Ngidam Mangga
Malam itu angin berhembus lembut, membuat tirai jendela kamar Naya berkibar perlahan. Jam menunjukkan pukul dua dini hari, tetapi mata Naya masih terbuka lebar. Ia gelisah, bolak-balik di atas tempat tidur sambil memeluk perutnya yang terasa aneh. Sebuah pikiran terlintas—dan tiba-tiba rasa itu semakin kuat. Ia ingin makan mangga. Bukan sembarang mangga, tetapi mangga muda yang segar, dicocol dengan sambal rujak pedas. Bayangannya begitu jelas hingga membuat air liurnya nyaris menetes. “Duh, gimana ini?” gumam Naya sambil memegang perutnya. Ia mencoba mengabaikannya, tetapi rasa ngidam itu terlalu kuat. Akhirnya, dengan langkah ragu, ia keluar dari kamar menuju dapur. Namun setelah mencari-cari di kulkas, ia tidak menemukan apa yang diinginkan. Mangga terakhir sudah diolah menjadi sambal siang tadi. Naya memegang kepalanya, bingung harus bagaimana. Lalu, tanpa pikir panjang, ia berjalan menuju kNaya merasakan tubuhnya semakin berat karena setiap bulan janin akan tumbuh dan berkembang semakin besar. Kehamilannya memang membawa perubahan besar, terutama pada nafsu makannya yang tak terkontrol. Ia merasa lapar meski baru saja makan, dan itu membuatnya sedikit tidak nyaman dengan tubuhnya yang semakin membesar. Namun, setiap kali Raka melihatnya, ia selalu memberi pujian yang membuat Naya merasa lebih baik. "Menurutku wanita yang gemuk karena masa kehamilan itu terlihat sangat cantik!" ucap Ethan dengan senyum lembut, memeluk Teta dari belakang, tangannya mengusap perlahan perut Teta yang mulai membesar. Ia mencium pelipisnya penuh kasih sayang. Ethan tahu betul, Teta sering merasa cemas dengan perubahan tubuhnya, dan ia berusaha menenangkan kekhawatirannya. Naya memandang ke arah cermin dengan tatapan kosong, menghela napas. "Jangan cuma gombal, aku tahu kok kamu cuma hanya menyenangkan ku saja," katanya, matanya tidak
Setelah beberapa hari berlalu, Naya mulai merasa lebih nyaman dengan perubahan yang terjadi pada tubuhnya. Meskipun terkadang masih ada rasa cemas yang datang menghampiri, Raka selalu berhasil menenangkannya dengan kata-kata dan perhatiannya yang tulus. Kehadiran Raka di sisi Naya, baik di saat senang maupun saat cemas, memberi rasa aman yang tak ternilai. Pagi itu, Naya memutuskan untuk keluar dari rumah sejenak, berjalan-jalan di sekitar halaman rumah untuk menikmati udara segar. Raka, yang selalu peduli dengan kesehatannya, ikut menemaninya, meskipun Naya sempat berusaha menolak. "Kenapa kamu nggak bisa biarkan aku berjalan sendiri, Raka?" Naya menatap Raka dengan senyum kecil, berusaha tegas meskipun hatinya merasa senang dengan perhatian yang diberikan. "Karena aku ingin memastikan kamu baik-baik saja," jawab Raka sambil tersenyum. "Aku nggak akan jauh, aku hanya ingin kamu merasa nyaman." Mereka berjalan bersama di se
Hari itu Rak sangat antusias. Ia mengajak Naya ke rumah sakit untuk melakukan USG, sebuah pembahasan yang sempat mencuat di kantor tadi pagi. Wajahnya berseri-seri, seperti anak kecil yang akan mendapatkan hadiah besar.Kini, mereka duduk di depan monitor, memperhatikan gambar janin yang tampil dalam bentuk 2D, hitam putih tanpa warna. Naya memiringkan kepala, mencoba memahami bentuk di layar tersebut.“Kok gak ada warnanya, Dok? Emangnya nanti dia lahir kayak film lama, hitam putih begitu?” Naya bergumam sambil menunjuk layar, membuat dokter dan Raka tersenyum kecut.“USG 3D atau 4D memang baru bisa dilakukan di usia kandungan yang lebih lanjut, Bu,” dokter perempuan itu menjelaskan sambil tetap tersenyum ramah. “Saat ini, kita baru bisa melihat bentuk dasar janin.”Naya mengangguk, lalu dengan nada usil berkata, “Terus, dia bakal punya rambut yang tebal kayak Raka gak, Dok? Soalnya Raka itu unik banget, ada tahi lalat di leher kayak peta pulau k
