Istriku Yang Mulai Mandiri (1)
****"Dek, kamu beli motor?" tanyaku pada istriku."Iya Mas," jawabnya singkat."Berapa Dek?" tanyaku lagi."3 juta Mas." jawabnya membuatku kaget."Ha?! 3 juta? Motor harga 3 juta? Motor apa yang dijual dengan harga segitu? Jangan-jangan motor rusak, Dek?" cecarku. "Enak aja kamu, Mas! Sebelum deal aku cek dan coba dulu motornya, masih bagus kok," sangkalnya. "Bisa aja kan sekarang bagus, eh besok udah hancur, Dek," cicitku."Apa sih kamu, Mas. Aku emang beli motor bekas dan murah bukan berarti motor itu rusak, lagian dijual segitu karena si penjual lagi butuh banget uang!" sengitnya tak terima dengan ucapanku."Emang kamu beli motor buat apa toh dek? Motor Mas kan ada malah masih bagus." "Loh, ya 'kan aku butuh buat kepasar mas! Males aku ngandelin Mas terus."Aku mendecak. "Dek, Dek, kalau ada uang kenapa gak kamu tabung aja Dek, ngapain dibelikan motor?""Ya ampun Mas, aku beli motor pake uangku sendiri! Gak minta ke kamu!""Emang berapa sih keuntungan kamu jualan? Mas gak percaya bisa sampai beli motor, atau jangan jangan kamu pinjam uangnya sama si Mila?" tuduhku. Aku tak percaya, istriku yang baru 8 bulan berjualan aneka jajanan bisa membeli motor, walaupun bekas."Ah terserah kamu, capek ngomong sama kamu, Mas!" ucapnya. Lalu dia masuk ke dalam kamar. Begitulah istriku, Farida. Akhir-akhir ini sikapnya mulai berbeda. Ya, dia mulai dingin padaku. Padahal sejak awal aku mendekatinya, ia adalah perempuan yang manja dan lemah lembut. Setelah menikah pun, ia masih sangat manja. Jika saat mendekatinya dulu, aku suka dengan sikap manjanya, maka setelah menikah aku merasa bosan.Ya, setelah menikah, dia selalu memintaku untuk membantu pekerjaan rumah. Seperti menjemur pakaian, menjemur bed cover, memasang tabung gas, mengangkat galon. Saat tidur pun, ia selalu ingin aku peluk. Ia akan marah, ketika aku bermain PS sampai tengah malam dan tertidur di ruang televisi. Ia selalu memintaku untuk memijit kakinya sebelum tidur, karena katanya pijitanku lumayan enak. Sebelum tidur, ia selalu ingin ditemani mengobrol, apapun yang terjadi ia selalu ceritakan padaku, meski aku tidak menanggapi nya karena malas. Namun, akhir-akhir ini, tepatnya setelah ia berjualan, ia seperti berubah. Ia bukan lagi Farida-ku yang dulu.Bahkan setelah berjualan, ia tidak lagi mengeluh uang yang kuberikan sedikit dan sudah habis sebelum waktunya aku gajian. Aku bekerja di pabrik garmen sebagai staff administrasi. Gajiku sebesar 4 juta perbulannya dan aku memberikan 1,5 juta pada istriku. Sisanya kupegang sendiri.Sebelum berjualan, istriku selalu mengeluh kalau uang yang aku berikan tidak cukup sampai satu bulan. Sampai ia ingin bekerja lagi sebagai operator jahit di pabrik garmen. Tentu saja aku melarang keras, aku masih mampu untuk mencari uang, buat apa dia ikut-ikutan bekerja?Akhirnya ia memutuskan berjualan aneka jajanan di teras rumah. Entah apa saja yang ia jual, sekarang pelanggannya sudah banyak. Kuakui tangan istriku itu memang pandai mengolah makanan. Masakan buatannya selalu enak di lidahku.Farida masih belum keluar dari