Tapi siapa sangka permainan ini jadi ke mana-mana?
"Semua laki-laki sama saja!" keluh Naya yang kini berdiri di depan cermin, memandang refleksinya dalam gaun cantik yang menonjolkan kecantikannya.
Ia tahu dirinya menarik, namun ada perasaan malu yang menggerogoti jiwanya ketika harus menggunakan penampilan itu untuk tujuan seperti ini.
"Tunggu di luar, Naya!" suara Raka terdengar di luar kamar, memecah lamunannya.
"Saya... eh, tunggu sebentar, Pak!" Naya menggerakkan jari telunjuknya, sedikit bingung dengan suasana yang terasa canggung. "Berbalik, maksud saya..." "Sudah! Jangan lama-lama!" Raka terdengar kesal. "Jadi, kita nggak akan... seperti yang Bapak harapkan?" tanya Naya dengan nada genit namun polos. "Kamu pikir saya butuh itu?" jawab Raka sinis. "Yang saya butuhkan adalah kamu datang bersama saya, dan berpura-pura jadi pacar di depan orang tua saya. Mengerti?" "Ini lelucon apa lagi, Pak?" tanya Naya bingung, meski ia tahu tidak ada gunanya protes. "Jika kamu tidak ikut, uang gajimu akan dipotong!" ancam Raka. Naya menarik napas panjang, lalu mengangguk pasrah. "Baiklah, Pak. Jadi... setelah itu bagaimana?" "Setelah itu baru kita bahas," jawab Raka tanpa menoleh. Setelah menempuh perjalanan yang panjang, Naya tiba di rumah besar milik Raka. Ia sudah berjanji pada dirinya untuk tidak tampak norak di depan orang tua Raka. Ia harus tampil sempurna, seperti seorang wanita kaya. Di hadapan orang tua Raka, Naya merasa canggung. Tapi ia tahu, ini hanya tugas yang harus dilakukannya. Raka mengatakan agar ia berpura-pura menjadi pacar, dan ia hanya mengikuti instruksi. Raka membuka pembicaraan dengan suara tegas. "Mama, Papa, saya bawa gadis ini untuk kalian. Jangan lagi kirim perempuan-perempuan lain ke kantor saya!" "Jadi, ini pacarmu?" tanya ibunya dengan ekspresi kurang ramah. "Ya, Tante, saya pacar Raka," jawab Naya dengan senyum lebar, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Ibunya langsung tersenyum lebar dan menarik Naya ke dalam pelukan. "Oh, aku kira kamu cuma gadis biasa, tapi ternyata kamu cantik sekali. Maaf kalau aku agak galak tadi." Raka terlihat lega meskipun komentar ibunya menyakitkan, sementara sang ayah hanya terdiam, tampak tidak memberi reaksi. "Papa..." "Pekerjaan orang tuamu apa?" tanya ayah Raka akhirnya. Seketika Naya panik, namun dengan cepat ia memberi jawaban. "Papa saya bekerja di sektor tambang emas dan perkebunan kelapa sawit." Raka merasa bangga dengan jawaban Naya yang cerdik, dan ayahnya mulai terlihat tertarik. "Oh, jadi kami mungkin saling mengenal," katanya. "Siapa tahu, Om," jawab Naya dengan senyum simpul. "Tapi saya rasa Papa saya bukan orang besar. Cuma menambang pasir saja," pikirnya dalam hati, berharap situasi ini tidak semakin canggung. Raka memotong pembicaraan. "Papa, cukup soal pekerjaan. Yang penting, dia bukan wanita sembarangan. Dan dia setara dengan kita." Ibunya segera mengangguk, "Saya setuju, dia cantik!" Ayahnya hanya mengangguk pelan, lalu berkata, "Kapan kita bicarakan tanggal pernikahan?" Naya terkejut. "Pernikahan?!" pikirnya. Di dalam mobil, Raka berusaha mengendalikan pikirannya. "Semuanya berjalan lancar malam ini, Naya." Namun Naya merasa ada yang kurang. "Tadi kayaknya saya salah ngomong, Pak. Papa kan tadi nyuruh saya buat kelihatan bagus di depan orang tua, kenapa malah ngomong soal kerjaan orang tua saya?" Raka tertawa pelan. "Jangan khawatir, mereka sudah puas. Tapi aku rasa mereka menginginkan lebih banyak dari kita." "Saya harus mencari tahu lebih banyak soal ini," Naya berpikir dalam hati. "Tentang apa yang dimaksud dengan 'lebih' yang Raka katakan..." Raka tersenyum, lalu memberikan uang kepada Naya. "Ini imbalanmu, aku rasa kamu pantas mendapatkannya." Naya menatap uang yang diberikan, dan meskipun hatinya terasa berat, ia tahu ini adalah jalan yang harus ia pilih. "Saya tak peduli dengan uang, Pak. Saya hanya ingin membayar hutang keluarga saya, dan hidup dengan tenang. Saya yakin ini pilihan terbaik." Namun, Raka tidak bisa menahan pandangannya terhadap Naya, yang ia anggap masih terlalu polos untuk menyadari apa yang sedang terjadi."Semoga," kata pria itu dengan tatapan yang sulit diartikan Naya.
