Share

Amnesia.

Penulis: Reinz Jr
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-28 11:40:05

"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.

Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi.

Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?"

"Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?"

“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.

Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang. "Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.

Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuh simpati.

Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita di ranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nada yang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Jangan terlalu banyak berpikir, fokuslah pada kesehatanmu agar cepat pulih."

Wanita itu menatap dokter, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya mengangguk pelan dan menutup matanya kembali, sementara dokter dan perawat beranjak keluar dengan langkah pelan, meninggalkannya dalam kesunyian kamar.

Sepeninggal dokter dan perawat, ia berusaha memejamkan mata, namun begitu kelopaknya tertutup, bayangan-bayangan liar mulai berkelebat dalam benaknya. Suara tembakan bergema, keras dan menghantam, memecah keheningan di pikirannya. Ia melihat kilasan-kilasan kabur dari adegan yang terasa akrab, namun tak terjangkau—seperti potongan film yang buram.

Lalu, samar-samar, terdengar suara tawa seorang pria, dalam dan menyeramkan. Tawa itu membahana di dalam pikirannya, membingungkan sekaligus menakutkan. Nafas Eliza semakin berat, seolah udara semakin menipis di dalam ruangan.

Dan kemudian, ada satu nama yang terdengar jelas, dipanggil dengan nada memerintah dan penuh kekuasaan.

"Quenza!"

Eliza tersentak, membuka matanya dengan napas memburu. Panggilan itu terasa begitu nyata, begitu akrab, seperti kenangan yang seharusnya tak ada namun tak bisa ia hapus.

Ia melirik ke arah samping, nampak seorang pria muda dengan wajah dingin menatapnya tajam.

"Apa kabar sayang?" tanyanya basa basi.

"Kamu siapa?" tanya Eliza, matanya menatap pria itu.

Pria itu mengerutkan keningnya, lalu mendesah. "Ah, drama apalagi yang sedang kau mainkan?"

Baru saja pria itu membuka mulut, pintu ruangan terbuka. Dokter masuk ke dalam ruangan menyapa pria itu.

"Tuan Diego, akhirnya Anda datang."

Diego segera berdiri dan menghadap Dokter Edward. “Dokter, bagaimana keadaan istriku?”

Dokter Edward menarik napas dalam sebelum menjawab. “Nyonya Eliza mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalanya. Ada kemungkinan memori yang hilang ini tidak akan kembali.”

Eliza hanya mendengarkan, namun perasaan asing itu tetap menekan dadanya. Sesuatu dalam dirinya menolak percaya bahwa pria yang berdiri di sampingnya ini benar-benar suaminya.

Diego menoleh kembali pada Eliza, matanya menyipit. “Jadi, kau benar-benar tidak ingat apa pun tentang kita? Tentang rumah, kehidupan kita...?”

Dokter Edward melanjutkan, “Amnesia yang dialami Nyonya Eliza bisa bersifat permanen. Jadi, mungkin yang terbaik adalah memberi waktu dan ruang untuknya.”

Diego mengangguk, mencoba tersenyum lembut walau tampak sedikit dipaksakan. “Baiklah, Eliza. Mungkin ini aneh bagimu sekarang, tapi aku akan membantumu... kita akan melaluinya bersama.”

Eliza menatapnya penuh keraguan, rasa asing itu tak kunjung hilang. Seolah, pria di hadapannya membawa sesuatu yang jauh dari kasih sayang yang ia butuhkan.

"Dok, kapan saya bisa membawanya pulang?" tanya Diego pada dokter.

"Saat ini, Nyonya Eliza masih harus di pantau, saya harap anda bisa sabar. Tuan Diego," jawab dokter. "Saya mau bicara dengan anda, bisa ikut dengan saya?"

Diego mengangguk, sekilas menatap ke arah Eliza. Lalu beranjak pergi mengikuti langkah dokter.

Eliza menatap punggung Diego hingga pintu ruangan tertutup. Ia terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya masih penuh dengan peralatan medis. Monitor denyut jantung berdetak perlahan, sementara tabung infus menggantung di sebelahnya. Kepalanya yang dibalut perban tebal terasa berat, dan kaki kanannya yang terbungkus gips membuat gerakan sekecil apa pun menjadi sulit bergerak.

Eliza memandang sekeliling ruangan dengan tatapan kosong. Ruangannya bersih dan steril, dinding putih pucat dan bau obat yang menusuk. Tapi yang paling mengganggunya adalah rasa asing yang menyelimuti dirinya sendiri. Cermin kecil di samping tempat tidur memperlihatkan wajah yang tidak ia kenali. “Siapa aku sebenarnya?” pikirnya.

