"Peresetan!" Raka menggerutu saat mendekati sebuah rumah megah yang berada di desa terpencil. Rumah itu tempat untuk menyembunyikan Naya dari Pak Agara Ayah Tuan Raka, yang ingin membunuh Naya. Ia berharap Naya masih berada di rumah itu, tetapi rumah itu kosong. Pikirannya sudah mulai gila, ia tidak bisa berpikir jernih ke mana Naya pergi. “Apa, Roy tahu sesuatu. Aku akan nelponnya!” gumam Raka menahan amarah. Sementara itu, di sebuah alun-alun di desa itu, suasana sangat indah namanya. Taman Cinta Rindu itu menjadi saksi kesedihan seorang wanita hamil yang tengah duduk di sebuah ayunan. Air matanya mengalir tanpa henti, membuat hidungnya berwarna merah muda karena terlalu lama menangis. Roy, yang duduk di sampingnya, mencoba menenangkan wanita itu. Sepertinya Nona sekarang mulai mencintai Tuan Raka sehingga Nona cemburu saat melihat Melisa bersama Tuan Raka," ungkap Roy sambil tersenyum tipi
Di usia kehamilannya yang sudah memasuki bulan kesembilan, Naya benar-benar merasakan betapa beratnya menjadi calon ibu. Perutnya yang semakin besar membuatnya tidak diizinkan melakukan aktivitas apa pun, bahkan Rak, Bos nya dan juga ayah dari anak di dalam perutnya, memutuskan untuk bekerja dari rumah agar selalu siap siaga. Kantor kini sepenuhnya dipimpin oleh Chan, sahabat sekaligus kepercayaannya. “Duh, ini perut kapan mulai kempesnya? Rasanya kayak bawa bola dunia ke mana-mana!” keluh Naya sambil mengelus perutnya yang terasa penuh sesak. Raka tertawa kecil mendengar orang yang ia cintai mengomel. rumah Raka yang berada di desa terpencil kini sudah tidak mereka tempati lagi, kini mereka kembali di yang berada di kota lagi. karena Ayah Raka sedang menjalankan bisnis di negara Australia, dan Raka memutuskan untuk menetap di rumah utama bersama Naya. Meski sang ibu bersedia merawat anak perempuannya semata wayang tetap
Ketika Malam Menguji Malam itu sunyi, namun rumah besar Raka dan Naya terasa riuh oleh tangisan bayi mereka yang baru lahir. Raka, seorang pria muda dengan rambut acak-acakan dan kantong mata yang menghitam, berusaha menenangkan bayinya yang menangis di gendongannya. "Mas, popoknya habis lagi! Tolong ambilkan di lemari!" teriak Naya dari kamar, terdengar lelah. Raka menghela napas panjang. Baru beberapa jam sejak mereka tidur, dan ini sudah kali keempat mereka terbangun. Ia berjalan ke lemari, mencari popok sambil menguap. Ketika kembali, ia menemukan Naya sudah tertidur pulas dengan selimut menutupi wajahnya. "Sayang, kamu tidur aja, biar aku yang urus," gumam Raka, meski tidak mendapat jawaban dari Naya yang terlihat sangat lelah sekali. Dia mengganti popok bayinya dengan gerakan kikuk. "Nak, kamu tahu nggak? Papa dulu nggak pernah kepikiran bakal jadi begini. Tapi kamu ini spe
Di pagi yang cerah namun terasa berat bagi Raka. Setelah pertemuan semalam yang penuh dengan ketegangan, ia tahu dirinya harus menghadapi ayahnya—seorang pria yang hati nya sekeras batu yang selalu memegang kendali penuh atas keluarganya. "Mas, aku merasa cemas..." bisik Naya dengan suara gemetar, tangannya memegang lengan Raka erat. Ketakutannya sejak semalam belum juga reda. Raka menghela napas dalam, mencoba menenangkan Naya. "Semua akan baik-baik saja. Percaya sama aku, ya? Kamu jaga anak kita. Aku akan segera kembali." Naya mengangguk ragu, sementara Raka mengecup keningnya lembut. Ia kemudian mengusap kepala anak mereka dengan penuh kasih. Di sudut ruangan, Rini dan Yuni memperhatikan dengan cemas, tak berani berkata apa-apa, hanya bisa mencoba menenangkan Naya yang terlihat rapuh. **** Di kediaman mewah sang ayah, Raka berdiri dengan tegap, menatap pria yang dulu ia hormati namun kini h