Pagi itu, Naya Savira memutuskan untuk sarapan di warung Bu Tatik yang kebetulan dekat rumahnya. Tempat ini sudah lama menjadi pilihan langganan ayahnya, tempat mereka sering mampir meski dalam keadaan keuangan yang tak selalu stabil."Eh, Naya! “Mau ngelunasin hutang yang menumpuk apa, Nak?” tanya pemilik warung dengan sinis, sambil memandang Naya yang sedang menyusun uang di meja.Seketika, wajah Naya berubah mendung. " Ya, Saya kesini ingin bayar hutang, Bu! Ini uang hasil kerja keras saya, dan juga buat ayah kalau nanti makan di sini!" kata Naya, dengan nada sedikit geram, menunjukkan beberapa lembar uang."Uang hasil kerja keras? Kerja keras dari mana? Nanti kalau sudah sukses, bilang saja," cibir pemilik warung itu."Nanti kalau saya punya suami orang kaya, saya borong warung ibu kalau bisa ya aku beli tanah ples warung ibu biar gak bisa jualan lagi," jawab Naya sambil setengah bercanda, menyembunyikan rasa kesalnya.Pemilik warung hanya mencibir, tapi Naya tetap melanjutkan mak
Malam harinya, Naya sudah berhasil menidurkan Chelly dengan tenang. Namun, Yuni, ketua pelayan di rumah itu, bertanya-tanya soal Raka yang belum pulang."Pak Raka belum pulang juga ya?" tanya Naya."Mungkin dia mabuk, ya?" tanya Yuni sambil tertawa."Nggak tahu, Mbak," jawab Naya, "Tapi Bapak agak aneh malam ini."Beberapa saat kemudian, Raka pulang dengan bau alkohol yang menyengat. Naya segera mendekat untuk membantunya, tapi Raka malah muntah di tubuh Naya."TOLONG MBAK YUNI, BANTU AKU!" teriak Naya.Para pelayan segera datang membantu, namun Raka tetap tidak sadarkan diri.Setelah dibawa ke kamar, Naya membantu merawat Raka yang masih mabuk, menggantikan pakaiannya dengan hati-hati. Dalam kegelisahannya, Raka tiba-tiba memanggil nama lain, "Maria… Maria…"Naya terkejut. "Siapa itu?" pikirnya, bingung dengan apa yang baru saja didengarnya.***Pagi harinya, Raka terbangun dengan sakit kepala parah akibat mabuk semalam. Ia meminta bantuan kepada Yuni, yang mengatakan bahwa Naya yan
Jinak?Dikata hewan?Tapi, Naya menahan diri dan berusaha tersenyum.Bahkan malam harinya, Naya berusaha mempersiapkan dirinya. Ia tahu, pekerjaan ini bukan hanya tentang mengasuh anak. Ia harus belajar melayani seorang pria yang jelas berbeda dunia dengannya.Ketika Raka tiba di rumah, Naya menyambutnya dengan senyum terpaksa. "Selamat malam, Pak. Mau langsung makan atau mandi dulu?"Raka menatapnya, menilai ekspresinya yang jelas menunjukkan rasa muak. "Senyum itu perlu dilatih. Kalau kamu mau jadi istri saya untuk setahun, setidaknya belajar cara menyenangkan suami."Naya tertawa kering. "Oh, Bapak mau makan, atau mandi dulu? Kalau perlu, saya siapkan air mendidih buat mandi sekalian."Mbak Yuni yang mendengar percakapan itu hanya bisa menggeleng pelan. "Naya, jaga ucapanmu.""Santai, Mbak. Saya cuma bercanda. Tapi, seriusan deh, ini tuh misi hidup dan mati saya," balas Naya dengan nada sok santai.Raka melewati mereka tanpa komentar lebih lanjut, tetapi ada senyum kecil di wajahny
Tak terasa, cahaya pagi mulai menerangi ruangan melalui celah jendela. Naya terbangun dengan tubuh yang sedikit lelah. Mungkin karena pekerjaan barunya, ia merasa lebih capek dibanding sebelumnya ketika hanya mengurus Chelly?Dengan hati-hati, Naya mendekati box bayi, di mana Chelly masih tidur nyenyak. "Cantik banget, pasti kayak ibunya," gumam Naya sambil tersenyum.Setelah itu, Naya pergi untuk membersihkan diri. Setelah selesai, ia melangkah kembali menuju box bayi untuk memastikan Chelly masih tidur."Mumpung masih tidur, aku ke kamar Raka dulu," pikir Naya.Di kamar Raka, ia mulai membereskan semuanya, menyiapkan pakaian kerja Raka, serta kebutuhan lainnya."Pa-pagi, Pak!" Naya merasa gugup melihat Raka yang keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, hanya mengenakan handuk."Pagi," jawab Raka singkat."Baju sudah saya siapkan di ruang ganti, Pak!" Naya melapor."Hmm," jawab Raka sambil melewati Naya. Tiba-tiba, ia berhenti. "Oh ya, jangan lupa tugas kamu, bawakan saya makan