kamar, padahal biasanya jika aku pulang kerja begini, ia selalu menyiapkan teh manis hangat. Tapi ini, air putih saja tak diberikan. Aah, dengan malas aku melangkah ke dapur untuk mengambil air putih.Saat menuangkan air galon, aku terkesiap. Dispenser baru? Dispenser dengan galon bawah. Aku yakin, tadi pagi masih dispenser lama. Aku meninggalkan dispenser dengan galon kosong, karena aku yang menghabiskan airnya. Jika harus membelinya airnya dulu, aku bisa terlambat ke pabrik. Jadi, aku biarkan saja tadi pagi.Aku lalu memperhatikan sekeliling dapur, lagi-lagi aku terkesiap. Bagaimana tidak? Di meja penyimpanan terdapat 2 kotak teh celup, 2 kemasan gula pasir, 2 kemasan minyak goreng ukuran 2 liter, beras ukuran 5 kilo, bumbu dapur semua lengkap. Aku benar-benar dibuat melongo. Darimana Farida bisa membeli semua ini?Gegas aku menyusul Farida ke dalam kamar. Ternyata dia sedang duduk di kasur sambil memainkan ponsel. Lantas aku duduk di depannya. "Dek, kok gak siapin teh manis hangat buat Mas, sih? tanyaku."Buat sendiri saja, semua sudah lengkap kok," jawabnya. Masih menatap ponselnya."Gak, Mas capek, baru pulang, kamu dong layani Mas, Dek!" perintahku."Aku juga capek, Mas! Layani banyak pembeli," jawabnya tak mau kalah."Oh, ya, Dek, yang beli dispenser kamu?"Dia hanya mengangguk."Uang darimana, Dek?""Untung jualan," jawabnya tanpa beralih dari layar ponsel."Terus … yang beli keperluan dapur, kamu juga?" Aku bertanya pelan."Kalau bukan aku, siapa yang beli?""Emang keuntungan jualanmu banyak, ya, Dek?""Gak perlu tahu!""Loh, ya, Mas kan pengen tahu aja, Dek. Sekarang kamu gak pernah ngeluh lagi dengan uang yang Mas kasih.""Ngeluh buat apa, Mas gak peka!""Ya … bukan gak peka, tapi kan Mas sudah kasih sesuai dengan yang diperlukan, Dek. Mas saja, dulu saat masih sendiri sebulan cuma pegang 500 ribu, Dek. Kamu hanya perlu mengatur pengeluarannya saja," ucapku menjelaskan."Kalau duitnya gak ada, gimana ngaturnya, Mas? Kamu kira, listrik jerit-jerit bisa diem sendiri? Air galon kosong, bisa penuh sendiri? Beras, sabun mandi, sabun cuci, semua gak dibeli apa, Mas?"Gak ada gimana sih, Dek? Tiap bulan sudah Mas kasih.""Aku kan sudah sering bilang, uang yang Mas kasih itu gak cukup sampai satu bulan! Bulan ini, Mas belum kasih aku uang. Ini sudah tanggal 10, Mas. Padahal, Mas gajian setiap tanggal satu! Jangan mulai melupakan kewajibanmu, Mas!""Itu karena kamu gak bisa ngaturnya, Dek. Sekarang buktinya kamu bisa, Dek! Berarti sekarang kamu sudah pandai mengatur keuangan!""Aku memang pandai mengatur keuangan, Mas! Aku tahu mana yang dibutuhkan, mana yang tidak! Itupun karena uangnya ada! Kalau tidak ada, aku mau mengatur apa? Daun? Kertas?" Farida menjawab dengan menggebu-gebu. Kemudian dia turun dari kasur."Mas, aku titip warung. Mau antar pesanan ke bengkel Jana!" pintanya. Istriku itu lalu keluar dari kamar.Aku menyusulnya. "Memang Jana pesan apa?""10 Roti bakar.""Biar Mas saja nanti yang antar.""Gak usah, Mas belum mandi. Aku selalu kena omel pelanggan, karena Mas terlalu lama dalam mengantar pesanan. Mas kalau mandi bisa sampai