"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.
Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi.
Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?"
"Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?"
“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.
Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang. "Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.
Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuh simpati.
Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita di ranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nada yang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Jangan terlalu banyak berpikir, fokuslah pada kesehatanmu agar cepat pulih."
Wanita itu menatap dokter, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya mengangguk pelan dan menutup matanya kembali, sementara dokter dan perawat beranjak keluar dengan langkah pelan, meninggalkannya dalam kesunyian kamar.
Sepeninggal dokter dan perawat, ia berusaha memejamkan mata, namun begitu kelopaknya tertutup, bayangan-bayangan liar mulai berkelebat dalam benaknya. Suara tembakan bergema, keras dan menghantam, memecah keheningan di pikirannya. Ia melihat kilasan-kilasan kabur dari adegan yang terasa akrab, namun tak terjangkau—seperti potongan film yang buram.
Lalu, samar-samar, terdengar suara tawa seorang pria, dalam dan menyeramkan. Tawa itu membahana di dalam pikirannya, membingungkan sekaligus menakutkan. Nafas Eliza semakin berat, seolah udara semakin menipis di dalam ruangan.
Dan kemudian, ada satu nama yang terdengar jelas, dipanggil dengan nada memerintah dan penuh kekuasaan.
"Quenza!"
Eliza tersentak, membuka matanya dengan napas memburu. Panggilan itu terasa begitu nyata, begitu akrab, seperti kenangan yang seharusnya tak ada namun tak bisa ia hapus.
Ia melirik ke arah samping, nampak seorang pria muda dengan wajah dingin menatapnya tajam.
"Apa kabar sayang?" tanyanya basa basi.
"Kamu siapa?" tanya Eliza, matanya menatap pria itu.
Pria itu mengerutkan keningnya, lalu mendesah. "Ah, drama apalagi yang sedang kau mainkan?"
Baru saja pria itu membuka mulut, pintu ruangan terbuka. Dokter masuk ke dalam ruangan menyapa pria itu.
"Tuan Diego, akhirnya Anda datang."
Diego segera berdiri dan menghadap Dokter Edward. “Dokter, bagaimana keadaan istriku?”
Dokter Edward menarik napas dalam sebelum menjawab. “Nyonya Eliza mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalanya. Ada kemungkinan memori yang hilang ini tidak akan kembali.”
Eliza hanya mendengarkan, namun perasaan asing itu tetap menekan dadanya. Sesuatu dalam dirinya menolak percaya bahwa pria yang berdiri di sampingnya ini benar-benar suaminya.
Diego menoleh kembali pada Eliza, matanya menyipit. “Jadi, kau benar-benar tidak ingat apa pun tentang kita? Tentang rumah, kehidupan kita...?”
Dokter Edward melanjutkan, “Amnesia yang dialami Nyonya Eliza bisa bersifat permanen. Jadi, mungkin yang terbaik adalah memberi waktu dan ruang untuknya.”
Diego mengangguk, mencoba tersenyum lembut walau tampak sedikit dipaksakan. “Baiklah, Eliza. Mungkin ini aneh bagimu sekarang, tapi aku akan membantumu... kita akan melaluinya bersama.”
Eliza menatapnya penuh keraguan, rasa asing itu tak kunjung hilang. Seolah, pria di hadapannya membawa sesuatu yang jauh dari kasih sayang yang ia butuhkan.
"Dok, kapan saya bisa membawanya pulang?" tanya Diego pada dokter.
"Saat ini, Nyonya Eliza masih harus di pantau, saya harap anda bisa sabar. Tuan Diego," jawab dokter. "Saya mau bicara dengan anda, bisa ikut dengan saya?"
Diego mengangguk, sekilas menatap ke arah Eliza. Lalu beranjak pergi mengikuti langkah dokter.
Eliza menatap punggung Diego hingga pintu ruangan tertutup. Ia terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya masih penuh dengan peralatan medis. Monitor denyut jantung berdetak perlahan, sementara tabung infus menggantung di sebelahnya. Kepalanya yang dibalut perban tebal terasa berat, dan kaki kanannya yang terbungkus gips membuat gerakan sekecil apa pun menjadi sulit bergerak.
