"Ma-maf Tuan, saya tidak sengaja," Melody segera bangkit dari pelukan Arjuna.Sementara itu sang juru rias hanya bisa menutup mulut dengan kedua telapak tangan, melihat insiden yang barubsaja terjadi. Sedangkan Arjuna melirik kearah Melody tatapannya berhenti sejenak, melihat penampilan Melody yang sangat berbeda."Bos, aku bakalan latih Melody sampai bisa, maaf ya Bos," ujar juru Make up yang takut dipecat."Buktikan kinerjamu, nanti malam aku lihat hasilnya," ujar Arjuna yang langsung berlalu pergi.Juru make up itu kembali mendekat kearah Melody, "Ayo coba lagi, waktu kita sangat terbatas.sLantas Melody pun kembali berlatih memakai heels, kali ini ia bersungguh Sungguh berlatih menyeimbangkan tubuhnya, agar setiap langkah kakinya berjalan lancar.Malam pun tiba, dan pesta dari rekan kerja Arjuna dimulai. Ballroom yang megah dipenuhi tamu-tamu anggun, berbincang dan tertawa riang. Lampu kristal memancarkan cahaya lembut, semen
"Tuan, gaun saya... tersangkut," suara Melody terdengar pelan, hampir tak terdengar, namun cukup bagi Arjuna untuk mendengarnya.Arjuna menutup matanya sejenak, menarik napas panjang, lalu dengan gerakan tegas membuka sedikit pintu mobil. Melody segera menarik sisa kain gaun yang terjepit keluar, gerakan tangannya tampak canggung. Para wartawan semakin mendekat, suara klik kamera mulai terdengar."Alex, cepat, jalankan mobilnya!" Arjuna memberi perintah dengan nada tajam.Arjuna memandangi Melody, ekspresinya mulai berubah kesal. "Seharusnya kamu tidak memakai gaun seperti itu," katanya dengan suara yang berat, "Menyusahkan saja."Melody menunduk, sedikit ragu sebelum mengangkat wajahnya dengan mata yang tampak penuh kesungguhan. "Tapi Tuan... gaun ini pemberian Tuan." Arjuna membuang pandangannya kearah jendela, bibirnya terkatup rapat. Bagaimana ia bisa lupa dengan gaun pemberiannya? Alex melaju kencang, terdesak oleh sejumla
"Alex, bagaimana perkembangan berita semalam?" tanya Arjuna, matanya tajam menatap, seakan menunggu jawaban yang bisa mengubah arah percakapan ini.Alex buru-buru memeriksaponselnya, mencari berita yang semalam sempat menggemparkan. Berita tentang Arjuna dan Melody di pesta itu, yang sempat viral. Namun, saat membuka layar, yang ia temukan justru keheningan. Tidak ada lagi berita Arjuna dan Melody. Yang ada kini, hanyalah video mesum seorang model yang tiba-tiba menguasai pemberitaan pagi ini."Berita tentang Tuan dan Nona Melody? Sudah tak terdengar lagi di media sosial. Sekarang, yang jadi sorotan adalah sebuah video viral yang memperlihatkan panas seorang model berinisial N.A." Arjuna mengernyitkan dahinya, ia meraih ponselnya, penasaran dengan berita viral yang baru saja disebutkan Alex."Cari tahu siapa model itu. Aku ingin semua informasi tentangnya," perintah Arjuna dengan suara tegas dan penuh kekuasaan."Segera, Tuan," jawab Alex, cepat dan penuh kesungguhan.Belum sempat A