"Ke mana sebenarnya dia? Ini sudah jauh melewati jam makan siangku!" gumam Raka dengan nada kesal sambil melirik arlojinya yang sudah menunjuk ke angka dua.Ia melangkah mondar-mandir di ruang kerjanya, berulang kali memeriksa ponselnya. Pesan-pesan yang ia kirimkan tak juga mendapatkan balasan, dan panggilannya terus menerus dialihkan ke kotak suara."Naya pergi ke mana? Supirnya juga tak bisa dihubungi. Bukankah tadi mereka bilang sudah berangkat sejak pagi?"Raka merasakan gelombang emosi yang bercampur aduk. Awalnya ia hanya kesal karena perutnya mulai keroncongan, tetapi pikirannya mulai dirundung rasa cemas. Naya, wanita kesayangan yang sedang hamil anak nya, tak biasanya terlambat atau tak memberi kabar seperti ini."Astaga! Kalau terjadi sesuatu pada mereka—" Raka menghentikan langkahnya, menggertakkan rahangnya dengan panik. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa semuanya baik-baik saja, tetapi pikirannya terus dihantui bayangan bu
Usai tragedi memilukan itu, Naya dan Raka dilarikan ke rumah sakit dalam kondisi yang sama-sama memprihatinkan. Raka berjuang di meja operasi, melawan maut akibat luka yang mengancam nyawanya, sementara Naya dirawat intensif dengan jiwa yang rapuh, tenggelam dalam bayang-bayang trauma yang menghantam tanpa ampun. Mereka terpisah di ruangan berbeda, masing-masing menghadapi luka yang tak terlihat dan tak terjamah. Naya, yang terpuruk dalam keputusasaan, ditemani oleh beberapa pengurus rumah tangga setianya: Rini, Yuni, dan Melisa, yang tak henti-hentinya menangis melihat kondisinya. Sementara itu, Raka, yang terbaring lemah dengan punggung yang terluka, dijaga dengan penuh kesetiaan oleh Roy, sang sekretaris, yang tak mampu menyembunyikan kesedihan di matanya. "Mbak, coba temui sekretaris Roy! Kita juga perlu tau apa yang terjadi sebenarnya!" seru Rini dengan suara gemetar, air matanya tak kunjung berhenti mengalir. Hatinya perih melihat
Di ruang tunggu rumah sakit yang penuh ketegangan, Naya duduk gelisah sambil meremas-remas ujung bajunya, sementara Roy berdiri di dekatnya dengan ekspresi waspada. Hati mereka penuh kecamuk, menanti hasil pemeriksaan dokter yang terasa seperti sebuah vonis yang menentukan segalanya. Semua penghuni rumah sudah berdatangan, wajah-wajah mereka mencerminkan harapan dan kecemasan yang sama. Namun, Roy sengaja merahasiakan kabar ini dari keluarga Raka. Bukan karena ia tidak peduli, tetapi karena ia tahu kehadiran mereka hanya akan menjadi api yang menyulut percikan konflik, sesuatu yang tidak mampu ditanggung oleh Naya, yang sudah terlalu rapuh dalam kondisinya saat ini. “Dok, bagaimana keadaannya sekarang?” suara Naya bergetar saat ia mendekati dokter yang baru saja keluar dari ruang perawatan Raka. "Pasien sudah sadar dari komanya, namun sebenarnya..." dokter itu terhenti, wajahnya tampak ragu.
