Share

Amnesia.

Author: Reinz Jr
last update Last Updated: 2024-10-28 11:40:05

"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.

Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi.

Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?"

"Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?"

“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.

Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang. "Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.

Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuh simpati.

Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita di ranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nada yang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Jangan terlalu banyak berpikir, fokuslah pada kesehatanmu agar cepat pulih."

Wanita itu menatap dokter, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun akhirnya hanya mengangguk pelan dan menutup matanya kembali, sementara dokter dan perawat beranjak keluar dengan langkah pelan, meninggalkannya dalam kesunyian kamar.

Sepeninggal dokter dan perawat, ia berusaha memejamkan mata, namun begitu kelopaknya tertutup, bayangan-bayangan liar mulai berkelebat dalam benaknya. Suara tembakan bergema, keras dan menghantam, memecah keheningan di pikirannya. Ia melihat kilasan-kilasan kabur dari adegan yang terasa akrab, namun tak terjangkau—seperti potongan film yang buram.

Lalu, samar-samar, terdengar suara tawa seorang pria, dalam dan menyeramkan. Tawa itu membahana di dalam pikirannya, membingungkan sekaligus menakutkan. Nafas Eliza semakin berat, seolah udara semakin menipis di dalam ruangan.

Dan kemudian, ada satu nama yang terdengar jelas, dipanggil dengan nada memerintah dan penuh kekuasaan.

"Quenza!"

Eliza tersentak, membuka matanya dengan napas memburu. Panggilan itu terasa begitu nyata, begitu akrab, seperti kenangan yang seharusnya tak ada namun tak bisa ia hapus.

Ia melirik ke arah samping, nampak seorang pria muda dengan wajah dingin menatapnya tajam.

"Apa kabar sayang?" tanyanya basa basi.

"Kamu siapa?" tanya Eliza, matanya menatap pria itu.

Pria itu mengerutkan keningnya, lalu mendesah. "Ah, drama apalagi yang sedang kau mainkan?"

Baru saja pria itu membuka mulut, pintu ruangan terbuka. Dokter masuk ke dalam ruangan menyapa pria itu.

"Tuan Diego, akhirnya Anda datang."

Diego segera berdiri dan menghadap Dokter Edward. “Dokter, bagaimana keadaan istriku?”

Dokter Edward menarik napas dalam sebelum menjawab. “Nyonya Eliza mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalanya. Ada kemungkinan memori yang hilang ini tidak akan kembali.”

Eliza hanya mendengarkan, namun perasaan asing itu tetap menekan dadanya. Sesuatu dalam dirinya menolak percaya bahwa pria yang berdiri di sampingnya ini benar-benar suaminya.

Diego menoleh kembali pada Eliza, matanya menyipit. “Jadi, kau benar-benar tidak ingat apa pun tentang kita? Tentang rumah, kehidupan kita...?”

Dokter Edward melanjutkan, “Amnesia yang dialami Nyonya Eliza bisa bersifat permanen. Jadi, mungkin yang terbaik adalah memberi waktu dan ruang untuknya.”

Diego mengangguk, mencoba tersenyum lembut walau tampak sedikit dipaksakan. “Baiklah, Eliza. Mungkin ini aneh bagimu sekarang, tapi aku akan membantumu... kita akan melaluinya bersama.”

Eliza menatapnya penuh keraguan, rasa asing itu tak kunjung hilang. Seolah, pria di hadapannya membawa sesuatu yang jauh dari kasih sayang yang ia butuhkan.

"Dok, kapan saya bisa membawanya pulang?" tanya Diego pada dokter.

"Saat ini, Nyonya Eliza masih harus di pantau, saya harap anda bisa sabar. Tuan Diego," jawab dokter. "Saya mau bicara dengan anda, bisa ikut dengan saya?"

Diego mengangguk, sekilas menatap ke arah Eliza. Lalu beranjak pergi mengikuti langkah dokter.