sejam, entah apa yang Mas bersihkan. Sudah, aku pergi, Mas. Assalamu'alaikum!""Waalaikumsalam." Farida pergi dengan motor bekasnya. Biasanya ia menyuruhku yang mengantarkan pesanan. Setelah ada motor, ia bisa lakukan sendiri. Baguslah, jadi aku bisa mandi dengan santai.Saat aku hendak masuk, ternyata ada yang ingin membeli."Bang, beli sosis goreng!" ucapnya menyodorkan uang dua ribu."Mbak Rida nya gak ada. Abang gak bisa buatnya!" jawabku."Tinggal di goreng, ini sosisnya Bang!" perintahnya. Dia menunjukkan sosis yang sudah ditusuk.Mau tidak mau aku layani saja, sepertinya dia sering jajan ke sini. Selama berjualan, aku tidak pernah membantu istriku melayani pembeli. Aku hanya mengantarnya ke pasar dan kadang mengantarkan pesanan. Makanya aku tidak tahu jika ada yang membeli seperti ini. Tapi aku coba saja, biar dia cepat pergi, dan aku bisa segera mandi. Setelah selesai, akhirnya dia pergi.Gegas aku ke kamar mandi. Begitu sampai di kamar mandi, aku terkejut. Ada stok pasta gigi, sabun mandi, sampo, deterjen, pewangi pakaian, pencuci piring. Cepat kuambil wadah lulurku, aah tinggal sedikit. Kenapa Farida tidak membelinya sekalian? Meski lelaki, aku sangat merawat kulit dan tubuhku. Makanya Farida bilang, kalau mandiku lama. Sebab, aku tidak suka tubuhku bau asap dan keringat setelah seharian bekerja. Aku kemudian memakai lulur dan memakai sampo."Mas Risfaaannnnn!!!"Saat sedang asik memakai sampo, suara teriakan dari luar mengangetkanku. Hingga tangan yang penuh busa mengenai mataku. Duh, kenapa Farida ini?Pagi ini aku bangun jam 6. Menyambar handuk dan menuju kamar mandi. Namun, sepertinya Farida tidak ada. Kemana dia pagi-pagi beginiAku mencarinya di dapur, tidak ada. Kucari di halaman belakang, juga tidak ada. Hanya ada jemuran yang berjejer rapi. Biasanya jam 5 pagi dia sudah membangunkan ku dengan berbagai cara.Sekarang tidak lagi. Jemuran selalu sudah berjejer sepagi ini, dan Farida entah kemana. Aah, lebih baik aku mandi, jam setengah 8 aku harus segera berangkat.Keluar dari kamar mandi, kulihat Farida sedang mengeluarkan barang-barang dari kantong kresek."Dek, kamu dari mana?""Dari pasar.""Kok, gak minta antar Mas?""Aku bisa bawa motor sendiri, lebih cepet!"Aku hanya mengangguk. Farida lalu mengeluarkan satu penggorengan baru."Kamu beli penggorengan baru, Dek?""Iyalah, penggorengan kemaren gosong! Mana bisa dipake lagi!"Ya, kemarin saat kutinggal mandi, aku lupa mematikan kompor. Sampai penggorengan gosong, untung tidak terjadi kebakaran."Ya salah kamu, lagian mana p
Aku bangun jam 7 pagi. Sekarang hari minggu, aku libur bekerja. Kulirik, Malik sudah tidak ada, mungkin dia sudah pulang. Lekas aku bangkit dan menuju kamar, berharap Farida sudah membuka kuncinya.Klek! Pintu kamar memang sudah tidak dikunci. Namun, Farida juga tidak ada di kamar. Cepat aku keluar lagi, menyambar handuk dan bergegas mandi. Minggu pagi seperti ini, biasanya Farida akan membujukku untuk pergi ke Taman Sakura. Sebuah taman kecil. Namun, sepanjang jalan menuju taman itu ada pasar tumpah yang di adakan seminggu sekali.Farida selalu mengajakku untuk joging bersama atau sekadar mengantarnya. Namun, aku sering mengabaikannya, hingga Farida tak jadi pergi. Karena jika pergi, Farida suka sekali jajan, seperti anak kecil. Rupa-rupa jajanan ia beli, dan itu aku tidak suka. Ia yang suka jajan ia juga yang mengeluhkan uang dariku tidak cukup.Selesai mandi Farida belum juga pulang, ini sudah jam 8. Kemana Farida sebenarnya? Cepat aku ke dalam kamar, memilih baju kemudian memakain
