Di Kamar Mandi
Dengan tubuh yang masih lemah, Naya menurunkan egonya. Wanita itu memandang pria yang baru saja diomeli sambil menghela napas panjang. "Aku butuh bantuan...," lirihnya, nyaris tak terdengar. Raka, pria yang berdiri di depannya, mengangguk. Ia bergerak mendekat untuk membantu Naya berdiri. Namun, begitu sampai di kamar mandi, Naya langsung mengusirnya. "Tolong Keluar dulu tinggal kan aku sendiri! Aku bisa sendiri!" Raka mengabaikan perintah itu. "Aku temani sampai selesai," jawabnya tegas. "Tidak perlu segitunya kalo! Aku mau mandi mana mungkin bisa mandi kalau kamu ada disini! Cepat keluar!" Naya bersikeras, duduk di atas closet sambil menatap tajam pria di hadapannya. Namun Raka tak bergeming. Tatapan pria itu penuh beban, seperti menyimpan ribuan kekhawatiran. "Malam Penuh Pertanyaan Malam itu udara dingin menyelimuti rumah keluarga Florentina dan Agara. Di ruang tamu, suara tangisan Chelly yang lembut bergema, memecah keheningan. Florentina langsung menggendong cucu kesayangan nya dan mencoba menenangkan bayi kecil imut itu. Raka baru saja tiba dari perjalanan panjang untuk kerumah orang tua nya, menatap putri cantiknya dengan rasa rindu yang mendalam. "Putra ku sayang, kau akhirnya pulang kerumah juga," ujar Florentina dengan senyuman hangat menyambut kepulangan putra semata wayang nya. Ia menyerahkan Chelly ke pelukan Raka. Bayi mungil yang mengemaskan itu langsung berhenti menangis, menatap wajah ayahnya dengan mata yang berbinar. "Oh, bidadari ku yang cantik," ujar Raka sambil mengangkat Chelly tinggi-tinggi. "Putri Daddy, kau semakin cantik saja. Cepat sekali tumbuh besar, ya."
Naya duduk di ruang tamu kecil rumah ayahnya, memandangi dinding yang penuh dengan foto keluarga. Foto-foto itu mengingatkannya pada masa-masa saat ia masih bisa tertawa lepas, jauh sebelum utang menjerat mereka. Ia tak menyangka hidupnya akan berputar begitu drastis, hingga ia harus meninggalkan kampung halaman dan menjadi sesuatu yang dulu ia benci. "Kenapa gak sering pulang, Nak?" tanya Heri, ayahnya, dengan suara serak yang membuat dada Naya semakin sesak. "Aku kerja, Yah. Demi kita semua," jawab Naya dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha menutupi air matanya yang hampir jatuh. "Ayah gak apa-apa tinggal sendirian di sini?" Heri mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ayah udah biasa. Lagipula Ayah selalu percaya kamu bakal pulang bawa kebahagiaan buat keluarga ini." Naya menunduk, merasa dadanya semakin sesak. Jika saja ayahnya tahu apa yang telah ia lakukan untuk bertahan hidup, mungkin senyum itu akan menghilang. Ia
Dengan ancaman halus yang selalu mengandalkan kelembutan, Raka akhirnya berhasil memaksa Naya meminum segelas susu hangat yang ia siapkan. Namun, alih-alih mengantuk seperti harapannya, Naya justru merasa segar bugar. Wanita muda itu hanya bisa gelisah di tempat tidur. Suara burung hantu di luar rumah menjadi saksi bisu kegundahan hati Naya. Berulang kali ia memutar posisi tidur, tetapi kantuk tak kunjung datang. "Ih, kenapa malam ini aku gak bisa tidur, sih? Pasti ini gara-gara bawaan si jabang bayi