Malam yang Tenang
“Naya...” “Mas!” Mereka berbicara bersamaan, lalu terdiam. Malam ini terasa aneh. Ada sesuatu yang berbeda di antara mereka sejak terakhir kali bertemu. Seakan ada jarak tak terlihat yang menyelimuti hubungan mereka. Raka duduk di ujung ranjang, menyeruput kopi hangat sambil sesekali mencuri pandang ke arah wanita yang tengah mengelus perutnya. Perut Naya yang mulai membesar adalah pengingat nyata dari ikatan yang sulit mereka hindari. “Kamu mau ngomong apa?” tanya Raka memecah keheningan. “Kamu duluan aja, Mas,” balas Naya. Raka tersenyum tipis. Senyuman itu membuat lesung pipinya terlihat, mengingatkan Naya pada sisi lembut pria yang selama ini ia anggap hanya sebagai bos yang kejam. Namun, senyuman itu juga membuatDi Kamar Mandi Dengan tubuh yang masih lemah, Naya menurunkan egonya. Wanita itu memandang pria yang baru saja diomeli sambil menghela napas panjang. "Aku butuh bantuan...," lirihnya, nyaris tak terdengar. Raka, pria yang berdiri di depannya, mengangguk. Ia bergerak mendekat untuk membantu Naya berdiri. Namun, begitu sampai di kamar mandi, Naya langsung mengusirnya. "Tolong Keluar dulu tinggal kan aku sendiri! Aku bisa sendiri!" Raka mengabaikan perintah itu. "Aku temani sampai selesai," jawabnya tegas. "Tidak perlu segitunya kalo! Aku mau mandi mana mungkin bisa mandi kalau kamu ada disini! Cepat keluar!" Naya bersikeras, duduk di atas closet sambil menatap tajam pria di hadapannya. Namun Raka tak bergeming. Tatapan pria itu penuh beban, seperti menyimpan ribuan kekhawatiran. "
Malam Penuh Pertanyaan Malam itu udara dingin menyelimuti rumah keluarga Florentina dan Agara. Di ruang tamu, suara tangisan Chelly yang lembut bergema, memecah keheningan. Florentina langsung menggendong cucu kesayangan nya dan mencoba menenangkan bayi kecil imut itu. Raka baru saja tiba dari perjalanan panjang untuk kerumah orang tua nya, menatap putri cantiknya dengan rasa rindu yang mendalam. "Putra ku sayang, kau akhirnya pulang kerumah juga," ujar Florentina dengan senyuman hangat menyambut kepulangan putra semata wayang nya. Ia menyerahkan Chelly ke pelukan Raka. Bayi mungil yang mengemaskan itu langsung berhenti menangis, menatap wajah ayahnya dengan mata yang berbinar. "Oh, bidadari ku yang cantik," ujar Raka sambil mengangkat Chelly tinggi-tinggi. "Putri Daddy, kau semakin cantik saja. Cepat sekali tumbuh besar, ya."
