Ketika Jarak Semakin Melebar
Keesokan paginya, Naya bangun dengan perasaan yang masih berat. Ia tahu harus tetap menjalani tugasnya merawat Chelly, meskipun hatinya terasa kosong. Pagi itu, Raka sudah berangkat ke kantor tanpa sepatah kata pun padanya. Naya memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan berkonsentrasi pada pekerjaan. Saat sedang menyiapkan sarapan untuk Chelly, Endra muncul di dapur. "Selamat pagi, Naya. Gimana Chelly sekarang?" tanya Endra dengan senyum ramah seperti biasanya. "Sudah mendingan. Dokter bilang demamnya cuma efek kelelahan," jawab Naya sambil mencoba tersenyum. Endra mengangguk, lalu mendekat ke meja dapur. "Baguslah kalau begitu. Tapi kamu sendiri gimana? Kelihatan capek." "Aku baik-baik saja, kok," kata Naya, meskipun suaranya terdengar kurang meyakinkan. Namun, perhatian Endra membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ia merasa dihargai, sesuatu yan" Dinding yang Semakin Tinggi " Pagi itu, suasana di rumah terasa sunyi. Naya bangun lebih awal untuk menyiapkan bubur Chelly. Sementara itu, bayi mungil berusia enam bulan itu masih tertidur pulas di kamarnya. Naya mengintip dari pintu dan tersenyum melihat Chelly menggenggam selimut kecil kesayangan nya. Namun, perasaan hangat itu segera tergantikan oleh rasa berat di dada. Ia teringat percakapan semalam dengan Raka. Kata-kata tajamnya masih terngiang di telinga. Naya merasa semakin tak dihargai di rumah itu, meski ia telah mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk Chelly. Saat bubur selesai disiapkan, Yuni, salah satu pengurus rumah tangga, datang ke dapur. "Mbak Naya, saya bantu angkat buburnya ke kamar Chelly, ya?" tawarnya. "Tidak usah, Yu. Biar saya yang bawa," jawab Naya lembut, mencoba mengalihkan pikirannya. Di kamar Chelly, bayi kecil itu sudah bangun. Ia bergerak-gerak di ranjangnya,
" Di Antara Batas-Batas Tak Terucap " Hari itu, Naya merasa lebih berat menjalani rutinitasnya. Meski ia mencoba untuk tetap tegar demi Chelly, hati kecilnya terus bertanya-tanya: apakah keberadaannya di rumah itu hanya menjadi sumber masalah? Ia tahu posisinya sebagai pengasuh membuatnya harus menjaga profesionalitas, tetapi bagaimana mungkin ia mengabaikan perasaan yang perlahan menyelinap di hatinya? Saat sore tiba, Chelly mulai rewel karena giginya yang baru tumbuh. Naya menggendong bayi mungil itu sambil berjalan ke taman belakang, berharap udara segar dapat menenangkan Chelly. Di tengah-tengah langkahnya, ia mendengar suara pintu depan terbuka. Raka baru saja pulang dari kantor, dan langkah kakinya terdengar menuju ruang tamu. “Naya,” panggilnya dari kejauhan. Naya berhenti, lalu berbalik perlahan. "Iya, Pak?" jawabnya hati-hati. “Aku mau bicara,” katanya dengan nada datar. Naya menganggu
“Kak Endra ke mana? Kok gak kelihatan dari tadi?” tanya Naya penasaran. “Maaf, Nona. Endra sudah dipecat,” jawab Riki pelan, membuat Naya terkejut bukan main. Seperti disambar petir di siang bolong. Apa yang baru saja didengar oleh Naya seperti mimpi buruk yang tiba-tiba datang. Makan siangnya terasa hambar. Semalaman menangisi Chelly yang sakit, kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Endra, pria yang sangat dihormati sekaligus dekat dengannya, telah kehilangan pekerjaannya. “Alasannya apa?” tanya Naya sambil menahan amarah. “Kami belum tahu pasti, tapi keputusan itu dibuat langsung oleh Tuan Raka tadi pagi,” jawab Riki hati-hati. Emosi Naya langsung membuncah. Dengan langkah tegas, ia menuju ruang kerja majikannya, Raka Wijaya, membawa amarah yang tak tertahankan. “Apa alasan Bapak memecat Endra?!” sergah Naya begitu ia