ini!" gerutunya sambil memegangi perut yang mulai membesar. Naya menatap sekeliling kamar yang tampak mewah namun penuh kenangan. Ia tahu, kamar ini dulu milik Raka dan disini juga mahkota kegadisan nya hilang. Namun, kini kamar itu diberikan kepadanya. Sementara, Raka sekarang memilih kamar disamping nya, agar lebih mudah mengawasinya. "Aduh, kalau aku ingin sesuatu bagaimana, ya? Masa aku tega bangunin Mbak Rini atau Mbak Yuni? Pasti mereka sudah tidur semua karena seharian beker
Pagi itu, Naya duduk di meja makan sambil menyeruput secangkir teh hangat. Hanya ada Rini yang menemani, sementara Raka sudah berangkat ke kantor lebih awal. “Nona, semalam tidur di kamar Bapak, ya?” goda Rini sambil mengangkat alis. Naya nyaris menyemburkan teh dari mulutnya. “Hah? Enggak, Mbak. Dia yang tiba-tiba masuk ke kamar aku,” elaknya dengan suara setengah kesal. Rini tertawa kecil. “Tapi, kok ujung-ujungnya malah di kamar Bapak? Aku sempat cek tadi pagi, kamarmu kosong, dan satu guling hilang.” “Ihh, Mbak nih kepo banget!” Naya mendengus sambil merengut, membuat Sasa semakin geli. “Jadi benar, dong? Tinggal bilang aja, ‘Aku yang mau!’ Gengsi banget, sih.” “Ngomong apa sih, Mbak? Orang dia yang maksa! Setiap malam ada aja alasannya gangguin aku. Nyebelin banget, kayak bapaknya.” “Tapi, bapaknya kan nggak nyebelin kalau dinikmati,” Rini menyeringai. “Apaan sih, Mbak!” Naya membalas dengan tatapan tajam, tetapi wajahnya sedikit memerah. Namun, pembicaraan merek
Malam semakin larut, tapi pikiran Naya tidak bisa tenang. Setelah kejadian tadi, ia memutar ulang setiap detik di kepalanya. Ciuman Raka di keningnya terasa begitu lembut, namun ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Naya resah. Ia meraih bantal di tempat tidur dan memeluknya erat. Pikirannya melayang pada berbagai kejadian antara dirinya dan Raka. Ada kalanya Raka terlihat begitu dingin, namun sering juga ia menunjukkan perhatian yang membuat hati Naya bergetar. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Raka muncul dengan ekspresi santai, mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang. “Kamu belum tidur?” tanyanya sambil bersandar di kusen pintu. Naya terkejut, namun berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Belum, Mas. Lagi nggak ngantuk.” Raka tersenyum tipis. Ia melangkah masuk dan duduk di ujung tempat tidur, membuat Naya merasa jantungnya seperti akan meledak. “Pikirkan apa sampai nggak bisa tidur?”
Ngidam Mangga Malam itu angin berhembus lembut, membuat tirai jendela kamar Naya berkibar perlahan. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata Naya masih terbuka lebar. Ia gelisah, bolak-balik di atas tempat tidur sambil memeluk perutnya yang terasa aneh. Sebuah pikiran terlintas—dan tiba-tiba rasa itu semakin kuat. Ia ingin makan mangga. Bukan sembarang mangga, tetapi mangga muda yang segar, dicocol dengan sambal rujak pedas. Bayangannya begitu jelas hingga membuat air liurnya nyaris menetes. “Duh, gimana ini?” gumam Naya sambil memegang perutnya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa ngidam itu terlalu kuat. Akhirnya, dengan langkah ragu, ia keluar dari kamar menuju dapur. Namun setelah mencari-cari di kulkas, ia tidak menemukan apa yang diinginkan. Mangga terakhir sudah diolah menjadi sambal siang tadi. Naya memegang kepalanya, bingung harus bagaimana. Lalu, tanpa pikir panjang, ia berjalan menuju k