Naya duduk di ruang tamu kecil rumah ayahnya, memandangi dinding yang penuh dengan foto keluarga. Foto-foto itu mengingatkannya pada masa-masa saat ia masih bisa tertawa lepas, jauh sebelum utang menjerat mereka. Ia tak menyangka hidupnya akan berputar begitu drastis, hingga ia harus meninggalkan kampung halaman dan menjadi sesuatu yang dulu ia benci. "Kenapa gak sering pulang, Nak?" tanya Heri, ayahnya, dengan suara serak yang membuat dada Naya semakin sesak. "Aku kerja, Yah. Demi kita semua," jawab Naya dengan senyum yang dipaksakan. Ia berusaha menutupi air matanya yang hampir jatuh. "Ayah gak apa-apa tinggal sendirian di sini?" Heri mengangguk sambil tersenyum kecil. "Ayah udah biasa. Lagipula Ayah selalu percaya kamu bakal pulang bawa kebahagiaan buat keluarga ini." Naya menunduk, merasa dadanya semakin sesak. Jika saja ayahnya tahu apa yang telah ia lakukan untuk bertahan hidup, mungkin senyum itu akan menghilang. Ia
Dengan ancaman halus yang selalu mengandalkan kelembutan, Raka akhirnya berhasil memaksa Naya meminum segelas susu hangat yang ia siapkan. Namun, alih-alih mengantuk seperti harapannya, Naya justru merasa segar bugar. Wanita muda itu hanya bisa gelisah di tempat tidur. Suara burung hantu di luar rumah menjadi saksi bisu kegundahan hati Naya. Berulang kali ia memutar posisi tidur, tetapi kantuk tak kunjung datang. "Ih, kenapa malam ini aku gak bisa tidur, sih? Pasti ini gara-gara bawaan si jabang bayi ini!" gerutunya sambil memegangi perut yang mulai membesar. Naya menatap sekeliling kamar yang tampak mewah namun penuh kenangan. Ia tahu, kamar ini dulu milik Raka dan disini juga mahkota kegadisan nya hilang. Namun, kini kamar itu diberikan kepadanya. Sementara, Raka sekarang memilih kamar disamping nya, agar lebih mudah mengawasinya. "Aduh, kalau aku ingin sesuatu bagaimana, ya? Masa aku tega bangunin Mbak Rini atau Mbak Yuni? Pasti mereka sudah tidur semua karena seharian beker
Pagi itu, Naya duduk di meja makan sambil menyeruput secangkir teh hangat. Hanya ada Rini yang menemani, sementara Raka sudah berangkat ke kantor lebih awal. “Nona, semalam tidur di kamar Bapak, ya?” goda Rini sambil mengangkat alis. Naya nyaris menyemburkan teh dari mulutnya. “Hah? Enggak, Mbak. Dia yang tiba-tiba masuk ke kamar aku,” elaknya dengan suara setengah kesal. Rini tertawa kecil. “Tapi, kok ujung-ujungnya malah di kamar Bapak? Aku sempat cek tadi pagi, kamarmu kosong, dan satu guling hilang.” “Ihh, Mbak nih kepo banget!” Naya mendengus sambil merengut, membuat Sasa semakin geli. “Jadi benar, dong? Tinggal bilang aja, ‘Aku yang mau!’ Gengsi banget, sih.” “Ngomong apa sih, Mbak? Orang dia yang maksa! Setiap malam ada aja alasannya gangguin aku. Nyebelin banget, kayak bapaknya.” “Tapi, bapaknya kan nggak nyebelin kalau dinikmati,” Rini menyeringai. “Apaan sih, Mbak!” Naya membalas dengan tatapan tajam, tetapi wajahnya sedikit memerah. Namun, pembicaraan merek
Malam semakin larut, tapi pikiran Naya tidak bisa tenang. Setelah kejadian tadi, ia memutar ulang setiap detik di kepalanya. Ciuman Raka di keningnya terasa begitu lembut, namun ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Naya resah. Ia meraih bantal di tempat tidur dan memeluknya erat. Pikirannya melayang pada berbagai kejadian antara dirinya dan Raka. Ada kalanya Raka terlihat begitu dingin, namun sering juga ia menunjukkan perhatian yang membuat hati Naya bergetar. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Raka muncul dengan ekspresi santai, mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang. “Kamu belum tidur?” tanyanya sambil bersandar di kusen pintu. Naya terkejut, namun berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Belum, Mas. Lagi nggak ngantuk.” Raka tersenyum tipis. Ia melangkah masuk dan duduk di ujung tempat tidur, membuat Naya merasa jantungnya seperti akan meledak. “Pikirkan apa sampai nggak bisa tidur?”
