Naya sebenarnya tahu bahwa memasuki dunia malam adalah keputusan yang berisiko. Tapi tak pernah terlintas di pikirannya bahwa bekerja di bawah kendali Raka akan jauh lebih buruk. Pria itu tidak hanya keras, tetapi juga dingin dan tidak pernah memedulikan perasaan orang lain.
"Aku ingin bertemu Kak Endra! Aku rindu dia!" Seharusnya aku bersama nya bukan terkurung di rumah ini." Naya menangis sejadi-jadinya, membenamkan tubuhnya di balik selimut tebal yang menutupi tubuhnya hingga kepala. Tangisnya menggema di kamar kecil itu, sementara Yuni dan Rini hanya berdiri tanpa berkata-kata. Mereka tidak tahu bagaimana menenangkan gadis itu. "Raka, apa aku harus memohon padamu untuk didengar?" Maria menaruh kedua tangannya di pinggang, memandang Raka yang hanya sibuk dengan laptopnya. Perempuan itu terus mencoba mendekat, namun Raka tetap tak mengalihkan pandangannya. Dulu, ia pernah begitu tergila-gila pada Maria, namun kini tatapanKeesokan paginya, suasana rumah Raka terasa lebih lengang dari biasanya. Dua pelayan setia, Yuni dan Rini, tengah sibuk membereskan meja makan setelah menyiapkan sarapan pagi. "Bagaimana kabar Nona Naya semalam?" tanya sasa pelan, khawatir suara mereka terdengar. "Sepertinya dia baik-baik saja, tapi aku lihat wajahnya tampak pucat saat bertemu Tuan Raka tadi malam," jawab Rini, berbisik seraya menata piring di rak. Raka, yang tengah menikmati sarapannya di meja besar, mendengar percakapan singkat itu dan melirik ke arah mereka. Ia menyunggingkan senyum tipis sebelum bersuara. "Chelly memang tenang kalau bersama ibuku, tapi kalian tahu sendiri, dia selalu menghindar kalau ada orang yang menggendong nya. Mungkin aku memang terlalu memanjakan putri kecil ku." Suaranya terdengar datar, namun ada nada dingin yang membuat kedua pelayan itu merinding. Sasa hanya bisa mengangguk kec
lima hari telah berlalu. Di dalam kamar yang remang, seorang pria berdiri merapikan pakaian setelah puas memenuhi nafsunya. Di ranjang, seorang gadis meringkuk dalam diam di bawah selimut lusuh, rambutnya kusut terurai seperti tak memiliki kehidupan. Wajahnya kosong, tanpa cahaya. Gadis itu adalah Teta, yang dulu dikenal ceria dan penuh semangat. Namun kini, jejak kepribadiannya yang dulu seolah lenyap tak bersisa. Bagi Naya, waktu seperti berhenti. Dalam lima hari itu, ia terus-menerus dipaksa melayani keinginan Raka, pria yang menjadikannya sebagai tawanan tanpa belas kasihan. Dirinya merasa tak lebih dari sebuah benda, sampah menjijikkan dan tak berharga. Setiap malam, ia hanya bisa berharap penderitaannya akan berakhir dan ada keajaiban yang membawanya keluar dari rumah neraka itu. Sebelum pergi pagi ini, Raka berdiri di ambang pintu dengan nada dingin dan penuh ancaman. "Aku akan ke negara Jerman selama sebulan. Janga