" Jebakan Cinta di Antara Luka " Naya bangkit dari tempat tidurnya dengan tubuh yang masih lemas. Pikirannya terus melayang pada Endra, pria yang selalu menjadi pelindung dan sandarannya selama ini. Bayangan saat ia mendengar kabar pemecatan Endra tadi siang masih terus menghantui. “Kak Endra pergi karena aku…” bisiknya lirih, air matanya jatuh perlahan. Di sisi lain, di ruang kerjanya, Raka memandang gelas anggur yang ada di tangannya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh oleh bayangan Naya. Ia tidak pernah menyangka bahwa rasa cemburu yang menguasai hatinya membuatnya mengambil keputusan impulsif—memecat Endra, pria yang selama ini setia padanya. “Kenapa aku begini? Kenapa aku tidak bisa tenang saat melihat dia dekat dengan orang lain?” gumam Raka pelan, namun nadanya penuh penyesalan. Raka menghela napas panjang, menyadari tindakannya telah melukai hati
Tangan dan kaki Naya diikat erat oleh Raka, merampas kebebasannya. Dia terjebak dalam cengkeraman pria berwibawa yang memerintahnya seperti raja tanpa ampun. Melawan? Mustahil. Tubuhnya terlalu lemah setelah berjam-jam terikat tanpa makanan dan minuman. Efek obat bius yang masih tersisa di tubuhnya membuat setiap upaya perlawanan hanya sia-sia. "Tolong aku... Aku akan melunasi semua utang yang kau bayarkan untuk keluargaku. Tapi jangan seperti ini, kumohon," suara Naya parau, nyaris tanpa tenaga. Gadis yang dulu berani kini tampak seperti bayangan dirinya yang hancur. Raka tersenyum dingin, tatapannya penuh ejekan. "Utang itu sudah kuberikan pada pihak lain. Kau pikir semudah itu bisa diurus kembali? Jangan naif, Naya." Naya hanya bisa terisak. "Lalu apa yang kau inginkan?" "Aku hanya mengambil hakku. K
Naya sebenarnya tahu bahwa memasuki dunia malam adalah keputusan yang berisiko. Tapi tak pernah terlintas di pikirannya bahwa bekerja di bawah kendali Raka akan jauh lebih buruk. Pria itu tidak hanya keras, tetapi juga dingin dan tidak pernah memedulikan perasaan orang lain. "Aku ingin bertemu Kak Endra! Aku rindu dia!" Seharusnya aku bersama nya bukan terkurung di rumah ini." Naya menangis sejadi-jadinya, membenamkan tubuhnya di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga kepala. Tangisnya menggema di kamar kecil itu, sementara Yuni dan Rini hanya berdiri tanpa berkata-kata. Mereka tidak tahu bagaimana menenangkan gadis itu. "Raka, apa aku harus memohon padamu untuk didengar?" Maria menaruh kedua tangannya di pinggang, memandang Raka yang hanya sibuk dengan laptopnya. Perempuan itu terus mencoba mendekat, namun Raka tetap tak mengalihkan pandangannya. Dulu, ia pernah begitu tergila-gila pada Maria, namun kini tatapan
