"Bagaimana bisa kamu melupakan ponselmu, Leo?!" Nada suara Sasha tajam, nyaris seperti teriakan. Wajahnya merah padam, campuran antara marah dan panik. Matanya menatap Leo penuh tuduhan. Leo membeku sejenak, lalu buru-buru memutar balik setir mobil, mengarahkan kendaraan kembali ke café tempat mereka sarapan tadi. Tangannya gemetar di kemudi, keringat dingin mulai membasahi pelipisnya. "Kalau sampai ponselmu diambil orang, tamat sudah riwayatku. Kamu benar-benar bodoh!" Suaranya seperti cambuk yang memecah kesunyian kabin mobil. "Kamu pikir semua isi ponselmu itu cuma daftar kontak dan foto kucing?!" "Cukup, berhenti berteriak. Itu nggak akan menyelesaikan apa pun," Leo balas dengan suara yang lebih tenang, namun nada khawatir dalam suaranya tak bisa disembunyikan. "Semoga saja ponselku masih ada." Sasha menyilangkan tangan di dada, berusaha tetap tenang, tapi pikirannya sudah dipenuhi skenario terburuk. Di dalam ponsel itu ada terlalu banyak—terlalu banyak yang tidak boleh oran
Setelah tiba di rumah, Arjuna tak berkata apa-apa. Ia langsung menggandeng tangan Melody dengan lembut, membawanya menuju kamar. Gerak-geriknya penuh kehati-hatian, seolah Melody adalah sesuatu yang rapuh dan sangat berharga. Di kamar, ia membantu Melody berbaring, menyelimutinya dengan penuh perhatian."Istirahatlah... Aku harus ke kantor siang ini," ucap Arjuna akhirnya, namun nadanya datar—seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan di balik ketenangan itu.Melody mengangguk pelan, matanya masih menatap wajah Arjuna. "Terima kasih... Tuan ke kantor bersama Alex, kan?""Aku sendiri. Alex sudah lebih dulu ke sana," jawab Arjuna singkat, tanpa menatap langsung.Ada jeda. Keheningan sejenak yang terasa berat."Kalau begitu, Tuan... hati-hati ya. Ngebut di jalan itu sangat berbahaya," ujar Melody, suaranya terdengar cemas. Matanya menyiratkan kegelisahan yang sulit disembunyikan.Arjuna akhirnya menatap Melody. Tatapannya dalam, tajam, namun penuh rasa. Dalam sorot matanya, tersimpan sesuat
"Aku mohon... tolong dengarkan aku, dengarkan penjelasanku, Arjuna," suara Sasha bergetar, matanya memerah dan napasnya terengah karena menahan tangis. "Aku... aku benar-benar dijebak... Aku tahu aku salah karena menyembunyikannya darimu, tapi aku mohon... jangan ceraikan aku. Aku... aku tidak bisa hidup tanpamu."Namun Arjuna hanya memandangnya dengan tatapan dingin, matanya tak menyiratkan sedikit pun rasa iba. Hatinya telah membeku, hancur oleh kenyataan pahit yang menamparnya lewat layar ponsel—foto, pesan, dan bukti lain dari pengkhianatan istrinya."Sudah cukup, Sasha." Suaranya rendah tapi tajam. "Kamu cuma menginginkan hartaku, bukan? Itu tujuanmu dari awal, kan?"Ia bangkit, berjalan pelan menuju lemari, membuka lacinya, lalu mengambil cek kosong. Di depannya, dengan tangan yang dingin namun tegas, ia menuliskan angka satu miliar rupiah, lalu dengan gerakan cepat dan kasar, ia melempar cek itu tepat ke wajah Sasha."Ambil itu... dan keluar dari rumah ini. Mulai sekarang, kamu