Arjuna memutuskan untuk membawa kembali Melody dan Alea ke rumah, karena berita viral tersebut sudah menghilang dari media sosial. Lantas, Melody pun kini bersiap-siap untuk kembali ke kediaman Arjuna."Bu, Alea bisa kembali ke sekolah kan? Alea nggak mau sekolah privat, Bu, bosan banget," rengek Alea, matanya memohon.Melody tersenyum lembut, meski tampak sedikit ragu. "Iya, Nak, nanti ibu yang akan bicara sama Tuan, tapi kalau Alea sudah kembali ke sekolah, ibu yang antar setiap hari, ya," jawabnya pelan.Alea terkejut dan sedikit bingung. "Loh, kenapa, Bu? Kan ada Om Rafi yang antar, Bu," tanyanya, wajahnya menunjukkan keheranan."Nggak papa, Nak. Ibu cuma pengen tahu gimana perkembangan sekolah kamu, biar ibu bisa lebih dekat sama kamu," jawabnya dengan senyum yang agak dipaksakan.Melody sudah tidak bisa lagi mempercayakan putrinya pada Rafi. Ketakutan menyelimuti hatinya, membayangkan jika suatu saat Rafi tanpa sengaja mengungkapkan
Pagi itu, Melody bersiap untuk mengantarkan Alea. Arjuna telah memerintahkan Rafi untuk mengantar Alea ke sekolah, namun Melody menolak dengan alasan ia ingin mengetahui perkembangan sekolah putrinya."Alea, ayo cepat Nak, sudah hampir siang!" teriaknya sambil menunggu Alea yang sibuk mencoba sepatu.Alea mengangkat kepala dan tersenyum, "Ayo, Bu! Alea udah siap kok, kita naik apa ke sekolah?"Melody mendekat sambil tersenyum lebar. "Kita naik angkot, Nak. Kamu suka kan?" tanyanya, sambil melirik Alea dengan penuh kehangatan."Ayoo, asyik!" jawab Alea ceria, lalu berlari menghampiri ibunya.Alea mengangguk penuh kegembiraan, tak sabar merasakan perjalanan ke sekolah bersama ibunya. Namun, baru beberapa langkah mereka berjalan menuju jalan besar, sebuah mobil tiba-tiba berhenti di depan mereka, mengejutkan Melody dan Alea."Cepat naik!" seru seorang pria didalam mobil itu, yang ternyata Arjuna.Melody terdiam, kebingungan
"Kerja bagus! Pokoknya sebisa mungkin kamu harus bisa pertemukan aku dengan wanita itu."Barata menutup panggilan telepon itu dengan senyum penuh kepuasan, seakan kemenangan telah sepenuhnya ada di tangannya. Akhirnya, ia berhasil mengungkap siapa wanita yang Arjuna bawa malam itu, saat pesta yang penuh teka-teki."Leo, aku akhirnya tahu siapa wanita yang bersama Arjuna itu," ujar Barata dengan nada serius, matanya tajam menatap jauh.Leo mengangkat alis, tersenyum lebar, lalu bertepuk tangan perlahan. "Wah, ini baru yang namanya bos yang selalu tepat sasaran! Apa pun yang dia inginkan, pasti dia dapatkan," ujarnya dengan nada mengagumi.Barata menarik napas panjang, seolah merenung sejenak sebelum melanjutkan. "Wanita itu... dia berbeda, Leo. Aku rasa dia bisa mengisi kekosongan yang sudah lama aku rasakan. Aku ingin dia menjadi bagian dari hidupku."Leo mengangguk penuh pengertian, lalu dengan luwes menuangkan segelas wiski ke dalam gel
"Tunggu sebentar."Pria itu tak henti-hentinya mengikuti Melody, seolah-olah enggan melepaskannya begitu saja. Melody berjalan cepat, langkahnya terasa terburu-buru menuju mobil, seolah ingin menghindari kejaran yang tak kunjung berhenti. Di dalam mobil, Rafi yang sedang menunggu menatap heran, matanya melebar melihat Melody yang tengah diikuti seorang pria yang tampak tak akan mundur."Siapa pria itu, Mel?" tanya Rafi sambil melangkah keluar dari dalam mobil, matanya menatap Melody dengan penuh rasa penasaran.Melody terdiam sejenak, menatap ke arah pria itu yang kini semakin menjauh. Dengan nada tergesa, ia berkata, "Ayo, cepat! Lebih baik kita segera pulang.Mereka buru-buru masuk ke dalam mobil, pintu ditutup dengan cepat. Namun, saat Rafi menyalakan mesin, sesuatu terasa aneh. Mobil itu mengeluarkan suara gemuruh yang tidak biasa, dan mesinnya terasa berat. Ketika ia mencoba menekan pedal gas, mobil itu bergerak pelan, seolah-olah ada ha