Ngidam Mangga Malam itu angin berhembus lembut, membuat tirai jendela kamar Naya berkibar perlahan. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata Naya masih terbuka lebar. Ia gelisah, bolak-balik di atas tempat tidur sambil memeluk perutnya yang terasa aneh. Sebuah pikiran terlintas—dan tiba-tiba rasa itu semakin kuat. Ia ingin makan mangga. Bukan sembarang mangga, tetapi mangga muda yang segar, dicocol dengan sambal rujak pedas. Bayangannya begitu jelas hingga membuat air liurnya nyaris menetes. “Duh, gimana ini?” gumam Naya sambil memegang perutnya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa ngidam itu terlalu kuat. Akhirnya, dengan langkah ragu, ia keluar dari kamar menuju dapur. Namun setelah mencari-cari di kulkas, ia tidak menemukan apa yang diinginkan. Mangga terakhir sudah diolah menjadi sambal siang tadi. Naya memegang kepalanya, bingung harus bagaimana. Lalu, tanpa pikir panjang, ia berjalan menuju k
Naya merasakan tubuhnya semakin berat karena setiap bulan janin akan tumbuh dan berkembang semakin besar. Kehamilannya memang membawa perubahan besar, terutama pada nafsu makannya yang tak terkontrol. Ia merasa lapar meski baru saja makan, dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman dengan tubuhnya yang semakin membesar. Namun, setiap kali Raka melihatnya, ia selalu memberi pujian yang membuat Naya merasa lebih baik. "Menurutku wanita yang gemuk karena masa kehamilan itu terlihat sangat cantik!" ucap Ethan dengan senyum lembut, memeluk Teta dari belakang, tangannya mengusap perlahan perut Teta yang mulai membesar. Ia mencium pelipisnya penuh kasih sayang. Ethan tahu betul, Teta sering merasa cemas dengan perubahan tubuhnya, dan ia berusaha menenangkan kekhawatirannya. Naya memandang ke arah cermin dengan tatapan kosong, menghela napas. "Jangan cuma gombal, aku tahu kok kamu cuma hanya menyenangkan ku saja," katanya, matanya tidak
Di ruang makan, Maria akhirnya memberanikan diri untuk mengungkapkan keinginannya tidur satu kamar dengan suaminya. Namun, Tommy masih belum sepenuhnya menerima Maria sebagai istrinya. Meski enggan, ia terpaksa mengizinkan Maria tidur di dalam kamarnya. Maria menatap Tommy dengan ragu. "Tommy… aku ingin tidur di kamarmu mulai malam ini." Tommy meletakkan sendoknya, menatap Maria dengan datar. "Kenapa tiba-tiba?" Maria menunduk sebentar sebelum menatap Tommy dengan penuh harap. "Karena aku ini istrimu. Bukankah wajar kalau suami istri tidur sekamar?" Tommy mendesah, menatapnya tajam. "Maria, aku belum siap menerima pernikahan ini sepenuhnya." Maria menggigit bibir, suaranya melemah. "Aku tahu… tapi aku ingin mencoba. Aku ingin menjalani pernikahan ini dengan baik." Tommy terdiam sejenak, lalu akhirnya menghela napas panjang. "Ters
Saat Naya berkunjung ke rumah kakaknya, Tommy, ia memutuskan untuk mengajari Mauren cara memasak Mauren, yang berasal dari keluarga kaya, belum pernah memasak sendiri karena selama ini selalu dilayani oleh para pembantu Namun, setelah menikah dengan Tommy, seorang pria sederhana, ia merasa perlu belajar agar bisa mengurus rumah tangga dengan lebih baik Percakapan sebelum memasak Naya melihat Mauren duduk di meja makan, tampak ragu saat melihat berbagai bahan makanan di atas meja Naya "Oke, hari ini kita akan belajar masak Kamu pernah pegang pisau sebelumnya" Mauren tertawa kecil, lalu menggeleng "Aku pernah sih buat buka paket belanja online" Naya mengerutkan dahi "Mauren, itu beda Ya ampun, kamu benar-benar belum pernah masak sama sekali" Mauren "Serius, Nay Dulu di rumah, kalau lapar tinggal pesan atau minta ke pembantu Aku nggak pernah kepikiran buat masak sendiri"