Eliza menatap punggung Diego hingga pintu ruangan tertutup. Ia terbaring di ranjang rumah sakit, tubuhnya masih penuh dengan peralatan medis. Monitor denyut jantung berdetak perlahan, sementara tabung infus menggantung di sebelahnya. Kepalanya yang dibalut perban tebal terasa berat, dan kaki kanannya yang terbungkus gips membuat gerakan sekecil apa pun menjadi sulit bergerak.

Eliza memandang sekeliling ruangan dengan tatapan kosong. Ruangannya bersih dan steril, dinding putih pucat dan bau obat yang menusuk. Tapi yang paling mengganggunya adalah rasa asing yang menyelimuti dirinya sendiri. Cermin kecil di samping tempat tidur memperlihatkan wajah yang tidak ia kenali. “Siapa aku sebenarnya?” pikirnya.

Matanya terpejam, mencoba merangkai potongan-potongan ingatan. Namun, setiap kali ia mencoba untuk mengingat siapa dirinya, ada dua set memori yang saling bertabrakan di kepalanya. Sakitnya begitu hebat, seolah-olah kepalanya diremas kuat-kuat dari dalam.

“Aku siapa...” bisiknya, memegang kepalanya dengan kedua tangan. "Aku...Eliza?"

Tapi begitu nama itu terucap, gambar lain melintas dalam pikirannya—seorang wanita yang berbeda. Bukan Eliza. Dua identitas yang saling berbenturan di benaknya, seperti pecahan kaca yang tajam dan menyakitkan.

"Sakit!" teriaknya seraya mencengkram sisi tempat tidur, tubuhnya menegang. Dokter dan seorang perawat langsung masuk ke dalam ruangan, wajah mereka tegang.

“Nyona Eliza, apa yang terjadi?” tanya Dr. Edward pria paruh baya yang telah merawatnya sejak kecelakaan.

“Aku bukan Eliza!” serunya tiba-tiba, suara itu keluar dengan kemarahan yang tidak bisa dikendalikan.

Dokter mengernyit, lalu menoleh pada perawatnya sejenak sebelum mendekat. “Nyonya Eliza, kau mengalami amnesia akibat benturan keras di kepalamu. Ini efek dari trauma yang kau alami.”

Eliza mengerang pelan. Kepalanya semakin sakit. "Amnesia? Tidak, aku tidak tahu siapa aku...."

Tapi begitu dia mencoba untuk melanjutkan, ingatan itu kembali berputar di benaknya seperti badai, tidak teratur dan kabur. Potongan-potongan ingatan: seorang wanita yang berjalan di bawah hujan, seorang pria yang memanggilnya Mama, tembakan, darah, dan wajah seorang pria yang bengis tertawa di antara semua itu.

"Siapa aku sebenarnya?" ucapnya pelan, suara yang semula penuh keyakinan kini berubah menjadi kebingungan dan keputusasaan. Tangannya gemetar, dan ia mencoba untuk mengingatnya lagi.

Dr. Edward duduk di sampingnya, wajahnya serius namun penuh simpati. “Kau adalah Eliza. Kecelakaan itu menghantam cukup parah, dan ada banyak hal yang mungkin tidak bisa kau ingat dengan jelas sekarang. Tapi tenanglah, kami akan membantumu melewati ini.”

“Eliza, siapa Eliza?" tanya Eliza.

“Kadang-kadang, trauma bisa membuat pikiran kita menciptakan ingatan yang tidak benar, seperti mimpi buruk yang tampak nyata,” jawab dokter itu lembut. "Tapi yang terpenting sekarang adalah kau harus fokus pada pemulihan fisikmu."

Eliza hanya terdiam, merenung. Kepalanya terasa berdenyut-denyut lagi.

Perawat mulai memeriksa peralatan medis yang terhubung ke tubuhnya, sementara dokter berdiri untuk pergi. Namun, sebelum melangkah keluar, ia menatap Eliza sekali lagi.

"Jangan terlalu memaksakan diri untuk mengingat semuanya sekaligus. Istirahatlah, dan ingat, ini semua hanya sementara."

