Naya Savira berdiri tegak di depan Raka Wijaya, siap menjalankan tugasnya sesuai dengan perjanjian mereka. Namun, suasana terasa sedikit tidak nyaman ketika Raka kembali meminta Naya untuk melayani beberapa hal yang sedikit melampaui batas."Ingatt, kita cuma kontrak satu tahun, Pak! Dan tidak ada kontak fisik!" Naya menegaskan, menyilangkan tangannya di dada, takut Raka akan melangkah lebih jauh.Raka hanya mengangkat alisnya, tersenyum canggung, "Siapa yang mau melakukan kontak fisik denganmu, Naya? Benar-benar pikiranmu itu aneh sekali."Setelah melemparkan jas dan kemejanya, Raka melangkah ke kamar mandi, sementara Naya dengan sigap mengambil pakaian yang dibuangnya. Begitu selesai, Raka tiba-tiba meminta untuk tidur bersamanya di kamar yang sama dengan Chelly, putri kecilnya."Aku mau tidur bareng kalian malam ini," ujar Raka tanpa ragu.Naya merasa heran, "Pak, kenapa harus tidur di sini? Bukankah ada kamar Anda sendiri?"D
Setelah Naya pergi ke kamarnya, Raka Wijaya membawa Maria ke ruang kerjanya. Maria duduk dengan anggun di sofa, sementara Raka berdiri memandang keluar jendela. Ada sesuatu yang terasa aneh di dalam dirinya. Kehadiran Maria kembali ke dalam hidupnya seperti membuka luka lama yang belum sembuh. Ia tahu, meskipun ia berusaha menghindari masa lalu, kenyataannya masa lalu tidak akan pernah benar-benar hilang. "Aku hanya ingin memastikan satu hal, Raka," kata Maria dengan nada serius. "Apa kau benar-benar sudah melupakanku?" Raka Wijaya menghela napas panjang, membelakangi Maria. "Maria, aku tidak punya waktu untuk membahas masa lalu. Aku punya tanggung jawab lain sekarang." Maria mendekat, menyentuh bahunya dengan lembut. "Kita punya sejarah, Raka. Apa kau bisa benar-benar mengabaikannya begitu saja?" Maria menyadari bahwa Raka tampak tidak nyaman. Dengan langkah perlahan, ia mendekat dan duduk di meja kerja Raka. "Kau tahu, Raka," katanya, suaranya lebih lembut, "aku tahu kita t
Sementara itu, Naya kembali ke dapur untuk menyiapkan makanan kecil. Langit malam yang gelap seakan menambah kesunyian yang memenuhi rumah. Tidak ada suara lain selain suara detakan jam dan desisan air mendidih di atas kompor. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat, dan Mbak Yuni, kepala pelayan rumah, muncul di ambang pintu dapur. Wajahnya tampak cemas, dan ia berjalan dengan cepat menuju meja tempat Naya berdiri. "Naya," kata Mbak Yuni, suaranya rendah dan penuh perhatian. "Ada yang tidak beres. Maria tadi... dia tampak begitu bertekad. Hati-hati dengan dia." Naya menatap Mbak Yuni dengan terkejut. "Apa maksud Mbak Yuni?" Mbak Yuni mendekat, menurunkan suaranya lebih pelan. "Aku tahu, kau mungkin tidak ingin mencampuri urusan pribadi mereka, tapi aku rasa Maria tidak datang hanya untuk berbicara tentang masa lalu. Ada sesuatu yang lebih, dan itu mungkin bisa mempengaruhi hidupmu, Naya." Naya terdiam, memandang Mbak Yuni dengan penuh keraguan. Maria yang da
Di dapur, Naya sibuk menyiapkan sarapan. Yuni, ketua pelayan, memerhatikannya dengan senyum penuh arti. “Semalam tidur nyenyak, Naya?” tanya Yuni. Naya hampir menjatuhkan sendok di tangannya. “Ah, iya, Mbak. Kenapa tanya gitu?” “Cuma penasaran. Soalnya tadi pagi aku lihat kamu keluar dari kamar Pak Raka,” jawab Yuni sambil tertawa kecil. “Mbak Yuni, jangan bikin gosip! Saya pingsan di sofa, terus dipindahin ke kamar. Itu saja,” jawab Naya buru-buru, wajahnya memerah. “Oh, jadi gitu ceritanya. Hmm, hati-hati, Naya. Kalau terlalu sering dekat sama Pak Raka, nanti jatuh cinta, lho,” goda Yuni. Naya menghela napas. Ia tahu bekerja di rumah keluarga Wijaya tidak pernah mudah. Apalagi, sekarang Maria Merta, mantan kekasih Raka, kembali muncul di kehidupannya. Naya menggelengkan kepala. Dicobanya fokus. Terlebih, dia harus mengantar makan siang untuk Raka di kantornya. Tapi siapa sangka, ia bertemu dengan Maria di lobi, yang sedang menunggu Raka dengan senyum anggun? “
