Malam semakin larut, tapi pikiran Naya tidak bisa tenang. Setelah kejadian tadi, ia memutar ulang setiap detik di kepalanya. Ciuman Raka di keningnya terasa begitu lembut, namun ada sesuatu di balik tatapannya yang membuat Naya resah. Ia meraih bantal di tempat tidur dan memeluknya erat. Pikirannya melayang pada berbagai kejadian antara dirinya dan Raka. Ada kalanya Raka terlihat begitu dingin, namun sering juga ia menunjukkan perhatian yang membuat hati Naya bergetar. Tiba-tiba, pintu kamar terbuka perlahan. Raka muncul dengan ekspresi santai, mengenakan kaus oblong putih dan celana panjang. “Kamu belum tidur?” tanyanya sambil bersandar di kusen pintu. Naya terkejut, namun berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Belum, Mas. Lagi nggak ngantuk.” Raka tersenyum tipis. Ia melangkah masuk dan duduk di ujung tempat tidur, membuat Naya merasa jantungnya seperti akan meledak. “Pikirkan apa sampai nggak bisa tidur?”
Ngidam Mangga Malam itu angin berhembus lembut, membuat tirai jendela kamar Naya berkibar perlahan. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata Naya masih terbuka lebar. Ia gelisah, bolak-balik di atas tempat tidur sambil memeluk perutnya yang terasa aneh. Sebuah pikiran terlintas—dan tiba-tiba rasa itu semakin kuat. Ia ingin makan mangga. Bukan sembarang mangga, tetapi mangga muda yang segar, dicocol dengan sambal rujak pedas. Bayangannya begitu jelas hingga membuat air liurnya nyaris menetes. “Duh, gimana ini?” gumam Naya sambil memegang perutnya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa ngidam itu terlalu kuat. Akhirnya, dengan langkah ragu, ia keluar dari kamar menuju dapur. Namun setelah mencari-cari di kulkas, ia tidak menemukan apa yang diinginkan. Mangga terakhir sudah diolah menjadi sambal siang tadi. Naya memegang kepalanya, bingung harus bagaimana. Lalu, tanpa pikir panjang, ia berjalan menuju k
Naya merasakan tubuhnya semakin berat karena setiap bulan janin akan tumbuh dan berkembang semakin besar. Kehamilannya memang membawa perubahan besar, terutama pada nafsu makannya yang tak terkontrol. Ia merasa lapar meski baru saja makan, dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman dengan tubuhnya yang semakin membesar. Namun, setiap kali Raka melihatnya, ia selalu memberi pujian yang membuat Naya merasa lebih baik. "Menurutku wanita yang gemuk karena masa kehamilan itu terlihat sangat cantik!" ucap Ethan dengan senyum lembut, memeluk Teta dari belakang, tangannya mengusap perlahan perut Teta yang mulai membesar. Ia mencium pelipisnya penuh kasih sayang. Ethan tahu betul, Teta sering merasa cemas dengan perubahan tubuhnya, dan ia berusaha menenangkan kekhawatirannya. Naya memandang ke arah cermin dengan tatapan kosong, menghela napas. "Jangan cuma gombal, aku tahu kok kamu cuma hanya menyenangkan ku saja," katanya, matanya tidak
Setelah beberapa hari berlalu, Naya mulai merasa lebih nyaman dengan perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Meskipun terkadang masih ada rasa cemas yang datang menghampiri, Raka selalu berhasil menenangkannya dengan kata-kata dan perhatiannya yang tulus. Kehadiran Raka di sisi Naya, baik di saat senang maupun saat cemas, memberi rasa aman yang tak ternilai. Pagi itu, Naya memutuskan untuk keluar dari rumah sejenak, berjalan-jalan di sekitar halaman rumah untuk menikmati udara segar. Raka, yang selalu peduli dengan kesehatannya, ikut menemaninya, meskipun Naya sempat berusaha menolak. "Kenapa kamu nggak bisa biarkan aku berjalan sendiri, Raka?" Naya menatap Raka dengan senyum kecil, berusaha tegas meskipun hatinya merasa senang dengan perhatian yang diberikan. "Karena aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Raka sambil tersenyum. "Aku nggak akan jauh, aku hanya ingin kamu merasa nyaman." Mereka berjalan bersama di se
