Sore ini aku pulang dengan membawa oleh-oleh dari Malik yang baru pulang dari kampungnya. Saat sedang mengendarai motorku dan akan berbelok menuju gang masuk rumahku, di sebrang sana aku melihat istriku sedang mengobrol di bengkel dengan Jana.
Aku menepikan motorku dan memperhatikan mereka dari sebrang jalan. Kenapa Jana akrab sekali dengan Farida? Begitu juga istriku itu. Entah apa yang mereka obrolkan sampai Farida tak henti tertawa. Tawa Farida yang akhir-akhir ini sudah tidak pernah lagi kulihat.Farida lalu melihat jam di tangannya, setelah itu ia seperti berpamitan pada Jana, kemudian ia mengendarai motor bekasnya. Jana tak henti menatap kearah perginya Farida dan sekilas kulihat ia tersenyum. Sampai punggung Farida tak terlihat lagi barulah Jana masuk ke dalam bengkelnya. Aku lalu melanjutkan perjalanan ku pulang ke rumah.Sesampainya di rumah, pintu rumah di kunci. Warung Farida pun di tutup. Terpaksa aku menunggu di luar karena pasti Farida bawa kuncinya yang hanya satu. Aku duduk di motorku lalu menoleh ke rumah Mila yang berhadapan dengan rumahku. Pintunya tertutup sepertinya ia belum pulang bekerja. Farida tak suka aku melarangnya dekat dengan Mila. Setelah 10 menit Farida pun pulang. Ia lalu menyimpan motornya di dekat motorku."Dek, kamu darimana?" tanyaku memulai pembicaraan. Melihatku ada di atas motor ia sama sekali tak menyapa."Ngantar pesanan," jawabnya. Ia lalu membuka kunci pintu rumah dan masuk. Aku pun segara masuk dan bergegas untuk mandi.Selesai mandi dan berganti pakaian aku menuju dapur. Begitu membuka tudung saji, terdapat dua potong ayam goreng dan satu mangkuk sayur asam. Dari tampilannya, aku yakin, ini adalah masakan buatan warung makan di depan sana. Aku lalu menyusul Farida yang sedang membuka kembali warungnya."Dek, kamu beli sayur buat makan?""Iya.""Kok gak masak aja, Dek?""Gak sempat, aku repot banyak yang beli dan banyak pesanan. Masakan tadi pagi 'kan Mas yang habiskan karena dibekal ke pabrik.""Alah, alasan saja kamu tuh, Dek. Serepot apapun kalau kamu niat masak buat suami, ya pasti masak, gak beli!"Seketika Farida menghentikan gerakan tangannya yang sedang membereskan meja yang berantakan. Ia lalu mendekat dan menatapku sengit."Mas bilang, aku banyak alasan? Mas, tuh yang banyak omong! Tinggal makan aja banyak protes, segala harus masak jangan beli, kalau gak mau gak usah di makan. Biar aku yang makan!""Tinggal masak lagi, Dek. Apa susahnya?""Apa susahnya? Mas pikir masak itu gak pakai tenaga?! Mas sih enak, pulang kerja atau berangkat kerja tinggal makan dan gak mau tau kerepotanku.""Itu 'kan sudah tugasmu sebagai istri, Dek, yaitu melayani suami!""Apa itu tidak termasuk melayani, Mas? Nasi dan sayur sudah tersedia, Mas tinggal makan!"Farida lalu masuk ke rumah. Aku menghela nafas. Susah sekali Farida dinasehati. Benar-benar sudah berubah Farida ini. Dulu, apapun yang aku katakan pasti ia turuti. Dulu aku sering mengatakan, kalau aku lebih suka makan masakannya. Dan Farida menuruti, tak pernah ia membeli masakan di warung makan jika aku tak memintanya. Tapi sekarang? Awas saja kalau nanti dia mengeluh uang bulanan dariku tidak cukup. Dia sendiri yang menghamburkan dengan membeli masakan sudah jadi di warung makan. Padahal masakan yang dia buat selalu enak.Aku teringat oleh-oleh dari Malik masih digantung di motor. Lekas aku mengambilnya. Kemudian masuk ke rumah dan mengeluarkan