikirkan kembali. Pik
Keesokan harinya, suasana pagi itu terasa berat, penuh dengan ketegangan yang tak terungkapkan. Melody, Arjuna, dan Sasha berada di dalam mobil, masing-masing terbenam dalam pikiran mereka sendiri. Saat mobil berhenti di depan gedung rumah sakit, Arjuna, yang biasanya tenang dan penuh kontrol, secara refleks menggenggam tangan Melody dengan lembut. Genggaman itu, meski sederhana, terasa begitu berat. Melody, yang merasakan sentuhan itu, seolah terhenti sejenak. Jantungnya berdebar hebat, seperti ada ribuan serangga yang berkumpul di dalam dadanya, merayap naik ke tenggorokan, mematikan kata-kata. Sasha, yang duduk di kursi belakang, menatap pemandangan itu dengan rasa tidak suka yang begitu jelas. "Sayang," suaranya tajam, penuh nada protes, "Kita tidak sedang menyeberangi jalan. Kenapa kamu harus menggenggam tangannya seperti itu?" Nada suaranya mencerminkan kecemburuan yang tak bisa disembunyikan, seolah mengingatkan Arjuna akan kenyataan yang tak bisa ia elakkan.Arjuna, yang m
Melody terbaring lemah di atas ranjang, wajahnya pucat, matanya setengah tertutup, seolah dunia di sekitarnya berputar begitu cepat. Arjuna, Sasha, dan dokter sudah berkumpul di sekelilingnya, masing-masing menatap dengan kecemasan yang tak bisa disembunyikan. Dokter itu, dengan tangan terampil, memeriksa kondisi Melody, namun ekspresinya berubah serius setelah beberapa saat. Ia berhenti sejenak, memandang Melody dengan pandangan penuh perhatian."Kapan terakhir kali Nona datang bulan?" suara dokter itu terdengar lembut, namun ada keheningan yang terasa begitu berat.Melody menatap ke bawah, mengumpulkan tenaga untuk menjawab, suara nyaris tak terdengar. "Sekitar satu bulan yang lalu, dan... hingga akhir bulan ini, saya belum juga datang bulan, Dok."Dokter itu mengangguk perlahan, senyum tipis muncul di wajahnya. Namun, ia tak segera mengalihkan pandangannya dari Melody. Sekilas, ia melirik Arjuna yang berdiri di dekat pintu, wajahnya tersembunyi di balik bayangan, namun matanya beg
Arumi berdiri di sudut dapur yang remang-remang, memegang ponselnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Suasana yang sepi menambah ketegangan di dalam hatinya. Ia mengangkat telepon dari Barata dengan hati-hati, memastikan tidak ada orang yang mendengar percakapannya.“Arumi, kamu dengar aku?” suara Barata terdengar rendah dan penuh tekanan.Arumi mendekatkan telepon ke telinga, berusaha berbicara dengan pelan. “Iya, saya dengar. Apa yang harus saya lakukan sekarang?”Suara Barata terdengar seperti berbisik dari ujung telepon, "Apa kamu punya rencana baru?"Arumi menelan ludah, menatap sekeliling dapur dengan waspada. "Saya sebenarnya sudah punya rencana...."Namun, tepat saat itu, tiba-tiba sebuah tangan menepuk punggungnya dengan keras. Arumi terlonjak kaget, hampir saja menjatuhkan ponselnya. Ia menoleh dengan cepat."Bibi sedang telepon siapa?"Keheningan yang menggantung di udara pecah ketika Alex memecahnya dengan suara yang datar dan penuh penekanan.Arumi tersentak, jantungnya
"Sayang, aku dengar kamu batalkan kerja sama dengan Pak Barata?" tanya Sasha dengan suara serak, mencoba menahan kegelisahan yang menggerogoti hatinya.Arjuna melepaskan dasinya dengan gerakan cepat, lalu menoleh dengan pandangan yang tajam, "Dari mana kamu tahu?" jawabnya, suaranya rendah, seolah membawa beban yang berat."Aku tahu dari Leo," ujar Sasha, hampir berbisik. "Dia memintaku untuk membujukmu, agar kamu jangan batalkan kerja sama itu."Arjuna diam sejenak, lalu terbaring di kasur, seolah ingin tenggelam dalam pikiran yang membingungkan dan kacau. Angin malam berhembus lembut melalui jendela yang terbuka, menambah keheningan yang mendalam.Sasha, tak bisa duduk diam, akhirnya duduk di tepi ranjang dan menyentuh lengan Arjuna dengan lembut, seakan mencoba memberi ketenangan pada jiwa yang tengah bergelora. "Sayang, aku rasa keputusanmu itu salah besar."Arjuna menghela napas panjang, kemudian menjawab dengan nada datar namun tegas, "Keputusanku sudah tepat. Aku tidak bisa han
Kenapa Tuan mengatakan hal itu pada Tuan Barata?" tanya Melody, suaranya bergetar sedikit saat ia duduk kembali di dalam mobil, tatapannya penuh tanya dan bingung.Dengan ekspresi serius, Melody melanjutkan, "Bukankah Tuan dan Nyonya sendiri yang meminta agar status saya di keluarga kalian tetap disembunyikan? Lalu kenapa tiba-tiba... seperti itu?"Arjuna terdiam, perlahan mengatur pernafasannya yang mulai terasa berat. Rasa bingung dan kekesalan menyelimuti hatinya, seolah ada kekuatan yang tak terduga mendorongnya untuk membongkar rahasia itu di hadapan Barata. Ia tak mengerti mengapa kata-kata itu bisa keluar begitu saja, seakan-akan semuanya terjadi tanpa kendali. Keheningan semakin menekan, membiarkan pertanyaan-pertanyaan tak terjawab terus menggelayuti pikirannya."Saya takut karir Nyonya Sasha akan hancur jika Tuan Barata membeberkan rahasia ini pada media," ujar Melody dengan nada gugup, matanya tak berani menatap Arjuna.Arjuna menatapnya tajam, suaranya berubah tajam dan p
Melody berjalan dengan langkah yang masih gemetar, setiap langkah terasa lebih berat dari sebelumnya. Hati dan pikirannya bergejolak, dipenuhi dengan rasa takut dan kecemasan yang semakin mendalam. Saat sampai di pintu kamar Alea, ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Begitu pintu terbuka, Alea yang duduk di sudut kamar langsung berlari kecil menyambutnya. “Ibu!” Alea memanggil dengan riang, melompat ke pelukan Melody. “Alea kangen, Ibu!"Melody membalas pelukan Alea, merasakan kehangatannya yang sedikit menenangkan. Namun, kekhawatiran tentang ancaman Sasha terus membayangi pikirannya. Melihat Alea, Melody merasa beban semakin berat di dadanya.Alea melepas pelukan dan menatap ibunya dengan penuh perhatian. “Ibu kenapa sih? Kok mukanya kayak capek banget?” tanya Alea, khawatir melihat ekspresi Melody yang tampak lelah.Melody tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegelisahannya di balik wajah yang lembut. “Ibu nggak