Setelah mereka keluar, Eliza tetap terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit.

Bayangan seorang wanita kembali menghantamnya dengan lebih kuat. Ledakan senjata, rekan-rekannya jatuh satu per satu, dan suara pria yang penuh ejekan.

"Dia, siapa?" tanyanya dalam hati.

Related chapters

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kepingan mimpi.

    Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta

    Last Updated : 2024-11-14
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Yatim piatu?

    Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin

    Last Updated : 2024-11-14
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pil untuk Eliza.

    Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"

    Last Updated : 2024-11-14
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ruang hampa

    Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lai

    Last Updated : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Mimpi aneh

    Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah megah itu. Eliza, yang baru saja meminum pil dari Jasmina, terlelap di atas ranjang besarnya. Tubuhnya terasa semakin lemah dari hari ke hari, seolah energi hidupnya perlahan tersedot keluar tanpa ia sadari. Meski tertidur, Eliza tampak gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak tak tenang di balik selimut tebal, keningnya berkeringat, sementara napasnya tak teratur.Malam itu bukanlah malam yang damai seperti seharusnya. Mimpi aneh kembali menghantui pikirannya. Dalam mimpinya, Eliza melihat sosok seorang letnan polisi—seorang wanita cantik dengan wajah penuh ketegasan dan keberanian. Suara teriakan bergema di kejauhan, disusul oleh suara tembakan yang memekakkan telinga. Semuanya tampak nyata, begitu hidup, seolah-olah ia berada di tengah baku tembak itu.Eliza terengah-engah, merasakan panas dan adrenalin dari mimpi itu. Dalam mimpi yang semakin kabur namun tetap menghantui, seorang pria berteriak berkali-kali, memanggil nama yang seperti

    Last Updated : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Diego selingkuh?

    Rasa penasaran yang mencekik akhirnya mendorong Eliza untuk bertindak lebih berani. Langkah kakinya dipercepat, dan tanpa ragu, tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu di ruangan yang temaram itu. Ketika jari-jarinya menyentuh saklar, ia menekannya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ruangan itu terang-benderang, dan pemandangan yang tersaji di depannya membuat dunia Eliza seakan runtuh.Di atas ranjang besar dengan selimut kusut, Diego dan Yoona tergeletak, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Mereka berdua langsung tersentak, menoleh ke arah Eliza dengan ekspresi terkejut bercampur rasa panik. Namun bagi Eliza, semuanya terasa melambat—seolah detik-detik itu memaku dirinya di tempat.Eliza berdiri membeku di ambang pintu, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Napasnya tersengal-sengal, dada sesak seperti ditimpa beban berat. Seolah, semua kepingan

    Last Updated : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kebingungan Eliza.

    Pagi itu, Eliza terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Pandangannya kabur sesaat, dan tubuhnya terasa lemas seakan ada beban berat di atasnya. Saat ia duduk di atas ranjang, ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai berputar di benaknya—bayangan Diego dan Yoona di atas ranjang membuatnya merasa mual. Di depan cermin, Diego sudah berpakaian rapi, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya. Langkahnya perlahan mendekat ke ranjang, senyuman dingin tersungging di bibirnya saat ia menatap Eliza. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh rambut Eliza, namun sesuatu dalam diri Eliza mendidih. Eliza dengan cepat menepis tangan Diego, matanya menatap tajam penuh jijik. Sentuhannya sekarang bagaikan racun yang ingin ia hindari. “Jangan sentuh aku,” suara Eliza terdengar serak namun tegas, masih terpengaruh oleh mimpi buruk dan kenyataan yang mengerikan. Diego mengangkat alis, tak percaya Eliza akan menolaknya begitu saja. “Apa maksudmu, Eliza? Ak

    Last Updated : 2024-12-03
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pura-pura.