Kegaduhan pagi di Kediaman Raka Pagi itu, suasana di dalam rumah Raka mendadak mencekam. Rini dan Yuni, dua orang pelayan yang bertugas menjaga kamar tamu, terlihat pucat saat mereka berlari kembali ke dapur. Langkah mereka tergesa-gesa, bahkan Rini sempat tersandung meja kecil di ruang tengah. "Ini tidak mungkin terjadi! Bagaimana dia bisa kabur dari kamar itu?" tanya Rini dengan suara gemetar. Yuni, yang mencoba menenangkan diri, mendekati jendela dan melirik ke luar. "Jejaknya sudah hilang, Rini. Dia sudah pergi jauh, dan kita akan disalahkan karena kelalaian ini." "Jangan menyalahkan aku! Kenapa kamu baru mengantar makanannya sekarang?!" bentak Rini sambil memukul meja kecil di dapur. Yuni membalas dengan nada tinggi, "Lalu aku harus bagaimana? Pak Raka tadi ada di depan kamar itu. Aku mana berani masuk!" Mereka terdiam sejenak. Namun, sebelum sempat meny
Sedangkan kabar Chelly yang sedang dititipkan di kediaman orang tua Raka. Chelly yang begitu nyaman dalam pelukan neneknya yang berikan perhatian dan kasih sayang penuh kepadanya."Jangan dekat-dekat, anak ini gak suka sama kamu! ujar Florentina menegur suaminya, Arya, yang berusaha mendekati cucunya.Arya, pria paruh baya dengan wajah yang hampir mirip dengan Raka, hanya mendengus. "Aneh, masa sama kakeknya sendiri gak suka?" gumamnya."Itu karena kamu terlalu galak, dan dari awal kamu memang gak suka dengan Chelly bagaimanapun ini kan cucu kamu darah daging dari anak kita!" balas Laras tegas."Jangan mulai lagi, Florentina. Kamu tahu sendiri aku gak setuju Raka dulu menikahi wanita itu. Dia keras kepala, gak mau dengar saran kita, lihat apa yang terjadi? Sekarang dia meninggal, anaknya ngak ada yang ngurus ujung-ujungnya kita yang bantu ngurusin anaknya!" suara Arya terdengar berat, penuh penyesalan bercampur kekesalan.Laras
" Berita Kembalinya Raka " Di keesokan pagi nya kabar kepulangan Raka telah tersebar luas. Namun, tidak ada seorang pun yang tahu tentang kondisi kehamilan Naya, termasuk keluarga besar Raka yang jauh. Mereka sengaja menyimpan kabar itu hingga Raka benar-benar kembali. "Kamu masih mual, Naya?" tanya Rini, salah satu perawat yang selalu menemaninya. Naya hanya memejamkan mata, menahan rasa mual yang melilit perutnya setiap pagi. Jika bukan mual, tubuhnya terasa lemas tak berdaya. "Aku capek hidup begini, Rini. Kenapa harus aku?" keluh Naya. Mata gadis itu berkaca-kaca, sementara Rini dan Yuni hanya bisa bersabar menghadapi emosi yang selalu naik turun. "Kamu butuh sesuatu? Apa pun, bilang saja. Kami akan usahakan," bujuk Yuni. "Aku mau pergi! Mau keluar dari sini!" hardiknya tiba-tiba. Namun, alih-alih merespons kekesalannya, Rini mencoba m
" Perjuangan Baru " "Tidak! Lepaskan aku! Karena aku masih benci kamu! Lepaskan!" Naya berteriak sekuat tenaga saat Raka mencoba menahan tubuhnya yang gemetar. Tangannya yang terluka mencoba memukul pria itu, namun usahanya sia-sia. Raka hanya menahan perempuan itu, membiarkannya melampiaskan amarah. "Naya, dengarkan aku! Aku tahu aku telah menghancurkan hidupmu, tapi tolong... tolong hentikan semua ini. Berikan aku kesempatan untuk memperbaiki