Share

Pil untuk Eliza.

Penulis: Reinz Jr
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-14 20:09:35

Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.

Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.

Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.

Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah.

"Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?" Tanya Eliza sambil mengangkat cangkir ke bibirnya.

Sebelum Eliza bisa minum, Casandra, adik Diego, masuk dengan langkah cepat. Ia tersenyum tipis, senyum yang lebih mirip ejekan daripada simpati. "Oh, kau masih belum ingat siapa dirimu, Eliza?" tanyanya dengan nada menyindir. "Kurasa itu hanya soal waktu, sebelum semua menjadi jelas. Tapi sampai saat itu... mungkin kau sebaiknya mengikuti semua saran ibu."

Eliza tersentak dengan nada sinis itu. “Aku sedang mencoba mengingat... tapi sakit kepala ini…” Eliza meraih pelipisnya lagi, berusaha meredam rasa sakit yang semakin intens.

Jasmina dengan cepat menempatkan pil di meja samping Eliza, nadanya berubah menjadi lembut namun otoritatif. "Ini pil yang biasa kau minum. Kau harus meminumnya setiap hari. Itu akan membantumu merasa lebih baik dan mencegah sakit kepalamu."

Eliza memandang pil-pil itu dengan curiga. Ada bagian dalam dirinya yang memberontak, seolah tubuhnya tahu bahwa ini bukanlah obat yang akan menyembuhkannya, tetapi malah menjeratnya dalam kegelapan yang lebih dalam.

“Aku… tidak ingat pernah meminumnya,” gumam Eliza.

Diego tiba-tiba muncul dari balik pintu, wajahnya datar tanpa emosi. "Kau selalu meminumnya, Eliza. Percayalah pada ibu, dia hanya ingin yang terbaik untukmu," katanya dengan nada tegas, namun dingin.

Eliza menatap Diego dengan bingung. “Aku... aku tidak ingat,” katanya pelan, suaranya bergetar dengan ketidakpastian.

Diego mendekat, menempatkan tangannya di bahu Eliza, tekanan lembut namun mengintimidasi. "Sudah cukup, Eliza. Jangan membuat dirimu lebih susah daripada yang seharusnya. Kau perlu istirahat dan ikuti apa yang ibu katakan."

Jasmina menambahkan dengan senyum manisnya, "Kami hanya ingin kau kembali sehat, sayang."

Rasa dingin merayapi tulang Eliza, bukan karena suhu ruangan, tetapi karena atmosfer yang penuh dengan rahasia dan manipulasi. Meskipun Diego dan keluarganya berusaha tampak perhatian, instingnya mengatakan ada sesuatu yang sangat salah. Tapi dengan ingatan yang terus kabur dan sakit kepala yang menghantui setiap percobaannya untuk mengingat, Eliza merasa dirinya terperangkap, terkepung oleh wajah-wajah yang seharusnya akrab, namun terasa seperti musuh.

Ketika akhirnya Eliza menyerah, menelan pil itu dengan seteguk teh, matanya perlahan-lahan tertutup. Jasmina dan Diego saling berpandangan sejenak, senyum mereka mengisyaratkan rencana yang berjalan sempurna. Casandra menyeringai di sudut ruangan, melihat permainan yang mereka mainkan dengan senang hati.

Malam semakin larut, dan dengan setiap pil yang ditelan Eliza, ingatannya semakin hilang, sementara Diego dan keluarganya semakin mengokohkan kontrol mereka.

Eliza mengerjapkan matanya beberapa kali, berusaha menyesuaikan diri dengan silau cahaya matahari yang menembus celah gorden. Kepalanya terasa berat dan berdenyut, seperti ada sesuatu yang menekan di dalam otaknya, membuatnya sulit berpikir jernih. Dia meraih pelipisnya, berusaha meredam rasa sakit yang datang begitu kuat.

Di seberang ruangan, seorang pelayan tengah sibuk menyiapkan sarapan. "Nyonya baik-baik saja?" tanya pelayan itu dengan nada lembut, namun penuh perhatian.

Eliza melirik ke arahnya, melihat sarapan yang sudah tersaji, termasuk segelas susu di samping botol kecil berisi pil. Pandangannya tertuju pada botol itu, seolah ada sesuatu yang janggal namun sulit dijelaskan.

"Itu botol obat buatku?" tanya Eliza, suaranya serak, penuh kebingungan.

Pelayan itu menganggukkan kepala dengan sopan. "Benar, Nyonya. Obat ini sudah disiapkan oleh Nyonya besar Jasmina."

