Eliza mengusap debu tebal dari permukaan buku diary yang tanpa sengaja ia temukan. Jantungnya berdegup kencang. Sesuatu tentang buku itu terasa penting—terlalu penting untuk diabaikan. Dengan diary di tangannya, ia bergegas keluar dari gudang. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah-olah rahasia yang tersembunyi dalam buku itu sudah mulai menekan dirinya, bahkan sebelum ia membukanya.Saat tiba di lorong rumah, langkah Eliza terhenti di depan pintu kamar Diego. Telinganya menangkap suara familiar—desahan napas Yoona yang penuh gairah, memecah keheningan malam. Eliza memejamkan mata sejenak, merasakan amarah dan jijik berputar dalam pikirannya.Eliza berdiri diam, menggenggam diary erat-erat, matanya menatap pintu kamar Diego. Telinganya dipenuhi suara desahan Yoona dan Diego. Napasnya semakin berat, namun kali ini bukan karena rasa sakit di kepalanya, melainkan kebencian yang semakin menggelora. Ia ingin masuk, ingin berteriak, tetapi tubuhnya terasa kaku."Setiap malam... sela
Eliza terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di kepalanya. Pagi itu terasa begitu samar, seperti mimpi buruk yang belum sepenuhnya usai. Ia duduk di atas ranjang, menggosok pelipisnya dengan pelan, mencoba mengusir rasa pusing yang tak kunjung hilang. Suara langkah kaki Jasmina terdengar dari arah pintu, membawa sarapan dan beberapa pil yang biasa disodorkannya setiap pagi.Ia mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatan tentang seseorang yang memukul tengkuknya terus menghantui. Suara misterius yang memerintah untuk membakar diary masih bergema di kepalanya."Semalam ada yang memukulku..." Ucapannya, meski pelan, cukup jelas untuk didengar oleh Jasmina dan Diego yang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya. Keduanya bertukar pandang, seolah mencoba mengukur apakah Eliza benar-benar sadar dengan apa yang dia katakan.Jasmina menimpali dengan nada meremehkan. "Kau berhalusinasi, Eliza. Semalam kau tidur dengan pulas."Eliza menggeleng dengan keras, mengabaikan denyut nyeri di kepalanya
Eliza membuka matanya perlahan, cahaya yang masuk dari jendela membuat pandangannya terasa menyilaukan. Kepalanya berdenyut, setiap detak terasa seperti palu yang menghantam pelipisnya. Tubuhnya terasa sangat lemah, seolah-olah seluruh energinya terkuras. Saat penglihatannya mulai fokus, dia melihat sosok Diego berdiri di samping ranjang, bersilang tangan di dada, ekspresinya dingin dan datar, selalu seperti itu.Eliza mencoba duduk, namun rasa pusing yang hebat membuatnya terhuyung kembali ke bantal. Dia menutup mata sejenak, mengatur napas, sebelum menatap Diego dengan tatapan yang tajam namun lelah.Diego menatap wajah Eliza tanpa ekspresi, suaranya nyaris datar. "Kau baik-baik saja, Eliza?"Eliza menjawab dengan nada ketus, meski suaranya lemah. "Apa menurutmu aku terlihat baik-baik saja, Diego?"Diego mengangkat alis sedikit, seakan mendengar jawaban Eliza hanyalah hal kecil yang mengganggu. Dia tidak menunjukkan rasa prihatin ataupun kesal. Alih-alih, dia justru menghela napas
Hari demi hari, Eliza merasakan tubuhnya semakin lemah. Nafasnya terasa berat hanya untuk menggerakkan tubuh, dan bahkan berjalan di taman—suatu hal sederhana yang dulu menyenangkan—kini terasa mustahil. Namun, suatu siang yang sunyi tiba-tiba pecah oleh keributan samar dari lantai bawah. Hatinya tertarik oleh suara itu, dan dengan susah payah, ia berjalan perlahan untuk keluar dari kamarnya.Dari lantai dua, Eliza menatap ke bawah dan melihat seorang pria muda berpakaian jas serba hitam sedang berbicara dengan Jasmina dan Yoona. Mata pria itu tampak serius, hampir cemas, saat ia berkata ingin bertemu dengan Eliza, menanyakan kabarnya. Namun, Jasmina dan Yoona segera menghalanginya, dengan alasan kalau Eliza sedang beristirahat dan tak bisa diganggu.Eliza teriak dengan suara lantang. "Aku di sini!"Sontak, semua kepala di lantai bawah menoleh ke arah Eliza. Pria muda itu tampak terkejut, lalu tersenyum tipis seolah lega. Namun, yang terjadi selanjutnya justru membuat dada Eliza berde