semuanya," ujar Raka dengan suara bergetar, penuh penyesalan. Naya menatapnya dengan mata penuh kebencian. "Kesempatan? Kau pikir semua ini bisa diperbaiki hanya dengan ucapan? Kau yang membuatku terjebak dalam situasi ini! Aku ingin bebas! Aku ingin hidupku kembali!" Air mata mengalir di pipinya, tapi Raka tak bergeming. Dia hanya membingkai wajah Naya dengan lembut. "Aku tidak bisa mengubah masa lalu, Naya. Tapi aku bisa berjanji untuk memperjuangkan masa depan. Bukan unt
Malam yang Tenang “Naya...” “Mas!” Mereka berbicara bersamaan, lalu terdiam. Malam ini terasa aneh. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka sejak terakhir kali bertemu. Seakan ada jarak tak terlihat yang menyelimuti hubungan mereka. Raka duduk di ujung ranjang, menyeruput kopi hangat sambil sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang tengah mengelus perutnya. Perut Naya yang mulai membesar adalah pengingat nyata dari ikatan yang sulit mereka hindari. “Kamu mau ngomong apa?” tanya Raka memecah keheningan. “Kamu duluan aja, Mas,” balas Naya. Raka tersenyum tipis. Senyuman itu membuat lesung pipinya terlihat, mengingatkan Naya pada sisi lembut pria yang selama ini ia anggap hanya sebagai bos yang kejam. Namun, senyuman itu juga membuat
Di Kamar Mandi Dengan tubuh yang masih lemah, Naya menurunkan egonya. Wanita itu memandang pria yang baru saja diomeli sambil menghela napas panjang. "Aku butuh bantuan...," lirihnya, nyaris tak terdengar. Raka, pria yang berdiri di depannya, mengangguk. Ia bergerak mendekat untuk membantu Naya berdiri. Namun, begitu sampai di kamar mandi, Naya langsung mengusirnya. "Tolong Keluar dulu tinggal kan aku sendiri! Aku bisa sendiri!" Raka mengabaikan perintah itu. "Aku temani sampai selesai," jawabnya tegas. "Tidak perlu segitunya kalo! Aku mau mandi mana mungkin bisa mandi kalau kamu ada disini! Cepat keluar!" Naya bersikeras, duduk di atas closet sambil menatap tajam pria di hadapannya. Namun Raka tak bergeming. Tatapan pria itu penuh beban, seperti menyimpan ribuan kekhawatiran. "
Pernikahan yang Gagal Total Pagi itu, udara cerah di langit kota mengiringi persiapan pesta pernikahan mewah. Rencana pernikahan ini sudah disusun selama berbulan-bulan, memastikan semuanya berjalan sempurna. Namun, siapa sangka, hari yang seharusnya menjadi momen terindah justru berubah menjadi mimpi buruk. Di atas motor batangan yang terparkir di pinggir jalan sepi, seorang perempuan bergaun pengantin duduk dengan tangan yang terikat. Raut wajahnya menunjukkan campuran amarah, ketakutan, dan frustasi. Di depannya, seorang pria berkaus hitam lusuh tengah menatapnya dengan santai, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. “Cepet turun!” bentak pria itu. “Enggak mau! Lepasin aku!” balas perempuan itu, sambil mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya. “Kenapa? Gaunmu nyangkut apa? Buruan turun dari motor gue, atau gue seret!” ancam pria itu sambil terkekeh kecil.