Melody yang hendak membuka pintu kamarnya, terhenti sejenak. Tubuhnya kaku begitu matanya menangkap sosok Sasha berdiri tepat di belakangnya. Tanpa kata, Sasha melangkah maju, mendekat dengan langkah pelan namun pasti."Sudah hampir seminggu sejak malam pertama kedua kalian. Saatnya cek hasilnya," ujar Sasha dengan suara tenang, namun matanya tajam. Ia menyodorkan kantong plastik yang berisi tiga alat tes kehamilan kepada Melody.Melody menatap kantong itu, napasnya terhenti sejenak. "Baik, Nyonya," jawabnya dengan sedikit gemetar, mengambil kantong plastik itu. "Aku akan cek sekarang juga.""Begitu selesai, temui aku di ruang tengah," ujar Sasha. Ia melangkah pergi dengan langkah cepat, meninggalkan Melody yang masih berdiri, merenungi apa yang akan datang.Melody menggenggam erat kantong plastik itu, jari-jarinya terasa kaku, menahan gemetar yang tak bisa ia sembunyikan. Ketegangan kembali menyelimutinya, menghimpit dadanya. Setiap kali ia
"Bagaimana bisa kamu melupakan ponselmu, Leo?!" Nada suara Sasha tajam, nyaris seperti teriakan. Wajahnya merah padam, campuran antara marah dan panik. Matanya menatap Leo penuh tuduhan. Leo membeku sejenak, lalu buru-buru memutar balik setir mobil, mengarahkan kendaraan kembali ke café tempat mereka sarapan tadi. Tangannya gemetar di kemudi, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kalau sampai ponselmu diambil orang, tamat sudah riwayatku. Kamu benar-benar bodoh!" Suaranya seperti cambuk yang memecah kesunyian kabin mobil. "Kamu pikir semua isi ponselmu itu cuma daftar kontak dan foto kucing?!" "Cukup, berhenti berteriak. Itu nggak akan menyelesaikan apa pun," Leo balas dengan suara yang lebih tenang, namun nada khawatir dalam suaranya tak bisa disembunyikan. "Semoga saja ponselku masih ada." Sasha menyilangkan tangan di dada, berusaha tetap tenang, tapi pikirannya sudah dipenuhi skenario terburuk. Di dalam ponsel itu ada terlalu banyak—terlalu banyak yang tidak boleh oran
Mentari pagi menembus jendela kamar, menyinari wajah tenang Melody yang masih terlelap bersama Alea, putrinya. Hangat cahaya pagi menyentuh kelopak matanya, memaksanya perlahan membuka mata. Dengan gerakan lembut namun letih, ia bangkit dari ranjang, melangkah ke jendela dan menghirup udara sejuk puncak yang biasanya menenangkan hati. Tapi pagi itu… ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuat udara pun terasa sesak.Tiba-tiba, getaran dari ponselnya memecah keheningan. Layarnya menyala, menampilkan pesan dari nomor tak dikenal.[Hai Melody, bagaimana rasanya menjadi nyonya? Apa kamu senang? Tapi jangan terlena. Ingat posisimu, jika kau ingin putrimu tetap baik-baik saja. Aku tidak main-main, Melody.]Pesan itu membuat darah Melody seolah berhenti mengalir. Jantungnya berdetak cepat, tangan gemetar saat menggenggam ponsel. Nafasnya memburu—bukan karena udara dingin pagi, tapi karena rasa takut yang tiba-tiba mencengkeram. Ia tahu... Ia tahu betul siapa yang mengirim pesan itu. Belu