Eliza memandang sekeliling ruangan dengan tatapan kosong. Ruangannya bersih dan steril, dinding putih pucat dan bau obat yang menusuk. Tapi yang paling mengganggunya adalah rasa asing yang menyelimuti dirinya sendiri. Cermin kecil di samping tempat tidur memperlihatkan wajah yang tidak ia kenali. “Siapa aku sebenarnya?” pikirnya.
Matanya terpejam, mencoba merangkai potongan-potongan ingatan. Namun, setiap kali ia mencoba untuk mengingat siapa dirinya, ada dua set memori yang saling bertabrakan di kepalanya. Sakitnya begitu hebat, seolah-olah kepalanya diremas kuat-kuat dari dalam.
“Aku siapa...” bisiknya, memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Aku...Eliza?"
Tapi begitu nama itu terucap, gambar lain melintas dalam pikirannya—seorang wanita yang berbeda. Bukan Eliza. Dua identitas yang saling berbenturan di benaknya, seperti pecahan kaca yang tajam dan menyakitkan.
"Sakit!" teriaknya seraya mencengkram sisi tempat tidur, tubuhnya menegang. Dokter dan seorang perawat langsung masuk ke dalam ruangan, wajah mereka tegang.
“Nyona Eliza, apa yang terjadi?” tanya Dr. Edward pria paruh baya yang telah merawatnya sejak kecelakaan.
“Aku bukan Eliza!” serunya tiba-tiba, suara itu keluar dengan kemarahan yang tidak bisa dikendalikan.
Dokter mengernyit, lalu menoleh pada perawatnya sejenak sebelum mendekat. “Nyonya Eliza, kau mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalamu. Ini efek dari trauma yang kau alami.”
Eliza mengerang pelan. Kepalanya semakin sakit. "Amnesia? Tidak, aku tidak tahu siapa aku...."
Tapi begitu dia mencoba untuk melanjutkan, ingatan itu kembali berputar di benaknya seperti badai, tidak teratur dan kabur. Potongan-potongan ingatan: seorang wanita yang berjalan di bawah hujan, seorang pria yang memanggilnya Mama, tembakan, darah, dan wajah seorang pria yang bengis tertawa di antara semua itu.
"Siapa aku sebenarnya?" ucapnya pelan, suara yang semula penuh keyakinan kini berubah menjadi kebingungan dan keputusasaan. Tangannya gemetar, dan ia mencoba untuk mengingatnya lagi.
Dr. Edward duduk di sampingnya, wajahnya serius namun penuh simpati. “Kau adalah Eliza. Kecelakaan itu menghantam cukup parah, dan ada banyak hal yang mungkin tidak bisa kau ingat dengan jelas sekarang. Tapi tenanglah, kami akan membantumu melewati ini.”
“Eliza, siapa Eliza?" tanya Eliza.
“Kadang-kadang, trauma bisa membuat pikiran kita menciptakan ingatan yang tidak benar, seperti mimpi buruk yang tampak nyata,” jawab dokter itu lembut. "Tapi yang terpenting sekarang adalah kau harus fokus pada pemulihan fisikmu."
Eliza hanya terdiam, merenung. Kepalanya terasa berdenyut-denyut lagi.
Perawat mulai memeriksa peralatan medis yang terhubung ke tubuhnya, sementara dokter berdiri untuk pergi. Namun, sebelum melangkah keluar, ia menatap Eliza sekali lagi.
"Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat semuanya sekaligus. Istirahatlah, dan ingat, ini semua hanya sementara."
Setelah mereka keluar, Eliza tetap terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit.
Bayangan seorang wanita kembali menghantamnya dengan lebih kuat. Ledakan senjata, rekan-rekannya jatuh satu per satu, dan suara pria yang penuh ejekan.
"Dia, siapa?" tanyanya dalam hati.
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin
Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"
"Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktorbaru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan."Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece."Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!"perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kakiberat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yangtiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan diatahu itu.“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementaratangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulaimerayap.Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalambrankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu,tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhirpermainanmu, Letnan.”Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balikjake
Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta
"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga
"Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktorbaru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan."Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece."Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!"perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kakiberat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yangtiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan diatahu itu.“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementaratangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulaimerayap.Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalambrankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu,tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhirpermainanmu, Letnan.”Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balikjake