Matanya terpejam, mencoba merangkai potongan-potongan ingatan. Namun, setiap kali ia mencoba untuk mengingat siapa dirinya, ada dua set memori yang saling bertabrakan di kepalanya. Sakitnya begitu hebat, seolah-olah kepalanya diremas kuat-kuat dari dalam.

“Aku siapa...” bisiknya, memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Aku...Eliza?"

Tapi begitu nama itu terucap, gambar lain melintas dalam pikirannya—seorang wanita yang berbeda. Bukan Eliza. Dua identitas yang saling berbenturan di benaknya, seperti pecahan kaca yang tajam dan menyakitkan.

"Sakit!" teriaknya seraya mencengkram sisi tempat tidur, tubuhnya menegang. Dokter dan seorang perawat langsung masuk ke dalam ruangan, wajah mereka tegang.

“Nyona Eliza, apa yang terjadi?” tanya Dr. Edward pria paruh baya yang telah merawatnya sejak kecelakaan.

“Aku bukan Eliza!” serunya tiba-tiba, suara itu keluar dengan kemarahan yang tidak bisa dikendalikan.

Dokter mengernyit, lalu menoleh pada perawatnya sejenak sebelum mendekat. “Nyonya Eliza, kau mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalamu. Ini efek dari trauma yang kau alami.”

Eliza mengerang pelan. Kepalanya semakin sakit. "Amnesia? Tidak, aku tidak tahu siapa aku...."

Tapi begitu dia mencoba untuk melanjutkan, ingatan itu kembali berputar di benaknya seperti badai, tidak teratur dan kabur. Potongan-potongan ingatan: seorang wanita yang berjalan di bawah hujan, seorang pria yang memanggilnya Mama, tembakan, darah, dan wajah seorang pria yang bengis tertawa di antara semua itu.

"Siapa aku sebenarnya?" ucapnya pelan, suara yang semula penuh keyakinan kini berubah menjadi kebingungan dan keputusasaan. Tangannya gemetar, dan ia mencoba untuk mengingatnya lagi.

Dr. Edward duduk di sampingnya, wajahnya serius namun penuh simpati. “Kau adalah Eliza. Kecelakaan itu menghantam cukup parah, dan ada banyak hal yang mungkin tidak bisa kau ingat dengan jelas sekarang. Tapi tenanglah, kami akan membantumu melewati ini.”

“Eliza, siapa Eliza?" tanya Eliza.

“Kadang-kadang, trauma bisa membuat pikiran kita menciptakan ingatan yang tidak benar, seperti mimpi buruk yang tampak nyata,” jawab dokter itu lembut. "Tapi yang terpenting sekarang adalah kau harus fokus pada pemulihan fisikmu."

Eliza hanya terdiam, merenung. Kepalanya terasa berdenyut-denyut lagi.

Perawat mulai memeriksa peralatan medis yang terhubung ke tubuhnya, sementara dokter berdiri untuk pergi. Namun, sebelum melangkah keluar, ia menatap Eliza sekali lagi.

"Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat semuanya sekaligus. Istirahatlah, dan ingat, ini semua hanya sementara."

Setelah mereka keluar, Eliza tetap terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit.

Bayangan seorang wanita kembali menghantamnya dengan lebih kuat. Ledakan senjata, rekan-rekannya jatuh satu per satu, dan suara pria yang penuh ejekan.

"Dia, siapa?" tanyanya dalam hati.

Bab terkait

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kepingan mimpi.

    Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Yatim piatu?

    Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pil untuk Eliza.

    Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-14
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ruang hampa

    Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lai

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Mimpi aneh

    Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah megah itu. Eliza, yang baru saja meminum pil dari Jasmina, terlelap di atas ranjang besarnya. Tubuhnya terasa semakin lemah dari hari ke hari, seolah energi hidupnya perlahan tersedot keluar tanpa ia sadari. Meski tertidur, Eliza tampak gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak tak tenang di balik selimut tebal, keningnya berkeringat, sementara napasnya tak teratur.Malam itu bukanlah malam yang damai seperti seharusnya. Mimpi aneh kembali menghantui pikirannya. Dalam mimpinya, Eliza melihat sosok seorang letnan polisi—seorang wanita cantik dengan wajah penuh ketegasan dan keberanian. Suara teriakan bergema di kejauhan, disusul oleh suara tembakan yang memekakkan telinga. Semuanya tampak nyata, begitu hidup, seolah-olah ia berada di tengah baku tembak itu.Eliza terengah-engah, merasakan panas dan adrenalin dari mimpi itu. Dalam mimpi yang semakin kabur namun tetap menghantui, seorang pria berteriak berkali-kali, memanggil nama yang seperti

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Diego selingkuh?