Aku berbaring sendirian di atas kasur. Farida masih belum kembali padahal ini sudah lepas magrib. Bisa-bisanya Farida betah berteman dengan Mila, bahkan sampai merasa sudah seperti saudara. Belum tahu saja Farida, bagaimana Mila saat mengamuk. Ngeri!Drrt! Drrt!Ponselku bergetar. Tertera dilayar nama Mbak Eka, kakak pertamaku menelpon, segera saja kujawab."Assalamu'alaikum, Ris. Gimana kabarmu?" tanya Mbak Eka di ujung telpon."Waalaikumsalam, Mbak. Baik-baik saja Mbak. Ada apa?" balasku tanpa basa-basi."Oh, syukurlah. Gak papa, Ris, Mbak cuma kangen saja. Kamu kalo gak ditelpon duluan, manalah mau nelpon Mbak. Kamu 'kan orang sibuk," ujar Mbak Eka sembari tertawa."Kabar istrimu gimana, Ris?" tanyanya lagi."Farida baik, Mbak. Kami semua baik," jawabku."Ya, baguslah, Ris. Sudah isi belum Rida?""Isi apa?""Isi perutnya, Ris!""Ya sudah mungkin, Mbak. Mana aku tahu, Mbak.""Bener kamu, Ris? Rida sudah hamil?""Hamil? Tadi katanya isi perut? Gimana sih, Mbak! Isi perut itu, ya maka
Setelah 30 menit perjalanan, akhirnya aku dan Farida sampai juga di Pasar Malam. Ramai sekali pengunjungnya. Anak-anak, remaja hingga orangtua, semuanya mengunjungi Pasar Malam ini. Banyak juga orang yang berjualan.Cepat Farida turun dari motor, aku pun mengikutinya. Farida lalu menggenggam tanganku untuk berjalan di sampingnya. Ia lalu menatapku dan tersenyum. Senyuman yang sangat manis, senyuman yang dulu membuatku jatuh hati padanya. Senyuman yang ku rindukan, dan aku baru melihatnya lagi malam ini."Mas, mau naik wahana apa?" tanyanya sumringah."Nggaklah, Dek. Mas mau duduk di situ saja." Ku tunjuk bangku panjang yang berada dekat pedagang minuman kekinian."Oh … ayok," ajaknya menarik tanganku.Aku dan Farida lantas duduk. Raut wajah istriku itu terlihat sangat bahagia. Farida memperhatikan sekelilingnya, bibirnya tak henti tersenyum."Mas, tunggu sebentar!" perintahnya. Ia lalu pergi menuju pedagang permen kapas. Aku hanya menggeleng melihat kelakuannya. Ia lalu kembali dengan
Hari ini aku bangun terlambat. Saat terbangun tadi, kulihat sudah jam setengah 8. Sudah tidak mungkin lagi aku berangkat ke pabrik. Mungkin semalam makanku terlalu banyak, sampai aku tidur terlalu nyenyak. Mungkin juga Farida sudah membangunkan ku, tapi karena tidurku kadang seperti kerbau, maka susah sekali dibangunkan.Aku lantas menyetel televisi sambil menikmati segelas susu jahe. Farida sudah sibuk di warungnya. Membersihkan meja dan kompor, serta menyiapkan bahan untuk berjualan nanti.Melihatku bangun kesiangan seperti ini, biasanya Farida akan menyuruhku membantunya. Mengupas bawang, memblender bumbu, merebus tulang ayam, menyapu, mengepel, atau apa saja yang menurutku bukan pekerjaan lelaki.Tapi tidak pagi ini, melihat ku bersantai di depan televisi begini, ia tidak manja lagi kepada ku. Ia justru sibuk sendirian.Aku mengucek siaran televisi, tidak ada yang seru untuk ditonton."PAKET!" Terdengar teriakan pengirim paket. Sepertinya paket yang kupesan tiba hari ini."Mas, pa