Arjuna mengunci rapat pintu rumahnya. Suara gemeretak kunci terdengar seperti lonceng kematian akhir dari segalanya. Tidak ada lagi Sasha dalam hidupnya. Tidak ada lagi bayang-bayang masa lalu. Arjuna sudah benar-benar melepas wanita yang dulu sangat dicintainya. Ia tak ingin lagi ada ikatan, tak ingin lagi dibelenggu oleh cinta yang ternyata semu.Dari balik pintu, suara Sasha menggema, penuh tangis dan keputusasaan."Arjuna... tolong jangan usir aku... jangan ceraikan aku... aku bisa mati tanpa kamu!" teriak Sasha, nyaring dan pilu.Tangannya menggedor-gedor pintu seakan mencoba menembus dinding kayu yang jadi saksi keretakan rumah tangga mereka. Namun Arjuna tetap diam, dadanya sesak, tapi ia memilih membatu. Keteguhannya kini bukan tentang amarah, tapi tentang luka yang terlalu dalam untuk dimaafkan.Di dalam ruangan, Melody berdiri kaku. Matanya berkaca-kaca, tenggorokannya tercekat. Semua terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung usai."Tuan... kenapa semua jadi begini?" suara
"SEMUA INI GARA-GARA KECEROBOHANMU, LEO!!"Suara Sasha meledak, menggema tajam di kamar Leo yang sempit dan pengap. Kata-katanya seperti peluru, dilontarkan dengan penuh amarah dan luka yang belum sembuh. Wajahnya memerah, matanya berair tapi tak setetes pun jatuh. Ia menahan tangis yang mendidih bersama kemarahannya.Leo berdiri membeku, rahangnya mengeras. "Terus saja menyalahkanku, apa dengan menyalahkanku kamu bisa kembali ke rumah itu?"Sasha berteriak histeris, suaranya parau dan penuh keputusasaan, seakan seluruh isi dadanya meledak jadi serpihan luka. "AAAHHHH!!!"Ia menjatuhkan dirinya ke lantai, menarik koper pakaiannya dengan kasar, mengobrak-abrik isinya tanpa arah. Pakaian dalam, sepatu, tas-tas brandednya, semua berserakan. Tapi apa artinya semua itu sekarang? Semua kemewahan yang dulu dia banggakan lenyap dalam sekejap. Ia kini janda. Sebuah kata yang begitu pahit, menyesakkan, menyakitkan.Sasha terisak pelan, tapi matanya membara. Ia bangkit dengan gemetar, lalu mence
Suster itu melangkah pelan mendekati ranjang Melody. Suara langkah kakinya yang tertahan menyatu dengan detak jantung Melody yang kian cepat. Ia hanya bisa menatap, mencoba tersenyum tipis, meski hatinya diliputi rasa aneh yang tak bisa dijelaskan."Silakan, Sus..." bisiknya pelan, mempersilakan suster itu mengecek infusannya.Namun, alih-alih memeriksa, suster itu malah menurunkan infus seperti hendak menggantinya. Gerak-geriknya terasa dingin dan terburu, jauh dari kesabaran hangat para perawat biasanya."Sus... infusannya masih penuh," ujar Melody, alisnya mengernyit bingung.Tak ada jawaban. Hanya tatapan tajam yang membuat bulu kuduknya meremang. Dan sebelum sempat bertanya lebih jauh, suster itu mencabut infusnya tanpa aba-aba."Auww!" seru Melody tertahan, tangannya spontan meraih lengan, menahan perih. "Kenapa infus saya dicabut? Sus...?"Namun suster itu tetap diam. Hanya berdiri di sana, mengamati Melody yang meringis. Kemudian, dengan perlahan namun penuh tekanan, ia melepa
"Alex, setelah ini kamu antar Alea pulang," ujar Arjuna, suaranya berat menahan kegelisahan."Tuan Papah... memangnya Alea nggak bisa terus di sini nemenin Ibu?" tanya Alea lirih, wajahnya sendu, mata berkaca-kaca menatap harap.Arjuna menghela napas, mencoba bersikap tenang meski hatinya ikut remuk melihat kesedihan Alea. "Rumah sakit ini punya aturan, Nak. Tapi tenang, doakan ibumu ya... biar aku yang jaga ibumu."Alea hanya mengangguk pelan, menunduk meski jelas raut kecewa tak bisa ia sembunyikan. Mereka kemudian melangkah menuju ruang perawatan Melody. Tapi langkah mereka terhenti mendadak ruangan itu kosong. Tak ada ranjang. Tak ada Melody."Kemana... Ibu?" suara Alea gemetar, matanya membelalak tak percaya.Arjuna membeku sejenak sebelum tiba-tiba panik. Ia menyibak tirai ruangan, membuka lemari, bahkan memeriksa kamar mandi. Tapi nihil. Melody tak ada di mana pun."Alex cepat kamu tanya suster yang menjaga Melody, suster itu bernama Rini," seru Arjuna, nadanya tegang dan terbu