Sementara itu, Yuni mendekati Raka dengan langkah ragu, namun sorot matanya penuh keberanian. "Pak, Anda melupakan seseorang yang sangat berharga lho!" katanya pelan, namun cukup menusuk. Rini, yang biasanya ceroboh, kini hanya bisa menatap dengan ekspresi sedih. Ia tak menyangka tuannya akan bertindak seperti ini. "Pak, masa yang ketembak punggung bisa bikin otak konslet? Jangan lupakan nona dong! Bahkan anak kalian sebentar lagi lahir!" katanya tanpa filter, suaranya bergetar antara emosi dan keprihatinan. Raka mendesah berat, menatap Yani dan Sasa dengan mata yang tampak letih, namun penuh tekad. "Maafkan saya... Saya harus melakukan ini. Saya gak melupakan nya, tidak terjadi apa-apa pada ingatan saya. Tapi, saya tidak punya pilihan lain." Yuni mengernyit, bingung sekaligus curiga. "Pak, maksud Anda apa? Kenapa Anda berpura-pura seperti ini?" Rak
Pengorbanan yang Tersembunyi Pagi itu, Naya duduk di tempat tidurnya dengan pandangan kosong. Kata-kata Raka yang dingin masih terus terngiang di telinganya, membuat dadanya sesak. Dia menggenggam perutnya, mencoba mencari ketenangan dari anak yang sedang dikandungnya. Yuni masuk perlahan ke dalam kamar, membawa nampan berisi makanan. “Nona Naya, Anda harus makan. Demi bayi Anda,” katanya lembut, meski matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Naya menatap Yuni dengan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. “Yuni, kenapa dia berubah seperti ini? Apa aku melakukan kesalahan?” Yuni terdiam, hatinya terasa tercabik mendengar pertanyaan itu. Namun, dia tahu tidak bisa mengatakan kebenaran. Dia hanya menunduk dan berkata, “Mungkin Pak Raka hanya butuh waktu. Jangan terlalu memikirkan hal itu sekarang, Nona. Fokuslah pada kesehatan Anda.” Sementara itu, Roy berdiri di luar pintu kamar, menunggu Yuni ke
Naya tersenyum sambil mengamati bayi kecil yang tertidur dalam pelukan Maria. "Aku senang bisa jadi bagian dari perjalanan ini, Kak. Tapi sekarang, aku rasa sudah waktunya aku pulang ke rumah. Aku juga kangen anak-anakku." Maria tersenyum lembut. "Iya, Nay. Terima kasih sudah banyak membantu kami. Anak-anakmu pasti sudah menunggu." Tak lama kemudian, suara klakson terdengar dari luar rumah. Raka, suami Naya, datang menjemputnya. Naya berpamitan dan memberikan kecupan sayang pada bayi Maria sebelum akhirnya beranjak pergi bersama suaminya. Setelah Naya pulang, Tommy menatap Maria yang tengah menimang bayinya. "Kita harus segera mencari nama yang bagus untuk anak kita. Aku ingin sesuatu yang punya makna mendalam." Maria mengangguk setuju. "Aku juga berpikir begitu. Bagaimana kalau Adrian? Nama itu berarti kuat dan pemberani." Tommy tersenyum. "Aku suka. Adrian, anak kita yang kuat
Hari itu, matahari bersinar lembut, menandai awal babak baru dalam kehidupan Maria dan Tommy. Setelah beberapa hari di klinik, bidan Desi akhirnya mengizinkan Maria pulang bersama bayinya. Kebahagiaan terpancar dari wajah mereka saat mengemasi barang-barang yang telah menemani hari-hari pertama mereka sebagai orang tua.Tommy dengan penuh perhatian menuntun Maria keluar dari ruangan, sementara Naya sibuk menggendong si kecil dengan penuh kasih sayang. "Aduh, Kak, aku nggak rela lepasin ponakanku ini. Gemes banget!" katanya dengan nada bercanda.Maria tertawa lemah. "Hush, nanti dia jadi manja kalau kamu terus gendongin."Tommy tersenyum melihat interaksi mereka. "Yuk, kita pulang. Si kecil pasti lebih nyaman di rumah."Setibanya di rumah, suasana begitu hangat. Ruang tamu telah didekorasi sederhana dengan balon-balon berwarna pastel dan tulisan 'Selamat Datang, Baby!' yang dibuat oleh Naya dan beberapa anggota keluarga lainnya. Maria terharu melih
