Usai tragedi memilukan itu, Naya dan Raka dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi yang sama-sama memprihatinkan. Raka berjuang di meja operasi, melawan maut akibat luka yang mengancam nyawanya, sementara Naya dirawat intensif dengan jiwa yang rapuh, tenggelam dalam bayang-bayang trauma yang menghantam tanpa ampun.
Mereka terpisah di ruangan berbeda, masing-masing menghadapi luka yang tak terlihat dan tak terjamah. Naya, yang terpuruk dalam keputusasaan, ditemani oleh beberapa pengurus rumah tangga setianya: Rini, Yuni, dan Melisa, yang tak henti-hentinya menangis melihat kondisinya. Sementara itu, Raka, yang terbaring lemah dengan punggung yang terluka, dijaga dengan penuh kesetiaan oleh Roy, sang sekretaris, yang tak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya. "Mbak, coba temui sekretaris Roy! Kita juga perlu tau apa yang terjadi sebenarnya!" seru Rini dengan suara gemetar, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Hatinya perih melihatDi ruang tunggu rumah sakit yang penuh ketegangan, Naya duduk gelisah sambil meremas-remas ujung bajunya, sementara Roy berdiri di dekatnya dengan ekspresi waspada. Hati mereka penuh kecamuk, menanti hasil pemeriksaan dokter yang terasa seperti sebuah vonis yang menentukan segalanya. Semua penghuni rumah sudah berdatangan, wajah-wajah mereka mencerminkan harapan dan kecemasan yang sama. Namun, Roy sengaja merahasiakan kabar ini dari keluarga Raka. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia tahu kehadiran mereka hanya akan menjadi api yang menyulut percikan konflik, sesuatu yang tidak mampu ditanggung oleh Naya, yang sudah terlalu rapuh dalam kondisinya saat ini. “Dok, bagaimana keadaannya sekarang?” suara Naya bergetar saat ia mendekati dokter yang baru saja keluar dari ruang perawatan Raka. "Pasien sudah sadar dari komanya, namun sebenarnya..." dokter itu terhenti, wajahnya tampak ragu.
Sementara itu, Yuni mendekati Raka dengan langkah ragu, namun sorot matanya penuh keberanian. "Pak, Anda melupakan seseorang yang sangat berharga lho!" katanya pelan, namun cukup menusuk. Rini, yang biasanya ceroboh, kini hanya bisa menatap dengan ekspresi sedih. Ia tak menyangka tuannya akan bertindak seperti ini. "Pak, masa yang ketembak punggung bisa bikin otak konslet? Jangan lupakan nona dong! Bahkan anak kalian sebentar lagi lahir!" katanya tanpa filter, suaranya bergetar antara emosi dan keprihatinan. Raka mendesah berat, menatap Yani dan Sasa dengan mata yang tampak letih, namun penuh tekad. "Maafkan saya... Saya harus melakukan ini. Saya gak melupakan nya, tidak terjadi apa-apa pada ingatan saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain." Yuni mengernyit, bingung sekaligus curiga. "Pak, maksud Anda apa? Kenapa Anda berpura-pura seperti ini?" Rak
Pengorbanan yang Tersembunyi Pagi itu, Naya duduk di tempat tidurnya dengan pandangan kosong. Kata-kata Raka yang dingin masih terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak. Dia menggenggam perutnya, mencoba mencari ketenangan dari anak yang sedang dikandungnya. Yuni masuk perlahan ke dalam kamar, membawa nampan berisi makanan. “Nona Naya, Anda harus makan. Demi bayi Anda,” katanya lembut, meski matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Naya menatap Yuni dengan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. “Yuni, kenapa dia berubah seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan?” Yuni terdiam, hatinya terasa tercabik mendengar pertanyaan itu. Namun, dia tahu tidak bisa mengatakan kebenaran. Dia hanya menunduk dan berkata, “Mungkin Pak Raka hanya butuh waktu. Jangan terlalu memikirkan hal itu sekarang, Nona. Fokuslah pada kesehatan Anda.” Sementara itu, Roy berdiri di luar pintu kamar, menunggu Yuni ke