Hari itu Rak sangat antusias. Ia mengajak Naya ke rumah sakit untuk melakukan USG, sebuah pembahasan yang sempat mencuat di kantor tadi pagi. Wajahnya berseri-seri, seperti anak kecil yang akan mendapatkan hadiah besar.Kini, mereka duduk di depan monitor, memperhatikan gambar janin yang tampil dalam bentuk 2D, hitam putih tanpa warna. Naya memiringkan kepala, mencoba memahami bentuk di layar tersebut.“Kok gak ada warnanya, Dok? Emangnya nanti dia lahir kayak film lama, hitam putih begitu?” Naya bergumam sambil menunjuk layar, membuat dokter dan Raka tersenyum kecut.“USG 3D atau 4D memang baru bisa dilakukan di usia kandungan yang lebih lanjut, Bu,” dokter perempuan itu menjelaskan sambil tetap tersenyum ramah. “Saat ini, kita baru bisa melihat bentuk dasar janin.”Naya mengangguk, lalu dengan nada usil berkata, “Terus, dia bakal punya rambut yang tebal kayak Raka gak, Dok? Soalnya Raka itu unik banget, ada tahi lalat di leher kayak peta pulau k
"Ke mana sebenarnya dia? Ini sudah jauh melewati jam makan siangku!" gumam Raka dengan nada kesal sambil melirik arlojinya yang sudah menunjuk ke angka dua.Ia melangkah mondar-mandir di ruang kerjanya, berulang kali memeriksa ponselnya. Pesan-pesan yang ia kirimkan tak juga mendapatkan balasan, dan panggilannya terus menerus dialihkan ke kotak suara."Naya pergi ke mana? Supirnya juga tak bisa dihubungi. Bukankah tadi mereka bilang sudah berangkat sejak pagi?"Raka merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk. Awalnya ia hanya kesal karena perutnya mulai keroncongan, tetapi pikirannya mulai dirundung rasa cemas. Naya, wanita kesayangan yang sedang hamil anak nya, tak biasanya terlambat atau tak memberi kabar seperti ini."Astaga! Kalau terjadi sesuatu pada mereka—" Raka menghentikan langkahnya, menggertakkan rahangnya dengan panik. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi pikirannya terus dihantui bayangan bu
Usai tragedi memilukan itu, Naya dan Raka dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi yang sama-sama memprihatinkan. Raka berjuang di meja operasi, melawan maut akibat luka yang mengancam nyawanya, sementara Naya dirawat intensif dengan jiwa yang rapuh, tenggelam dalam bayang-bayang trauma yang menghantam tanpa ampun. Mereka terpisah di ruangan berbeda, masing-masing menghadapi luka yang tak terlihat dan tak terjamah. Naya, yang terpuruk dalam keputusasaan, ditemani oleh beberapa pengurus rumah tangga setianya: Rini, Yuni, dan Melisa, yang tak henti-hentinya menangis melihat kondisinya. Sementara itu, Raka, yang terbaring lemah dengan punggung yang terluka, dijaga dengan penuh kesetiaan oleh Roy, sang sekretaris, yang tak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya. "Mbak, coba temui sekretaris Roy! Kita juga perlu tau apa yang terjadi sebenarnya!" seru Rini dengan suara gemetar, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Hatinya perih melihat
Di ruang tunggu rumah sakit yang penuh ketegangan, Naya duduk gelisah sambil meremas-remas ujung bajunya, sementara Roy berdiri di dekatnya dengan ekspresi waspada. Hati mereka penuh kecamuk, menanti hasil pemeriksaan dokter yang terasa seperti sebuah vonis yang menentukan segalanya. Semua penghuni rumah sudah berdatangan, wajah-wajah mereka mencerminkan harapan dan kecemasan yang sama. Namun, Roy sengaja merahasiakan kabar ini dari keluarga Raka. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia tahu kehadiran mereka hanya akan menjadi api yang menyulut percikan konflik, sesuatu yang tidak mampu ditanggung oleh Naya, yang sudah terlalu rapuh dalam kondisinya saat ini. “Dok, bagaimana keadaannya sekarang?” suara Naya bergetar saat ia mendekati dokter yang baru saja keluar dari ruang perawatan Raka. "Pasien sudah sadar dari komanya, namun sebenarnya..." dokter itu terhenti, wajahnya tampak ragu.
Pernikahan yang Gagal Total Pagi itu, udara cerah di langit kota mengiringi persiapan pesta pernikahan mewah. Rencana pernikahan ini sudah disusun selama berbulan-bulan, memastikan semuanya berjalan sempurna. Namun, siapa sangka, hari yang seharusnya menjadi momen terindah justru berubah menjadi mimpi buruk. Di atas motor batangan yang terparkir di pinggir jalan sepi, seorang perempuan bergaun pengantin duduk dengan tangan yang terikat. Raut wajahnya menunjukkan campuran amarah, ketakutan, dan frustasi. Di depannya, seorang pria berkaus hitam lusuh tengah menatapnya dengan santai, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. “Cepet turun!” bentak pria itu. “Enggak mau! Lepasin aku!” balas perempuan itu, sambil mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya. “Kenapa? Gaunmu nyangkut apa? Buruan turun dari motor gue, atau gue seret!” ancam pria itu sambil terkekeh kecil.
