Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.
Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya. Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan. Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah. "Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?" Tanya Eliza sambil mengangkat cangkir ke bibirnya. Sebelum Eliza bisa minum, Casandra, adik Diego, masuk dengan langkah cepat. Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada simpati. "Oh, kau masih belum ingat siapa dirimu, Eliza?" tanyanya dengan nada menyindir. "Kurasa itu hanya soal waktu, sebelum semua menjadi jelas. Tapi sampai saat itu... mungkin kau sebaiknya mengikuti semua saran ibu." Eliza tersentak dengan nada sinis itu. “Aku sedang mencoba mengingat... tapi sakit kepala ini…” Eliza meraih pelipisnya lagi, berusaha meredam rasa sakit yang semakin intens. Jasmina dengan cepat menempatkan pil di meja samping Eliza, nadanya berubah menjadi lembut namun otoritatif. "Ini pil yang biasa kau minum. Kau harus meminumnya setiap hari. Itu akan membantumu merasa lebih baik dan mencegah sakit kepalamu." Eliza memandang pil-pil itu dengan curiga. Ada bagian dalam dirinya yang memberontak, seolah tubuhnya tahu bahwa ini bukanlah obat yang akan menyembuhkannya, tetapi malah menjeratnya dalam kegelapan yang lebih dalam. “Aku… tidak ingat pernah meminumnya,” gumam Eliza. Diego tiba-tiba muncul dari balik pintu, wajahnya datar tanpa emosi. "Kau selalu meminumnya, Eliza. Percayalah pada ibu, dia hanya ingin yang terbaik untukmu," katanya dengan nada tegas, namun dingin. Eliza menatap Diego dengan bingung. “Aku... aku tidak ingat,” katanya pelan, suaranya bergetar dengan ketidakpastian. Diego mendekat, menempatkan tangannya di bahu Eliza, tekanan lembut namun mengintimidasi. "Sudah cukup, Eliza. Jangan membuat dirimu lebih susah daripada yang seharusnya. Kau perlu istirahat dan ikuti apa yang ibu katakan." Jasmina menambahkan dengan senyum manisnya, "Kami hanya ingin kau kembali sehat, sayang." Rasa dingin merayapi tulang Eliza, bukan karena suhu ruangan, tetapi karena atmosfer yang penuh dengan rahasia dan manipulasi. Meskipun Diego dan keluarganya berusaha tampak perhatian, instingnya mengatakan ada sesuatu yang sangat salah. Tapi dengan ingatan yang terus kabur dan sakit kepala yang menghantui setiap percobaannya untuk mengingat, Eliza merasa dirinya terperangkap, terkepung oleh wajah-wajah yang seharusnya akrab, namun terasa seperti musuh. Ketika akhirnya Eliza menyerah, menelan pil itu dengan seteguk teh, matanya perlahan-lahan tertutup. Jasmina dan Diego saling berpandangan sejenak, senyum mereka mengisyaratkan rencana yang berjalan sempurna. Casandra menyeringai di sudut ruangan, melihat permainan yang mereka mainkan dengan senang hati. Malam semakin larut, dan dengan setiap pil yang ditelan Eliza, ingatannya semakin hilang, sementara Diego dan keluarganya semakin mengokohkan kontrol mereka. Eliza mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan silau cahaya matahari yang menembus celah gorden. Kepalanya terasa berat dan berdenyut, seperti ada sesuatu yang menekan di dalam otaknya, membuatnya sulit berpikir jernih. Dia meraih pelipisnya, berusaha meredam rasa sakit yang datang begitu kuat. Di seberang ruangan, seorang pelayan tengah sibuk menyiapkan sarapan. "Nyonya baik-baik saja?" tanya pelayan itu dengan nada lembut, namun penuh perhatian. Eliza melirik ke arahnya, melihat sarapan yang sudah tersaji, termasuk segelas susu di samping botol kecil berisi pil. Pandangannya tertuju pada botol itu, seolah ada sesuatu yang janggal namun sulit dijelaskan. "Itu botol obat buatku?" tanya Eliza, suaranya serak, penuh kebingungan. Pelayan itu menganggukkan kepala dengan sopan. "Benar, Nyonya. Obat ini sudah disiapkan oleh Nyonya besar Jasmina." Eliza mengernyit, namanya terasa asing di telinganya. "Jasmina? Siapa dia?" tanyanya dengan nada penuh ketidakpastian. Pelayan itu berdiri sejenak, menatap Eliza dengan senyum yang ramah namun terkesan dingin, seolah jawaban yang diberikan adalah sesuatu yang sudah lama diketahui. "Nyonya Jasmina, ibu kandung Tuan Diego. Ibu mertuanya Nyonya Eliza." Kata-kata itu menggema di kepala Eliza, membuatnya semakin bingung. Ibu mertua? Dia mengerang pelan, kepalanya kembali terasa berat, seperti ada lapisan tebal kabut