oleh-oleh pemberian Malik.Ada dodol, rengginang, cochodot, dan makanan lain khas dari kampungnya, Garut. Farida lalu keluar dari kamar."Dek, ini ada oleh-oleh dari Malik, katanya ada salam buat kamu dari kampung."Farida duduk di sebelahku dan mengangguk. Ia lalu memakan oleh-oleh pemberian Malik. Tumben sekali Farida tak cerewet saat ada oleh-oleh dari kampungnya begini. Biasanya ia akan merajuk, ia ingin juga pulang ke kampungnya dan aku harus ikut. Tapi kali ini, ia diam saja sambil menikmati makanan khas dari kampungnya. Seingatku, ia pulang kampung adalah 8 bulan yang lalu, sebelum memulai jualan.Baguslah kalau Farida tidak merengek ingin pulang kampung. Karena aku tak kuat hawa dinginnya di pagi hari. Membuatku ingin tidur terus menerus. Tapi aku malu pada kedua mertuaku kalau tidur terus, sedangkan untuk bangun aku malas karena tak kuat dinginnya."Dek, warungmu biar Mas yang tunggu. Kamu belanjalah, Mas mau makan masakan kamu. Mas 'kan sudah kasih uang bulanan," perintahku.Farida menghentikan makannya dan memutar bola mata malas. "Belanja apa jam segini? Warung sayuran Bu Amih sudah gak ada apa-apa sore begini, Mas!""Mas ingin kamu masak sop buntut, Dek. Kalau di warung Bu Amih pasti gak ada, cari ke pasarlah, Dek" ucapku."Mas aja sana yang belanja! Sekalian tuh ke pasar Induk, sore begini 'kan pasar Induk ramai," jawabnya."Ya kamulah, Dek. Mas capek pulang kerja, kamu masak dulu, gak apa-apa biar nanti Mas makannya malam saja," perintahku lagi."Terus, Mas pikir aku jualan gak capek apa? Ke pasar Induk butuh 30 menit terus aku harus masak sop buntut? Makan yang sudah ada, apa susahnya sih, Mas?""Mas mau makan masakan kamu, Dek! Awas nanti kamu dosa 'loh gak nurut sama suami!""Biarinlah aku berdosa, tinggal minta ampun sama Allah. Ada juga, Mas yang berdosa karena memaksakan kehendak pada istri Mas yang sudah lelah! Aku di rumah gak cuma rebahan aja, Mas. Aku jualan, banyak pembeli banyak pesanan, aku capek gak sempat masak. Makanya aku beli masakan yang sudah jadi di warung makan. Mas kayak gak pernah makan masakan jadi saja!" jawabnya santai. Kemudian ia lanjutkan memakan oleh-oleh pemberian Malik.Aku mengernyit. Ya ampun, kenapa sekarang pandai sekali Farida membalikan ucapanku? Dia juga sudah tak takut berdosa sepertinya karena membantah perintah suami."Mas maunya, makan masakan kamu, Dek. Ngerti tidak?" tanyaku."Aku capek buat masak. Mas, ngerti tidak?" ucapnya balik bertanya."Oh, ya biarkan saja, biar Mas kelaparan dan kamu akan lebih berdosa, Dek! Karena sudah membuat suamimu kelaparan!"Farida menghela nafasnya. Ia lalu pergi ke dapur. Bukannya menurut untuk belanja ke pasar. Ah, Farida sudah tak mendengar perintahku sekarang ini. Perutku memang belum terlalu lapar, makanya aku ingin Farida memasak dulu dan aku akan menikmati masakannya nanti malam. Tapi ia tak menggubrisnya sama sekali.Aku pun menyusulnya, ternyata Farida sedang makan. "Dek! Kok, malah makan?""Aku lapar, jadi ya, makan!""Kamu gak dengerin perintahnya Mas, ya, Dek!""Emangnya, Mas dengerin aku?" Farida menjawab setiap pertanyaanku dengan santai.Aku mengusap wajahku. Lalu aku melirik meja makan, makanan yang tadi terhidang sudah habis. "Kamu habiskan, Dek?"Farida mengangguk. "Mas 'kan gak mau makan masakan yang kubeli.""Terus Mas makan apa?"Farida mengangkat bahu. Setelah selesai makan, ia mencuci tangannya dan melengos keluar.Ah, kesal sekali!