Hati yang Terluka dan Kenyataan Pahit Kini hati Nabila terasa hancur. Orang yang selama ini ia sukai, Tommy, menikah dengan wanita lain. Saat mendengar berita pernikahan Tommy dengan Maria, ia tidak mampu menahan perih yang menusuk di dadanya. Sejak hari itu, Nabila memutuskan untuk berhenti mengantar makanan setiap pagi ke rumah Tommy, seperti yang biasa ia lakukan. Baginya, semua perhatian dan kebaikan yang ia curahkan hanya menjadi luka yang tak berbalas. Di sisi lain, Tommy mulai merasakan keganjilan dalam rutinitas paginya. Ia teringat akan Nabila wanita yang diam-diam ia cintai, meski keadaan memaksanya menikahi Mauren. Hatinya diliputi rasa bersalah. Tommy tahu, ia telah menyakiti perasaan Nabila. Kini, pemandangan Nabila membawa makanan ke rumahnya hanya tinggal kenangan yang terus menghantui pikirannya. Pagi itu, Naya, adik perempuan Tommy, datang berkunjung ke rumah kakaknya. Ia membawa ana
Pernikahan Tommy dan Maria Pernikahan sederhana antara Tommy dan Maria akhirnya terlaksana di KUA yang tidak jauh dari rumah Tommy. Banyak warga hadir sebagai saksi, meyakini bahwa pernikahan ini adalah bentuk tanggung jawab Tommy atas kehamilan Maria. Namun, hanya Maria yang tahu bahwa sebenarnya orang tuanya tidak merestui pernikahan ini. Maria, yang putus asa, berbohong kepada warga dengan mengatakan bahwa kedua orang tuanya menyetujui pernikahan tersebut. Pak Tono, yang dia mintai tolong sebagai wali nikah, sebenarnya hanyalah tetangganya yang diminta berpura-pura menjadi perwakilan keluarganya. Dengan raut wajah serius, Pak Tono tetap menjalankan perannya dengan tenang. Pak Tono: "Apakah kamu, Tommy, menerima Maria sebagai istrimu dengan mas kawin yang telah disepakati?" Tommy: "Ya, saya terima." Pak Tono mengalihkan pandangan kepada Maria. Pak Tono: "Apakah kamu,
Di depan rumah Tommy, suara Toa menggema keras, memanggil namanya berulang kali. Suara itu menggetarkan suasana sore yang tenang, membuat Tommy dan Maria yang sedang duduk di ruang tamu terkejut. "Suara Naya, adikku! Ngapain dia teriak-teriak pakai Toa segala?" gerutu Tommy sambil berdiri. Maria menatap Tommy bingung. "Kita keluar, lihat apa yang terjadi." Saat melangkah keluar, pemandangan yang mereka lihat benar-benar mengejutkan. Naya berdiri di atas tembok pagar rumah, memegang Toa dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya menggenggam botol kecil berlabel racun tikus. "Naya, turun! Lu gila, ya?! Kalau jatuh gimana?" teriak Tommy, suaranya memantul tajam. Namun Naya balas berteriak, suaranya menggema melalui Toa. "Gue nggak mau tahu, kak! Kalau lu nggak nikahin Nona Maria, gue lompat dari sini dan minum racun ini!" Maria terbelalak, tak percaya dengan kegilaan yang dipertontonkan di depa