Arjuna membanting setir, mobilnya melesat menembus terik matahari, deru mesin meraung seirama dengan detak jantungnya yang berpacu. Matanya tajam, penuh amarah dan kecemasan, menyapu jalanan seperti elang memburu mangsa. Dalam hatinya hanya satu hal yang terus bergaung: Melody. Dia harus menyelamatkannya—dengan cara apa pun.Di persimpangan jalan, ban mobilnya berdecit keras saat berhenti mendadak. Tepat di depannya, sebuah Rubicon hitam sudah terparkir, menunggu.Tanpa membuang waktu, Arjuna keluar dari mobil. Pintu Rubicon terbuka hampir bersamaan. Lima pria bertubuh kekar turun satu per satu, sorot mata mereka penuh hormat. Diam, tapi tegang. Mereka tahu ini bukan misi biasa.Salah satu dari mereka maju selangkah. Suaranya tegas, namun sarat dengan kehormatan."Tuan, kami siap menjalankan misi."Arjuna menatap mereka satu per satu, seperti memastikan mereka siap untuk masuk ke dalam neraka bersama-sama."Bagus," ujarnya pelan tapi tajam. "Ikuti mobilku. Kita tak punya banyak waktu.
Akhir pekan yang telah dinanti akhirnya tiba. Suasana rumah terasa riuh oleh suara koper yang ditutup, tawa kecil, dan percakapan ringan. Melody, Arjuna, dan Alea tengah bersiap untuk penerbangan menuju Jepang. Arjuna memilih kota Sakura—bukan tanpa alasan. Musim salju baru saja tiba, dan ia ingin keluarganya merasakan keajaiban yang belum pernah mereka alami.“Bu, emang dingin banget ya di sana? Lebih dingin mana sama Puncak, Bu?” tanya Alea dengan mata berbinar, membayangkan butiran salju jatuh dari langit.Melody tersenyum sambil merapikan resleting koper. “Ibu juga belum pernah ke Jepang, Nak… Jadi ibu nggak tahu. Tapi ibu rasa… udara dinginnya pasti punya rasa yang berbeda.”Alea terkikik pelan, lalu menarik kopernya keluar kamar. Di depan, Arjuna sudah menunggu. Tapi kali ini ada yang lain—auranya berbeda. Bukan lagi sosok CEO tegas dan kaku yang biasa ia lihat.“Tuan Papah? Kayaknya salah pakai baju, deh?” komentar Alea polos, menatap ayahnya yang mengenakan kaus putih berlogo
“Kamu bisa pulang sekarang.”Suara dingin itu datang dari Arjuna. Lima pria bertubuh kekar yang menjaga Leo selama dua hari terakhir akhirnya mundur, melepaskan cengkeraman mereka. Tubuh Leo terhuyung sedikit, lututnya nyaris lemas, tapi ia menegakkan dirinya, berusaha tetap tenang meski di dalam hatinya penuh amarah dan kelelahan.“Aku sudah bilang dari awal…” suara Leo serak, menahan emosi. “Tidak ada gunanya kalian menyekapku. Musuh Tuan kalian itu Sasha, bukan aku. Aku cuma… seorang fotografer.”Matanya menatap satu per satu pria di depannya, penuh amarah dan kecewa.“Dua hari waktuku terbuang sia-sia,” gumamnya kesal, lalu berbalik dan pergi tanpa menoleh lagi.Ia menyusuri jalan setapak dengan langkah berat. Angin malam terasa menusuk kulitnya, tapi yang paling menusuk adalah kenyataan bahwa Sasha—wanita yang seharusnya satu pihak dengannya—telah menghilang begitu saja. Meninggalkannya.“Kemana wanita itu? Harusnya dia tidak pergi tanpa aku…” gumamnya penuh geram.Langkahnya sam