Di rumah, Chelly berlari ke arah Naya dengan ceria. “Kak Naya, Papa bilang Kak Naya mau jadi mama baruku, ya?”“Chelly! Siapa yang bilang begitu?” tanya Naya panik.“Papa! Dia bilang Kak Naya cantik, baik, dan cocok jadi mama,” jawab Chelly polos.Di belakangnya, Raka berdiri sambil menyeringai. “Apa masalahnya, Naya? Kamu tidak keberatan, kan, berpura-pura untuk sementara?”Naya tahu hidupnya baru saja menjadi lebih rumit.Chelly melompat ke pelukan Naya, tertawa riang seolah pernyataannya bukan sesuatu yang besar. Namun, bagi Naya, kalimat polos itu membuat jantungnya berdebar. Ia menatap Raka dengan tatapan tajam, mencoba membaca maksud dari senyum menyebalkan di wajah pria itu.“Pak Raka, saya di sini hanya untuk bekerja. Jangan buat lelucon seperti itu, apalagi di depan Chelly,” ucap Naya, menahan nada suaranya agar tidak terdengar terlalu emosional.Raka mendekat, m
Di luar ruang itu, Naya berjalan tergesa-gesa, matanya mencari-cari sesuatu yang biasa ditemuinya. Namun, saat melihat meja Andres kosong, ia terkejut. “Kak Andres, makanannya ke mana?” Andres hanya memegang tangan Naya dan menariknya keluar dengan cepat. “Ikut saya, Nona!” kata Andres, tanpa menjelaskan apapun. Naya hanya mengikuti, masih kebingungan. “Ke mana, Kak?” Tak lama, Andres membawa Naya ke kamar mandi pria, yang semakin membuat Naya bingung dan khawatir. "Ada apa, Kak?" tanya Naya cemas. Tanpa bicara banyak, Andres mengeluarkan sebuah kalung liontin dari sakunya. "Aku ingin memberikannya padamu, Naya. Ini simbol sesuatu yang lebih serius," katanya, mata Andres penuh ketulusan. Naya terkejut. "Kalung? Tapi, Kak, ini terlalu cepat." Andres mengangguk, dengan senyum penuh keyakinan. "Aku sudah lama merasa nyaman denganmu, Naya. Aku ingin kamu jadi pacarku. Terima kasih
Ketika Jarak Semakin Melebar Keesokan paginya, Naya bangun dengan perasaan yang masih berat. Ia tahu harus tetap menjalani tugasnya merawat Chelly, meskipun hatinya terasa kosong. Pagi itu, Raka sudah berangkat ke kantor tanpa sepatah kata pun padanya. Naya memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan berkonsentrasi pada pekerjaan. Saat sedang menyiapkan sarapan untuk Chelly, Endra muncul di dapur. "Selamat pagi, Naya. Gimana Chelly sekarang?" tanya Endra dengan senyum ramah seperti biasanya. "Sudah mendingan. Dokter bilang demamnya cuma efek kelelahan," jawab Naya sambil mencoba tersenyum. Endra mengangguk, lalu mendekat ke meja dapur. "Baguslah kalau begitu. Tapi kamu sendiri gimana? Kelihatan capek." "Aku baik-baik saja, kok," kata Naya, meskipun suaranya terdengar kurang meyakinkan. Namun, perhatian Endra membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ia merasa dihargai, sesuatu yan
" Dinding yang Semakin Tinggi " Pagi itu, suasana di rumah terasa sunyi. Naya bangun lebih awal untuk menyiapkan bubur Chelly. Sementara itu, bayi mungil berusia enam bulan itu masih tertidur pulas di kamarnya. Naya mengintip dari pintu dan tersenyum melihat Chelly menggenggam selimut kecil kesayangan nya. Namun, perasaan hangat itu segera tergantikan oleh rasa berat di dada. Ia teringat percakapan semalam dengan Raka. Kata-kata tajamnya masih terngiang di telinga. Naya merasa semakin tak dihargai di rumah itu, meski ia telah mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk Chelly. Saat bubur selesai disiapkan, Yuni, salah satu pengurus rumah tangga, datang ke dapur. "Mbak Naya, saya bantu angkat buburnya ke kamar Chelly, ya?" tawarnya. "Tidak usah, Yu. Biar saya yang bawa," jawab Naya lembut, mencoba mengalihkan pikirannya. Di kamar Chelly, bayi kecil itu sudah bangun. Ia bergerak-gerak di ranjangnya,
Pernikahan yang Gagal Total Pagi itu, udara cerah di langit kota mengiringi persiapan pesta pernikahan mewah. Rencana pernikahan ini sudah disusun selama berbulan-bulan, memastikan semuanya berjalan sempurna. Namun, siapa sangka, hari yang seharusnya menjadi momen terindah justru berubah menjadi mimpi buruk. Di atas motor batangan yang terparkir di pinggir jalan sepi, seorang perempuan bergaun pengantin duduk dengan tangan yang terikat. Raut wajahnya menunjukkan campuran amarah, ketakutan, dan frustasi. Di depannya, seorang pria berkaus hitam lusuh tengah menatapnya dengan santai, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. “Cepet turun!” bentak pria itu. “Enggak mau! Lepasin aku!” balas perempuan itu, sambil mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya. “Kenapa? Gaunmu nyangkut apa? Buruan turun dari motor gue, atau gue seret!” ancam pria itu sambil terkekeh kecil.