Eliza mengernyit, namanya terasa asing di telinganya. "Jasmina? Siapa dia?" tanyanya dengan nada penuh ketidakpastian.

Pelayan itu berdiri sejenak, menatap Eliza dengan senyum yang ramah namun terkesan dingin, seolah jawaban yang diberikan adalah sesuatu yang sudah lama diketahui. "Nyonya Jasmina, ibu kandung Tuan Diego. Ibu mertuanya Nyonya Eliza."

Kata-kata itu menggema di kepala Eliza, membuatnya semakin bingung. Ibu mertua? Dia mengerang pelan, kepalanya kembali terasa berat, seperti ada lapisan tebal kabut yang menyelimuti ingatannya. Eliza berusaha mencari-cari di dalam benaknya, namun tidak ada sosok bernama Jasmina yang bisa diingatnya.

"Kenapa aku... tidak bisa ingat?" bisik Eliza pada dirinya sendiri, suaranya penuh kebingungan.

Pelayan itu tampak ragu untuk menambahkan sesuatu, tetapi tetap berdiri di sana dengan sikap tenang. Sementara Eliza semakin merasa terjebak dalam jaring yang dia sendiri tidak pahami. Nama-nama, tempat, bahkan wajah-wajah terasa asing, seolah hidup yang dia jalani bukanlah miliknya. Kepala Eliza kembali berdenyut lebih keras saat dia memaksa dirinya untuk mengingat, namun semakin ia mencoba, semakin jauh kenangan itu berlari.

Ketika Eliza menatap botol pil itu lagi, ada perasaan tak nyaman yang menjalar di tubuhnya. Sesuatu di dalam dirinya mengatakan bahwa pil-pil itu bukan sekadar obat biasa, bahwa mungkin... justru itulah yang membuat ingatannya terkunci.

Eliza masih duduk di tepi ranjang ketika pelayan itu, yang baru saja membereskan meja sarapan, beranjak menuju pintu. Langkahnya ringan, hampir tanpa suara di atas lantai kayu yang mengkilap. Di dalam kebisuan itu, Eliza merasa semakin kecil, tenggelam dalam pertanyaan yang tak terjawab.

"Nyonya, kalau butuh sesuatu, panggil saya," kata pelayan itu dengan sopan sebelum membuka pintu.

Eliza, yang masih dalam kebingungannya, spontan bertanya, "Namamu siapa?"

Pelayan itu berhenti sejenak, lalu menoleh dengan senyum ramah yang tak sepenuhnya menyentuh matanya. "Ruri," jawabnya singkat, suaranya halus tapi terasa jauh, seolah-olah dia menahan sesuatu di balik kesederhanaan kata-katanya.

Eliza mengangguk pelan, perasaannya campur aduk. Ia memandang sekilas ke arah Ruri yang melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati di belakangnya.

Setelah Ruri pergi, keheningan kembali menguasai ruangan. Eliza menghela napas panjang, matanya terarah pada botol pil di atas meja. Pikirannya melayang, memikirkan nama-nama yang ia dengar hari ini. Jasmina. Diego. Bahkan Ruri, semua terasa asing, seperti mereka bukan bagian dari hidup yang pernah dia kenal. Kepalanya berdenyut lagi, rasa sakit yang samar namun mengganggu, seakan memberi peringatan bahwa ada sesuatu yang lebih besar sedang disembunyikan darinya.

Eliza berdiri dari tempat tidur, kakinya sedikit gemetar. Dia berjalan menuju meja, mengamati botol kecil itu dengan lebih seksama. Apa yang sebenarnya sedang terjadi padanya? Mengapa dia merasa seperti seorang asing di dalam kehidupannya sendiri?

Bab terkait

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Ruang hampa

    Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lai

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Mimpi aneh

    Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah megah itu. Eliza, yang baru saja meminum pil dari Jasmina, terlelap di atas ranjang besarnya. Tubuhnya terasa semakin lemah dari hari ke hari, seolah energi hidupnya perlahan tersedot keluar tanpa ia sadari. Meski tertidur, Eliza tampak gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak tak tenang di balik selimut tebal, keningnya berkeringat, sementara napasnya tak teratur.Malam itu bukanlah malam yang damai seperti seharusnya. Mimpi aneh kembali menghantui pikirannya. Dalam mimpinya, Eliza melihat sosok seorang letnan polisi—seorang wanita cantik dengan wajah penuh ketegasan dan keberanian. Suara teriakan bergema di kejauhan, disusul oleh suara tembakan yang memekakkan telinga. Semuanya tampak nyata, begitu hidup, seolah-olah ia berada di tengah baku tembak itu.Eliza terengah-engah, merasakan panas dan adrenalin dari mimpi itu. Dalam mimpi yang semakin kabur namun tetap menghantui, seorang pria berteriak berkali-kali, memanggil nama yang seperti

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Diego selingkuh?