    Rasa penasaran yang mencekik akhirnya mendorong Eliza untuk bertindak lebih berani. Langkah kakinya dipercepat, dan tanpa ragu, tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu di ruangan yang temaram itu. Ketika jari-jarinya menyentuh saklar, ia menekannya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ruangan itu terang-benderang, dan pemandangan yang tersaji di depannya membuat dunia Eliza seakan runtuh.Di atas ranjang besar dengan selimut kusut, Diego dan Yoona tergeletak, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Mereka berdua langsung tersentak, menoleh ke arah Eliza dengan ekspresi terkejut bercampur rasa panik. Namun bagi Eliza, semuanya terasa melambat—seolah detik-detik itu memaku dirinya di tempat.Eliza berdiri membeku di ambang pintu, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Napasnya tersengal-sengal, dada sesak seperti ditimpa beban berat. Seolah, semua kepingan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kebingungan Eliza.

    Pagi itu, Eliza terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Pandangannya kabur sesaat, dan tubuhnya terasa lemas seakan ada beban berat di atasnya. Saat ia duduk di atas ranjang, ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai berputar di benaknya—bayangan Diego dan Yoona di atas ranjang membuatnya merasa mual. Di depan cermin, Diego sudah berpakaian rapi, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya. Langkahnya perlahan mendekat ke ranjang, senyuman dingin tersungging di bibirnya saat ia menatap Eliza. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh rambut Eliza, namun sesuatu dalam diri Eliza mendidih. Eliza dengan cepat menepis tangan Diego, matanya menatap tajam penuh jijik. Sentuhannya sekarang bagaikan racun yang ingin ia hindari. “Jangan sentuh aku,” suara Eliza terdengar serak namun tegas, masih terpengaruh oleh mimpi buruk dan kenyataan yang mengerikan. Diego mengangkat alis, tak percaya Eliza akan menolaknya begitu saja. “Apa maksudmu, Eliza? Ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pura-pura.

    Eliza duduk di tepi tempat tidur pemeriksaan, merasa sedikit pusing setelah pemeriksaan medis yang baru saja dilakukan. Ruangan itu dingin dan steril, bau khas rumah sakit menusuk hidungnya. Dia merasa lelah, pikirannya berkabut, seolah ada sesuatu yang penting yang dia lupakan, tapi dia tidak bisa menggapainya. Di ruangan lain, Diego sedang berbicara dengan dokter, tetapi Eliza merasa waspada. Entah mengapa, dia tidak sepenuhnya mempercayai pria yang mengaku sebagai suaminya itu.Sementara Eliza memijat pelipisnya, Diego berada di ruang dokter. Wajahnya tampak penuh perhatian, namun matanya bersinar dengan rencana yang tersembunyi."Jadi, bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Diego dengan nada yang dibuat cemas, tapi dalam hatinya, Diego hampir tidak bisa menahan kegembiraan.Dokter menghela napas pelan, membuka catatan medis Eliza di tangannya. "Sejujurnya, Tuan Diego, kami menduga istri Anda mengalami amnesia. Mengingat kondisinya, ada kemungkinan ini bisa menjadi permanen, ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03

Bab terbaru

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir segalanya.

    Eliza berdiri mematung di bawah langit senja, warna keemasan menyelimuti halaman rumah Renzo. Karangan bunga memenuhi halaman rumah Renzo. membawa aroma kesedihan yang bercampur dengan rasa hormat. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan."Kau senang? Ini yang kau inginkan?" tanya Diego, suaranya datar, namun sorot matanya penuh tanya.Eliza menoleh perlahan, menatap Diego. Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terucap. Kata-kata terasa seperti beban yang sulit diungkapkan. Benarkah ini yang ia inginkan? Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini."Aku tidak tahu, Diego," jawab Eliza akhirnya, suaranya lirih. "Aku hanya menjalani apa yang ada di hadapanku. Takdir ini... bukan pilihanku."Diego menghela napas, matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga itu, seolah mencoba membaca makna yang tersembunyi di baliknya. "Takdir memang bukan pilihan, El. Tapi apa yang kau lakukan setelahnya, yang akan menentukan segalanya