Alex terus membuntuti mobil Sasha, yang melaju seperti peluru di tengah malam. Mesin mobil meraung, ban menghantam aspal, dan lampu-lampu jalan memantul di kaca depan seperti kilatan mimpi buruk. Tapi Alex tak mengendurkan gas sedikit pun. Matanya fokus, napasnya cepat. Ia tak boleh kehilangan jejak—bukan sekarang.Setelah beberapa menit membelah jalanan kota dengan kecepatan tinggi, akhirnya mobil Sasha berbelok tajam dan masuk ke sebuah kompleks apartemen mewah. Alex segera mematikan lampu utama mobil dan menjaga jarak. Ia meraih ponselnya dan mulai merekam—semua harus terdokumentasi, ini bisa jadi bukti penting untuk Arjuna.Dari kejauhan, Alex melihat Sasha turun dari mobil. Mini dress cokelatnya berkibar ditiup angin malam, rambut panjangnya tampak berkilau di bawah cahaya lampu taman. Tapi yang membuat Alex terhenyak bukanlah penampilan Sasha—melainkan sosok pria yang menyambutnya di pintu utama. Lelaki itu tersenyum lebar, memeluk Sasha seolah mereka sudah lama saling mengenal,
"Alex, kamu awasi dia... kamu pantau terus. Urusan ke vila, aku bisa nyetir sendiri," suara Arjuna terdengar tegas, tapi ada getar halus di ujung kalimatnya—seperti seseorang yang menahan amarah atau justru menahan luka."Baik, Tuan," jawab Alex cepat sambil mengangguk. Nada suaranya tegas, tapi matanya sempat menatap Arjuna sejenak, seolah ingin memastikan... bahwa pria itu benar-benar baik-baik saja.Tanpa banyak tanya lagi, Alex segera berbalik. Langkahnya cepat dan penuh beban. Ia kembali ke rumah, bersiap menunggu Sasha pulang. Tapi kalau wanita itu tak juga muncul, Alex tahu betul ke mana ia harus pergi—kembali ke klub, kembali ke sumber semua masalah.Sementara itu, Arjuna melanjutkan perjalanan ke puncak. Jalanan berkelok diselimuti kabut tipis, tapi bukan kabut itu yang membuat pandangannya kosong. Senyum Alea di jok belakang terus mengembang, polos dan tanpa beban. Tapi Arjuna—dia justru membisu, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Wajahnya keras, tapi sorot matanya... penuh
"Jangan lama-lama pelukannya, kasihan bayi di perut Ibu..."Suara Alea yang polos namun tajam itu memecah keheningan. Arjuna dan Melody sontak terdiam, seolah tersengat kenyataan yang baru saja diucapkan gadis kecil itu. Suasana haru yang semula hangat mendadak berubah menjadi canggung dan tak menentu.Melody buru-buru menyeka air mata yang masih menggantung di pipinya, lalu menghampiri Alea yang sudah duduk manis di atas kasur. Arjuna yang sempat mematung, mencoba menenangkan gejolak di dadanya, kemudian menyusul dengan langkah pelan."Tuan Papah, kalau ketahuan Tante Macan bisa kena marah, loh," celetuk Alea, matanya menyipit, menyimpan kekonyolan yang tak pernah gagal menghidupkan suasana.Melody tersenyum kaku, lalu mengusap lembut lengan kecil Alea. "Alea, jangan bicara seperti itu, ya. Jangan panggil Nyonya Sasha dengan sebutan Tante Macan."Alea menatap ibunya sekilas, lalu melirik Arjuna dengan gaya seolah menyampaikan rahasia besar. Arjuna hanya mengangguk sambil tersenyum ti
Sasha berlari naik tangga, napasnya memburu seiring dengan detak jantung yang tak karuan. Setiap langkah terasa berat, seperti menahan luapan emosi yang sudah tak bisa dibendung lagi. Matanya memerah, wajahnya tegang menahan amarah yang mendidih dalam dadanya.Begitu sampai di kamar, ia membuka pintu dengan kasar—BRAK!—dan langsung menghambur masuk. Hatinya bergemuruh, seolah dikhianati oleh seluruh dunia."BRENGSEK!!!" teriaknya lantang, nyaris histeris.Tangannya yang gemetar mulai mengobrak-abrik meja rias. Parfum, lipstik, sisir, dan botol skincare beterbangan ke lantai, berserakan bagai sisa-sisa hatinya yang hancur."Janda itu… Janda sialan itu… Dia benar-benar mau rebut Arjuna dariku!"PRANGG!Sebuah botol kaca dilemparnya ke cermin—kaca itu pecah, retakannya menjalar seperti jaring laba-laba, memantulkan wajah Sasha yang dipenuhi amarah dan luka. Matanya berkaca-kaca, tapi tak ada air mata—hanya kebencian yang membara.Ia menarik napas berat, mengambil tas dengan gerakan kasar