Naya merasakan tubuhnya semakin berat karena setiap bulan janin akan tumbuh dan berkembang semakin besar. Kehamilannya memang membawa perubahan besar, terutama pada nafsu makannya yang tak terkontrol. Ia merasa lapar meski baru saja makan, dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman dengan tubuhnya yang semakin membesar. Namun, setiap kali Raka melihatnya, ia selalu memberi pujian yang membuat Naya merasa lebih baik. "Menurutku wanita yang gemuk karena masa kehamilan itu terlihat sangat cantik!" ucap Ethan dengan senyum lembut, memeluk Teta dari belakang, tangannya mengusap perlahan perut Teta yang mulai membesar. Ia mencium pelipisnya penuh kasih sayang. Ethan tahu betul, Teta sering merasa cemas dengan perubahan tubuhnya, dan ia berusaha menenangkan kekhawatirannya. Naya memandang ke arah cermin dengan tatapan kosong, menghela napas. "Jangan cuma gombal, aku tahu kok kamu cuma hanya menyenangkan ku saja," katanya, matanya tidak
Setelah beberapa hari berlalu, Naya mulai merasa lebih nyaman dengan perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Meskipun terkadang masih ada rasa cemas yang datang menghampiri, Raka selalu berhasil menenangkannya dengan kata-kata dan perhatiannya yang tulus. Kehadiran Raka di sisi Naya, baik di saat senang maupun saat cemas, memberi rasa aman yang tak ternilai. Pagi itu, Naya memutuskan untuk keluar dari rumah sejenak, berjalan-jalan di sekitar halaman rumah untuk menikmati udara segar. Raka, yang selalu peduli dengan kesehatannya, ikut menemaninya, meskipun Naya sempat berusaha menolak. "Kenapa kamu nggak bisa biarkan aku berjalan sendiri, Raka?" Naya menatap Raka dengan senyum kecil, berusaha tegas meskipun hatinya merasa senang dengan perhatian yang diberikan. "Karena aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Raka sambil tersenyum. "Aku nggak akan jauh, aku hanya ingin kamu merasa nyaman." Mereka berjalan bersama di se
Pernikahan yang Gagal Total Pagi itu, udara cerah di langit kota mengiringi persiapan pesta pernikahan mewah. Rencana pernikahan ini sudah disusun selama berbulan-bulan, memastikan semuanya berjalan sempurna. Namun, siapa sangka, hari yang seharusnya menjadi momen terindah justru berubah menjadi mimpi buruk. Di atas motor batangan yang terparkir di pinggir jalan sepi, seorang perempuan bergaun pengantin duduk dengan tangan yang terikat. Raut wajahnya menunjukkan campuran amarah, ketakutan, dan frustasi. Di depannya, seorang pria berkaus hitam lusuh tengah menatapnya dengan santai, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. “Cepet turun!” bentak pria itu. “Enggak mau! Lepasin aku!” balas perempuan itu, sambil mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya. “Kenapa? Gaunmu nyangkut apa? Buruan turun dari motor gue, atau gue seret!” ancam pria itu sambil terkekeh kecil.