Hadiah Terindah Mobil melaju kencang menembus keheningan malam. Tommy menggenggam erat tangan Maria, mencoba memberikan ketenangan di tengah kepanikan yang melanda. Napas Maria semakin memburu, setiap kontraksi yang datang membuatnya semakin sulit menahan rasa sakit. Setibanya di klinik, bidan Desi dan timnya sudah bersiap. Maria segera dibawa ke ruang bersalin, sementara Tommy tetap berada di sisinya, tidak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. "Kamu pasti bisa, Sayang. Aku di sini," bisik Tommy dengan suara bergetar. Maria mengangguk lemah, matanya berkaca-kaca. Ini adalah momen yang ia nantikan sekaligus takuti. Dengan seluruh kekuatan yang tersisa, ia berjuang melahirkan buah cinta mereka. Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hingga akhirnya, tangisan nyaring seorang bayi pecah di ruangan itu. Tommy menahan napas, matanya langsung tertuju pada sosok kecil yang kini bera
Beberapa bulan telah berlalu. Hari-hari terus berjalan, mendekatkan Maria pada masa persalinannya. Tommy pun untuk sementara menghentikan pekerjaannya di kebun demi merawat sang istri. Dengan penuh kasih sayang, ia memastikan Maria tidak perlu bersusah payah melakukan apa pun. Bahkan, ia melarangnya bergerak terlalu banyak agar tetap beristirahat. Beruntung, Naya adik perempuan Tommy turun tangan mengurus pekerjaan rumah, memastikan segala sesuatunya tetap berjalan dengan baik. Maria merasa tubuhnya gerah, sesuatu yang biasa dialami oleh wanita yang tengah hamil tua. Ingin menyegarkan diri, ia pun memutuskan untuk mandi. Namun, saat hendak masuk ke kamar mandi, Tommy segera menahannya. "Maria, jangan mandi sendiri. Aku khawatir kamu terpeleset," ujar Tommy dengan nada cemas. Maria tersenyum kecil. "Aku baik-baik saja, Tom. Aku hanya ingin segar kembali."
Setelah beberapa hari Tomi pulang dari rumah sakit, Naya dan Raka memutuskan untuk membantu mengurus sawah yang disewa Tomi. Karena Tomi masih dalam masa pemulihan, mereka ingin memastikan bahwa pekerjaan di sawah tetap berjalan lancar. Di rumah, Naya sedang menyiapkan sarapan di dapur, sementara Raka duduk di meja makan sambil membaca berita di ponselnya. Naya menoleh ke arah suaminya. "Mas, gimana kalau kita bantu Mas Tomi urus sawahnya dulu? Dia kan masih belum sepenuhnya pulih." Raka meletakkan ponselnya dan menatap Naya dengan ragu. "Bantu di sawah? Aku nggak pernah turun ke sawah sebelumnya, Nay. Takutnya malah nggak bisa ngapa-ngapain." Naya terkekeh. "Nggak ada salahnya coba, kan? Lagi pula, Mas Tomi juga kerja sendiri di sana. Kalau kita bantu sedikit aja, pasti bakal meringankan bebannya." Raka menghela napas dan tersenyum kecil. "Ya udah, aku ikut. Tapi jangan harap aku bakal jago langsung, ya."