Pemuda itu berdiri di depan pintu dengan wajah garang dan tubuh kekar. Tatapan matanya penuh amarah, tatonya terlihat jelas di kedua lengannya. Naya terpaku di tempat, tubuhnya menegang melihat pria itu. "Kak Tommy?" Naya bergumam dengan wajah penuh kebingungan. Raka segera maju ke depan, melindungi Naya di belakang tubuhnya. "Siapa kamu? Apa urusanmu datang ke sini dan membuat keributan?" tanyanya tegas, sorot matanya tak kalah tajam. Tommy, pria muda dengan gaya yang terkesan seperti preman jalanan, menatap Raka dengan pandangan merendahkan. "Aku Tommy, kakaknya! Dan aku datang untuk meminta penjelasan darinya!" katanya sambil menunjuk Naya dengan kasar. "Kak Tommy, tenang," Naya akhirnya bersuara, suaranya bergetar. "Apa yang kamu lakukan di sini? Bukankah aku sudah menjelaskan semuanya sebelumnya?" "Menjelaskan?" Tommy men
Naya yang melihat perubahan yang terjadi pada kak Tommy membuat nya haru. "Kak, terima kasih ya. Aku janji akan menggunakan uang ini sebaik-baiknya," ujar Naya sambil menyimpan uang itu di saku. Ia tersenyum, meski dalam hatinya terbersit rasa bersalah karena Raka masih saja datang ke rumah nya secara diam-diam. "Iya. Jangan sampai habis, buat hal yang enggak perlu, ya jangan dibeli. Kalau ada apa-apa, bilang abang," balas Tommy tanpa menoleh, sibuk menghabiskan makanannya. Naya hanya mengangguk. Dalam hati, ia merasa beruntung saat ini memiliki abang seperti Tommy, meskipun kadang keras kepala dan suka memaksakan kehendaknya. Ia sadar semua itu dilakukan untuk melindunginya. Namun, pikiran Naya tak bisa sepenuhnya tenang. Wajah Raka yang penuh luka tadi malam terus terbayang. Bagaimanapun juga, Raka adalah ayah dari anaknya. Meski kebenciannya pada keluarga pria itu sulit dihilangkan, cinta yang ia
Dipagi hari pukul 04:30, Raka mendapati notifikasi dari ayahnya. Seperti biasa, pria tua itu sudah mengirim pesan sejak subuh—pesan yang membuat Raka malas untuk membacanya.[Sore ini pukul 15:00 ada pertemuan penting dengan keluarga Marina. Jangan coba-coba membantah jika kau tidak ingin Naya dan anak nya mati ditangan ku seperti ayah nya waktu itu.][Pastikan kau membawa anak perempuanmu. Hanya dia yang kubutuhkan. Tidak ada alasan.]Raka menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam sebelum melemparkan benda itu ke ujung pintu. Namun, kemarahannya belum surut. Televisi di dingin menjadi korban berikutnya, pecah parah di lantai. Pikirannya penuh amarah dan kebencian yang tak lagi bisa ia tahan." Andai Ayahku mati sejak dulu hidupku pasti akan terasa damai tidak berada selalu di genggaman tangannya yang sesuka hati memerintah sesuai keinginan hatinya!" geramnya, suaranya rendah namun penuh emosi.Ia melangkah mondar-mandir, pi
"Ahahaha! Rasanya puas sekali melihat wajah Pria tua yang sombong itu menahan malu! Aku yakin, setelah kejadian ini, dia pasti langsung membatalkan perjodohan ini jaman sekarang masih saja melakukan perjodohan. Sungguh hari yang luar biasa!" Raka berhasil membuat ayahnya kehilangan muka di depan teman bisnisnya. Terlebih lagi, ekspresi terkejut Maria tadi benar-benar menjadi momen yang paling memuaskan baginya. Ia menikmati setiap detik kekacauan yang ia ciptakan, menghancurkan rencana indah yang telah disusun dengan begitu rapi oleh sang ayah. Sementara itu, Agara hanya bisa merasakan kekecewaan mendalam. Pertemuan yang ia harapkan berjalan sempurna justru berakhir berantakan, semua berkat ulah putranya yang tak kenal ampun. Raka menatap lembut bayinya yang terlelap dalam pangkuannya. Dengan hati yang berat, ia tahu bahwa saatnya telah tiba untuk mengembalikan bayi itu kepada ibunya. "Jagoan, ayah sangat bangga sekali padamu, Nak. Kamu d
Maria terduduk lemas di lantai ruangan kecil yang gelap. Dinding beton yang dingin seolah menghimpitnya dari segala arah. Tubuhnya yang berbalut gaun putih mahal tampak kontras dengan kondisi kumuh tempat itu. Air matanya sudah bercucuran sejak beberapa jam lalu, namun tangisannya tak kunjung mengundang simpati. “Bawa aku pulang... Aku mohon, aku tidak pantas berada di sini,” suaranya parau memecah kesunyian, namun hanya ditanggapi dengan tawa sinis dari sudut ruangan. Tommy, pria bertubuh kekar dengan tatapan dingin, duduk santai sambil merokok. Ia memperhatikan Maria yang terus mengiba seperti seorang hakim yang memutuskan hukuman bagi terdakwa. “Bawa pulang? Hah! Lucu sekali. Apa kamu pikir dunia ini akan berputar sesuai keinginanmu, Nona Besar?” katanya sambil menghembuskan asap rokok ke udara. Maria menatapnya dengan penuh kebencian, namun ia terlalu takut untuk berkata lebih. Seluruh tubuhnya gemetar, bukan hanya karena di