    Rasa penasaran yang mencekik akhirnya mendorong Eliza untuk bertindak lebih berani. Langkah kakinya dipercepat, dan tanpa ragu, tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu di ruangan yang temaram itu. Ketika jari-jarinya menyentuh saklar, ia menekannya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ruangan itu terang-benderang, dan pemandangan yang tersaji di depannya membuat dunia Eliza seakan runtuh.Di atas ranjang besar dengan selimut kusut, Diego dan Yoona tergeletak, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Mereka berdua langsung tersentak, menoleh ke arah Eliza dengan ekspresi terkejut bercampur rasa panik. Namun bagi Eliza, semuanya terasa melambat—seolah detik-detik itu memaku dirinya di tempat.Eliza berdiri membeku di ambang pintu, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Napasnya tersengal-sengal, dada sesak seperti ditimpa beban berat. Seolah, semua kepingan

    Terakhir Diperbarui : 2024-11-27
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kebingungan Eliza.

    Pagi itu, Eliza terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Pandangannya kabur sesaat, dan tubuhnya terasa lemas seakan ada beban berat di atasnya. Saat ia duduk di atas ranjang, ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai berputar di benaknya—bayangan Diego dan Yoona di atas ranjang membuatnya merasa mual. Di depan cermin, Diego sudah berpakaian rapi, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya. Langkahnya perlahan mendekat ke ranjang, senyuman dingin tersungging di bibirnya saat ia menatap Eliza. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh rambut Eliza, namun sesuatu dalam diri Eliza mendidih. Eliza dengan cepat menepis tangan Diego, matanya menatap tajam penuh jijik. Sentuhannya sekarang bagaikan racun yang ingin ia hindari. “Jangan sentuh aku,” suara Eliza terdengar serak namun tegas, masih terpengaruh oleh mimpi buruk dan kenyataan yang mengerikan. Diego mengangkat alis, tak percaya Eliza akan menolaknya begitu saja. “Apa maksudmu, Eliza? Ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pura-pura.

    Eliza duduk di tepi tempat tidur pemeriksaan, merasa sedikit pusing setelah pemeriksaan medis yang baru saja dilakukan. Ruangan itu dingin dan steril, bau khas rumah sakit menusuk hidungnya. Dia merasa lelah, pikirannya berkabut, seolah ada sesuatu yang penting yang dia lupakan, tapi dia tidak bisa menggapainya. Di ruangan lain, Diego sedang berbicara dengan dokter, tetapi Eliza merasa waspada. Entah mengapa, dia tidak sepenuhnya mempercayai pria yang mengaku sebagai suaminya itu.Sementara Eliza memijat pelipisnya, Diego berada di ruang dokter. Wajahnya tampak penuh perhatian, namun matanya bersinar dengan rencana yang tersembunyi."Jadi, bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Diego dengan nada yang dibuat cemas, tapi dalam hatinya, Diego hampir tidak bisa menahan kegembiraan.Dokter menghela napas pelan, membuka catatan medis Eliza di tangannya. "Sejujurnya, Tuan Diego, kami menduga istri Anda mengalami amnesia. Mengingat kondisinya, ada kemungkinan ini bisa menjadi permanen, ter

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Bayangan wajah Kelvin.

    Hari-hari berlalu, namun Eliza semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah pertemuannya dengan Kelvin, dunianya terasa semakin sempit. Bahkan, hal-hal yang biasanya akan membuatnya bereaksi — kemesraan Diego dan Yoona yang dipamerkan dengan sengaja, Jasmina yang rutin memberinya obat, serta Robert yang sering mabuk-mabukan di luar — kini tak mampu menggugah emosinya. Hatinya mati rasa, dan pikirannya terus berputar pada satu pertanyaan: Siapa Kelvin? Setiap kali ia mengingat wajah kecil itu, perasaannya bercampur antara kesedihan dan rasa penasaran yang menusuk.Eliza duduk di sudut ruangan, menatap kosong ke arah jendela. Sinar matahari masuk melalui tirai tipis, tapi kehangatannya tidak mampu menembus dinginnya hati Eliza.Yoona melintas dengan tawa manja, melingkarkan lengannya di leher Diego. Mereka bercanda dengan suara yang cukup keras untuk didengar Eliza, tapi Eliza tak bergeming. Bahkan, ketika Yoona sengaja mencium Diego dengan suara yang dibuat seprovokatif mungkin,

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Foto keluarga.