***Malam ini, terpaksa aku keluar dengan motorku. Aku akan membeli nasi goreng kesukaanku saja yang tempatnya agak jauh dari rumahku. Farida benar-benar mengesalkan! Suami minta dimasakin tak digubris sama sekali. Makanan yang dibelinya pun, ia habiskan sendiri.Kalau begini, pengeluaran malah bertambah. Lalu untuk apa kemarin kuberikan uang bulanan. Apa dia tak takut berdosa pada suami? Benar-benar sudah berubah Farida sekarangPedagang nasi goreng spesial kesukaanku ternyata belum ramai pembeli, karena sekarang baru jam 7 malam. Aku memesan satu nasi goreng untuk makan ditempat. Rasanya malas untuk pulang. Biarlah nanti aku pulang larut malam. Biar Farida sadar, kalau dia sudah benar-benar keterlaluan.Lihat saja, pasti dia akan menelpon dan mengirim pesan berkali-kali agar aku cepat pulang. Biarkan Farida sadar, kalau aku sedang marah padanya."Risfan!" Seseorang memanggil namaku, dari suaranya aku sangat hafal itu suara siapa.Aku lalu menoleh, benar dugaanku. Itu suara Malik. Ia lal
Kulihat jam dinding di kamar kontrakan Malik, menunjukan pukul setengah 11 malam. Kurogoh ponsel dalam saku celana yang sengaja aku silent. Aku ingin tahu, berapa kali Farida menghubungi untuk menyuruhku segera pulang.Aku menekan tombol kunci pada ponselku. Lalu mengaktifkan data selulernya. Hah? Aku membelalak. Apa ponselku rusak? Aku lalu mengibaskan ponselku di udara, mungkin jaringan di kontrakan Malik jelek. Aku mencoba keluar dari kamar kontrakan Malik. Kulihat jaringan juga stabil.Arrghhh … kenapa tidak ada satu pun chat dari Farida? Panggilan tak terjawab juga tidak ada. Aku mengusap wajahku dengan kasar … huh. Tidak mungkin! Tidak mungkin Farida mendiamkanku seperti ini. Mana berani Farida tinggal di rumah sendirian?Aku hafal betul istriku, ia tidak berani tinggal di rumah sendirian jika malam hari. Farida itu perempuan manja dan penakut. Jika aku belum pulang, dia pasti sudah mengirimku pesan berkali-kali. Tapi kenapa sekarang tidak?"Ris, mau kemana?" Malik memanggil dar
Jam 10 aku baru selesai mandi. Aku duduk lemas di kursi meja makan. Di atas meja makan sudah tersaji makanan yang kemarin ingin sekali aku makan. Sop buntut. Ya, satu panci sedang sop buntut sudah Farida masak. Namun, aku tak berselera. Aku merogoh ponsel di saku celana jeans, lalu cepat mengaktifkan mode pesawat. Jangan sampai atasanku melihatku aktif di sosial media, sedangkan aku tak memberi kabar apapun hari ini tak masuk kerja.Tiba-tiba perutku meminta haknya untuk diisi. Aku lalu mengambl sedikit nasi dari magic com ke atas piring dan menuang sop buntutnya, itupun hanya sedikit.Aku lalu makan dengan tidak berselera. Masakan Farida yang selalu enak di lidahku, jadi tak terasa karena pikiranku gusar begini. Biasanya, aku paling lahap makan dengan sop buntut.Selesai makan, aku masih di meja makan. Tidak buru-buru beranjak. Aku bingung harus apa. Tiba-tiba Farida masuk ke dapur sambil membawa tabung gas melon. Ia lalu memasangkan regulator pada tabungnya.Cetrek! Kompor kembali