Keesokan paginya, suasana rumah Raka terasa lebih lengang dari biasanya. Dua pelayan setia, Yuni dan Rini, tengah sibuk membereskan meja makan setelah menyiapkan sarapan pagi. "Bagaimana kabar Nona Naya semalam?" tanya sasa pelan, khawatir suara mereka terdengar. "Sepertinya dia baik-baik saja, tapi aku lihat wajahnya tampak pucat saat bertemu Tuan Raka tadi malam," jawab Rini, berbisik seraya menata piring di rak. Raka, yang tengah menikmati sarapannya di meja besar, mendengar percakapan singkat itu dan melirik ke arah mereka. Ia menyunggingkan senyum tipis sebelum bersuara. "Chelly memang tenang kalau bersama ibuku, tapi kalian tahu sendiri, dia selalu menghindar kalau ada orang yang menggendong nya. Mungkin aku memang terlalu memanjakan putri kecil ku." Suaranya terdengar datar, namun ada nada dingin yang membuat kedua pelayan itu merinding. Sasa hanya bisa mengangguk kec
lima hari telah berlalu. Di dalam kamar yang remang, seorang pria berdiri merapikan pakaian setelah puas memenuhi nafsunya. Di ranjang, seorang gadis meringkuk dalam diam di bawah selimut lusuh, rambutnya kusut terurai seperti tak memiliki kehidupan. Wajahnya kosong, tanpa cahaya. Gadis itu adalah Teta, yang dulu dikenal ceria dan penuh semangat. Namun kini, jejak kepribadiannya yang dulu seolah lenyap tak bersisa. Bagi Naya, waktu seperti berhenti. Dalam lima hari itu, ia terus-menerus dipaksa melayani keinginan Raka, pria yang menjadikannya sebagai tawanan tanpa belas kasihan. Dirinya merasa tak lebih dari sebuah benda, sampah menjijikkan dan tak berharga. Setiap malam, ia hanya bisa berharap penderitaannya akan berakhir dan ada keajaiban yang membawanya keluar dari rumah neraka itu. Sebelum pergi pagi ini, Raka berdiri di ambang pintu dengan nada dingin dan penuh ancaman. "Aku akan ke negara Jerman selama sebulan. Janga
lima hari telah berlalu. Di dalam kamar yang remang, seorang pria berdiri merapikan pakaian setelah puas memenuhi nafsunya. Di ranjang, seorang gadis meringkuk dalam diam di bawah selimut lusuh, rambutnya kusut terurai seperti tak memiliki kehidupan. Wajahnya kosong, tanpa cahaya. Gadis itu adalah Teta, yang dulu dikenal ceria dan penuh semangat. Namun kini, jejak kepribadiannya yang dulu seolah lenyap tak bersisa. Bagi Naya, waktu seperti berhenti. Dalam lima hari itu, ia terus-menerus dipaksa melayani keinginan Raka, pria yang menjadikannya sebagai tawanan tanpa belas kasihan. Dirinya merasa tak lebih dari sebuah benda, sampah menjijikkan dan tak berharga. Setiap malam, ia hanya bisa berharap penderitaannya akan berakhir dan ada keajaiban yang membawanya keluar dari rumah neraka itu. Sebelum pergi pagi ini, Raka berdiri di ambang pintu dengan nada dingin dan penuh ancaman. "Aku akan ke negara Jerman selama sebulan. Janga
Keesokan paginya, suasana rumah Raka terasa lebih lengang dari biasanya. Dua pelayan setia, Yuni dan Rini, tengah sibuk membereskan meja makan setelah menyiapkan sarapan pagi. "Bagaimana kabar Nona Naya semalam?" tanya sasa pelan, khawatir suara mereka terdengar. "Sepertinya dia baik-baik saja, tapi aku lihat wajahnya tampak pucat saat bertemu Tuan Raka tadi malam," jawab Rini, berbisik seraya menata piring di rak. Raka, yang tengah menikmati sarapannya di meja besar, mendengar percakapan singkat itu dan melirik ke arah mereka. Ia menyunggingkan senyum tipis sebelum bersuara. "Chelly memang tenang kalau bersama ibuku, tapi kalian tahu sendiri, dia selalu menghindar kalau ada orang yang menggendong nya. Mungkin aku memang terlalu memanjakan putri kecil ku." Suaranya terdengar datar, namun ada nada dingin yang membuat kedua pelayan itu merinding. Sasa hanya bisa mengangguk kec