Eliza merasakan ketertarikan aneh pada sosok pria yang baru ditemuinya, seolah ada sesuatu yang dalam tersimpan di balik namanya. Meskipun ingatannya samar, ia ingin mendengar lebih banyak darinya."Aku, sahabat masa kecilmu dulu." Katanya pria itu."Sahabat kecil… jadi, kau pernah sangat dekat denganku? Kenapa kau baru muncul sekarang?"Daniel menatap lembut Eliza."Aku kembali ke kota ini beberapa waktu lalu. Mendengar tentang keadaanmu, aku merasa harus menemuimu. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, tapi aku tak ingin membebanimu."Eliza mengangguk, teringat akan Yoona yang selama ini mendampinginya."Siapa namamu?" tanya Eliza semakin penasaran."Daniel, aku bekerja di kepolisian." Jawab Daniel."Daniel, apakah kau mengenal Yoona? Dia bilang juga teman masa kecilku…"Daniel terlihat ragu, matanya meredup sesaat. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, tampak seakan banyak yang ingin ia katakan namun terhalang oleh sesuatu."Aku mengenal Yoona. Tapi… tidak semua orang sepe
Malam itu, angin dingin berembus, membuat tirai balkon berayun pelan. Yoona berdiri di sana, di balik kegelapan, menggenggam ponselnya dengan erat. Wajahnya tampak penuh kemarahan yang tersirat dari matanya yang menyipit dan bibir yang mengerucut. Sekali lagi, rencananya untuk membuat Eliza “hilang” dari hidup mereka gagal. Dengan suara penuh frustrasi, ia menelpon seseorang yang berada di sisi gelap kehidupannya.Yoona berbisik dengan nada kesal."Papa tahu? Wanita itu selalu saja berhasil lolos. Seolah-olah ada keberuntungan yang selalu melindunginya! Aku sudah tidak tahan lagi. Kita harus mencari cara lain."Dari balik ponsel, terdengar suara rendah, tenang tapi berbahaya."Kau terlalu gegabah, Yoona. Sudah papa bilang, rencana seperti ini butuh ketenangan. Terlalu banyak saksi atau cara yang terburu-buru akan mengundang kecurigaan."Yoona menghela napas panjang, mencoba meredam emosinya. Ia menatap ke arah taman di bawah balkon, membayangkan wajah Eliza di sana, dengan kebencianny
Yoona menemui Diego, untuk melancarkan aksinya sesuai arahan papanya, dokter pribadi yang sudah ia pilih dan tidak di ragukan lagi mengenai kesetiaan dan intregitas."Diego, aku pikir sudah saatnya kita memanggil dokter pribadi untuk Eliza. Dia butuh perawatan yang lebih baik dari yang didapatnya sekarang."Diego mengerutkan keningnya, jelas tidak setuju dengan ide tersebut. Dia lebih percaya pada rumah sakit dan dokter yang merawat Eliza sebelumnya."Aku rasa itu tidak perlu, Yoona. Eliza tidak dalam kondisi kritis. Kita sudah punya dokter yang baik."Namun Yoona tidak menyerah. Dia menggeser kursi dan mendekat, dengan tatapan penuh harap."Tapi, Diego... Aku sangat menyayangi Eliza. Aku ingin dia cepat sembuh agar kita semua bisa hidup dengan tenang. Ini semua demi kebaikan dia."Jasmina, yang mendengarkan dari kejauhan, mendekat dan ikut mendukung Yoona."Sebaiknya kita beri kesempatan untuk dokter pribadi. Dia lebih berpengalaman dalam menangani kasus-kasus seperti ini. Lagipula,
Diego menatap Eliza dengan lebih lekat, memperhatikan setiap gerakan dan raut wajahnya, mencari petunjuk dalam ekspresi yang tampak begitu asing baginya. Di hadapannya, wanita yang selama ini ia kenal sebagai Eliza kini tampak bagai orang lain—tatapan penuh ketakutan, kebingungan, dan seolah-olah dikejar bayangan yang tidak bisa ia lihat. Diego menarik napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkannya."Mengapa semua ini terasa seperti mimpi buruk, Diego? Setiap kali aku menutup mata, aku melihat bayangan-bayangan… dan suara tembakan… suara yang memanggilku dengan nama itu. Quenza… apa artinya?"Diego merasakan ketidaknyamanan yang makin mendalam. Kata-kata Eliza tentang “suara tembakan” dan “bayangan” tak masuk akal baginya. Tidak mungkin ada trauma seperti itu dalam hidupnya. Eliza adalah wanita yang selama ini menjalani kehidupan tenang, tak pernah terlibat dalam kekerasan, apalagi yang berkaitan dengan pertempuran. Ia berpikir keras, mencoba mencari penj