"Ibu....!" teriak Alea sambil berlari di sepanjang koridor rumah sakit. Kaki-kakinya kecilnya menghentak lantai dengan penuh semangat, napasnya tersengal tapi wajahnya berseri, memancarkan kebahagiaan yang tulus. Ia tak peduli pada pandangan orang-orang—yang ia tahu, ibunya akan pulang hari ini.Melody menahan air mata ketika melihat putri kecilnya berlari menghampiri. Senyum yang lama menghilang akhirnya kembali terukir di wajahnya, senyum yang lahir dari luka-luka yang perlahan mulai sembuh. Hari itu bukan sekadar hari biasa—itu adalah awal dari kehidupan baru. Kehidupan yang akhirnya terasa damai setelah dilanda badai panjang.Tak jauh dari sana, Arjuna berdiri memperhatikan keduanya. Lelaki yang dulu dikenal dingin dan tak tersentuh itu, kini wajahnya lebih lembut, sering kali tersenyum meski dalam diam. Sejak Melody dan Alea hadir, hidupnya tak lagi hampa. Mereka adalah warna yang mewarnai kanvas hidupnya yang dulu kelabu."Tuan, mobil sudah siap. Saya juga sudah mengurus semua r
Dokter terus memantau perkembangan kondisi Melody pasca operasi pengangkatan janin. Selain memeriksa luka operasi, dokter juga memastikan kesehatan rahim serta kondisi saluran tuba falopi dan sel telur Melody tetap terjaga.“Dok, bagaimana kondisi istri saya? Apakah... sudah bisa pulang hari ini?” tanya Arjuna dengan suara pelan namun penuh harap.Dokter mengangguk pelan, memberi sedikit senyum, “Sore ini Ibu Melody sudah boleh pulang. Tapi, mohon diingat, harus istirahat total. Kami ingin memberi waktu bagi tubuh Ibu untuk benar-benar pulih, terutama bagian tuba falopi. Selama satu bulan ini, sebaiknya hindari dulu berhubungan suami istri, ya.”Melody, yang sejak tadi hanya diam menatap lantai, akhirnya membuka suara. Ada kegelisahan yang jelas terdengar dalam suaranya.“Dok… saya masih bisa hamil normal, kan? Maksud saya… apakah kemungkinan hamil di luar kandungan itu bisa terjadi lagi?”Dokter menarik napas sejenak, seperti memilih kata-kata terbaik untuk tidak menyakiti, namun tet
Waktu terus berjalan. Jarum jam dinding di ruang tunggu seolah bergerak lambat, mengulur setiap detik jadi menit, setiap menit jadi penyiksaan. Arjuna duduk di kursi tunggu dengan kedua tangan mengepal di pangkuan, wajahnya tegang, matanya tak lepas dari pintu ruang operasi yang kini tertutup rapat.Alea telah tertidur dalam pelukan salah satu perawat, boneka kesayangannya masih erat di tangan. Napasnya teratur, tapi wajahnya masih menyimpan jejak kekhawatiran.Arjuna melirik anaknya sejenak, lalu kembali menatap ke depan. Dalam hati, ia bergumul dengan penyesalan, kemarahan, dan ketakutan yang selama ini tak pernah ia akui."Melody... Bertahanlah..." bisiknya nyaris tak terdengar, seperti doa yang ditelan sunyi.Tak lama kemudian, pintu ruang operasi terbuka. Seorang dokter keluar, wajahnya tenang namun lelah. Arjuna langsung berdiri."Dokter... bagaimana istri saya?" tanyanya, nada suaranya lebih mirip permohonan daripada pertanyaan.Dokter itu mengangguk pelan. “Operasinya berjalan
Sasha terus berlari dengan napas memburu, jantungnya berdebar begitu kencang seolah hendak meledak dari dalam dadanya. Setiap langkah terasa seperti lompatan menuju jurang ketidakpastian. Sesekali ia menoleh ke belakang, matanya dipenuhi ketakutan, berharap bayangan dua pemuda suruhan Arjuna itu telah menghilang. Tapi tidak—mereka masih di sana. Masih mengejarnya.Tiba-tiba—srett!—kilatan logam kecil melesat di udara, dan sebelum sempat bereaksi, belati itu menancap tepat di kakinya."Akhhh...!" jerit Sasha tertahan. Rasa sakit itu begitu tajam, menjalar dari kaki hingga menusuk ke dalam hatinya. Tapi ia tidak berhenti. Dengan tubuh gemetar dan darah yang mulai merembes keluar, Sasha terus memaksa dirinya untuk lari, menyeret kakinya yang terluka, berjuang melawan nyeri yang seakan mencengkeram erat setiap sarafnya.Di tengah kepanikan, ia menemukan sebuah pohon besar dan segera bersembunyi di baliknya. Ia menutup mulutnya dengan kedua tangan, menggigit bibir hingga nyaris berdarah, m