    Eliza duduk di tepi tempat tidur pemeriksaan, merasa sedikit pusing setelah pemeriksaan medis yang baru saja dilakukan. Ruangan itu dingin dan steril, bau khas rumah sakit menusuk hidungnya. Dia merasa lelah, pikirannya berkabut, seolah ada sesuatu yang penting yang dia lupakan, tapi dia tidak bisa menggapainya. Di ruangan lain, Diego sedang berbicara dengan dokter, tetapi Eliza merasa waspada. Entah mengapa, dia tidak sepenuhnya mempercayai pria yang mengaku sebagai suaminya itu.Sementara Eliza memijat pelipisnya, Diego berada di ruang dokter. Wajahnya tampak penuh perhatian, namun matanya bersinar dengan rencana yang tersembunyi."Jadi, bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Diego dengan nada yang dibuat cemas, tapi dalam hatinya, Diego hampir tidak bisa menahan kegembiraan.Dokter menghela napas pelan, membuka catatan medis Eliza di tangannya. "Sejujurnya, Tuan Diego, kami menduga istri Anda mengalami amnesia. Mengingat kondisinya, ada kemungkinan ini bisa menjadi permanen, ter

    Last Updated : 2024-12-03

Latest chapter

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kedatangan Miko.

    Suasan malam di rumah Diego sedikit berbeda. Nampak sebuah mobil hitam di ikuti dua mobil lainnya terparkir di halaman. Dari dalam mobil, keluar seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa, di ikuti seorang anak lelaki yang memegang tangannya erat."Mama! Papa!" teriak bocah itu dengan suara ceria.Yoona, yang berdiri di depan pintu, langsung tersenyum lebar. "Miko! Sayangku!" serunya sambil membuka tangan untuk memeluk putranya yang berlari ke arahnya.Yoona menggendong Miko dengan penuh kasih, lalu berjalan menghampiri pria itu. "Papa, akhirnya sampai juga," katanya Yoona.Pria mengangguk pelan, tatapannya tegas namun penuh wibawa. "Aku ingin memastikan Miko baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Yoona?""Aku baik, Papa. Terima kasih sudah mengantar Miko ke sini," jawab Yoona sambil tersenyum.Di sudut lain, Jasmina dan Casandra, yang mengintip dari balik tirai jendela, tampak terkejut. Casandra berbisik, "Bukankah itu Tuan Viktor? Ayahnya Yoona?"Jasmina mengangguk ragu. "Sepertinya

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Senyum kepalsuan.

    bab 33 Senyum kepalsuan.Diego mendorong pintu kamar Eliza perlahan, matanya langsung tertuju pada istrinya yang terbaring diam. Wajahnya tampak tenang, seolah sedang tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan memperhatikan Eliza dengan seksama."Dia masih tidur?" gumam Diego, mengusap lembut rambut Eliza.Jasmina yang berdiri di ambang pintu masuk perlahan. "Di masa pemulihan seperti ini, Eliza memang sering tidur. Itu wajar, Diego. Tubuhnya butuh waktu untuk kembali pulih."Diego menoleh ke arah Jasmina. "Mama sudah merawatnya dengan baik, kan? Aku benar-benar percaya sama Mama.""Tentu saja, Nak," Jasmina menjawab dengan senyum lembut, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Eliza adalah menantuku. Aku pastikan dia mendapat perawatan terbaik."Diego mengangguk, membelai rambut Eliza sekali lagi. "Terima kasih, Ma. Kalau Mama tidak ada, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku keluar dulu, biar dia istirahat."Diego berdiri, berjalan menuju pintu

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kecurigaan Daniel.