Sudah jam delapan malam. Aku duduk selonjoran sambil bersandar pada sandaran kasur di dalam kamar. Saat aku keluar dari dapur tadi, kudapati Farida sedang menyetrika pakaian sambil menyalakan televisi. Ditemani segelas minuman coklat dan biskuit.Aku mengambil ponselku dan mulai mengaktifkan datanya. Muncul pesan dari Malik.[Ris][Bro][Bapak lu ngamuk bro!]Bapak yang Malik maksud ialah Pak Mulyo, Kepala Administrasi, atasanku. Pastilah ngamuk, pekerjaan kemarin harus selesai hari ini aku malah tidak masuk. Hanya ada pesan dari Malik, tidak ada pesan apapun dari Farida. Bahkan sekadar menanyakan aku kemana saja, tidak.Aku lalu membuka galeri, melihat lagi foto-fotoku tadi siang. Bagus. Ingin sekali aku meng-uploadnya di status WhatsApp atau sosmed yang lain, tapi nanti bisa ketahuan kalau siang tadi aku pergi.Aku lalu berpindah ke aplikasi berhuruf F, ada satu pesan masuk. Dari akun bernama 'Mey Rindu'.Degh.Seketika hatiku berdegup. Apa mungkin pesan dari Rindu. Tapi seingatku,
Jam istirahat, aku makan siang di pantry area. Setelah menikah dengan Farida, aku selalu membawa bekal, tidak pernah lagi membeli makan di kantin pabrik. Aku menatap makananku tak bersemangat. Hilang nafsu makanku setelah diceramahi panjang lebar Pak Mulyo tadi."Ngapa itu muka, kusut bener!" ucap Santo yang datang bersama Malik. Mereka duduk di hadapanku.Sama sepertiku, Santo juga membawa bekal. Tapi kadang-kadang, ia masih suka jajan di kantin. Sedangkan Malik, dia kadang menitip masakan jadi pada Santo. Atau membeli makan siang di kantin pabrik. Begitulah nasibnya yang masih bujangan."Diamuk bapaknya, To!" Malik menjawab cepat."Gara-gara?" Santo bertanya penasaran."Kemaren gak masuk," jawab Malik."Gemblung! Kemaren kerjaan lagi banyak malah gak masuk. Rasain! Pantesan kemaren gue gak liat," ledek Santo.Aku mendecak. Bukan prihatin dengan keadaan temannya, malah asik meledek. Sial.Aku tak menanggapi mereka, hanya mengaduk-aduk makanan yang ada ada dalam wadah bekal.Santo me
"Dek, Bu RT mau apa malam-malam kemari?" Aku bertanya pada Farida. Ia sedang melepas kerudungnya di depan cermin meja rias. Sementara aku sedang bersandar di atas kasur."Oh, besok pagi aku diminta masak, cucunya mau syukuran ulang tahun." Farida menjawab sambil menyisir rambutnya yang hitam tebal."Cucunya yang mana?""Alisa.""Anaknya si Fahri?Farida mengangguk."Berapa tahun emangnya?""Satu tahun.""Dek, dulu si Fahri nikahnya beda seminggu dengan pernikahan kita. Tapi dia sudah lebih dulu punya anak.""Ya, udah waktunya, Mas.""Kita kapan ya, Dek, punya anaknya?"Farida tidak menjawab, masih menyisir rambutnya karena memang panjang. Ya, sudah dua tahun aku dan Farida menikah namun belum ada tanda-tanda Farida hamil."Dek …""Hmmm."Aku beranjak ke bibir ranjang, duduk di belakang Farida yang masih di depan cermin rias."Tanggung jawab, Dek," ujarku.Seketika Farida memutar badannya. "Tanggung jawab apa?"Aku menunjuk bibirku. "Nih!"Farida mengulum senyumnya. Kemudian ia berbali
Aku sampai rumah jam tujuh malam. Selesai mandi dan makan malam, kini aku duduk sendirian di atas kasur dalam kamarku. Farida sedang menonton televisi. Entah apa yang dia tonton, sampai tertawa-tawa.Pikiranku teringat kembali dengan kejadian tadi dengan Rindu. Ia menangis sesenggukan sambil memelukku, tapi tidak mengatakan apapun. Terkadang, wanita adalah makhluk yang paling sulit dimengerti. Mereka selalu mengatakan kalau lelaki adalah makhluk yang tidak peka. Mereka, para wanita, selalu ingin dimengerti oleh lelaki tanpa mereka katakan apa maunya.Mereka inginnya lelaki mengerti tanpa mereka ucapkan apa keinginannya. Apa mereka pikir, lelaki itu punya kemampuan menembus dan membaca hati wanita?Karena Rindu hanya terus menangis tanpa mengatakan apa pun, terpaksa aku mendorong tubuhnya agar tidak terus-menerus memelukku. Setelah berhasil melepaskan pelukannya, aku lalu menaiki motorku. Aku tinggalkan dia sendirian yang masih duduk.Hingga dia berteriak memanggilku yang berlalu de