Hari yang Sempurna Berubah Petaka Pagi itu, Maria tampak sibuk berdandan di sebuah kamar rias mewah. Segala sesuatu di ruangan itu memancarkan kemewahan: cermin besar berbingkai emas, lampu-lampu kristal menggantung, dan rak penuh peralatan kosmetik dari merek-merek ternama. Di tengah ruangan, Maria duduk anggun di kursi rias, dikelilingi oleh energi yang sibuk dan mendesak. Maria selalu menginginkan yang terbaik—tidak ada kata "biasa" dalam hidupnya. Dari kecil, semua hal yang ia miliki selalu wah, dan kini, di hari pernikahannya, ia ingin memastikan semua mata tertuju hanya padanya bak seorang Ratu. “Ihh, kayaknya warna bibir ku terlihat pucat, deh? Kelihatan kayak orang sakit, terus ini bayangan hidung ketipisan. Kenapa alis ku ini warna hitam kan aku ingin nya warna coklat! Katanya MUA profesional, mahal pula!” gerutunya sambil melirik hasil kerja MUA-nya yang tampak kewalahan. MUA itu, seorang wanita cantik dengan sik
Titik Balik di Hari Pernikahan Pagi itu, Tommy mengesampingkan segala urusan pekerjaannya. Dengan amarah yang menggelegak, ia menyalakan motornya dan melaju menuju kediaman Raka. Tekadnya sudah bulat—ia ingin menuntut keadilan untuk adiknya tercinta, Naya, yang selama ini terpaksa menanggung cinta bertepuk sebelah tangan pada pria itu. Sesampainya di depan gerbang megah kediaman Raka, Tommy berteriak keras tanpa peduli lingkungan sekitar. “ETHAN! KELUAR LO, DASAR BRENGSEK, BAJING*N!” Kegaduhan itu membuat beberapa orang keluar dari rumah, termasuk Yuni dan Rini, dua pelayan Raka yang saat itu sudah mengenakan kebaya rapi. Mereka hendak pergi ke gedung pernikahan, tetapi terpaksa berhenti melihat kekacauan di depan mata. “Itu kakaknya nona Naya, kan?” bisik Rini pada Yuni. “Iya! Tapi kok berani-beraninya dia datang ke sini? Kita harus apa, nih?” Yuni balas bertanya, bingung melihat suasana semak
Hari yang Tidak Ditunggu Raka Selama dua minggu terakhir, Raka berusaha keras menahan diri untuk tidak mencari Naya. Larangan keras dari kakaknya, Naya, membuat hubungan mereka semakin sulit. Namun, rasa rindunya pada Naya tidak kunjung surut, meskipun ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Tanpa kehadiran Naya di sisinya, Raka memutuskan untuk fokus memulihkan kesehatannya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, karena hanya dengan kekuatan itu ia bisa melawan perjodohan dengan Maria, wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Kini, waktu berjalan tanpa kompromi, dan dua minggu pun berlalu. Hari yang ditakuti Raka akhirnya tiba — hari pernikahannya. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar nya, ditemani Roy, sekretarisnya yang setia. “Tuan Raka, Anda terlihat luar biasa hari ini,” ujar Roy sambil tersenyum, mencoba menyu
Villa Raka: Menanti Tamu yang Tak Kunjung Datang Di villa mewahnya, Raka masih menunggu dengan harap-harap cemas. Ia berharap Naya, wanita yang sudah lama menghilang dari hidupnya, akan datang. Namun, Roy, sekretaris pribadinya, yang ia utus untuk menjemput Naya, ternyata kembali dengan tangan hampa. "Tuan, makan dulu. Tidak baik membiarkan perut kosong terlalu lama. Kalau tidak, nanti malah masuk rumah sakit," ujar Yuni, pelayan setianya, sambil menyodorkan sepiring makanan. "Makan saja, Tuan. Jangan sampai nanti kami harus menyuapi Anda di ranjang rumah sakit," tambah Rini, pelayan lainnya, sambil tertawa kecil. Raka mendengus kesal. "Kalian berdua ini mau aku sehat atau mau aku mati? Bicara seenaknya saja!" Namun, ia tidak benar-benar marah. Sudah biasa baginya menghadapi tingkah konyol para pelayannya itu setiap hari. Tepat saat suasana menjadi sedikit canggung, pintu villa t