"Kenapa tempatnya begitu jauh sekali?" Naya, perempuan yang tengah hamil besar, menatap Roy dengan sorot mata penuh tanda tanya. Di hadapannya berdiri sebuah rumah mewah di tengah desa yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota. Rumah itu tampak megah dengan arsitektur klasik yang serupa dengan rumah besar Raka di kota, namun suasana di sekitarnya terasa lebih sunyi dan damai. "Ini adalah rumah pribadi milik Tuan Raka. Dulu, beliau sering tinggal di sini bersama mendiang istrinya saat liburan ke desa ini. Tempat ini penuh kenangan baginya, tetapi sekarang saya rasa ini tempat yang tepat untuk Anda beristirahat," jelas Roy sambil membuka pintu utama yang berukir indah. "Karena demi keselamatan Nona dan untuk menghindari ancaman dari Tuan Agara ayah nya tuan Raka, jadi saya membawa Anda ke sini. Mbak Yuni dan Mbak Rini akan menemani Anda selama tinggal di sini, setidaknya sampai persalinan tiba," tambahnya dengan nada penu
Sudah lima hari Raka tampak gelisah, wajahnya kusut seperti tak bisa menemukan jalan keluar. Terkadang terdengar erangan kesal keluar dari bibirnya, memecah keheningan di rumah besar itu. Melisa, perempuan muda yang menjaganya, tak pernah lelah mencoba menenangkan. Namun, segala usahanya seolah sia-sia. Ethan tak kunjung tenang. Emosinya semakin menjadi-jadim "Minggir kau jangan menghalangi jalan ku!" bentak Raka, melepaskan tangan Melisa yang mencoba meraih lengannya. “Tuan, apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Melisa lirih, tetapi Raka tak memedulikannya. Melisa tahu, majikannya itu seperti kesetanan. Pikirannya dipenuhi satu hal—rindu yang membuncah kepada seseorang, tetapi keadaan memaksanya untuk tetap tinggal di rumah. Namun, hari ini, kesabarannya habis. Ia tidak bisa lagi menahan kerinduan itu. Raka ingin menemui Naya, perempuan yang kini tengah mengandung anaknya. "
"Peresetan!" Raka menggerutu saat mendekati sebuah rumah megah yang berada di desa terpencil. Rumah itu tempat untuk menyembunyikan Naya dari Pak Agara Ayah Tuan Raka, yang ingin membunuh Naya. Ia berharap Naya masih berada di rumah itu, tetapi rumah itu kosong. Pikirannya sudah mulai gila, ia tidak bisa berpikir jernih ke mana Naya pergi. “Apa, Roy tahu sesuatu. Aku akan nelponnya!” gumam Raka menahan amarah. Sementara itu, di sebuah alun-alun di desa itu, suasana sangat indah namanya. Taman Cinta Rindu itu menjadi saksi kesedihan seorang wanita hamil yang tengah duduk di sebuah ayunan. Air matanya mengalir tanpa henti, membuat hidungnya berwarna merah muda karena terlalu lama menangis. Roy, yang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan wanita itu. Sepertinya Nona sekarang mulai mencintai Tuan Raka sehingga Nona cemburu saat melihat Melisa bersama Tuan Raka," ungkap Roy sambil tersenyum tipi
Di usia kehamilannya yang sudah memasuki bulan kesembilan, Naya benar-benar merasakan betapa beratnya menjadi calon ibu. Perutnya yang semakin besar membuatnya tidak diizinkan melakukan aktivitas apa pun, bahkan Rak, Bos nya dan juga ayah dari anak di dalam perutnya, memutuskan untuk bekerja dari rumah agar selalu siap siaga. Kantor kini sepenuhnya dipimpin oleh Chan, sahabat sekaligus kepercayaannya. “Duh, ini perut kapan mulai kempesnya? Rasanya kayak bawa bola dunia ke mana-mana!” keluh Naya sambil mengelus perutnya yang terasa penuh sesak. Raka tertawa kecil mendengar orang yang ia cintai mengomel. rumah Raka yang berada di desa terpencil kini sudah tidak mereka tempati lagi, kini mereka kembali di yang berada di kota lagi. karena Ayah Raka sedang menjalankan bisnis di negara Australia, dan Raka memutuskan untuk menetap di rumah utama bersama Naya. Meski sang ibu bersedia merawat anak perempuannya semata wayang tetap
Ketika Malam Menguji Malam itu sunyi, namun rumah besar Raka dan Naya terasa riuh oleh tangisan bayi mereka yang baru lahir. Raka, seorang pria muda dengan rambut acak-acakan dan kantong mata yang menghitam, berusaha menenangkan bayinya yang menangis di gendongannya. "Mas, popoknya habis lagi! Tolong ambilkan di lemari!" teriak Naya dari kamar, terdengar lelah. Raka menghela napas panjang. Baru beberapa jam sejak mereka tidur, dan ini sudah kali keempat mereka terbangun. Ia berjalan ke lemari, mencari popok sambil menguap. Ketika kembali, ia menemukan Naya sudah tertidur pulas dengan selimut menutupi wajahnya. "Sayang, kamu tidur aja, biar aku yang urus," gumam Raka, meski tidak mendapat jawaban dari Naya yang terlihat sangat lelah sekali. Dia mengganti popok bayinya dengan gerakan kikuk. "Nak, kamu tahu nggak? Papa dulu nggak pernah kepikiran bakal jadi begini. Tapi kamu ini spe
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."