Hari yang Sempurna Berubah Petaka Pagi itu, Maria tampak sibuk berdandan di sebuah kamar rias mewah. Segala sesuatu di ruangan itu memancarkan kemewahan: cermin besar berbingkai emas, lampu-lampu kristal menggantung, dan rak penuh peralatan kosmetik dari merek-merek ternama. Di tengah ruangan, Maria duduk anggun di kursi rias, dikelilingi oleh energi yang sibuk dan mendesak. Maria selalu menginginkan yang terbaik—tidak ada kata "biasa" dalam hidupnya. Dari kecil, semua hal yang ia miliki selalu wah, dan kini, di hari pernikahannya, ia ingin memastikan semua mata tertuju hanya padanya bak seorang Ratu. “Ihh, kayaknya warna bibir ku terlihat pucat, deh? Kelihatan kayak orang sakit, terus ini bayangan hidung ketipisan. Kenapa alis ku ini warna hitam kan aku ingin nya warna coklat! Katanya MUA profesional, mahal pula!” gerutunya sambil melirik hasil kerja MUA-nya yang tampak kewalahan. MUA itu, seorang wanita cantik dengan sik
Titik Balik di Hari Pernikahan Pagi itu, Tommy mengesampingkan segala urusan pekerjaannya. Dengan amarah yang menggelegak, ia menyalakan motornya dan melaju menuju kediaman Raka. Tekadnya sudah bulat—ia ingin menuntut keadilan untuk adiknya tercinta, Naya, yang selama ini terpaksa menanggung cinta bertepuk sebelah tangan pada pria itu. Sesampainya di depan gerbang megah kediaman Raka, Tommy berteriak keras tanpa peduli lingkungan sekitar. “ETHAN! KELUAR LO, DASAR BRENGSEK, BAJING*N!” Kegaduhan itu membuat beberapa orang keluar dari rumah, termasuk Yuni dan Rini, dua pelayan Raka yang saat itu sudah mengenakan kebaya rapi. Mereka hendak pergi ke gedung pernikahan, tetapi terpaksa berhenti melihat kekacauan di depan mata. “Itu kakaknya nona Naya, kan?” bisik Rini pada Yuni. “Iya! Tapi kok berani-beraninya dia datang ke sini? Kita harus apa, nih?” Yuni balas bertanya, bingung melihat suasana semak
Hari yang Tidak Ditunggu Raka Selama dua minggu terakhir, Raka berusaha keras menahan diri untuk tidak mencari Naya. Larangan keras dari kakaknya, Naya, membuat hubungan mereka semakin sulit. Namun, rasa rindunya pada Naya tidak kunjung surut, meskipun ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Tanpa kehadiran Naya di sisinya, Raka memutuskan untuk fokus memulihkan kesehatannya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, karena hanya dengan kekuatan itu ia bisa melawan perjodohan dengan Maria, wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Kini, waktu berjalan tanpa kompromi, dan dua minggu pun berlalu. Hari yang ditakuti Raka akhirnya tiba — hari pernikahannya. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar nya, ditemani Roy, sekretarisnya yang setia. “Tuan Raka, Anda terlihat luar biasa hari ini,” ujar Roy sambil tersenyum, mencoba menyu
Villa Raka: Menanti Tamu yang Tak Kunjung Datang Di villa mewahnya, Raka masih menunggu dengan harap-harap cemas. Ia berharap Naya, wanita yang sudah lama menghilang dari hidupnya, akan datang. Namun, Roy, sekretaris pribadinya, yang ia utus untuk menjemput Naya, ternyata kembali dengan tangan hampa. "Tuan, makan dulu. Tidak baik membiarkan perut kosong terlalu lama. Kalau tidak, nanti malah masuk rumah sakit," ujar Yuni, pelayan setianya, sambil menyodorkan sepiring makanan. "Makan saja, Tuan. Jangan sampai nanti kami harus menyuapi Anda di ranjang rumah sakit," tambah Rini, pelayan lainnya, sambil tertawa kecil. Raka mendengus kesal. "Kalian berdua ini mau aku sehat atau mau aku mati? Bicara seenaknya saja!" Namun, ia tidak benar-benar marah. Sudah biasa baginya menghadapi tingkah konyol para pelayannya itu setiap hari. Tepat saat suasana menjadi sedikit canggung, pintu villa t