Setelah lima hari menjalani perawatan di rumah sakit, akhirnya Tomi diperbolehkan pulang oleh dokter. Kabar ini membuat Maria, istrinya, merasa lega dan bahagia. Sebagai langkah selanjutnya, ia segera menghubungi adik iparnya, Naya, untuk datang ke rumah sakit dan membantu mereka pulang ke rumah. Dokter tersenyum dan berkata, "Bu Maria, setelah lima hari menjalani perawatan, kondisi Pak Tomi sudah cukup stabil. Kami sudah memeriksa hasil lab dan tidak ada yang mengkhawatirkan. Jadi, hari ini beliau sudah boleh pulang." Maria menghela napas lega, lalu berkata, "Benar, Dok? Syukurlah… Saya sangat lega mendengarnya. Apa ada pantangan khusus untuk Tomi di rumah?" Dokter mengangguk dan menjelaskan, "Ya, pastikan beliau banyak beristirahat dan jangan terlalu lelah. Makan makanan bergizi dan jangan lupa kontrol sesuai jadwal. Jika ada keluhan seperti pusing atau nyeri yang tidak biasa, segera kembali ke rumah sakit."
Langkah Kecil Menuju KesembuhanTommy mulai menjalani hari-hari pemulihannya di rumah sakit dengan lebih tenang. Meski rasa sakit masih sesekali menusuk, kehadiran Maria, Raka, dan Naya memberinya kekuatan. Pagi itu, dokter melakukan pemeriksaan rutin untuk mengecek perkembangan lukanya.“Kondisi luka operasimu membaik, tapi kau masih perlu istirahat cukup sebelum bisa dipulangkan,” ujar dokter sambil mencatat di clipboard-nya. “Jangan banyak bergerak dulu, biarkan tubuhmu benar-benar pulih.”Tommy hanya bisa mengangguk pasrah, meskipun dalam hatinya ia sangat ingin segera pulang. Rumah sakit bukan tempat yang nyaman baginya, dan ia lebih suka berada di rumah bersama Maria.Maria, yang duduk di samping tempat tidurnya, tersenyum lembut. “Kamu dengar kan, Mas? Jangan keras kepala lagi. Kita tunggu sampai dokter bilang kamu boleh pulang.”Tommy menatap istrinya dengan sedikit merajuk. “Tapi aku sudah bosan di sini. Tidur di rumah sakit itu
Pukul 01.00 malam, Tommy terbangun setelah menjalani operasi. Rasa sakit masih menjalar di sekujur tubuhnya, dan pandangannya terasa berat akibat sisa efek obat bius. Dengan perlahan, ia menoleh ke samping dan melihat istrinya, Maria, yang sedang duduk di kursi dekat tempat tidurnya. Maria, yang tengah hamil besar, tampak tertidur dalam posisi duduk. Wajahnya terlihat lelah, namun tetap memancarkan ketulusan. Dengan gerakan pelan, Tommy mengangkat tangannya dan membelai lembut wajah serta rambut Maria. Sentuhan itu membuat Maria terbangun. Ia mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya menyadari bahwa Tommy telah sadar. Maria tersenyum lega. "Mas Tommy… kamu sudah sadar?" Tommy dengan suara lemah menjawab, "Iya… aku sudah sadar." Ia mencoba tersenyum. "Kau belum tidur?" Maria menghela napas. "Aku takut kalau tertidur dan kamu butuh sesuatu." Tommy menatap Maria penuh kasih
Maria dan Naya duduk gelisah di depan ruang operasi, menanti kabar dari dokter yang tengah berjuang menyelamatkan Tommy kakak Naya sekaligus suami Maria. Waktu terasa berjalan begitu lambat, setiap detik penuh dengan kecemasan. Percakapan di Ruang Operasi Dokter melirik monitor detak jantung pasien, lalu menoleh ke perawat. "Tekanan darah pasien bagaimana?" Perawat pertama menjawab cepat, "Masih stabil, Dok. Tapi detaknya sempat melemah beberapa menit lalu." Dokter mengangguk, matanya tetap fokus. "Kita harus bergerak cepat. Siapkan klem, saya akan menutup pendarahannya." Perawat kedua dengan sigap mengulurkan alat. "Baik, Dok." Dokter mulai bekerja dengan hati-hati. "Oke, bagus. Sekarang kita lakukan jahitan terakhir. Pastikan infus tetap mengalir dengan lancar."