Hari yang Sempurna Berubah Petaka Pagi itu, Maria tampak sibuk berdandan di sebuah kamar rias mewah. Segala sesuatu di ruangan itu memancarkan kemewahan: cermin besar berbingkai emas, lampu-lampu kristal menggantung, dan rak penuh peralatan kosmetik dari merek-merek ternama. Di tengah ruangan, Maria duduk anggun di kursi rias, dikelilingi oleh energi yang sibuk dan mendesak. Maria selalu menginginkan yang terbaik—tidak ada kata "biasa" dalam hidupnya. Dari kecil, semua hal yang ia miliki selalu wah, dan kini, di hari pernikahannya, ia ingin memastikan semua mata tertuju hanya padanya bak seorang Ratu. “Ihh, kayaknya warna bibir ku terlihat pucat, deh? Kelihatan kayak orang sakit, terus ini bayangan hidung ketipisan. Kenapa alis ku ini warna hitam kan aku ingin nya warna coklat! Katanya MUA profesional, mahal pula!” gerutunya sambil melirik hasil kerja MUA-nya yang tampak kewalahan. MUA itu, seorang wanita cantik dengan sik
Titik Balik di Hari Pernikahan Pagi itu, Tommy mengesampingkan segala urusan pekerjaannya. Dengan amarah yang menggelegak, ia menyalakan motornya dan melaju menuju kediaman Raka. Tekadnya sudah bulat—ia ingin menuntut keadilan untuk adiknya tercinta, Naya, yang selama ini terpaksa menanggung cinta bertepuk sebelah tangan pada pria itu. Sesampainya di depan gerbang megah kediaman Raka, Tommy berteriak keras tanpa peduli lingkungan sekitar. “ETHAN! KELUAR LO, DASAR BRENGSEK, BAJING*N!” Kegaduhan itu membuat beberapa orang keluar dari rumah, termasuk Yuni dan Rini, dua pelayan Raka yang saat itu sudah mengenakan kebaya rapi. Mereka hendak pergi ke gedung pernikahan, tetapi terpaksa berhenti melihat kekacauan di depan mata. “Itu kakaknya nona Naya, kan?” bisik Rini pada Yuni. “Iya! Tapi kok berani-beraninya dia datang ke sini? Kita harus apa, nih?” Yuni balas bertanya, bingung melihat suasana semak
Hari yang Tidak Ditunggu Raka Selama dua minggu terakhir, Raka berusaha keras menahan diri untuk tidak mencari Naya. Larangan keras dari kakaknya, Naya, membuat hubungan mereka semakin sulit. Namun, rasa rindunya pada Naya tidak kunjung surut, meskipun ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Tanpa kehadiran Naya di sisinya, Raka memutuskan untuk fokus memulihkan kesehatannya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, karena hanya dengan kekuatan itu ia bisa melawan perjodohan dengan Maria, wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Kini, waktu berjalan tanpa kompromi, dan dua minggu pun berlalu. Hari yang ditakuti Raka akhirnya tiba — hari pernikahannya. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar nya, ditemani Roy, sekretarisnya yang setia. “Tuan Raka, Anda terlihat luar biasa hari ini,” ujar Roy sambil tersenyum, mencoba menyu
Villa Raka: Menanti Tamu yang Tak Kunjung Datang Di villa mewahnya, Raka masih menunggu dengan harap-harap cemas. Ia berharap Naya, wanita yang sudah lama menghilang dari hidupnya, akan datang. Namun, Roy, sekretaris pribadinya, yang ia utus untuk menjemput Naya, ternyata kembali dengan tangan hampa. "Tuan, makan dulu. Tidak baik membiarkan perut kosong terlalu lama. Kalau tidak, nanti malah masuk rumah sakit," ujar Yuni, pelayan setianya, sambil menyodorkan sepiring makanan. "Makan saja, Tuan. Jangan sampai nanti kami harus menyuapi Anda di ranjang rumah sakit," tambah Rini, pelayan lainnya, sambil tertawa kecil. Raka mendengus kesal. "Kalian berdua ini mau aku sehat atau mau aku mati? Bicara seenaknya saja!" Namun, ia tidak benar-benar marah. Sudah biasa baginya menghadapi tingkah konyol para pelayannya itu setiap hari. Tepat saat suasana menjadi sedikit canggung, pintu villa t