Naya sebenarnya tahu bahwa memasuki dunia malam adalah keputusan yang berisiko. Tapi tak pernah terlintas di pikirannya bahwa bekerja di bawah kendali Raka akan jauh lebih buruk. Pria itu tidak hanya keras, tetapi juga dingin dan tidak pernah memedulikan perasaan orang lain. "Aku ingin bertemu Kak Endra! Aku rindu dia!" Seharusnya aku bersama nya bukan terkurung di rumah ini." Naya menangis sejadi-jadinya, membenamkan tubuhnya di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga kepala. Tangisnya menggema di kamar kecil itu, sementara Yuni dan Rini hanya berdiri tanpa berkata-kata. Mereka tidak tahu bagaimana menenangkan gadis itu. "Raka, apa aku harus memohon padamu untuk didengar?" Maria menaruh kedua tangannya di pinggang, memandang Raka yang hanya sibuk dengan laptopnya. Perempuan itu terus mencoba mendekat, namun Raka tetap tak mengalihkan pandangannya. Dulu, ia pernah begitu tergila-gila pada Maria, namun kini tatapan
Tangan dan kaki Naya diikat erat oleh Raka, merampas kebebasannya. Dia terjebak dalam cengkeraman pria berwibawa yang memerintahnya seperti raja tanpa ampun. Melawan? Mustahil. Tubuhnya terlalu lemah setelah berjam-jam terikat tanpa makanan dan minuman. Efek obat bius yang masih tersisa di tubuhnya membuat setiap upaya perlawanan hanya sia-sia. "Tolong aku... Aku akan melunasi semua utang yang kau bayarkan untuk keluargaku. Tapi jangan seperti ini, kumohon," suara Naya parau, nyaris tanpa tenaga. Gadis yang dulu berani kini tampak seperti bayangan dirinya yang hancur. Raka tersenyum dingin, tatapannya penuh ejekan. "Utang itu sudah kuberikan pada pihak lain. Kau pikir semudah itu bisa diurus kembali? Jangan naif, Naya." Naya hanya bisa terisak. "Lalu apa yang kau inginkan?" "Aku hanya mengambil hakku. K
" Jebakan Cinta di Antara Luka " Naya bangkit dari tempat tidurnya dengan tubuh yang masih lemas. Pikirannya terus melayang pada Endra, pria yang selalu menjadi pelindung dan sandarannya selama ini. Bayangan saat ia mendengar kabar pemecatan Endra tadi siang masih terus menghantui. “Kak Endra pergi karena aku…” bisiknya lirih, air matanya jatuh perlahan. Di sisi lain, di ruang kerjanya, Raka memandang gelas anggur yang ada di tangannya. Tatapannya kosong, pikirannya penuh oleh bayangan Naya. Ia tidak pernah menyangka bahwa rasa cemburu yang menguasai hatinya membuatnya mengambil keputusan impulsif—memecat Endra, pria yang selama ini setia padanya. “Kenapa aku begini? Kenapa aku tidak bisa tenang saat melihat dia dekat dengan orang lain?” gumam Raka pelan, namun nadanya penuh penyesalan. Raka menghela napas panjang, menyadari tindakannya telah melukai hati