Hari yang Sempurna Berubah Petaka Pagi itu, Maria tampak sibuk berdandan di sebuah kamar rias mewah. Segala sesuatu di ruangan itu memancarkan kemewahan: cermin besar berbingkai emas, lampu-lampu kristal menggantung, dan rak penuh peralatan kosmetik dari merek-merek ternama. Di tengah ruangan, Maria duduk anggun di kursi rias, dikelilingi oleh energi yang sibuk dan mendesak. Maria selalu menginginkan yang terbaik—tidak ada kata "biasa" dalam hidupnya. Dari kecil, semua hal yang ia miliki selalu wah, dan kini, di hari pernikahannya, ia ingin memastikan semua mata tertuju hanya padanya bak seorang Ratu. “Ihh, kayaknya warna bibir ku terlihat pucat, deh? Kelihatan kayak orang sakit, terus ini bayangan hidung ketipisan. Kenapa alis ku ini warna hitam kan aku ingin nya warna coklat! Katanya MUA profesional, mahal pula!” gerutunya sambil melirik hasil kerja MUA-nya yang tampak kewalahan. MUA itu, seorang wanita cantik dengan sik
Titik Balik di Hari Pernikahan Pagi itu, Tommy mengesampingkan segala urusan pekerjaannya. Dengan amarah yang menggelegak, ia menyalakan motornya dan melaju menuju kediaman Raka. Tekadnya sudah bulat—ia ingin menuntut keadilan untuk adiknya tercinta, Naya, yang selama ini terpaksa menanggung cinta bertepuk sebelah tangan pada pria itu. Sesampainya di depan gerbang megah kediaman Raka, Tommy berteriak keras tanpa peduli lingkungan sekitar. “ETHAN! KELUAR LO, DASAR BRENGSEK, BAJING*N!” Kegaduhan itu membuat beberapa orang keluar dari rumah, termasuk Yuni dan Rini, dua pelayan Raka yang saat itu sudah mengenakan kebaya rapi. Mereka hendak pergi ke gedung pernikahan, tetapi terpaksa berhenti melihat kekacauan di depan mata. “Itu kakaknya nona Naya, kan?” bisik Rini pada Yuni. “Iya! Tapi kok berani-beraninya dia datang ke sini? Kita harus apa, nih?” Yuni balas bertanya, bingung melihat suasana semak
Hari yang Tidak Ditunggu Raka Selama dua minggu terakhir, Raka berusaha keras menahan diri untuk tidak mencari Naya. Larangan keras dari kakaknya, Naya, membuat hubungan mereka semakin sulit. Namun, rasa rindunya pada Naya tidak kunjung surut, meskipun ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Tanpa kehadiran Naya di sisinya, Raka memutuskan untuk fokus memulihkan kesehatannya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, karena hanya dengan kekuatan itu ia bisa melawan perjodohan dengan Maria, wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Kini, waktu berjalan tanpa kompromi, dan dua minggu pun berlalu. Hari yang ditakuti Raka akhirnya tiba — hari pernikahannya. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar nya, ditemani Roy, sekretarisnya yang setia. “Tuan Raka, Anda terlihat luar biasa hari ini,” ujar Roy sambil tersenyum, mencoba menyu
Villa Raka: Menanti Tamu yang Tak Kunjung Datang Di villa mewahnya, Raka masih menunggu dengan harap-harap cemas. Ia berharap Naya, wanita yang sudah lama menghilang dari hidupnya, akan datang. Namun, Roy, sekretaris pribadinya, yang ia utus untuk menjemput Naya, ternyata kembali dengan tangan hampa. "Tuan, makan dulu. Tidak baik membiarkan perut kosong terlalu lama. Kalau tidak, nanti malah masuk rumah sakit," ujar Yuni, pelayan setianya, sambil menyodorkan sepiring makanan. "Makan saja, Tuan. Jangan sampai nanti kami harus menyuapi Anda di ranjang rumah sakit," tambah Rini, pelayan lainnya, sambil tertawa kecil. Raka mendengus kesal. "Kalian berdua ini mau aku sehat atau mau aku mati? Bicara seenaknya saja!" Namun, ia tidak benar-benar marah. Sudah biasa baginya menghadapi tingkah konyol para pelayannya itu setiap hari. Tepat saat suasana menjadi sedikit canggung, pintu villa t