Larut di Antara Pilihan Naya turun dari mobil dengan hati-hati, menggendong Gio yang sudah terlelap setelah diberi susu. Roy, sekretaris yang mengantarnya, melambaikan tangan sebelum mobil melaju pergi. "Terima kasih, Roy." "Sama-sama, Nona. Hati-hati." Naya melangkah masuk ke rumah dengan perlahan, berharap tidak membangunkan kakaknya, Tommy karena dia tadi pergi tanpa berpamitan dengan kakak nya. . Lampu rumah sudah padam, menandakan Tommy kemungkinan besar sudah tidur di dalam kamar. Ia menarik napas lega dan bergegas menuju kamarnya. Namun, nasib tidak berpihak pada nya malam itu. Klik! Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala, memperlihatkan sosok Tommy yang duduk di sofa dengan ekspresi tajam. "Dari mana aja lu malam-malam bawa Gio keluar gak kasian sama anak lu?" tanyanya langsung. "Jangan bilang lu abis ketemu sama... dia." Naya terdiam, rasa bersalah menyelimuti
Tempat Peristirahatan RakaRoy tiba di sebuah lokasi tersembunyi jauh dari ibu kota, tempat di mana Raka, majikannya, bersembunyi dari tunangan nya dan orang tua nya. Namun, ia terkejut mendapati Bos kecil, Gio, sedang bermain riang di sofa bersama dua pembantu nya, Rini dan Yuni."Bagaimana Gio bisa ada di sini?" tanya Roy, bingung."Ah, payah sekali kamu, Sekretaris Roy," sindir Rinj sambil terkekeh. "Kami saja bisa membawa Gio dan Nona Naya ke sini dengan mudah. Kau kalah telak, bahkan oleh strategi sederhana kami!""Hah, cuma modal foto dan rayuan, kau tetap kalah. Sekarang kami jadi pahlawan!" timpal Yuni sambil menepuk bahu Roy dengan bangga.Roy menghela napas panjang, merasa usahanya sia-sia. "Astaga, manusia memang makhluk yang tak bisa diremehkan," gumamnya sambil melangkah menuju kamar Raka.Saat membuka pintu sedikit, Roy mengintip ke dalam. Di sana, Naya, wanita yang selama ini ingin dihindari Raka, justru tengah dud
Malam itu, Naya sedang bermain bersama putranya di ruang tamu. Televisi menyala, menampilkan acara yang sesekali ditonton sepintas oleh Naya, sementara ia sibuk menghibur anaknya. Tawa renyah si kecil memenuhi ruangan, membuat Teta merasa hangat di tengah malam yang sunyi. Namun, suasana itu terganggu ketika terdengar ketukan di pintu. Naya sempat berpikir itu kakaknya, Tommy, yang pulang lebih awal. Tetapi ia merasa heran, karena Tommy biasanya masuk tanpa mengetuk pintu namun teriak-teriak. “Kakak, pintunya gak dikunci! Masuk aja!” teriak Naya sambil menggendong anaknya. Namun, saat pintu terbuka, bukanlah Tommy yang muncul. Dua sosok perempuan berdiri di ambang pintu, wajah mereka tampak pucat dan panik. “Mbak Yuni? Rini?” Naya terkejut melihat dua teman asisten rumah tangga yang pernah bekerja bareng di rumah Raka kini sedang berdiri di sini. Keduanya langsung masuk tanpa permisi, mendekati Nay
“Kenapa sih, Raka? Baru sakit sedikit saja sudah seperti ini. Kamu tuh terlalu manja!” Maria mengomel tanpa henti di sisi ranjang. Di sebuah vila mewah, Raka sedang dirawat setelah kesehatannya menurun sejak acara pertunangannya seminggu lalu. Selang infus menghiasi pergelangan tangannya, dan ia tetap bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit meski kondisinya melemah. “Maaf, Nona Maria, sebaiknya Tuan Raka diberi waktu untuk beristirahat,” ucap Roy, asisten pribadinya, dengan sopan namun tegas. “Kau menyuruhku pergi?” Maria menatap Roy tajam, matanya memancarkan ketidaksenangan. “Bukan begitu, Nona. Saya hanya memprioritaskan kesehatan Tuan Raka. Anda bisa kembali menjenguknya nanti,” balas Raka dengan nada menenangkan, meskipun dalam hati ia merasa kehadiran Maria justru memperburuk suasana. Raka, yang mendengar perdebatan itu, akhirnya ikut angkat bicara. “Maria, pulanglah dulu. Aku butuh