“Kak Endra ke mana? Kok gak kelihatan dari tadi?” tanya Naya penasaran. “Maaf, Nona. Endra sudah dipecat,” jawab Riki pelan, membuat Naya terkejut bukan main. Seperti disambar petir di siang bolong. Apa yang baru saja didengar oleh Naya seperti mimpi buruk yang tiba-tiba datang. Makan siangnya terasa hambar. Semalaman menangisi Chelly yang sakit, kini ia harus menghadapi kenyataan pahit bahwa Endra, pria yang sangat dihormati sekaligus dekat dengannya, telah kehilangan pekerjaannya. “Alasannya apa?” tanya Naya sambil menahan amarah. “Kami belum tahu pasti, tapi keputusan itu dibuat langsung oleh Tuan Raka tadi pagi,” jawab Riki hati-hati. Emosi Naya langsung membuncah. Dengan langkah tegas, ia menuju ruang kerja majikannya, Raka Wijaya, membawa amarah yang tak tertahankan. “Apa alasan Bapak memecat Endra?!” sergah Naya begitu ia
" Di Antara Batas-Batas Tak Terucap " Hari itu, Naya merasa lebih berat menjalani rutinitasnya. Meski ia mencoba untuk tetap tegar demi Chelly, hati kecilnya terus bertanya-tanya: apakah keberadaannya di rumah itu hanya menjadi sumber masalah? Ia tahu posisinya sebagai pengasuh membuatnya harus menjaga profesionalitas, tetapi bagaimana mungkin ia mengabaikan perasaan yang perlahan menyelinap di hatinya? Saat sore tiba, Chelly mulai rewel karena giginya yang baru tumbuh. Naya menggendong bayi mungil itu sambil berjalan ke taman belakang, berharap udara segar dapat menenangkan Chelly. Di tengah-tengah langkahnya, ia mendengar suara pintu depan terbuka. Raka baru saja pulang dari kantor, dan langkah kakinya terdengar menuju ruang tamu. “Naya,” panggilnya dari kejauhan. Naya berhenti, lalu berbalik perlahan. "Iya, Pak?" jawabnya hati-hati. “Aku mau bicara,” katanya dengan nada datar. Naya menganggu
" Dinding yang Semakin Tinggi " Pagi itu, suasana di rumah terasa sunyi. Naya bangun lebih awal untuk menyiapkan bubur Chelly. Sementara itu, bayi mungil berusia enam bulan itu masih tertidur pulas di kamarnya. Naya mengintip dari pintu dan tersenyum melihat Chelly menggenggam selimut kecil kesayangan nya. Namun, perasaan hangat itu segera tergantikan oleh rasa berat di dada. Ia teringat percakapan semalam dengan Raka. Kata-kata tajamnya masih terngiang di telinga. Naya merasa semakin tak dihargai di rumah itu, meski ia telah mencurahkan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk Chelly. Saat bubur selesai disiapkan, Yuni, salah satu pengurus rumah tangga, datang ke dapur. "Mbak Naya, saya bantu angkat buburnya ke kamar Chelly, ya?" tawarnya. "Tidak usah, Yu. Biar saya yang bawa," jawab Naya lembut, mencoba mengalihkan pikirannya. Di kamar Chelly, bayi kecil itu sudah bangun. Ia bergerak-gerak di ranjangnya,
Ketika Jarak Semakin Melebar Keesokan paginya, Naya bangun dengan perasaan yang masih berat. Ia tahu harus tetap menjalani tugasnya merawat Chelly, meskipun hatinya terasa kosong. Pagi itu, Raka sudah berangkat ke kantor tanpa sepatah kata pun padanya. Naya memutuskan untuk mengalihkan pikirannya dengan berkonsentrasi pada pekerjaan. Saat sedang menyiapkan sarapan untuk Chelly, Endra muncul di dapur. "Selamat pagi, Naya. Gimana Chelly sekarang?" tanya Endra dengan senyum ramah seperti biasanya. "Sudah mendingan. Dokter bilang demamnya cuma efek kelelahan," jawab Naya sambil mencoba tersenyum. Endra mengangguk, lalu mendekat ke meja dapur. "Baguslah kalau begitu. Tapi kamu sendiri gimana? Kelihatan capek." "Aku baik-baik saja, kok," kata Naya, meskipun suaranya terdengar kurang meyakinkan. Namun, perhatian Endra membuatnya merasa sedikit lebih baik. Ia merasa dihargai, sesuatu yan