Sore ini aku pulang dengan membawa oleh-oleh dari Malik yang baru pulang dari kampungnya. Saat sedang mengendarai motorku dan akan berbelok menuju gang masuk rumahku, di sebrang sana aku melihat istriku sedang mengobrol di bengkel dengan Jana.Aku menepikan motorku dan memperhatikan mereka dari sebrang jalan. Kenapa Jana akrab sekali dengan Farida? Begitu juga istriku itu. Entah apa yang mereka obrolkan sampai Farida tak henti tertawa. Tawa Farida yang akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi kulihat.Farida lalu melihat jam di tangannya, setelah itu ia seperti berpamitan pada Jana, kemudian ia mengendarai motor bekasnya. Jana tak henti menatap kearah perginya Farida dan sekilas kulihat ia tersenyum. Sampai punggung Farida tak terlihat lagi barulah Jana masuk ke dalam bengkelnya. Aku lalu melanjutkan perjalanan ku pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, pintu rumah di kunci. Warung Farida pun di tutup. Terpaksa aku menunggu di luar karena pasti Farida bawa kuncinya yang hanya satu. Aku
Malam ini, terpaksa aku keluar dengan motorku. Aku akan membeli nasi goreng kesukaanku saja yang tempatnya agak jauh dari rumahku. Farida benar-benar mengesalkan! Suami minta dimasakin tak digubris sama sekali. Makanan yang dibelinya pun, ia habiskan sendiri.Kalau begini, pengeluaran malah bertambah. Lalu untuk apa kemarin kuberikan uang bulanan. Apa dia tak takut berdosa pada suami? Benar-benar sudah berubah Farida sekarangPedagang nasi goreng spesial kesukaanku ternyata belum ramai pembeli, karena sekarang baru jam 7 malam. Aku memesan satu nasi goreng untuk makan ditempat. Rasanya malas untuk pulang. Biarlah nanti aku pulang larut malam. Biar Farida sadar, kalau dia sudah benar-benar keterlaluan.Lihat saja, pasti dia akan menelpon dan mengirim pesan berkali-kali agar aku cepat pulang. Biarkan Farida sadar, kalau aku sedang marah padanya."Risfan!" Seseorang memanggil namaku, dari suaranya aku sangat hafal itu suara siapa.Aku lalu menoleh, benar dugaanku. Itu suara Malik. Ia lal
Kulihat jam dinding di kamar kontrakan Malik, menunjukan pukul setengah 11 malam. Kurogoh ponsel dalam saku celana yang sengaja aku silent. Aku ingin tahu, berapa kali Farida menghubungi untuk menyuruhku segera pulang.Aku menekan tombol kunci pada ponselku. Lalu mengaktifkan data selulernya. Hah? Aku membelalak. Apa ponselku rusak? Aku lalu mengibaskan ponselku di udara, mungkin jaringan di kontrakan Malik jelek. Aku mencoba keluar dari kamar kontrakan Malik. Kulihat jaringan juga stabil.Arrghhh … kenapa tidak ada satu pun chat dari Farida? Panggilan tak terjawab juga tidak ada. Aku mengusap wajahku dengan kasar … huh. Tidak mungkin! Tidak mungkin Farida mendiamkanku seperti ini. Mana berani Farida tinggal di rumah sendirian?Aku hafal betul istriku, ia tidak berani tinggal di rumah sendirian jika malam hari. Farida itu perempuan manja dan penakut. Jika aku belum pulang, dia pasti sudah mengirimku pesan berkali-kali. Tapi kenapa sekarang tidak?"Ris, mau kemana?" Malik memanggil dar