"Jadi ini pilihanmu, Raja kamu pilih wanita miskin itu? Kau benar-benar memilih menghancurkan nama keluarga demi perempuan itu? Aku tahu kau sengaja membuat kegaduhan ini untuk mencoreng reputasi kita!" suara Agara menggelegar, memecah hening di ruang belakang gedung resepsi. Raka menatap ayahnya tajam. "Ayah selalu bicara tentang reputasi, tapi pernahkah Ayah memikirkan perasaan aku? Aku sudah bertahan selama ini, memenuhi permintaan Ayah untuk menikah dengan Maria, padahal hati aku nggak pernah ada di sana. Sekarang aku nggak akan pura-pura lagi!" seru Raks, suaranya bergetar penuh emosi. "Kau pikir hidup ini hanya soal cinta? Jangan bodoh, Raja hanya karena cinta! Kau anak satu-satunya, penerus keluarga. Semua ini demi masa depanmu!" Agara mendekat dengan langkah tegas, namun Raka tak bergeming. "Masa depan apa, Ayah? Masa depan yang diatur sepenuhnya oleh Ayah? Aku bukan anak kecil lagi yang harus sering diatur oleh mu, Ayah! Aku ingi
Pernikahan yang Gagal Total Pagi itu, udara cerah di langit kota mengiringi persiapan pesta pernikahan mewah. Rencana pernikahan ini sudah disusun selama berbulan-bulan, memastikan semuanya berjalan sempurna. Namun, siapa sangka, hari yang seharusnya menjadi momen terindah justru berubah menjadi mimpi buruk. Di atas motor batangan yang terparkir di pinggir jalan sepi, seorang perempuan bergaun pengantin duduk dengan tangan yang terikat. Raut wajahnya menunjukkan campuran amarah, ketakutan, dan frustasi. Di depannya, seorang pria berkaus hitam lusuh tengah menatapnya dengan santai, seolah semua ini hanyalah permainan baginya. “Cepet turun!” bentak pria itu. “Enggak mau! Lepasin aku!” balas perempuan itu, sambil mencoba melepaskan tali yang mengikat tangannya. “Kenapa? Gaunmu nyangkut apa? Buruan turun dari motor gue, atau gue seret!” ancam pria itu sambil terkekeh kecil.
Hari yang Sempurna Berubah Petaka Pagi itu, Maria tampak sibuk berdandan di sebuah kamar rias mewah. Segala sesuatu di ruangan itu memancarkan kemewahan: cermin besar berbingkai emas, lampu-lampu kristal menggantung, dan rak penuh peralatan kosmetik dari merek-merek ternama. Di tengah ruangan, Maria duduk anggun di kursi rias, dikelilingi oleh energi yang sibuk dan mendesak. Maria selalu menginginkan yang terbaik—tidak ada kata "biasa" dalam hidupnya. Dari kecil, semua hal yang ia miliki selalu wah, dan kini, di hari pernikahannya, ia ingin memastikan semua mata tertuju hanya padanya bak seorang Ratu. “Ihh, kayaknya warna bibir ku terlihat pucat, deh? Kelihatan kayak orang sakit, terus ini bayangan hidung ketipisan. Kenapa alis ku ini warna hitam kan aku ingin nya warna coklat! Katanya MUA profesional, mahal pula!” gerutunya sambil melirik hasil kerja MUA-nya yang tampak kewalahan. MUA itu, seorang wanita cantik dengan sik
Titik Balik di Hari Pernikahan Pagi itu, Tommy mengesampingkan segala urusan pekerjaannya. Dengan amarah yang menggelegak, ia menyalakan motornya dan melaju menuju kediaman Raka. Tekadnya sudah bulat—ia ingin menuntut keadilan untuk adiknya tercinta, Naya, yang selama ini terpaksa menanggung cinta bertepuk sebelah tangan pada pria itu. Sesampainya di depan gerbang megah kediaman Raka, Tommy berteriak keras tanpa peduli lingkungan sekitar. “ETHAN! KELUAR LO, DASAR BRENGSEK, BAJING*N!” Kegaduhan itu membuat beberapa orang keluar dari rumah, termasuk Yuni dan Rini, dua pelayan Raka yang saat itu sudah mengenakan kebaya rapi. Mereka hendak pergi ke gedung pernikahan, tetapi terpaksa berhenti melihat kekacauan di depan mata. “Itu kakaknya nona Naya, kan?” bisik Rini pada Yuni. “Iya! Tapi kok berani-beraninya dia datang ke sini? Kita harus apa, nih?” Yuni balas bertanya, bingung melihat suasana semak