Malam itu, Raka memperhatikan istrinya, Naya, yang mondar-mandir di dalam kamar. Wajahnya tampak serius, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting. "Hmm, sampai kapan aku harus nonton kamu mondar-mandir kayak ayunan, sih?" goda Raka sambil menyandarkan tubuhnya di ranjang. "Huh... Mas! Aku lagi mikirin cara supaya Kakak mau nikahin Nona Maria!" jawab Naya dengan kesal, berhenti sejenak lalu menatap suaminya. "Kalau Kakak nggak mau, jangan dipaksa dong," balas Raka santai. Naya langsung mengambil sandal dan melemparkannya ke arah Raka. Bugh! "Aduh! Kenapa nyalain aku lagi?" sergah Raka sambil mengusap kepalanya yang terkena sandal. Naya mendekat dan melotot tajam. "Jangan sampe Nona Maria ngalamin apa yang aku alamin dulu! Udah hamil tapi nggak dinikahin! Kamu lupa gimana dulu aku harus nangis-nangis nunggu kamu melamar?" "Yaelah, aku lagi yang disalahin
Setelah Naya pulang bersama suaminya, Maria kini sendirian di rumah Tommy. Sambil menunggu pria itu pulang, ia duduk di ruang tamu, termenung. Hari ini, Maria bertekad untuk mencoba beradaptasi dengan kehidupan sederhana, jauh dari kemewahan yang biasa ia nikmati di rumah orang tuanya. Ia ingin memasak untuk Tommy sebagai bentuk terima kasih karena pria itu mengizinkannya tinggal sementara di rumahnya. Namun, Maria sadar bahwa ia sama sekali tidak bisa memasak. Akhirnya, ia memutuskan menelepon pembantu pribadinya yang masih bekerja di rumah keluarganya. "Bik!" Maria memanggil dengan nada mendesak. "Non, akhirnya Nona menghubungi Bibik! Ibu Nyonya sedang uring-uringan mencari Nona. Pulanglah, Non, jangan kabur lagi!" suara Bibik terdengar penuh kekhawatiran. "Aku lagi di vila teman, Bik. Bilang sama Mami kalau aku baik-baik saja dan nggak akan pulang sebelum Papi kasih restu untuk menikah dengan Tomm
Hari Minggu yang Panjang Minggu pagi pukul 09.00, Naya membangunkan suaminya, Raka, yang masih terkapar di tempat tidur. Malam sebelumnya, Raka kelelahan setelah pertarungan "romantis" di ranjang bersama istrinya. "Katanya hari ini kamu mau nganter aku ke rumah kakakku. Ayo, cepat bangun!" tegur Naya sambil menarik selimut suaminya. "Nanti dulu, Sayang. Badanku masih lemas. Tenagaku belum terkumpul semua," balas Raka setengah mengeluh. "Dasar cowok lemah! Pokoknya aku nggak mau tahu. Hari ini kamu harus ngantar aku ke rumah kakakku!" Naga mendesak. Raka mencoba berdiplomasi. "Iya, aku janji nganter kamu. Tapi gimana kalau sebelum itu kita bertempur dulu lagi di tempat tidur?" Kesal, Naya langsung melemparkan bantal ke wajah Ethan. "Bugh!" "Kenapa sih, Mas, pikiranmu selalu ke situ terus? Lama-lama aku jahit tuh Arjuna!" bentak Naya dengan nada geram.
Pagi Hari di Rumah TommyKetika pagi menjelang, Tommy bangun dari tidurnya dan keluar dari kamar. Ia mengira Maria sudah pindah ke kamar adiknya, tapi ternyata gadis itu masih tertidur di sofa ruang tamu. Tubuhnya meringkuk, terlihat nyaman di balik selimut tipis yang ia berikan semalam.Berinisiatif memindahkan Maria ke kasur tanpa membangunkannya, Tommy mendekat dan bersiap mengangkat tubuhnya. Namun, saat hendak menyentuh, matanya tak sengaja menangkap sesuatu yang membuatnya tertegun. Bukit kembar Maria terlihat menyembul di balik selimut, membuat tenggorokannya terasa kering."Gila nih cewek! Lepas baju tapi nggak diganti. Apa nggak malu kalau dilihat orang lain?" gumamnya sambil meneguk ludah.Tommy memutuskan mundur, berdiri kaku sambil membuang napas berat. Namun, sebelum ia benar-benar pergi, Maria tiba-tiba bergerak. Gadis itu kini duduk dengan mata masih terpejam, meracau sesuatu yang tidak jelas."Dia pikir masih di rumah mewa