(Ending)POV Risfan************"Bu Riana belum sadarkan diri, Pak. Denyut jantungnya semakin melemah. Doakan yang terbaik untuk istrinya, Pak!" Seorang perawat wanita mengabariku tentang kondisi Riana. Lalu ia pergi meninggalkanku sendiri.Sebulan yang lalu, Riana melahirkan lewat operasi. Kini, bayiku tengah tergolek lemah dalam inkubator. Aku tengah melihatnya dari luar lewat kaca besar ini. Aku mengusap ujung mataku yang berair.Aku menatap lekat bayi mungil itu. Bayi lelaki yang lahir prematur dalam usia 7 bulan. Setelah berusaha sekuat yang aku dan Riana mampu, Riana akhirnya dinyatakan hamil di usia pernikahan ke-3 tahun. Kondisinya saat hamil sangat lemah. Ia diharuskan bedrest dan tidak boleh terlalu lelah. Semua pekerjaan rumah, aku yang turun tangan.Setelah operasi selesai, Riana tak sadarkan diri. Ia mengalami perdarahan hebat. Hatiku mencelos melihat kondisinya dan juga kondisi bayiku. Apa yang bisa kulakukan agar aku bisa segera mendekap mereka? Setiap saat aku tak hent
POV RisfanAku mematut diri di depan cermin. Pantulan wajahku terlihat begitu menawan dengan tuxedo hitam yang kupakai saat ini.Aku sudah mengikhlaskan Farida dengan Malik. Keikhlasan itu, Tuhan ganti dengan mengirim seorang gadis jelita yang kini akan menjadi pendamping hidupku.Tuhan memang begitu baik pada setiap hamba-Nya. Tuhan memberiku pelajaran yang amat berharga. Kehilangan Farida, kehilangan uangku, motor, dan pekerjaan. Tuhan benar-benar menegurku yang sudah dzolim pada Farida dulu.Sekarang aku akan melepas masa sendiri ini. Kali ini, aku tidak asal-asalan lagi seperti dulu aku terburu-buru menikahi Safira. Pernikahanku kali ini, direstui kedua kakakku dan mereka sudah hadir dari seminggu yang lalu untuk membantu mengurus persiapan pesta pernikahanku.Aku akan menggelar pesta pernikahan di aula hotel di kota ini. Gadis yang aku nikahi, bukan gadis sembaranganan. Dia anak dari pemilik perusahaan jasa ekspedisi tempatku bekerja.Satu tahun aku bekerja di sana. Kinerjaku ya
POV Risfan*****Aku sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan jasa ekspedisi, namun ditempatkan di cabang yang baru. Tempatnya hanya berupa ruko 3 tingkat. Lantai bawah sebagia tempat pelayanan. Lantai dua berfungsi sebagai kantor dan paling atas hanya roof top.Entah kebetulan atau apa, cabang baru yang menjadi tempatku bekerja ternyata bersebrangan langsung dengan ruko Farida. Saat pertama kali bekerja aku langsung menyadarinya. Namun, ruko Farida tutup satu minggu lamanya dan aku baru ingat. Kalau kemarinnya Farida menikah dengan Malik.Tentu saja caffe-nya tutup selama satu minggu. Pastinya mereka sedang berbulan madu. Memasuki minggu kedua aku bekerja, barulah caffe Farida dibuka.Setelah rukonya ditempati kembali, aku yang bekerja di lantai dua, sesekali tak sengaja, mendapati Malik dengan mesranya memeluk Farida di teras lantai dua.Bukan hanya hati yang panas tapi mata pun turut panas. Rasanya lahar air mata ingin menyembur keluar andai tak dikendalikan. Mereka tidak mengetah