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Berkumpul lagi

    Di tengah keheningan mencekam, hanya terdengar suara sirene mobil polisi dan percakapan samar melalui radio petugas. Asap tebal membubung dari reruntuhan gedung, menyelimuti area dengan aura suram dan menyesakkan.Diego dan Renzo terduduk lemas di tanah, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang mendalam. Namun, di tengah keputusasaan itu, mereka menangkap gerakan kecil di rerumputan yang bergoyang tak jauh dari mereka."Apa itu?" Renzo bergumam, matanya penuh harapan bercampur rasa tak percaya.Tiba-tiba, sebuah penutup logam perlahan terangkat dari bawah tanah. Asap mengepul keluar dari dalam, dan detik berikutnya, kepala Eliza menyembul keluar, wajahnya berlumur darah dan debu, matanya penuh tekad meski lelah."Eliza!"Diego dan Renzo berteriak serempak, seruan mereka memecah keheningan. Dengan cepat, mereka berlari ke arahnya, tak peduli dengan luka di tubuh mereka.Mereka membantu Eliza keluar dari pintu bawah tanah. Eliza terbatuk-batuk, tubuhnya limbung, tetapi senyumnya tipis

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Akhir sebuah dendam

    "Ibu!" teriak Kelvin, suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan."Mama!" seru Miko, matanya bersinar cerah meskipun situasi masih mencekam.Eliza menatap kedua anaknya dengan lembut. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.Keduanya mengangguk dengan senyum kecil, meskipun masih tampak cemas."Kita harus pergi dari sini!" kata Diego tegas, wajahnya serius."Victor sudah memasang bom di gedung ini!" Sela Renzo.Kekhawatiran langsung melintas di mata Eliza. Waktu mereka sangat terbatas. "Kalian bawa anak-anak!" perintah Eliza, sambil menyentuh bahu Diego. "Aku akan melindungi kalian. Cepat!"Diego tanpa ragu menggendong Miko, dan Renzo segera menggendong Kelvin. Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berlari keluar dari ruangan, menuju pintu utama. Eliza tetap berada di belakang, memastikan mereka aman, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di depan. Tembakan terdengar di kejauhan, namun Eliza hanya fokus pada satu tujuan, melindungi keluarganya dan memastika

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Damon

    Damon tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pria berjas hitam di belakangnya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan ke meja dan menekan tombol yang memulai proses di layar monitor. Monitor besar itu menyala, menampilkan berbagai gambar dan data yang berpindah dengan cepat."Lihatlah," kata Damon, suara rendah namun penuh ketenangan. Dia memperhatikan ekspresi Eliza yang berubah saat layar memperlihatkan rekaman markas yang meledak, diikuti dengan gambaran tubuh Letnan Quenza yang terluka parah, tergeletak tanpa nyawa. Namun, di detik-detik terakhir, seorang pria bertubuh kekar, salah satu anak buah Damon, muncul membawa tubuh Letnan Quenza yang sekarat ke rumah sakit terdekat. Proses transfer memori yang menegangkan terlihat jelas di layar, alat-alat medis canggih digunakan untuk memindahkan semua ingatan Quenza ke tubuh Eliza yang telah dinyatakan mati."Tidak mungkin!" teriak Eliza, wajahnya berubah kaget dan marah. Dengan cepat, ia mengangkat senjata

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Teroris

    Sesampainya di pusat kota, Eliza dengan cekatan menyembunyikan senjatanya di balik jaket panjang yang ia kenakan. Diego dan Renzo melakukan hal yang sama, memastikan tak ada yang mencurigai mereka.Mereka melangkah keluar dari mobil yang diparkir di sudut jalan, tubuh mereka sudah bersih dari luka-luka yang sempat mereka rawat seadanya. Hiruk-pikuk kota menyambut mereka, dengan keramaian manusia yang memadati jalan untuk merayakan hari kemerdekaan Mazatlán.Karnaval Mazatlán berlangsung meriah. Jalanan penuh dengan parade warna-warni, musik tradisional mengalun keras, dan sorak-sorai warga menambah semarak suasana. Polisi tampak berjaga di setiap sudut kota, mengawasi kerumunan dengan ketat.Eliza mengedarkan pandangannya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan, setiap gerakan yang terasa sedikit janggal. Renzo dan Diego berjalan di belakangnya, sikap mereka sama waspadanya.Namun, suasana meriah itu berubah dalam sekejap.DUAR!Sebuah ledakan keras mengguncang