Bayangan itu perlahan mendekat... dan saat wajahnya terlihat jelas, Sasha dan Leo terpaku—terbelalak tak percaya.Itu Arjuna.Sasha terengah, tubuhnya seolah membeku. Leo menatap Arjuna dengan cemas, peluh dingin membasahi pelipisnya. Mereka sama sekali tak menyangka pria itu tahu keberadaan tempat penyekapan ini.Tanpa sepatah kata, lima pria berbadan tegap segera mengamankan Sasha dan Leo. Keduanya tak bisa berbuat apa-apa, hanya bisa meronta lemah.Sementara itu, Arjuna berlutut di hadapan Melody. Dengan tangan yang gemetar namun tegas, ia melepaskan ikatan di tangan wanita itu. Detik berikutnya, ia memeluknya—erat, penuh rasa bersalah dan lega yang bercampur menjadi satu.Ia menoleh ke arah anak buahnya. "Kalian bereskan dua manusia itu," ucapnya datar, tapi penuh tekanan. Kemudian, ia menggandeng Melody pergi, tanpa sedikit pun menoleh ke belakang.Sasha, yang masih dalam cengkeraman dua pria, berteriak histeris. Suaranya pecah oleh emosi yang tak bisa dibendung."Arjuna! Ini ngg
Arjuna membanting setir, mobilnya melesat menembus terik matahari, deru mesin meraung seirama dengan detak jantungnya yang berpacu. Matanya tajam, penuh amarah dan kecemasan, menyapu jalanan seperti elang memburu mangsa. Dalam hatinya hanya satu hal yang terus bergaung: Melody. Dia harus menyelamatkannya—dengan cara apa pun.Di persimpangan jalan, ban mobilnya berdecit keras saat berhenti mendadak. Tepat di depannya, sebuah Rubicon hitam sudah terparkir, menunggu.Tanpa membuang waktu, Arjuna keluar dari mobil. Pintu Rubicon terbuka hampir bersamaan. Lima pria bertubuh kekar turun satu per satu, sorot mata mereka penuh hormat. Diam, tapi tegang. Mereka tahu ini bukan misi biasa.Salah satu dari mereka maju selangkah. Suaranya tegas, namun sarat dengan kehormatan."Tuan, kami siap menjalankan misi."Arjuna menatap mereka satu per satu, seperti memastikan mereka siap untuk masuk ke dalam neraka bersama-sama."Bagus," ujarnya pelan tapi tajam. "Ikuti mobilku. Kita tak punya banyak waktu.
"Alex, setelah ini kamu antar Alea pulang," ujar Arjuna, suaranya berat menahan kegelisahan."Tuan Papah... memangnya Alea nggak bisa terus di sini nemenin Ibu?" tanya Alea lirih, wajahnya sendu, mata berkaca-kaca menatap harap.Arjuna menghela napas, mencoba bersikap tenang meski hatinya ikut remuk melihat kesedihan Alea. "Rumah sakit ini punya aturan, Nak. Tapi tenang, doakan ibumu ya... biar aku yang jaga ibumu."Alea hanya mengangguk pelan, menunduk meski jelas raut kecewa tak bisa ia sembunyikan. Mereka kemudian melangkah menuju ruang perawatan Melody. Tapi langkah mereka terhenti mendadak ruangan itu kosong. Tak ada ranjang. Tak ada Melody."Kemana... Ibu?" suara Alea gemetar, matanya membelalak tak percaya.Arjuna membeku sejenak sebelum tiba-tiba panik. Ia menyibak tirai ruangan, membuka lemari, bahkan memeriksa kamar mandi. Tapi nihil. Melody tak ada di mana pun."Alex cepat kamu tanya suster yang menjaga Melody, suster itu bernama Rini," seru Arjuna, nadanya tegang dan terbu