Dipagi hari pukul 04:30, Raka mendapati notifikasi dari ayahnya. Seperti biasa, pria tua itu sudah mengirim pesan sejak subuh—pesan yang membuat Raka malas untuk membacanya.
[Sore ini pukul 15:00 ada pertemuan penting dengan keluarga Marina. Jangan coba-coba membantah jika kau tidak ingin Naya dan anak nya mati ditangan ku seperti ayah nya waktu itu.][Pastikan kau membawa anak perempuanmu. Hanya dia yang kubutuhkan. Tidak ada alasan.]Raka menatap layar ponselnya dengan tatapan tajam sebelum melemparkan benda itu ke ujung pintu. Namun, kemarahannya belum surut. Televisi di dingin menjadi korban berikutnya, pecah parah di lantai. Pikirannya penuh amarah dan kebencian yang tak lagi bisa ia tahan." Andai Ayahku mati sejak dulu hidupku pasti akan terasa damai tidak berada selalu di genggaman tangannya yang sesuka hati memerintah sesuai keinginan hatinya!" geramnya, suaranya rendah namun penuh emosi.Ia melangkah mondar-mandir, pi"Ahahaha! Rasanya puas sekali melihat wajah Pria tua yang sombong itu menahan malu! Aku yakin, setelah kejadian ini, dia pasti langsung membatalkan perjodohan ini jaman sekarang masih saja melakukan perjodohan. Sungguh hari yang luar biasa!" Raka berhasil membuat ayahnya kehilangan muka di depan teman bisnisnya. Terlebih lagi, ekspresi terkejut Maria tadi benar-benar menjadi momen yang paling memuaskan baginya. Ia menikmati setiap detik kekacauan yang ia ciptakan, menghancurkan rencana indah yang telah disusun dengan begitu rapi oleh sang ayah. Sementara itu, Agara hanya bisa merasakan kekecewaan mendalam. Pertemuan yang ia harapkan berjalan sempurna justru berakhir berantakan, semua berkat ulah putranya yang tak kenal ampun. Raka menatap lembut bayinya yang terlelap dalam pangkuannya. Dengan hati yang berat, ia tahu bahwa saatnya telah tiba untuk mengembalikan bayi itu kepada ibunya. "Jagoan, ayah sangat bangga sekali padamu, Nak. Kamu d
Roy duduk di dalam mobil, memperhatikan pria yang baru saja keluar dari rumah sederhana itu. Gerak-geriknya seperti diikuti oleh sorotan kamera tersembunyi. Ketika Raka itu melangkah keluar dengan wajah ceria sambil bersiul, Roy hanya mendecakkan lidah sambil melempar tatapan haru dan penuh bahagia melihat bos nya bahagia. Di saat yang sama, Raka melangkah santai menuju mobilnya. Senyumnya tersungging samar ketika mengingat kembali kejadian di dalam rumah tadi. Ia memejamkan mata sejenak, teringat bagaimana sentuhan lembut itu begitu menenangkan. "Sial," gumamnya sambil tersenyum kecil dan menggeleng-gelengkan kepala. "Aku bisa gila kalau terus begini." "Jalankan mobilnya," perintah Raka dengan nada rendah namun tegas. "Baik, Tuan," sahut Roy cepat, tanpa menoleh ke belakang. Setibanya di rumah, suasana berubah tegang. Di ruang tamu, sang ayah, Pak Agara, duduk dengan
Sudah 5 hari berlalu, Naya merasakan waktu begitu cepat. Namun, di sisi lain, hari-hari terasa panjang dan berat sejak ia hidup sendiri merawat bayinya. Dalam sunyi, ia sering kali memandangi anaknya yang sedang tertidur, menyimpan rindu akan pria yang pernah ia cintai. Namun rindu itu ia kubur dalam-dalam, karena kini, hanya dirinya yang harus berdiri tegak sebagai ibu sekaligus ayah. Malam itu, tangisan Naya, bayinya yang berusia sepuluh hari, memecah keheningan kamar sederhana mereka. Naya yang baru saja selesai mencuci baju buru-buru menghampiri anaknya. Wajah Gio terlihat memerah, badannya hangat saat disentuh. "Gio, kenapa, Nak? Jangan nangis, ya. Ibu di sini," bisik Naya dengan suara bergetar. Tangisan itu tak kunjung reda. Panik mulai menyerang, apalagi saat ia menyadari badan Gio terasa lebih panas daripada biasanya. Kecemasan semakin menjadi ketika ia melihat bercak-bercak merah di badan anak nya, Gabagen. "Ya Tu