Suasan malam di rumah Diego sedikit berbeda. Nampak sebuah mobil hitam di ikuti dua mobil lainnya terparkir di halaman. Dari dalam mobil, keluar seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa, di ikuti seorang anak lelaki yang memegang tangannya erat."Mama! Papa!" teriak bocah itu dengan suara ceria.Yoona, yang berdiri di depan pintu, langsung tersenyum lebar. "Miko! Sayangku!" serunya sambil membuka tangan untuk memeluk putranya yang berlari ke arahnya.Yoona menggendong Miko dengan penuh kasih, lalu berjalan menghampiri pria itu. "Papa, akhirnya sampai juga," katanya Yoona.Pria mengangguk pelan, tatapannya tegas namun penuh wibawa. "Aku ingin memastikan Miko baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Yoona?""Aku baik, Papa. Terima kasih sudah mengantar Miko ke sini," jawab Yoona sambil tersenyum.Di sudut lain, Jasmina dan Casandra, yang mengintip dari balik tirai jendela, tampak terkejut. Casandra berbisik, "Bukankah itu Tuan Viktor? Ayahnya Yoona?"Jasmina mengangguk ragu. "Sepertinya
bab 33 Senyum kepalsuan.Diego mendorong pintu kamar Eliza perlahan, matanya langsung tertuju pada istrinya yang terbaring diam. Wajahnya tampak tenang, seolah sedang tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan memperhatikan Eliza dengan seksama."Dia masih tidur?" gumam Diego, mengusap lembut rambut Eliza.Jasmina yang berdiri di ambang pintu masuk perlahan. "Di masa pemulihan seperti ini, Eliza memang sering tidur. Itu wajar, Diego. Tubuhnya butuh waktu untuk kembali pulih."Diego menoleh ke arah Jasmina. "Mama sudah merawatnya dengan baik, kan? Aku benar-benar percaya sama Mama.""Tentu saja, Nak," Jasmina menjawab dengan senyum lembut, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Eliza adalah menantuku. Aku pastikan dia mendapat perawatan terbaik."Diego mengangguk, membelai rambut Eliza sekali lagi. "Terima kasih, Ma. Kalau Mama tidak ada, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku keluar dulu, biar dia istirahat."Diego berdiri, berjalan menuju pintu
Daniel berdiri tegak di depan pintu, matanya tajam memandang Jasmina dan Yoona yang terlihat enggan menerima kedatangannya. Ia tak bergeming meskipun ucapan mereka bernada kasar."Anda lagi?" sindir Yoona sambil melipat tangan di dada. "Apa di kepolisian tidak ada tugas lain selain terus mengganggu keluarga kami?"Daniel tetap tenang, meskipun jelas kesabarannya mulai diuji. "Aku hanya ingin memastikan, kalau Eliza baik-baik saja."Jasmina melangkah maju, tatapan matanya menusuk. "Eliza baik-baik saja! Kami merawatnya dengan sangat baik di rumah ini. Anda tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami, Letnan.""Kalau memang begitu, kenapa saya tidak pernah bisa menghubunginya? Teleponnya mati, tidak ada kabar sama sekali. Ini bukan sikap orang yang baik-baik saja," balas Daniel tegas.Yoona mendengus sambil menatap Daniel dengan tatapan penuh amarah. "Eliza tidak ingin diganggu, apalagi oleh Anda! Anda pikir siapa diri Anda sampai bisa masuk dan mencampuri kehidupan pribadinya?"Daniel
Daniel baru saja keluar dari ruang mayat. Saat berjalan di koridor rumah sakit, matanya tanpa sengaja bertemu dengan seorang pria yang familiar—Renzo. Pria itu langsung menyapanya.“Bukankah kau yang kemarin bersama …” Renzo memulai, sedikit ragu.“Eliza,” sahut Daniel dengan cepat. “Namanya Eliza.”Renzo tersenyum kecil. “Ah, iya. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian kemarin.”Daniel mengangguk sopan. “Nanti akan saya sampaikan,” ujarnya singkat. “Anda sendiri sedang apa di sini?”Renzo menghela napas, raut wajahnya berubah muram. “Putraku, Alvin. Demamnya tinggi sejak tadi malam.”Daniel mengangguk mengerti, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Daniel,” katanya. “Bekerja di kepolisian. Kebetulan dulu Letnan Quenza adalah senior saya.”Renzo tertegun mendengar nama itu, ekspresinya mendadak berubah. “Quenza? Kau mengenal mendiang istriku?” tanyanya, suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.Daniel terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. “Ya, saya mengenal