Sasha terkejut, matanya membelalak lebar, dan sekejap rasa takut menguasai dirinya. Dengan cepat ia menyadari arti dari kata-kata Arjuna, sebuah kenyataan yang membuatnya terhenyak. Jika begini, maka semua rencananya untuk menguasai harta Arjuna akan sia-sia."J-jangan... Bukan begitu sayang, aku hanya khawatir kamu akan berpaling dariku, maafkan aku, sayang," suara Sasha terputus, hampir tenggelam dalam isak tangis, saat ia memeluk Arjuna dengan erat, seolah takut kehilangannya.Namun Arjuna hanya diam, wajahnya tetap dingin dan kosong. Tangan Sasha meremas pakaiannya, tapi pelukan itu tak mendapat respon. Ada perasaan aneh yang merayapi hati Arjuna, sebuah perasaan yang tak bisa ia nafikan. Meskipun bibirnya bungkam, hatinya tak bisa berbohong. Perasaan yang mulai tumbuh untuk Melody, untuk Alea—gadis kecil yang telah memberi warna baru dalam hidupnya—semuanya mulai menghantui pikirannya. Sasha tidak bisa lagi menjadi pusat dunia Arjuna."Alex,
Dokter dan perawat di rumah sakit itu seolah membeku, terpaku dalam ketegangan mendalam mendengar ancaman yang keluar dari mulut Arjuna. Di sudut ruang yang sunyi itu, suasana menjadi sangat berat, setiap kata yang diucapkan menggantung di udara. Barata menggenggam erat pergelangan tangannya, napasnya tersengal. Wajahnya tampak berwarna merah marah. Sementara Arjuna, dengan wajah dingin, membantu Melody untuk duduk di kursi roda, perlahan-lahan."Barata, dengar baik-baik. Aku peringatkan, jangan ganggu Melody lagi. Kalau kau sekali lagi bertindak gila seperti ini, hidupmu akan hancur," ancam Arjuna, suaranya penuh ketegasan. Setelah berkata demikian, dia segera mendorong kursi roda dengan langkah cepat, meninggalkan ruang yang semula penuh amarah itu.Suripto, yang sejak tadi terdiam, maju perlahan, berusaha menahan Arjuna. Namun, Barata dengan gerakan cepat menarik pundak Suripto, menghentikan langkahnya."Tuan, kenapa Tuan biarkan Arjuna membawa Melody pergi?" tanya Suripto."Arju
Barata akhirnya tiba di Rumah Sakit Kencana, suasana tegang langsung menyelimuti udara saat Suripto membuka pintu mobil dan membantunya mengangkat Melody yang terkapar lemas. Melody meronta, tubuhnya berusaha menolak, namun tak ada yang bisa menahan kekuatan dua pria yang kini memaksanya berjalan dengan paksa."Lepaskan saya... saya tidak mau kehilangan bayi saya... tindakan Tuan sudah melanggar batas!" teriak Melody, suara tenggelam dalam isak tangis yang tak tertahankan.Barata menatapnya, wajahnya penuh dengan tekad yang dingin. "Justru aku sedang menyelamatkan hidupmu, Melody. Bersamaku, kamu akan bahagia. Tidak ada lagi yang menghalangi kita. Kamu satu-satunya di hidupku. Bukan seperti Arjuna yang sudah punya istri," ucapnya dengan suara serak, penuh pengaruh.Melody menatap Barata dengan tatapan penuh kebencian, namun tubuhnya terasa lemah dan tak mampu melawan lagi. Langkahnya dipaksa menuju ruang dokter kandungan, dan sekelompok perawat serta dokter yang ada di dalam ruangan i