Pagi itu, Naya masih dibayangi rasa bersalah atas sikapnya kepada putranya kemarin. Perkataan yang meluncur tanpa pikir panjang, karena lelah dan frustrasi, telah menyakiti hati anak kecil itu. Sejak bangun pagi, dia bertekad untuk memperbaiki semuanya, menjadi ibu yang lebih sabar dan lembut, seperti seharusnya. Dia mendekati putranya yang tengah bermain di atas kasur dengan senyum hangat. "Sayang Ibu, tunggu di sini ya. Ibu mau masak nasi dulu," ujarnya lembut, sambil mengelus rambut si kecil yang mulai tertawa mendengar suara ibunya. Naya memastikan anaknya aman sebelum meninggalkannya. Ia menyusun bantal di sekeliling tubuh mungil itu, seperti pagar kecil yang akan melindunginya. Tak lupa, ia menyalakan musik kesukaan anaknya, sebuah lagu anak-anak sholawatan, yang sudah ia putar melalui ponselnya yang ditaruh di atas meja agar anaknya anteng. "Main yang manis ya, anak sholeh. Ibu cuma sebentar, kok," tambah Naya, mencium k
Malam hari di rumah kecil itu, suara angin berdesir melalui celah-celah jendela. Jika mengira Naya masih menyimpan amarah, maka itu salah besar. Raka adalah pria yang tahu cara meluluhkan hati wanita nya, terutama hati wanita seperti Naya yang perlu perhatian. Meski Naya dikenal keras kepala, di hadapan Raka, ia sering kehilangan pertahanannya. “Mas, jangan kebiasaan lewat jendela terus. Kalau tetangga tiba-tiba lewat dan melihat kamu, gimana coba?” Disangka nya kamu itu maling nanti!" Tegur Naya dengan nada setengah berbisik. Raka terkekeh kecil. “Biar saja. Kali ini, aku akan berani hadapi mereka dan aku akan bilang kesemua orang kamu itu calon istri ku!” Naya menyipitkan matanya, tidak percaya sepenuhnya pada kepercayaan diri Raka yang sering berubah-ubah itu. “Serius nih?” tanyanya ragu. Raka menghela napas panjang, lalu mengangkat bahu. “Ya… sedikit yakin aku begini juga dem
"Di Antara Batas"Roy tidak pernah membayangkan hidupnya yang penuh aturan akan terganggu oleh sosok Melisa. Kehadiran perempuan itu bagai badai kecil yang perlahan meruntuhkan dinding-dinding dingin dalam dirinya.Hari itu, keduanya tengah berbagi tawa di bawah langit senja. Roy sengaja membawa Melisa ke sebuah villa kecil di atas bukit, jauh dari hiruk pikuk kota. Suasananya begitu tenang, hanya ada suara angin yang bermain dengan dedaunan."Kau senang di sini?" tanya Roy, suaranya tenang namun penuh perhatian.Melisa mengangguk dengan senyum mengembang. "Aku merasa seperti hidup dalam mimpi. Semua ini... sempurna."Roy mengamati Melisa dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia adalah pria yang dikenal tegas, penuh kendali, tetapi di hadapan Melisa, kendali itu perlahan memudar.Namun, di dalam hatinya, Melisa bergulat dengan perasaan yang sulit ia kendalikan. “Aku takut...” pikirnya. “Takut terlalu jauh, takut aku salah mengarti
Pagi yang Menegangkan: Duel Tanpa Batas Langit pagi mengintip dari celah jendela kamar, menyinari wajah Raka yang masih tergolek di ranjang bersama Naya dan bayi mereka, Gio. Malam tadi, Raka terpaksa menginap karena kelelahan setelah seharian bekerja, ditambah rengekan Gio yang tidak mau ditinggal tidur di boks barunya. Akhirnya, bayi kecil itu tidur di antara mereka, sementara Raka dan Nay sibuk bercanda hingga larut malam. Ketika matahari mulai naik, Raka terbangun lebih dulu. Ia tersenyum melihat Gio yang sudah bangun, sibuk memainkan jemarinya sendiri. Raka mengangkat bayinya dengan lembut, mengayun-ayunkan tubuh kecil itu sambil bergumam, “Lihat ini, anak ganteng ayah. Kamu ini perpaduan sempurna! Besar nanti pasti jadi kebanggaan keluarga.” Namun, momen manis itu buyar ketika Naya menggeliat, membuka matanya, lalu mendapati Raka masih di kamar. Matanya membesar. “Mas! Kamu belum pulang juga? Kalau Kak Tommy tahu, gim
"Kembali ke Rumah Raka" Setelah memenangkan pertandingan game, dengan senang hati Raka berhasil membawa kekasihnya, Naya, untuk mengunjungi rumahnya. “Aku gak sabar ketemu Chelly. Apa kabar ya si Rini sama Mbak Yuni?” gumam Naya di perjalanan. “Mereka bahkan memaksaku untuk membawamu pulang karena mereka terlalu rindu,” balas Raka sambil tersenyum. “Tapi, bagaimana kalau ayah kamu tahu aku ada di sana?” Naya bertanya dengan nada khawatir. “Dia sedang di sedang berada di Amerika. Kamu aman, jangan khawatir,” jawab Raka meyakinkan. Naya menarik napas lega. Kenangan buruk tentang ayah Raka masih membekas di hatinya, terutama tragedi yang menimpa keluarganya. Meski ada keinginan untuk membalas dendam, dia tahu kekuasaan pria itu terlalu besar untuk dilawan. Sesampainya di r
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."