Naya terkesiap. Ia memalingkan wajah saat Raka turun ke dalam bak. "Pak, saya tidak bisa—""Sabuni saya sampai bersih," perintah Raka tegas.Hah?Sepertinya, ia salah sangka!Meski demikian, tangan Naya gemetar saat mencoba menuruti perintah itu. Suasana sunyi di antara mereka hanya diisi suara air yang bergerak.Satu hal yang pasti.Setelah kejadian malam itu, keesokan harinya Naya lebih berhati-hati. Bahkan saat dia hendak mengantar makanan, Mbak Yuni memperhatikan dua kotak bekal yang dibawa Naya."Kenapa dua, Naya?" tanya Mbak Yuni."Satu buat saya, Mbak," jawab Naya sambil berlalu, menyembunyikan niat sebenarnya: kotak satunya untuk Endra.***Untuk kedua kalinya, Naya Savira memasuki kantor mewah milik Raka Wijaya. Kali ini, ia tidak langsung menuju ruang kerja majikannya, melainkan ke ruang istirahat karyawan, tempat Endra, bodyguard setia Raka, sedang bersantai.“Kak Endra, ini bekal makan siang untukmu. Jangan lupa makan, ya,” kata Naya sambil menyerahkan kotak makan.Endra
Naya Savira melirik jam dinding di ruang gym mewah milik Raka Wijaya.Sudah hampir setengah jam mereka berdua berkutat dengan alat latihan.Keringat membasahi tubuh keduanya, tapi suasana terasa semakin panas bukan karena olahraga, melainkan jarak di antara mereka yang kian menipis. "Pegang yang erat, Naya," kata Raka dengan suara tenang, meskipun napasnya sedikit tersengal. "Iya, Pak," jawab Naya, tapi pikirannya mulai kacau. Dada Raka yang berotot dan berkilat karena keringat terlalu dekat. Ia berusaha mengalihkan pandangan, tapi setiap gerakan membuat situasi semakin canggung. Namun, alat olahraga yang mereka gunakan mendadak macet. Untuk membenahinya, Raka harus membungkuk, membuat posisinya semakin mendekati Naya. Tiba-tiba, Naya merasa ada beban ringan di pundaknya. "Pak, jangan bersandar di saya!" protes Naya dengan nada tertahan. "Sebentar saja, Naya. Saya hanya butuh istirahat sebentar," ujar Raka sambil menutup matanya sejenak. Naya mencoba tenang, tapi perasaannya cam
Naya Savira berdiri tegak di depan Raka Wijaya, siap menjalankan tugasnya sesuai dengan perjanjian mereka. Namun, suasana terasa sedikit tidak nyaman ketika Raka kembali meminta Naya untuk melayani beberapa hal yang sedikit melampaui batas."Ingatt, kita cuma kontrak satu tahun, Pak! Dan tidak ada kontak fisik!" Naya menegaskan, menyilangkan tangannya di dada, takut Raka akan melangkah lebih jauh.Raka hanya mengangkat alisnya, tersenyum canggung, "Siapa yang mau melakukan kontak fisik denganmu, Naya? Benar-benar pikiranmu itu aneh sekali."Setelah melemparkan jas dan kemejanya, Raka melangkah ke kamar mandi, sementara Naya dengan sigap mengambil pakaian yang dibuangnya. Begitu selesai, Raka tiba-tiba meminta untuk tidur bersamanya di kamar yang sama dengan Chelly, putri kecilnya."Aku mau tidur bareng kalian malam ini," ujar Raka tanpa ragu.Naya merasa heran, "Pak, kenapa harus tidur di sini? Bukankah ada kamar Anda sendiri?"D
Setelah Naya pergi ke kamarnya, Raka Wijaya membawa Maria ke ruang kerjanya. Maria duduk dengan anggun di sofa, sementara Raka berdiri memandang keluar jendela. Ada sesuatu yang terasa aneh di dalam dirinya. Kehadiran Maria kembali ke dalam hidupnya seperti membuka luka lama yang belum sembuh. Ia tahu, meskipun ia berusaha menghindari masa lalu, kenyataannya masa lalu tidak akan pernah benar-benar hilang. "Aku hanya ingin memastikan satu hal, Raka," kata Maria dengan nada serius. "Apa kau benar-benar sudah melupakanku?" Raka Wijaya menghela napas panjang, membelakangi Maria. "Maria, aku tidak punya waktu untuk membahas masa lalu. Aku punya tanggung jawab lain sekarang." Maria mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut. "Kita punya sejarah, Raka. Apa kau bisa benar-benar mengabaikannya begitu saja?" Maria menyadari bahwa Raka tampak tidak nyaman. Dengan langkah perlahan, ia mendekat dan duduk di meja kerja Raka. "Kau tahu, Raka," katanya, suaranya lebih lembut, "aku tahu kita t
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."