Istriku Yang Mulai MandiriBab.43POV MalikAku bersama istriku sudah kembali ke kota. Aku dan Farida kini tinggal di ruko dua lantai yang pembayarannya diangsur selama 3 tahun.Aku pun sudah mulai bekerja kembali di pabrik setelah masa cuti selesai. Farida sudah mulai membuka caffe-nya kembali dan berjualan seperti biasa.Aku bekerja di bagian gudang. Gajiku hanya sebesar 3,8 juta per bulannya. Kalaupun dapat bonus, maka menjadi 4,2 juta saja. Cukup jauh dibanding gaji Risfan dulu yang seorang staff apalagi Santo yang sebagai Kepala Produksi. Namun, berapapun itu, aku selalu mensyukurinya.Seperti biasa, aku bangun pukul 3 dini hari. Setelah ibadah sunnah kadang aku tidur lagi kadang pula kuat hingga subuh tiba. Seperti sekarang, selesai salat tahajjud 2 raka'at, aku lantas merendam pakaian dalam ember. Tentunya pakaianku juga Farida. Sesudah 10 menit direndam, aku mulai mencucinya secara manual.Katanya sih, Farida saat masih dengan Risfan mengambil kredit satu mesin cuci. Namun, ba
Istriku Yang Mulai MandiriBab.42POV MalikAku membuka mata pelan. Kudapati sosok istriku masih terlelap di sampingku dengan selimut menutupi tubuhnya. Bukan, bukan hanya tubuhnya, tapi tubuhku juga.Kuraba ponsel di atas nakas, pukul 3 dini hari dan kuletakan kembali. Setelah kesadaranku penuh, ku pungut baju yang terserak di bawah tempat tidur lalu memakainya.Cepat aku ke kamar mandi dan mensucikan diri. Aku sudah tidak perjaka lagi. Namun, sungguh aku bahagia. Keperjakaan ini, aku lepas bersama bidadariku.Selesai membersihkan diri dan berpakaian yang bersih. Aku lalu menggelar sajadah dan menunaikan shalat sunnah tahajjud.Setelah salam, aku menengadahkan kedua tangan."Ya Allah … kutitipkan segenap rasa yang tumbuh dan selalu bermekaran untuk istriku ini kepada-Mu.""Teguhkan rasa cinta ini di atas agama-Mu … anugerah kan dalam keluarga kami, keturunan yang saleh dan salehah.""Di ridhoi-lah rumah tangga yang mulai kami bina ini. Jadikanlah aku, imam yang mampu menuntun makmumn
Istriku Yang Mulai MandiriBab.41POV Malik*******Selesai shalat shubuh, aku kembali ke rumah Emak mertua. Pabrik memberikan cuti satu minggu dan aku berencana kembali ke kota hari Sabtu nanti.Jadi, aku akan menikmati masa pengantin dengan istri cantikku di kampung. Karena cuaca di kampung sangat dingin. Pas untuk pasangan pengantin baru sepertiku.Seperti sekarang, aku tengah duduk menghadap tungku api. Hangat bukan?Malam pertama semalam, ku lewati dengan tidur saling memeluk sampai subuh tadi. Belum beranjak ke adegan lebih dewasa. Keperjakaan ku masih tersegel.Rumah Emak mertuaku ini sama seperti rumah Emak. Bagian depan rumah ini sudah berdinding tembok dengan lantai keramik.Namun untuk bagian dapur, dinding dan alasnya masih dari belahan bambu atau biasa disebut 'palupuh'. Memasak juga masih menggunakan tungku kayu bakar. Kompor gas hanya yang satu tungku, dan kadang-kadang digunakan. Kamar mandi juga masih berada di luar.Farida tiba-tiba masuk ke dapur, ia lalu menuangka