    Malam itu, kesunyian yang pekat menyelimuti kamar Eliza. Hanya suara jarum jam yang berputar lambat, detak demi detak, menemani kekosongan yang menghantui pikirannya. Eliza duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam erat selimut yang terasa dingin. Setiap kali ia menutup mata, bayangan mimpi-mimpi aneh dan suara orang-orang yang tak dikenal terus membayangi.Kekhawatiran merayapi dirinya. Eliza tidak ingin terjebak dalam mimpi-mimpi itu lagi—mimpi tentang orang-orang yang memanggilnya dengan nama yang bukan miliknya, tentang kegelapan yang tak bisa ia pahami.Dengan gelisah, Eliza bangkit dari tempat tidurnya. Langkahnya perlahan dan hati-hati. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai dingin, menambah rasa tidak nyaman yang sudah mencekam hatinya. Ia menatap sekeliling kamar, merasakan setiap sudut seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.Rasa takut semakin kuat, membuatnya tidak tahan berada di kamar itu lebih lama. Tanpa ragu, Eliza membuka pintu dan melangkah keluar. Loro

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03
  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Buku diary.

    Eliza mengusap debu tebal dari permukaan buku diary yang tanpa sengaja ia temukan. Jantungnya berdegup kencang. Sesuatu tentang buku itu terasa penting—terlalu penting untuk diabaikan. Dengan diary di tangannya, ia bergegas keluar dari gudang. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah-olah rahasia yang tersembunyi dalam buku itu sudah mulai menekan dirinya, bahkan sebelum ia membukanya.Saat tiba di lorong rumah, langkah Eliza terhenti di depan pintu kamar Diego. Telinganya menangkap suara familiar—desahan napas Yoona yang penuh gairah, memecah keheningan malam. Eliza memejamkan mata sejenak, merasakan amarah dan jijik berputar dalam pikirannya.Eliza berdiri diam, menggenggam diary erat-erat, matanya menatap pintu kamar Diego. Telinganya dipenuhi suara desahan Yoona dan Diego. Napasnya semakin berat, namun kali ini bukan karena rasa sakit di kepalanya, melainkan kebencian yang semakin menggelora. Ia ingin masuk, ingin berteriak, tetapi tubuhnya terasa kaku."Setiap malam... sela

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-03

Bab terbaru

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kedatangan Miko.

    Suasan malam di rumah Diego sedikit berbeda. Nampak sebuah mobil hitam di ikuti dua mobil lainnya terparkir di halaman. Dari dalam mobil, keluar seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa, di ikuti seorang anak lelaki yang memegang tangannya erat."Mama! Papa!" teriak bocah itu dengan suara ceria.Yoona, yang berdiri di depan pintu, langsung tersenyum lebar. "Miko! Sayangku!" serunya sambil membuka tangan untuk memeluk putranya yang berlari ke arahnya.Yoona menggendong Miko dengan penuh kasih, lalu berjalan menghampiri pria itu. "Papa, akhirnya sampai juga," katanya Yoona.Pria mengangguk pelan, tatapannya tegas namun penuh wibawa. "Aku ingin memastikan Miko baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Yoona?""Aku baik, Papa. Terima kasih sudah mengantar Miko ke sini," jawab Yoona sambil tersenyum.Di sudut lain, Jasmina dan Casandra, yang mengintip dari balik tirai jendela, tampak terkejut. Casandra berbisik, "Bukankah itu Tuan Viktor? Ayahnya Yoona?"Jasmina mengangguk ragu. "Sepertinya

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Senyum kepalsuan.

    bab 33 Senyum kepalsuan.Diego mendorong pintu kamar Eliza perlahan, matanya langsung tertuju pada istrinya yang terbaring diam. Wajahnya tampak tenang, seolah sedang tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan memperhatikan Eliza dengan seksama."Dia masih tidur?" gumam Diego, mengusap lembut rambut Eliza.Jasmina yang berdiri di ambang pintu masuk perlahan. "Di masa pemulihan seperti ini, Eliza memang sering tidur. Itu wajar, Diego. Tubuhnya butuh waktu untuk kembali pulih."Diego menoleh ke arah Jasmina. "Mama sudah merawatnya dengan baik, kan? Aku benar-benar percaya sama Mama.""Tentu saja, Nak," Jasmina menjawab dengan senyum lembut, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Eliza adalah menantuku. Aku pastikan dia mendapat perawatan terbaik."Diego mengangguk, membelai rambut Eliza sekali lagi. "Terima kasih, Ma. Kalau Mama tidak ada, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku keluar dulu, biar dia istirahat."Diego berdiri, berjalan menuju pintu

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kecurigaan Daniel.