yang menyelimuti ingatannya. Eliza berusaha mencari-cari di dalam benaknya, namun tidak ada sosok bernama Jasmina yang bisa diingatnya. "Kenapa aku... tidak bisa ingat?" bisik Eliza pada dirinya sendiri, suaranya penuh kebingungan. Pelayan itu tampak ragu untuk menambahkan sesuatu, tetapi tetap berdiri di sana dengan sikap tenang. Sementara Eliza semakin merasa terjebak dalam jaring yang dia sendiri tidak pahami. Nama-nama, tempat, bahkan wajah-wajah terasa asing, seolah hidup yang dia jalani bukanlah miliknya. Kepala Eliza kembali berdenyut lebih keras saat dia memaksa dirinya untuk mengingat, namun semakin ia mencoba, semakin jauh kenangan itu berlari. Ketika Eliza menatap botol pil itu lagi, ada perasaan tak nyaman yang menjalar di tubuhnya. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa pil-pil itu bukan sekadar obat biasa, bahwa mungkin... justru itulah yang membuat ingatannya terkunci. Eliza masih duduk di tepi ranjang ketika pelayan itu, yang baru saja membereskan meja sarapan, beranjak menuju pintu. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara di atas lantai kayu yang mengkilap. Di dalam kebisuan itu, Eliza merasa semakin kecil, tenggelam dalam pertanyaan yang tak terjawab. "Nyonya, kalau butuh sesuatu, panggil saya," kata pelayan itu dengan sopan sebelum membuka pintu. Eliza, yang masih dalam kebingungannya, spontan bertanya, "Namamu siapa?" Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum ramah yang tak sepenuhnya menyentuh matanya. "Ruri," jawabnya singkat, suaranya halus tapi terasa jauh, seolah-olah dia menahan sesuatu di balik kesederhanaan kata-katanya. Eliza mengangguk pelan, perasaannya campur aduk. Ia memandang sekilas ke arah Ruri yang melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya. Setelah Ruri pergi, keheningan kembali menguasai ruangan. Eliza menghela napas panjang, matanya terarah pada botol pil di atas meja. Pikirannya melayang, memikirkan nama-nama yang ia dengar hari ini. Jasmina. Diego. Bahkan Ruri, semua terasa asing, seperti mereka bukan bagian dari hidup yang pernah dia kenal. Kepalanya berdenyut lagi, rasa sakit yang samar namun mengganggu, seakan memberi peringatan bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang disembunyikan darinya. Eliza berdiri dari tempat tidur, kakinya sedikit gemetar. Dia berjalan menuju meja, mengamati botol kecil itu dengan lebih seksama. Apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya? Mengapa dia merasa seperti seorang asing di dalam kehidupannya sendiri?"Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktorbaru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan."Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece."Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!"perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kakiberat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yangtiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan diatahu itu.“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementaratangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulaimerayap.Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalambrankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu,tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhirpermainanmu, Letnan.”Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balikjake
"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin
Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta
"Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga
"Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktorbaru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan."Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece."Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!"perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kakiberat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yangtiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan diatahu itu.“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementaratangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulaimerayap.Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalambrankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu,tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhirpermainanmu, Letnan.”Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balikjake