"Dek, kamu beli mesin cuci?" tanya Mas Risfan, suamiku. Jam 7 malam, ia baru selesai mandi. Mungkin saat mandi tadi ia melihat ada mesin cuci di kamar mandi."Kredit, Mas," jawabku malas.Mas Risfan lalu menghempaskan bobotnya di hadapanku yang sedang menghitung uang hasil jualan hari ini."Mas, mana uang ganti paket waktu itu? Sampai sekarang belum diganti juga?" pintaku setelah selesai menghitung."Nanti, Dek. Uangmu itu masih banyak! Ditambah uang bulanan dari, Mas! Gak usahlah nagih-nagih uang yang cuma 150!" jawabnya enteng."Gak usah nagih gimana? Itu uangku, hasil jualanku, buat putar modal, Mas! Tapi sekarang aku butuh uangnya buat nambahin DP mesin cuci itu!" jelasku."Memang berapa DP nya?" tanyanya lagi."300 ribu, Mas, soalnya lagi ada promo. Uangku buat DP kurang 150, makanya cepat Mas ganti!" sahutku."Pakai uang yang ada dulu, Dek, apa susahnya? Mas juga sudah kasih uang bulanan, pakai itu dulu, Dek!"Aku mendelik. "Ini buat belanja lagi, Mas!""Kalau gak ada uangnya, b
(Ending)POV Risfan************"Bu Riana belum sadarkan diri, Pak. Denyut jantungnya semakin melemah. Doakan yang terbaik untuk istrinya, Pak!" Seorang perawat wanita mengabariku tentang kondisi Riana. Lalu ia pergi meninggalkanku sendiri.Sebulan yang lalu, Riana melahirkan lewat operasi. Kini, bayiku tengah tergolek lemah dalam inkubator. Aku tengah melihatnya dari luar lewat kaca besar ini. Aku mengusap ujung mataku yang berair.Aku menatap lekat bayi mungil itu. Bayi lelaki yang lahir prematur dalam usia 7 bulan. Setelah berusaha sekuat yang aku dan Riana mampu, Riana akhirnya dinyatakan hamil di usia pernikahan ke-3 tahun. Kondisinya saat hamil sangat lemah. Ia diharuskan bedrest dan tidak boleh terlalu lelah. Semua pekerjaan rumah, aku yang turun tangan.Setelah operasi selesai, Riana tak sadarkan diri. Ia mengalami perdarahan hebat. Hatiku mencelos melihat kondisinya dan juga kondisi bayiku. Apa yang bisa kulakukan agar aku bisa segera mendekap mereka? Setiap saat aku tak hent
POV RisfanAku mematut diri di depan cermin. Pantulan wajahku terlihat begitu menawan dengan tuxedo hitam yang kupakai saat ini.Aku sudah mengikhlaskan Farida dengan Malik. Keikhlasan itu, Tuhan ganti dengan mengirim seorang gadis jelita yang kini akan menjadi pendamping hidupku.Tuhan memang begitu baik pada setiap hamba-Nya. Tuhan memberiku pelajaran yang amat berharga. Kehilangan Farida, kehilangan uangku, motor, dan pekerjaan. Tuhan benar-benar menegurku yang sudah dzolim pada Farida dulu.Sekarang aku akan melepas masa sendiri ini. Kali ini, aku tidak asal-asalan lagi seperti dulu aku terburu-buru menikahi Safira. Pernikahanku kali ini, direstui kedua kakakku dan mereka sudah hadir dari seminggu yang lalu untuk membantu mengurus persiapan pesta pernikahanku.Aku akan menggelar pesta pernikahan di aula hotel di kota ini. Gadis yang aku nikahi, bukan gadis sembaranganan. Dia anak dari pemilik perusahaan jasa ekspedisi tempatku bekerja.Satu tahun aku bekerja di sana. Kinerjaku ya