Larut di Antara Pilihan Naya turun dari mobil dengan hati-hati, menggendong Gio yang sudah terlelap setelah diberi susu. Roy, sekretaris yang mengantarnya, melambaikan tangan sebelum mobil melaju pergi. "Terima kasih, Roy." "Sama-sama, Nona. Hati-hati." Naya melangkah masuk ke rumah dengan perlahan, berharap tidak membangunkan kakaknya, Tommy karena dia tadi pergi tanpa berpamitan dengan kakak nya. . Lampu rumah sudah padam, menandakan Tommy kemungkinan besar sudah tidur di dalam kamar. Ia menarik napas lega dan bergegas menuju kamarnya. Namun, nasib tidak berpihak pada nya malam itu. Klik! Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala, memperlihatkan sosok Tommy yang duduk di sofa dengan ekspresi tajam. "Dari mana aja lu malam-malam bawa Gio keluar gak kasian sama anak lu?" tanyanya langsung. "Jangan bilang lu abis ketemu sama... dia." Naya terdiam, rasa bersalah menyelimuti
Tempat Peristirahatan RakaRoy tiba di sebuah lokasi tersembunyi jauh dari ibu kota, tempat di mana Raka, majikannya, bersembunyi dari tunangan nya dan orang tua nya. Namun, ia terkejut mendapati Bos kecil, Gio, sedang bermain riang di sofa bersama dua pembantu nya, Rini dan Yuni."Bagaimana Gio bisa ada di sini?" tanya Roy, bingung."Ah, payah sekali kamu, Sekretaris Roy," sindir Rinj sambil terkekeh. "Kami saja bisa membawa Gio dan Nona Naya ke sini dengan mudah. Kau kalah telak, bahkan oleh strategi sederhana kami!""Hah, cuma modal foto dan rayuan, kau tetap kalah. Sekarang kami jadi pahlawan!" timpal Yuni sambil menepuk bahu Roy dengan bangga.Roy menghela napas panjang, merasa usahanya sia-sia. "Astaga, manusia memang makhluk yang tak bisa diremehkan," gumamnya sambil melangkah menuju kamar Raka.Saat membuka pintu sedikit, Roy mengintip ke dalam. Di sana, Naya, wanita yang selama ini ingin dihindari Raka, justru tengah dud
Malam itu, Naya sedang bermain bersama putranya di ruang tamu. Televisi menyala, menampilkan acara yang sesekali ditonton sepintas oleh Naya, sementara ia sibuk menghibur anaknya. Tawa renyah si kecil memenuhi ruangan, membuat Teta merasa hangat di tengah malam yang sunyi. Namun, suasana itu terganggu ketika terdengar ketukan di pintu. Naya sempat berpikir itu kakaknya, Tommy, yang pulang lebih awal. Tetapi ia merasa heran, karena Tommy biasanya masuk tanpa mengetuk pintu namun teriak-teriak. “Kakak, pintunya gak dikunci! Masuk aja!” teriak Naya sambil menggendong anaknya. Namun, saat pintu terbuka, bukanlah Tommy yang muncul. Dua sosok perempuan berdiri di ambang pintu, wajah mereka tampak pucat dan panik. “Mbak Yuni? Rini?” Naya terkejut melihat dua teman asisten rumah tangga yang pernah bekerja bareng di rumah Raka kini sedang berdiri di sini. Keduanya langsung masuk tanpa permisi, mendekati Nay
“Kenapa sih, Raka? Baru sakit sedikit saja sudah seperti ini. Kamu tuh terlalu manja!” Maria mengomel tanpa henti di sisi ranjang. Di sebuah vila mewah, Raka sedang dirawat setelah kesehatannya menurun sejak acara pertunangannya seminggu lalu. Selang infus menghiasi pergelangan tangannya, dan ia tetap bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit meski kondisinya melemah. “Maaf, Nona Maria, sebaiknya Tuan Raka diberi waktu untuk beristirahat,” ucap Roy, asisten pribadinya, dengan sopan namun tegas. “Kau menyuruhku pergi?” Maria menatap Roy tajam, matanya memancarkan ketidaksenangan. “Bukan begitu, Nona. Saya hanya memprioritaskan kesehatan Tuan Raka. Anda bisa kembali menjenguknya nanti,” balas Raka dengan nada menenangkan, meskipun dalam hati ia merasa kehadiran Maria justru memperburuk suasana. Raka, yang mendengar perdebatan itu, akhirnya ikut angkat bicara. “Maria, pulanglah dulu. Aku butuh