Larut di Antara Pilihan Naya turun dari mobil dengan hati-hati, menggendong Gio yang sudah terlelap setelah diberi susu. Roy, sekretaris yang mengantarnya, melambaikan tangan sebelum mobil melaju pergi. "Terima kasih, Roy." "Sama-sama, Nona. Hati-hati." Naya melangkah masuk ke rumah dengan perlahan, berharap tidak membangunkan kakaknya, Tommy karena dia tadi pergi tanpa berpamitan dengan kakak nya. . Lampu rumah sudah padam, menandakan Tommy kemungkinan besar sudah tidur di dalam kamar. Ia menarik napas lega dan bergegas menuju kamarnya. Namun, nasib tidak berpihak pada nya malam itu. Klik! Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala, memperlihatkan sosok Tommy yang duduk di sofa dengan ekspresi tajam. "Dari mana aja lu malam-malam bawa Gio keluar gak kasian sama anak lu?" tanyanya langsung. "Jangan bilang lu abis ketemu sama... dia." Naya terdiam, rasa bersalah menyelimuti
Tempat Peristirahatan RakaRoy tiba di sebuah lokasi tersembunyi jauh dari ibu kota, tempat di mana Raka, majikannya, bersembunyi dari tunangan nya dan orang tua nya. Namun, ia terkejut mendapati Bos kecil, Gio, sedang bermain riang di sofa bersama dua pembantu nya, Rini dan Yuni."Bagaimana Gio bisa ada di sini?" tanya Roy, bingung."Ah, payah sekali kamu, Sekretaris Roy," sindir Rinj sambil terkekeh. "Kami saja bisa membawa Gio dan Nona Naya ke sini dengan mudah. Kau kalah telak, bahkan oleh strategi sederhana kami!""Hah, cuma modal foto dan rayuan, kau tetap kalah. Sekarang kami jadi pahlawan!" timpal Yuni sambil menepuk bahu Roy dengan bangga.Roy menghela napas panjang, merasa usahanya sia-sia. "Astaga, manusia memang makhluk yang tak bisa diremehkan," gumamnya sambil melangkah menuju kamar Raka.Saat membuka pintu sedikit, Roy mengintip ke dalam. Di sana, Naya, wanita yang selama ini ingin dihindari Raka, justru tengah dud
Malam itu, Naya sedang bermain bersama putranya di ruang tamu. Televisi menyala, menampilkan acara yang sesekali ditonton sepintas oleh Naya, sementara ia sibuk menghibur anaknya. Tawa renyah si kecil memenuhi ruangan, membuat Teta merasa hangat di tengah malam yang sunyi. Namun, suasana itu terganggu ketika terdengar ketukan di pintu. Naya sempat berpikir itu kakaknya, Tommy, yang pulang lebih awal. Tetapi ia merasa heran, karena Tommy biasanya masuk tanpa mengetuk pintu namun teriak-teriak. “Kakak, pintunya gak dikunci! Masuk aja!” teriak Naya sambil menggendong anaknya. Namun, saat pintu terbuka, bukanlah Tommy yang muncul. Dua sosok perempuan berdiri di ambang pintu, wajah mereka tampak pucat dan panik. “Mbak Yuni? Rini?” Naya terkejut melihat dua teman asisten rumah tangga yang pernah bekerja bareng di rumah Raka kini sedang berdiri di sini. Keduanya langsung masuk tanpa permisi, mendekati Nay
“Kenapa sih, Raka? Baru sakit sedikit saja sudah seperti ini. Kamu tuh terlalu manja!” Maria mengomel tanpa henti di sisi ranjang. Di sebuah vila mewah, Raka sedang dirawat setelah kesehatannya menurun sejak acara pertunangannya seminggu lalu. Selang infus menghiasi pergelangan tangannya, dan ia tetap bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit meski kondisinya melemah. “Maaf, Nona Maria, sebaiknya Tuan Raka diberi waktu untuk beristirahat,” ucap Roy, asisten pribadinya, dengan sopan namun tegas. “Kau menyuruhku pergi?” Maria menatap Roy tajam, matanya memancarkan ketidaksenangan. “Bukan begitu, Nona. Saya hanya memprioritaskan kesehatan Tuan Raka. Anda bisa kembali menjenguknya nanti,” balas Raka dengan nada menenangkan, meskipun dalam hati ia merasa kehadiran Maria justru memperburuk suasana. Raka, yang mendengar perdebatan itu, akhirnya ikut angkat bicara. “Maria, pulanglah dulu. Aku butuh