Larut di Antara Pilihan Naya turun dari mobil dengan hati-hati, menggendong Gio yang sudah terlelap setelah diberi susu. Roy, sekretaris yang mengantarnya, melambaikan tangan sebelum mobil melaju pergi. "Terima kasih, Roy." "Sama-sama, Nona. Hati-hati." Naya melangkah masuk ke rumah dengan perlahan, berharap tidak membangunkan kakaknya, Tommy karena dia tadi pergi tanpa berpamitan dengan kakak nya. . Lampu rumah sudah padam, menandakan Tommy kemungkinan besar sudah tidur di dalam kamar. Ia menarik napas lega dan bergegas menuju kamarnya. Namun, nasib tidak berpihak pada nya malam itu. Klik! Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala, memperlihatkan sosok Tommy yang duduk di sofa dengan ekspresi tajam. "Dari mana aja lu malam-malam bawa Gio keluar gak kasian sama anak lu?" tanyanya langsung. "Jangan bilang lu abis ketemu sama... dia." Naya terdiam, rasa bersalah menyelimuti
Tempat Peristirahatan RakaRoy tiba di sebuah lokasi tersembunyi jauh dari ibu kota, tempat di mana Raka, majikannya, bersembunyi dari tunangan nya dan orang tua nya. Namun, ia terkejut mendapati Bos kecil, Gio, sedang bermain riang di sofa bersama dua pembantu nya, Rini dan Yuni."Bagaimana Gio bisa ada di sini?" tanya Roy, bingung."Ah, payah sekali kamu, Sekretaris Roy," sindir Rinj sambil terkekeh. "Kami saja bisa membawa Gio dan Nona Naya ke sini dengan mudah. Kau kalah telak, bahkan oleh strategi sederhana kami!""Hah, cuma modal foto dan rayuan, kau tetap kalah. Sekarang kami jadi pahlawan!" timpal Yuni sambil menepuk bahu Roy dengan bangga.Roy menghela napas panjang, merasa usahanya sia-sia. "Astaga, manusia memang makhluk yang tak bisa diremehkan," gumamnya sambil melangkah menuju kamar Raka.Saat membuka pintu sedikit, Roy mengintip ke dalam. Di sana, Naya, wanita yang selama ini ingin dihindari Raka, justru tengah dud
Malam itu, Naya sedang bermain bersama putranya di ruang tamu. Televisi menyala, menampilkan acara yang sesekali ditonton sepintas oleh Naya, sementara ia sibuk menghibur anaknya. Tawa renyah si kecil memenuhi ruangan, membuat Teta merasa hangat di tengah malam yang sunyi. Namun, suasana itu terganggu ketika terdengar ketukan di pintu. Naya sempat berpikir itu kakaknya, Tommy, yang pulang lebih awal. Tetapi ia merasa heran, karena Tommy biasanya masuk tanpa mengetuk pintu namun teriak-teriak. “Kakak, pintunya gak dikunci! Masuk aja!” teriak Naya sambil menggendong anaknya. Namun, saat pintu terbuka, bukanlah Tommy yang muncul. Dua sosok perempuan berdiri di ambang pintu, wajah mereka tampak pucat dan panik. “Mbak Yuni? Rini?” Naya terkejut melihat dua teman asisten rumah tangga yang pernah bekerja bareng di rumah Raka kini sedang berdiri di sini. Keduanya langsung masuk tanpa permisi, mendekati Nay
“Kenapa sih, Raka? Baru sakit sedikit saja sudah seperti ini. Kamu tuh terlalu manja!” Maria mengomel tanpa henti di sisi ranjang. Di sebuah vila mewah, Raka sedang dirawat setelah kesehatannya menurun sejak acara pertunangannya seminggu lalu. Selang infus menghiasi pergelangan tangannya, dan ia tetap bersikeras untuk tidak pergi ke rumah sakit meski kondisinya melemah. “Maaf, Nona Maria, sebaiknya Tuan Raka diberi waktu untuk beristirahat,” ucap Roy, asisten pribadinya, dengan sopan namun tegas. “Kau menyuruhku pergi?” Maria menatap Roy tajam, matanya memancarkan ketidaksenangan. “Bukan begitu, Nona. Saya hanya memprioritaskan kesehatan Tuan Raka. Anda bisa kembali menjenguknya nanti,” balas Raka dengan nada menenangkan, meskipun dalam hati ia merasa kehadiran Maria justru memperburuk suasana. Raka, yang mendengar perdebatan itu, akhirnya ikut angkat bicara. “Maria, pulanglah dulu. Aku butuh