Istriku Yang Mulai MandiriBab.40POV Malik*********"Saya terima nikah dan kawinnya Farida Nursyifa Binti Nasir dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 10 gram dibayar tunai.""Bagaimana saksi?""SAH!""Alhamdulillah ….""Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair …."Aku mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah. Resmi sudah aku mengikat Farida dalam ikatan suci dan halal, pernikahan.Selesai berdoa, Farida mencium punggung tanganku. Lantas aku pun mengecup keningnya. Ku kecup dalam sembari membacakan doa.Ini pertama kalinya, aku benar-benar bersentuhan. Membuat jantung rasanya ingin melompat saja, karena berdebar kuat.Ya, hari ini aku dan Farida resmi menikah. Kami menikah di kampung, di rumah Farida. Hanya menggelar syukuran. Tidak ada pesta.Namun, acara tetap terasa begitu khidmat. Teman-teman kerjaku di bagian gudang menyempatkan untuk datang. Juga dengan teman-teman Farida.Selesai ijab qobul dan sungkeman, para tamu lantas dipersilahkan
POV Risfan🌹🌹🌹Pagi ini aku sedang mengepel di pantry area. Sudah 4 bulan aku menjalani pekerjaan ini. Rasanya sudah seperti setahun. Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaranku lewat pekerjaan ini.Beberapa orang karyawan yang tengah dalam masa pelatihan, sedang berkumpul dan menikmati sarapan pagi mereka di teras pantry. Karena bagian dalamnya masih aku pel.Melihat mereka dengan seragam pelatihan, membuatku terpaksa mengingat Rindu. Setelah saat itu aku memblok akunnya, aku tidak lagi berinteraksi dengannya.Saat aku mencarinya untuk membuat perhitungan karena dia penyebab keributan rumah tanggaku dulu. Namun, ia sudah tidak lagi nampak di pabrik ini.Kutanyakan pada beberapa karyawan lain, ternyata Rindu keluar tanpa kabar dan tanpa surat pengunduran diri. Mereka tidak tahu alasan Rindu keluar dari pabrik.Lantas aku mencarinya ke rumah yang katanya ditempati oleh Rindu. Nihil, rumah itu juga kosong. Para tetangga bilang, Rindu ditarik paksa oleh seorang lelaki yang mengaku sebaga
Istriku Yang Mulai MandiriBab.38******Hatiku terbakar hebat. Di depan sana, Malik berlutut di hadapan Farida dengan kotak kecil di tangannya. Setelah sebelumnya, ia bernyanyi dengan petikan gitarnya.Farida belum bereaksi. Ia masih diam di tempatnya. Aku berharap, dia tidak menerima Malik. Karena aku di sini kembali untuknya.Para tamu undangan bersorak, agar Farida menerima Malik. Hanya aku dan Santo yang masih terkejut dengan semua ini.Terlihat Mila berbisik pada Farida. Namun, untuk beberapa saat, Farida masih terdiam.Aku hendak beranjak. Namun, belum sempat tubuhku tegak, Santo menahan pergerakanku."Lu mau ke mana?" tanyanya pelan."Ke sana, To.""Mau apa? Duduk! Lu jangan coba-coba bikin kacau!" sergahnya.Aku kembali menghempaskan bobotku di kursi. Aku mendengkus. "Ini gak bisa dibiarin, To.""Kenapa gak bisa?""Farida itu mantan istri gue, To. Si Malik itu, temen kita. Temen gue. Walaupun sekarang, sih, emang udah kayak orang asing. Tapi, kita dulu temenan, To. Temen ba i