    Daniel berdiri tegak di depan pintu, matanya tajam memandang Jasmina dan Yoona yang terlihat enggan menerima kedatangannya. Ia tak bergeming meskipun ucapan mereka bernada kasar."Anda lagi?" sindir Yoona sambil melipat tangan di dada. "Apa di kepolisian tidak ada tugas lain selain terus mengganggu keluarga kami?"Daniel tetap tenang, meskipun jelas kesabarannya mulai diuji. "Aku hanya ingin memastikan, kalau Eliza baik-baik saja."Jasmina melangkah maju, tatapan matanya menusuk. "Eliza baik-baik saja! Kami merawatnya dengan sangat baik di rumah ini. Anda tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami, Letnan.""Kalau memang begitu, kenapa saya tidak pernah bisa menghubunginya? Teleponnya mati, tidak ada kabar sama sekali. Ini bukan sikap orang yang baik-baik saja," balas Daniel tegas.Yoona mendengus sambil menatap Daniel dengan tatapan penuh amarah. "Eliza tidak ingin diganggu, apalagi oleh Anda! Anda pikir siapa diri Anda sampai bisa masuk dan mencampuri kehidupan pribadinya?"Daniel

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kangen Mama

    Daniel baru saja keluar dari ruang mayat. Saat berjalan di koridor rumah sakit, matanya tanpa sengaja bertemu dengan seorang pria yang familiar—Renzo. Pria itu langsung menyapanya.“Bukankah kau yang kemarin bersama …” Renzo memulai, sedikit ragu.“Eliza,” sahut Daniel dengan cepat. “Namanya Eliza.”Renzo tersenyum kecil. “Ah, iya. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian kemarin.”Daniel mengangguk sopan. “Nanti akan saya sampaikan,” ujarnya singkat. “Anda sendiri sedang apa di sini?”Renzo menghela napas, raut wajahnya berubah muram. “Putraku, Alvin. Demamnya tinggi sejak tadi malam.”Daniel mengangguk mengerti, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Daniel,” katanya. “Bekerja di kepolisian. Kebetulan dulu Letnan Quenza adalah senior saya.”Renzo tertegun mendengar nama itu, ekspresinya mendadak berubah. “Quenza? Kau mengenal mendiang istriku?” tanyanya, suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.Daniel terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. “Ya, saya mengenal

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Memori yang terpendam.

    Diego berpamitan kepada Jasmina pagi itu, wajahnya tampak lelah. "Mama, tolong jaga Eliza baik-baik selama aku keluar kota. Ini cuma dua hari, aku tidak mau ada masalah saat aku kembali."Jasmina tersenyum lembut, berusaha tampak penuh kasih sayang. "Tenang saja, Nak. Eliza akan baik-baik saja di rumah. Mama akan memastikan dia tidak kekurangan apa pun."Diego mengangguk, merasa yakin. Namun, begitu mobilnya meninggalkan halaman, Jasmina langsung wajahnya berubah dingin. la melangkah ke ruang keluarga di mana Casandra dan Yoona sudah menunggunya."Kita lakukan sekarang," kata Jasmina.Casandra, adik Diego, menyeringai. "Sudah waktunya dia tahu tempatnya."Yoona melipat tangan di dada, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Pastikan dia tidak bisa melawan. Aku sudah membawa sesuatu untuk membungkam mulutnya."Tanpa membuang waktu, ketiganya menuju kamar Eliza. Jasmina memutar kunci dan mereka bertiga masuk, mengunci pintu dari dalam. Eliza, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap mereka