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ide gila Diego

    Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membuat jalanan sepi di depan terasa semakin sempit. Diego mengepalkan tangan di setir, matanya fokus ke mobil musuh yang melaju dari arah berlawanan."Aku akan adu banteng dengan mereka!" serunya."Diego, kau gila! Kita bisa mati!" Renzo berteriak, suaranya penuh kepanikan. la memegang dashboard dengan erat, keringat mengucur di wajahnya."Menunduk!" perintah Diego tanpa ragu, suaranya tegas.Eliza langsung merunduk, tapi matanya tetap memperhatikan situasi, rahangnya mengatup rapat. Sementara Renzo hanya bisa berteriak lagi. "Diego! Aku belum mau mati!"Mobil Diego dan musuh semakin mendekat, jarak di antara mereka hanya hitungan detik.BRAK!!Tabrakan keras terjadi. Mobil Diego menghantam mobil musuh dengan kekuatan penuh. Bunyi logam beradu memekakkan telinga, pecahan kaca beterbangan ke segala arah. Benturan itu begitu hebat hingga mobil Diego terlempar ke luar jalur, berputar beberapa kali di udara sebelum menghantam tanah dengan keras.Tub

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pantang mundur

    Eliza duduk di kursi belakang mobil, pandangannya tajam menatap ke luar jendela. Diego mengemudi dengan fokus, sementara Renzo duduk di kursi penumpang depan, menggenggam senjatanya dengan cemas. Ketiganya telah siap dengan senjata masing-masing, meninggalkan markas Antonio dan Daniel tanpa banyak bicara. Eliza tahu mereka tak bisa terus melibatkan orang lain dalam urusannya. Ia hanya berjanji akan menghubungi Antonio jika benar-benar dalam keadaan terdesak.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang ramai oleh kendaraan lain. Tujuan mereka adalah perbatasan kota, tetapi perjalanan itu akan memakan waktu berjam-jam. Suasana di dalam mobil terasa tegang, dan setiap suara dari luar terdengar lebih nyaring dari biasanya."Sepertinya kepergian kita ada yang membocorkannya lagi," kata Eliza tiba-tiba, matanya menatap kaca spion dengan waspada.Diego melirik spion tengah. "Kau yakin?"Renzo, yang penasaran, menyembulkan kepalanya keluar jendela, mencoba memastikan. "Sial! Tiga

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Musuh atau sahabat

    Dari kejauhan, suara deru mobil mendekat, memecah keheningan malam yang hanya diisi oleh gemuruh api dari puing-puing markas Victor. Eliza, Diego, dan Renzo segera bangkit, tubuh mereka menegang dengan kewaspadaan tinggi.Sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempat mereka. Pintu mobil terbuka, dan dua pria muncul dari dalam—Antonio dan Daniel. Wajah mereka penuh kekhawatiran saat mereka bergegas menghampiri."Eliza, kau tidak apa-apa?" tanya Daniel, suaranya penuh kekhawatiran.Diego dengan cepat memotong, suaranya terdengar kesal. "Hei, jangan terlalu banyak bicara. Istriku terluka. Cepat bantu!"Daniel hanya mengangguk, memahami situasi tanpa membantah. Bersama Antonio, mereka membantu Eliza ke mobil, sementara Diego dan Renzo tetap berada di sisi Eliza, memastikan dia tidak semakin terluka.Di perjalanan, Eliza hanya diam, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar dari lukanya. Renzo, yang duduk di sampingnya, sesekali melirik dengan penuh perhatian, sementara Diego menggenggam tanga

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Lolos dari maut

    Dentuman tembakan bergema, memantul di sepanjang koridor sempit dengan dinding-dinding beton. Eliza, Diego, dan Renzo bersembunyi di balik pilar besar, dada mereka naik turun seiring napas yang tak beraturan. Bau mesiu memenuhi udara, bercampur dengan keringat dan darah."Mereka semakin dekat," bisik Diego, matanya melirik ke arah lorong tempat musuh terus menembakkan peluru secara membabi buta."Diam!" bisik Eliza, wajahnya penuh dengan konsentrasi meskipun bahunya berdarah. Dia mengintip sedikit, cukup untuk melihat posisi musuh tanpa terlalu terekspos.Dor! Dor! Peluru menghantam pilar, serpihan beton terbang ke segala arah, memercik seperti hujan kecil."Kita tidak bisa terus di sini," Renzo berkata, tangannya menggenggam pistol erat-erat, suaranya gemetar tetapi penuh tekad.Eliza menyeka keringat di dahinya, rasa sakit dari luka tembak di pahanya hampir membuatnya lumpuh, tapi dia menolak menyerah. "Kita akan maju. Aku di depan, kalian di belakangku. Hitung sampai tiga, lalu kit

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status