Hari yang Tidak Ditunggu Raka Selama dua minggu terakhir, Raka berusaha keras menahan diri untuk tidak mencari Naya. Larangan keras dari kakaknya, Naya, membuat hubungan mereka semakin sulit. Namun, rasa rindunya pada Naya tidak kunjung surut, meskipun ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan berbagai cara. Tanpa kehadiran Naya di sisinya, Raka memutuskan untuk fokus memulihkan kesehatannya. Ia tahu bahwa ia harus kuat, karena hanya dengan kekuatan itu ia bisa melawan perjodohan dengan Maria, wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Kini, waktu berjalan tanpa kompromi, dan dua minggu pun berlalu. Hari yang ditakuti Raka akhirnya tiba — hari pernikahannya. Namun, tidak ada kebahagiaan yang terpancar di wajahnya. Ia hanya berdiri di depan pintu kamar nya, ditemani Roy, sekretarisnya yang setia. “Tuan Raka, Anda terlihat luar biasa hari ini,” ujar Roy sambil tersenyum, mencoba menyu
Villa Raka: Menanti Tamu yang Tak Kunjung Datang Di villa mewahnya, Raka masih menunggu dengan harap-harap cemas. Ia berharap Naya, wanita yang sudah lama menghilang dari hidupnya, akan datang. Namun, Roy, sekretaris pribadinya, yang ia utus untuk menjemput Naya, ternyata kembali dengan tangan hampa. "Tuan, makan dulu. Tidak baik membiarkan perut kosong terlalu lama. Kalau tidak, nanti malah masuk rumah sakit," ujar Yuni, pelayan setianya, sambil menyodorkan sepiring makanan. "Makan saja, Tuan. Jangan sampai nanti kami harus menyuapi Anda di ranjang rumah sakit," tambah Rini, pelayan lainnya, sambil tertawa kecil. Raka mendengus kesal. "Kalian berdua ini mau aku sehat atau mau aku mati? Bicara seenaknya saja!" Namun, ia tidak benar-benar marah. Sudah biasa baginya menghadapi tingkah konyol para pelayannya itu setiap hari. Tepat saat suasana menjadi sedikit canggung, pintu villa t
Larut di Antara Pilihan Naya turun dari mobil dengan hati-hati, menggendong Gio yang sudah terlelap setelah diberi susu. Roy, sekretaris yang mengantarnya, melambaikan tangan sebelum mobil melaju pergi. "Terima kasih, Roy." "Sama-sama, Nona. Hati-hati." Naya melangkah masuk ke rumah dengan perlahan, berharap tidak membangunkan kakaknya, Tommy karena dia tadi pergi tanpa berpamitan dengan kakak nya. . Lampu rumah sudah padam, menandakan Tommy kemungkinan besar sudah tidur di dalam kamar. Ia menarik napas lega dan bergegas menuju kamarnya. Namun, nasib tidak berpihak pada nya malam itu. Klik! Lampu ruang tamu tiba-tiba menyala, memperlihatkan sosok Tommy yang duduk di sofa dengan ekspresi tajam. "Dari mana aja lu malam-malam bawa Gio keluar gak kasian sama anak lu?" tanyanya langsung. "Jangan bilang lu abis ketemu sama... dia." Naya terdiam, rasa bersalah menyelimuti
Tempat Peristirahatan RakaRoy tiba di sebuah lokasi tersembunyi jauh dari ibu kota, tempat di mana Raka, majikannya, bersembunyi dari tunangan nya dan orang tua nya. Namun, ia terkejut mendapati Bos kecil, Gio, sedang bermain riang di sofa bersama dua pembantu nya, Rini dan Yuni."Bagaimana Gio bisa ada di sini?" tanya Roy, bingung."Ah, payah sekali kamu, Sekretaris Roy," sindir Rinj sambil terkekeh. "Kami saja bisa membawa Gio dan Nona Naya ke sini dengan mudah. Kau kalah telak, bahkan oleh strategi sederhana kami!""Hah, cuma modal foto dan rayuan, kau tetap kalah. Sekarang kami jadi pahlawan!" timpal Yuni sambil menepuk bahu Roy dengan bangga.Roy menghela napas panjang, merasa usahanya sia-sia. "Astaga, manusia memang makhluk yang tak bisa diremehkan," gumamnya sambil melangkah menuju kamar Raka.Saat membuka pintu sedikit, Roy mengintip ke dalam. Di sana, Naya, wanita yang selama ini ingin dihindari Raka, justru tengah dud