POV Risfan*****Aku sudah mendapatkan pekerjaan di perusahaan jasa ekspedisi, namun ditempatkan di cabang yang baru. Tempatnya hanya berupa ruko 3 tingkat. Lantai bawah sebagia tempat pelayanan. Lantai dua berfungsi sebagai kantor dan paling atas hanya roof top.Entah kebetulan atau apa, cabang baru yang menjadi tempatku bekerja ternyata bersebrangan langsung dengan ruko Farida. Saat pertama kali bekerja aku langsung menyadarinya. Namun, ruko Farida tutup satu minggu lamanya dan aku baru ingat. Kalau kemarinnya Farida menikah dengan Malik.Tentu saja caffe-nya tutup selama satu minggu. Pastinya mereka sedang berbulan madu. Memasuki minggu kedua aku bekerja, barulah caffe Farida dibuka.Setelah rukonya ditempati kembali, aku yang bekerja di lantai dua, sesekali tak sengaja, mendapati Malik dengan mesranya memeluk Farida di teras lantai dua.Bukan hanya hati yang panas tapi mata pun turut panas. Rasanya lahar air mata ingin menyembur keluar andai tak dikendalikan. Mereka tidak mengetah
Istriku Yang Mulai MandiriBab.43POV MalikAku bersama istriku sudah kembali ke kota. Aku dan Farida kini tinggal di ruko dua lantai yang pembayarannya diangsur selama 3 tahun.Aku pun sudah mulai bekerja kembali di pabrik setelah masa cuti selesai. Farida sudah mulai membuka caffe-nya kembali dan berjualan seperti biasa.Aku bekerja di bagian gudang. Gajiku hanya sebesar 3,8 juta per bulannya. Kalaupun dapat bonus, maka menjadi 4,2 juta saja. Cukup jauh dibanding gaji Risfan dulu yang seorang staff apalagi Santo yang sebagai Kepala Produksi. Namun, berapapun itu, aku selalu mensyukurinya.Seperti biasa, aku bangun pukul 3 dini hari. Setelah ibadah sunnah kadang aku tidur lagi kadang pula kuat hingga subuh tiba. Seperti sekarang, selesai salat tahajjud 2 raka'at, aku lantas merendam pakaian dalam ember. Tentunya pakaianku juga Farida. Sesudah 10 menit direndam, aku mulai mencucinya secara manual.Katanya sih, Farida saat masih dengan Risfan mengambil kredit satu mesin cuci. Namun, ba
Istriku Yang Mulai MandiriBab.42POV MalikAku membuka mata pelan. Kudapati sosok istriku masih terlelap di sampingku dengan selimut menutupi tubuhnya. Bukan, bukan hanya tubuhnya, tapi tubuhku juga.Kuraba ponsel di atas nakas, pukul 3 dini hari dan kuletakan kembali. Setelah kesadaranku penuh, ku pungut baju yang terserak di bawah tempat tidur lalu memakainya.Cepat aku ke kamar mandi dan mensucikan diri. Aku sudah tidak perjaka lagi. Namun, sungguh aku bahagia. Keperjakaan ini, aku lepas bersama bidadariku.Selesai membersihkan diri dan berpakaian yang bersih. Aku lalu menggelar sajadah dan menunaikan shalat sunnah tahajjud.Setelah salam, aku menengadahkan kedua tangan."Ya Allah … kutitipkan segenap rasa yang tumbuh dan selalu bermekaran untuk istriku ini kepada-Mu.""Teguhkan rasa cinta ini di atas agama-Mu … anugerah kan dalam keluarga kami, keturunan yang saleh dan salehah.""Di ridhoi-lah rumah tangga yang mulai kami bina ini. Jadikanlah aku, imam yang mampu menuntun makmumn
Istriku Yang Mulai MandiriBab.41POV Malik*******Selesai shalat shubuh, aku kembali ke rumah Emak mertua. Pabrik memberikan cuti satu minggu dan aku berencana kembali ke kota hari Sabtu nanti.Jadi, aku akan menikmati masa pengantin dengan istri cantikku di kampung. Karena cuaca di kampung sangat dingin. Pas untuk pasangan pengantin baru sepertiku.Seperti sekarang, aku tengah duduk menghadap tungku api. Hangat bukan?Malam pertama semalam, ku lewati dengan tidur saling memeluk sampai subuh tadi. Belum beranjak ke adegan lebih dewasa. Keperjakaan ku masih tersegel.Rumah Emak mertuaku ini sama seperti rumah Emak. Bagian depan rumah ini sudah berdinding tembok dengan lantai keramik.Namun untuk bagian dapur, dinding dan alasnya masih dari belahan bambu atau biasa disebut 'palupuh'. Memasak juga masih menggunakan tungku kayu bakar. Kompor gas hanya yang satu tungku, dan kadang-kadang digunakan. Kamar mandi juga masih berada di luar.Farida tiba-tiba masuk ke dapur, ia lalu menuangka