    Daniel berdiri tegak di depan pintu, matanya tajam memandang Jasmina dan Yoona yang terlihat enggan menerima kedatangannya. Ia tak bergeming meskipun ucapan mereka bernada kasar."Anda lagi?" sindir Yoona sambil melipat tangan di dada. "Apa di kepolisian tidak ada tugas lain selain terus mengganggu keluarga kami?"Daniel tetap tenang, meskipun jelas kesabarannya mulai diuji. "Aku hanya ingin memastikan, kalau Eliza baik-baik saja."Jasmina melangkah maju, tatapan matanya menusuk. "Eliza baik-baik saja! Kami merawatnya dengan sangat baik di rumah ini. Anda tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami, Letnan.""Kalau memang begitu, kenapa saya tidak pernah bisa menghubunginya? Teleponnya mati, tidak ada kabar sama sekali. Ini bukan sikap orang yang baik-baik saja," balas Daniel tegas.Yoona mendengus sambil menatap Daniel dengan tatapan penuh amarah. "Eliza tidak ingin diganggu, apalagi oleh Anda! Anda pikir siapa diri Anda sampai bisa masuk dan mencampuri kehidupan pribadinya?"Daniel

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kangen Mama

    Daniel baru saja keluar dari ruang mayat. Saat berjalan di koridor rumah sakit, matanya tanpa sengaja bertemu dengan seorang pria yang familiar—Renzo. Pria itu langsung menyapanya.“Bukankah kau yang kemarin bersama …” Renzo memulai, sedikit ragu.“Eliza,” sahut Daniel dengan cepat. “Namanya Eliza.”Renzo tersenyum kecil. “Ah, iya. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian kemarin.”Daniel mengangguk sopan. “Nanti akan saya sampaikan,” ujarnya singkat. “Anda sendiri sedang apa di sini?”Renzo menghela napas, raut wajahnya berubah muram. “Putraku, Alvin. Demamnya tinggi sejak tadi malam.”Daniel mengangguk mengerti, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Daniel,” katanya. “Bekerja di kepolisian. Kebetulan dulu Letnan Quenza adalah senior saya.”Renzo tertegun mendengar nama itu, ekspresinya mendadak berubah. “Quenza? Kau mengenal mendiang istriku?” tanyanya, suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.Daniel terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. “Ya, saya mengenal

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Memori yang terpendam.

    Diego berpamitan kepada Jasmina pagi itu, wajahnya tampak lelah. "Mama, tolong jaga Eliza baik-baik selama aku keluar kota. Ini cuma dua hari, aku tidak mau ada masalah saat aku kembali."Jasmina tersenyum lembut, berusaha tampak penuh kasih sayang. "Tenang saja, Nak. Eliza akan baik-baik saja di rumah. Mama akan memastikan dia tidak kekurangan apa pun."Diego mengangguk, merasa yakin. Namun, begitu mobilnya meninggalkan halaman, Jasmina langsung wajahnya berubah dingin. la melangkah ke ruang keluarga di mana Casandra dan Yoona sudah menunggunya."Kita lakukan sekarang," kata Jasmina.Casandra, adik Diego, menyeringai. "Sudah waktunya dia tahu tempatnya."Yoona melipat tangan di dada, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Pastikan dia tidak bisa melawan. Aku sudah membawa sesuatu untuk membungkam mulutnya."Tanpa membuang waktu, ketiganya menuju kamar Eliza. Jasmina memutar kunci dan mereka bertiga masuk, mengunci pintu dari dalam. Eliza, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap mereka

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kebingungan

    Lihatlah dia! Pulang ke rumah seperti tak ada yang terjadi!" seru Yoona, menunjuk ke arah Eliza. Nada bicaranya tajam, menusuk, seperti racun yang sengaja dituangkan untuk memanaskan suasana. Diego, yang sudah gelisah sejak tadi, akhirnya tidak mampu menahan emosinya."Apa maksudmu?" tanya Eliza. la melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah Yoona."Diego mencarimu ke mana-mana seperti orang gila! Dan kau? Kau malah asyik bersenang-senang dengan detektif gila itu!" tuduh Yoona tanpa ragu, senyumnya sinis. Kata-katanya tajam, seolah ingin merobek harga diri Eliza."Jaga bicaramu!" Eliza memperingatkan, nadanya naik satu tingkat, tapi tetap berusaha menahan diri.Namun sebelum ia bisa melanjutkan, plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuat ruangan langsung hening. Eliza terdiam, menatap Diego dengan tatapan tak percaya."Kau yang diam!" bentak Diego, suaranya menggema di ruangan. "Kau memang pantas ditampar! Bahkan aku seharusnya sudah menceraikanmu sejak lama! Dasa

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Butuh paranormal?

