Beberapa bulan telah berlalu.
Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."<Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
"Ya Tuhan, Semoga bukan om-om botak yang bau rokok dan perutnya maju tiga langkah." Naya Savira kini berdiri di depan pintu sebuah kamar hotel mewah. Tangannya gemetar saat akan mengetuk. Di kepalanya hanya ada satu tujuan: melunasi utang ayahnya yang sudah menumpuk bertahun-tahun.Meski apa yang dilakukannya salah, gadis itu tetap berdoa untuk kelancaran malam pertamanya. "Tenang, Nay. Kerja sekali seperti ini untuk terakhir kali seumur hidup. Ini pasti mudah," bisiknya pada diri sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu membuka pintu. Namun, bukannya kegelapan seperti dugaannya, ruangan itu langsung menyala terang setelah seseorang menyalakan lampu. Di hadapannya berdiri seorang pria dengan postur tinggi, wajah tegas, dan sorot mata tajam. Ia sama sekali tidak seperti yang Naya bayangkan—tampan dan berkelas. "Eh ... selamat malam, Mas." Naya mencoba bersikap santai, meski canggung. "Mau langsung dilayani, atau ngobrol dulu? Biar santai, soalnya ini pertama kalinya saya
Tapi siapa sangka permainan ini jadi ke mana-mana?"Semua laki-laki sama saja!" keluh Naya yang kini berdiri di depan cermin, memandang refleksinya dalam gaun cantik yang menonjolkan kecantikannya. Ia tahu dirinya menarik, namun ada perasaan malu yang menggerogoti jiwanya ketika harus menggunakan penampilan itu untuk tujuan seperti ini. "Tunggu di luar, Naya!" suara Raka terdengar di luar kamar, memecah lamunannya. "Saya... eh, tunggu sebentar, Pak!" Naya menggerakkan jari telunjuknya, sedikit bingung dengan suasana yang terasa canggung. "Berbalik, maksud saya..." "Sudah! Jangan lama-lama!" Raka terdengar kesal. "Jadi, kita nggak akan... seperti yang Bapak harapkan?" tanya Naya dengan nada genit namun polos. "Kamu pikir saya butuh itu?" jawab Raka sinis. "Yang saya butuhkan adalah kamu datang bersama saya, dan berpura-pura jadi pacar di depan orang tua saya. Mengerti?" "Ini lelucon apa lagi, Pak?" tanya Naya bingung, meski ia tahu tidak ada gunanya protes. "Jika kamu ti
Pagi itu, Naya Savira memutuskan untuk sarapan di warung Bu Tatik yang kebetulan dekat rumahnya. Tempat ini sudah lama menjadi pilihan langganan ayahnya, tempat mereka sering mampir meski dalam keadaan keuangan yang tak selalu stabil."Eh, Naya! “Mau ngelunasin hutang yang menumpuk apa, Nak?” tanya pemilik warung dengan sinis, sambil memandang Naya yang sedang menyusun uang di meja.Seketika, wajah Naya berubah mendung. " Ya, Saya kesini ingin bayar hutang, Bu! Ini uang hasil kerja keras saya, dan juga buat ayah kalau nanti makan di sini!" kata Naya, dengan nada sedikit geram, menunjukkan beberapa lembar uang."Uang hasil kerja keras? Kerja keras dari mana? Nanti kalau sudah sukses, bilang saja," cibir pemilik warung itu."Nanti kalau saya punya suami orang kaya, saya borong warung ibu kalau bisa ya aku beli tanah ples warung ibu biar gak bisa jualan lagi," jawab Naya sambil setengah bercanda, menyembunyikan rasa kesalnya.Pemilik warung hanya mencibir, tapi Naya tetap melanjutkan mak
Malam harinya, Naya sudah berhasil menidurkan Chelly dengan tenang. Namun, Yuni, ketua pelayan di rumah itu, bertanya-tanya soal Raka yang belum pulang."Pak Raka belum pulang juga ya?" tanya Naya."Mungkin dia mabuk, ya?" tanya Yuni sambil tertawa."Nggak tahu, Mbak," jawab Naya, "Tapi Bapak agak aneh malam ini."Beberapa saat kemudian, Raka pulang dengan bau alkohol yang menyengat. Naya segera mendekat untuk membantunya, tapi Raka malah muntah di tubuh Naya."TOLONG MBAK YUNI, BANTU AKU!" teriak Naya.Para pelayan segera datang membantu, namun Raka tetap tidak sadarkan diri.Setelah dibawa ke kamar, Naya membantu merawat Raka yang masih mabuk, menggantikan pakaiannya dengan hati-hati. Dalam kegelisahannya, Raka tiba-tiba memanggil nama lain, "Maria… Maria…"Naya terkejut. "Siapa itu?" pikirnya, bingung dengan apa yang baru saja didengarnya.***Pagi harinya, Raka terbangun dengan sakit kepala parah akibat mabuk semalam. Ia meminta bantuan kepada Yuni, yang mengatakan bahwa Naya yan
Jinak?Dikata hewan?Tapi, Naya menahan diri dan berusaha tersenyum.Bahkan malam harinya, Naya berusaha mempersiapkan dirinya. Ia tahu, pekerjaan ini bukan hanya tentang mengasuh anak. Ia harus belajar melayani seorang pria yang jelas berbeda dunia dengannya.Ketika Raka tiba di rumah, Naya menyambutnya dengan senyum terpaksa. "Selamat malam, Pak. Mau langsung makan atau mandi dulu?"Raka menatapnya, menilai ekspresinya yang jelas menunjukkan rasa muak. "Senyum itu perlu dilatih. Kalau kamu mau jadi istri saya untuk setahun, setidaknya belajar cara menyenangkan suami."Naya tertawa kering. "Oh, Bapak mau makan, atau mandi dulu? Kalau perlu, saya siapkan air mendidih buat mandi sekalian."Mbak Yuni yang mendengar percakapan itu hanya bisa menggeleng pelan. "Naya, jaga ucapanmu.""Santai, Mbak. Saya cuma bercanda. Tapi, seriusan deh, ini tuh misi hidup dan mati saya," balas Naya dengan nada sok santai.Raka melewati mereka tanpa komentar lebih lanjut, tetapi ada senyum kecil di wajahny
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."