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kebingungan

    Lihatlah dia! Pulang ke rumah seperti tak ada yang terjadi!" seru Yoona, menunjuk ke arah Eliza. Nada bicaranya tajam, menusuk, seperti racun yang sengaja dituangkan untuk memanaskan suasana. Diego, yang sudah gelisah sejak tadi, akhirnya tidak mampu menahan emosinya."Apa maksudmu?" tanya Eliza. la melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah Yoona."Diego mencarimu ke mana-mana seperti orang gila! Dan kau? Kau malah asyik bersenang-senang dengan detektif gila itu!" tuduh Yoona tanpa ragu, senyumnya sinis. Kata-katanya tajam, seolah ingin merobek harga diri Eliza."Jaga bicaramu!" Eliza memperingatkan, nadanya naik satu tingkat, tapi tetap berusaha menahan diri.Namun sebelum ia bisa melanjutkan, plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuat ruangan langsung hening. Eliza terdiam, menatap Diego dengan tatapan tak percaya."Kau yang diam!" bentak Diego, suaranya menggema di ruangan. "Kau memang pantas ditampar! Bahkan aku seharusnya sudah menceraikanmu sejak lama! Dasa

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Butuh paranormal?

    Eliza masih tertidur pulas akibat pengaruh obat bius. Wajahnya tampak tenang, tenggelam ke dalam dunia mimpi yang selama ini menghantuinya.Eliza merasa tubuhnya ringan, seperti terseret oleh cahaya putih dan terjatuh, tepat di tengah medan pertempuran, suara benturan, jeritan, dan debu berterbangan di udara. Di sana, ia melihat sosok yang sudah sering muncul dalam mimpinya, seorang wanita dengan tubuh berlumuran darah, melambaikan tangan padanya."Kau, siapa?" tanya Eliza, berjalan perlahan mendekati wanita itu.Wanita itu mengangkat wajahnya, penuh luka tetapi dengan tatapan penuh tekad. "Aku... aku adalah kamu...""Tidak! Kau bukan aku!" Eliza mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar ketakutan saat wanita itu—Quenza—berusaha bangkit, meski tubuhnya jelas terluka parah. Dengan langkah tertatih, Quenza berjalan mendekat."Jangan mendekat!" teriak Eliza panik, memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri.Quenza terus berjalan, darah menetes dari tubuhnya, tetapi matanya t

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Bukan Eliza yang dulu

    Bab 28 Bukan Eliza yang dulu."Kalian akan membayarnya!" teriak Eliza saat Yoona dan Jasmina menenggelamkan wajahnya ke dalam bak mandi.Air dingin mengalir masuk ke hidung dan mulut Eliza, membuatnya tersedak, namun ia tetap bertahan. Sesekali, pandangannya terarah ke Diego, yang hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, tanpa melakukan apa-apa. Tatapan Eliza penuh dengan kebencian dan kemarahan yang terpendam."Baiklah," gumam Eliza dalam hati, "aku ingin tahu apa yang sebenarnya telah kalian lakukan padaku selama ini."Setelah puas menyiksa, Yoona melepaskan cengkeramannya, menghempaskan tubuh Eliza ke lantai basah dengan kasar."Aku harap, setelah ini ingatanmu pulih," ujar Yoona sambil menyeringai.Eliza, yang terbaring sejenak, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia tersenyum menyeringai, senyuman yang membuat Yoona dan Jasmina mundur selangkah tanpa sadar. Mereka tidak bisa mengabaikan perubahan di matanya.Dulu, Eliza selalu merengek dan memohon ampun. Tapi kali ini? Tida

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Rumit

    "Eliza!!"Daniel berteriak sambil berlari mengejar Eliza yang berlari menuju tepi jalan raya."Eliza!"Namun, Eliza sudah terlalu jauh. Daniel menghentikan langkahnya, mengatur napas sejenak, sebelum memutuskan kembali ke kafe. Ia segera menuju mobilnya yang terparkir.Renzo, yang berdiri di ambang pintu kafe, menyaksikan semua itu dengan tatapan bingung."Ada apa dengan wanita itu..." gumamnya pelan.Sementara itu, Eliza terus berlari hingga tiba di sebuah taman. Ia duduk di bangku, napasnya tersengal, dan air mata mulai mengalir tanpa sebab. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri, mencoba mengendalikan emosi yang tak terbendung."Ada apa denganku..." bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Kenapa semua ini terasa begitu menyakitkan...."Dia menangis tanpa suara, sesak di dada bercampur kebingungan yang sulit dijelaskan.Plok... plok... plok.Eliza mengangkat wajah, matanya tertuju pada Yoona yang berdiri tak jauh darinya, bertepuk tangan dengan senyum penuh ejekan."Kau menangis?" tanya

DMCA.com Protection Status