    Eliza masih tertidur pulas akibat pengaruh obat bius. Wajahnya tampak tenang, tenggelam ke dalam dunia mimpi yang selama ini menghantuinya.Eliza merasa tubuhnya ringan, seperti terseret oleh cahaya putih dan terjatuh, tepat di tengah medan pertempuran, suara benturan, jeritan, dan debu berterbangan di udara. Di sana, ia melihat sosok yang sudah sering muncul dalam mimpinya, seorang wanita dengan tubuh berlumuran darah, melambaikan tangan padanya."Kau, siapa?" tanya Eliza, berjalan perlahan mendekati wanita itu.Wanita itu mengangkat wajahnya, penuh luka tetapi dengan tatapan penuh tekad. "Aku... aku adalah kamu...""Tidak! Kau bukan aku!" Eliza mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar ketakutan saat wanita itu—Quenza—berusaha bangkit, meski tubuhnya jelas terluka parah. Dengan langkah tertatih, Quenza berjalan mendekat."Jangan mendekat!" teriak Eliza panik, memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri.Quenza terus berjalan, darah menetes dari tubuhnya, tetapi matanya t

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Bukan Eliza yang dulu

    Bab 28 Bukan Eliza yang dulu."Kalian akan membayarnya!" teriak Eliza saat Yoona dan Jasmina menenggelamkan wajahnya ke dalam bak mandi.Air dingin mengalir masuk ke hidung dan mulut Eliza, membuatnya tersedak, namun ia tetap bertahan. Sesekali, pandangannya terarah ke Diego, yang hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, tanpa melakukan apa-apa. Tatapan Eliza penuh dengan kebencian dan kemarahan yang terpendam."Baiklah," gumam Eliza dalam hati, "aku ingin tahu apa yang sebenarnya telah kalian lakukan padaku selama ini."Setelah puas menyiksa, Yoona melepaskan cengkeramannya, menghempaskan tubuh Eliza ke lantai basah dengan kasar."Aku harap, setelah ini ingatanmu pulih," ujar Yoona sambil menyeringai.Eliza, yang terbaring sejenak, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia tersenyum menyeringai, senyuman yang membuat Yoona dan Jasmina mundur selangkah tanpa sadar. Mereka tidak bisa mengabaikan perubahan di matanya.Dulu, Eliza selalu merengek dan memohon ampun. Tapi kali ini? Tida

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Rumit

    "Eliza!!"Daniel berteriak sambil berlari mengejar Eliza yang berlari menuju tepi jalan raya."Eliza!"Namun, Eliza sudah terlalu jauh. Daniel menghentikan langkahnya, mengatur napas sejenak, sebelum memutuskan kembali ke kafe. Ia segera menuju mobilnya yang terparkir.Renzo, yang berdiri di ambang pintu kafe, menyaksikan semua itu dengan tatapan bingung."Ada apa dengan wanita itu..." gumamnya pelan.Sementara itu, Eliza terus berlari hingga tiba di sebuah taman. Ia duduk di bangku, napasnya tersengal, dan air mata mulai mengalir tanpa sebab. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri, mencoba mengendalikan emosi yang tak terbendung."Ada apa denganku..." bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Kenapa semua ini terasa begitu menyakitkan...."Dia menangis tanpa suara, sesak di dada bercampur kebingungan yang sulit dijelaskan.Plok... plok... plok.Eliza mengangkat wajah, matanya tertuju pada Yoona yang berdiri tak jauh darinya, bertepuk tangan dengan senyum penuh ejekan."Kau menangis?" tanya

DMCA.com Protection Status