Istriku Yang Mulai MandiriBab.40POV Malik*********"Saya terima nikah dan kawinnya Farida Nursyifa Binti Nasir dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan emas 10 gram dibayar tunai.""Bagaimana saksi?""SAH!""Alhamdulillah ….""Barakallahu lakuma wa baraka alaikuma wa jama'a bainakuma fii khair …."Aku mengusapkan kedua telapak tangan pada wajah. Resmi sudah aku mengikat Farida dalam ikatan suci dan halal, pernikahan.Selesai berdoa, Farida mencium punggung tanganku. Lantas aku pun mengecup keningnya. Ku kecup dalam sembari membacakan doa.Ini pertama kalinya, aku benar-benar bersentuhan. Membuat jantung rasanya ingin melompat saja, karena berdebar kuat.Ya, hari ini aku dan Farida resmi menikah. Kami menikah di kampung, di rumah Farida. Hanya menggelar syukuran. Tidak ada pesta.Namun, acara tetap terasa begitu khidmat. Teman-teman kerjaku di bagian gudang menyempatkan untuk datang. Juga dengan teman-teman Farida.Selesai ijab qobul dan sungkeman, para tamu lantas dipersilahkan
POV Risfan🌹🌹🌹Pagi ini aku sedang mengepel di pantry area. Sudah 4 bulan aku menjalani pekerjaan ini. Rasanya sudah seperti setahun. Mungkin Tuhan sedang menguji kesabaranku lewat pekerjaan ini.Beberapa orang karyawan yang tengah dalam masa pelatihan, sedang berkumpul dan menikmati sarapan pagi mereka di teras pantry. Karena bagian dalamnya masih aku pel.Melihat mereka dengan seragam pelatihan, membuatku terpaksa mengingat Rindu. Setelah saat itu aku memblok akunnya, aku tidak lagi berinteraksi dengannya.Saat aku mencarinya untuk membuat perhitungan karena dia penyebab keributan rumah tanggaku dulu. Namun, ia sudah tidak lagi nampak di pabrik ini.Kutanyakan pada beberapa karyawan lain, ternyata Rindu keluar tanpa kabar dan tanpa surat pengunduran diri. Mereka tidak tahu alasan Rindu keluar dari pabrik.Lantas aku mencarinya ke rumah yang katanya ditempati oleh Rindu. Nihil, rumah itu juga kosong. Para tetangga bilang, Rindu ditarik paksa oleh seorang lelaki yang mengaku sebaga
Istriku Yang Mulai MandiriBab.38******Hatiku terbakar hebat. Di depan sana, Malik berlutut di hadapan Farida dengan kotak kecil di tangannya. Setelah sebelumnya, ia bernyanyi dengan petikan gitarnya.Farida belum bereaksi. Ia masih diam di tempatnya. Aku berharap, dia tidak menerima Malik. Karena aku di sini kembali untuknya.Para tamu undangan bersorak, agar Farida menerima Malik. Hanya aku dan Santo yang masih terkejut dengan semua ini.Terlihat Mila berbisik pada Farida. Namun, untuk beberapa saat, Farida masih terdiam.Aku hendak beranjak. Namun, belum sempat tubuhku tegak, Santo menahan pergerakanku."Lu mau ke mana?" tanyanya pelan."Ke sana, To.""Mau apa? Duduk! Lu jangan coba-coba bikin kacau!" sergahnya.Aku kembali menghempaskan bobotku di kursi. Aku mendengkus. "Ini gak bisa dibiarin, To.""Kenapa gak bisa?""Farida itu mantan istri gue, To. Si Malik itu, temen kita. Temen gue. Walaupun sekarang, sih, emang udah kayak orang asing. Tapi, kita dulu temenan, To. Temen ba i