Diego berpamitan kepada Jasmina pagi itu, wajahnya tampak lelah. "Mama, tolong jaga Eliza baik-baik selama aku keluar kota. Ini cuma dua hari, aku tidak mau ada masalah saat aku kembali."Jasmina tersenyum lembut, berusaha tampak penuh kasih sayang. "Tenang saja, Nak. Eliza akan baik-baik saja di rumah. Mama akan memastikan dia tidak kekurangan apa pun."Diego mengangguk, merasa yakin. Namun, begitu mobilnya meninggalkan halaman, Jasmina langsung wajahnya berubah dingin. la melangkah ke ruang keluarga di mana Casandra dan Yoona sudah menunggunya."Kita lakukan sekarang," kata Jasmina.Casandra, adik Diego, menyeringai. "Sudah waktunya dia tahu tempatnya."Yoona melipat tangan di dada, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Pastikan dia tidak bisa melawan. Aku sudah membawa sesuatu untuk membungkam mulutnya."Tanpa membuang waktu, ketiganya menuju kamar Eliza. Jasmina memutar kunci dan mereka bertiga masuk, mengunci pintu dari dalam. Eliza, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap mereka
Lihatlah dia! Pulang ke rumah seperti tak ada yang terjadi!" seru Yoona, menunjuk ke arah Eliza. Nada bicaranya tajam, menusuk, seperti racun yang sengaja dituangkan untuk memanaskan suasana. Diego, yang sudah gelisah sejak tadi, akhirnya tidak mampu menahan emosinya."Apa maksudmu?" tanya Eliza. la melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah Yoona."Diego mencarimu ke mana-mana seperti orang gila! Dan kau? Kau malah asyik bersenang-senang dengan detektif gila itu!" tuduh Yoona tanpa ragu, senyumnya sinis. Kata-katanya tajam, seolah ingin merobek harga diri Eliza."Jaga bicaramu!" Eliza memperingatkan, nadanya naik satu tingkat, tapi tetap berusaha menahan diri.Namun sebelum ia bisa melanjutkan, plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuat ruangan langsung hening. Eliza terdiam, menatap Diego dengan tatapan tak percaya."Kau yang diam!" bentak Diego, suaranya menggema di ruangan. "Kau memang pantas ditampar! Bahkan aku seharusnya sudah menceraikanmu sejak lama! Dasa
Eliza masih tertidur pulas akibat pengaruh obat bius. Wajahnya tampak tenang, tenggelam ke dalam dunia mimpi yang selama ini menghantuinya.Eliza merasa tubuhnya ringan, seperti terseret oleh cahaya putih dan terjatuh, tepat di tengah medan pertempuran, suara benturan, jeritan, dan debu berterbangan di udara. Di sana, ia melihat sosok yang sudah sering muncul dalam mimpinya, seorang wanita dengan tubuh berlumuran darah, melambaikan tangan padanya."Kau, siapa?" tanya Eliza, berjalan perlahan mendekati wanita itu.Wanita itu mengangkat wajahnya, penuh luka tetapi dengan tatapan penuh tekad. "Aku... aku adalah kamu...""Tidak! Kau bukan aku!" Eliza mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar ketakutan saat wanita itu—Quenza—berusaha bangkit, meski tubuhnya jelas terluka parah. Dengan langkah tertatih, Quenza berjalan mendekat."Jangan mendekat!" teriak Eliza panik, memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri.Quenza terus berjalan, darah menetes dari tubuhnya, tetapi matanya t
Bab 28 Bukan Eliza yang dulu."Kalian akan membayarnya!" teriak Eliza saat Yoona dan Jasmina menenggelamkan wajahnya ke dalam bak mandi.Air dingin mengalir masuk ke hidung dan mulut Eliza, membuatnya tersedak, namun ia tetap bertahan. Sesekali, pandangannya terarah ke Diego, yang hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, tanpa melakukan apa-apa. Tatapan Eliza penuh dengan kebencian dan kemarahan yang terpendam."Baiklah," gumam Eliza dalam hati, "aku ingin tahu apa yang sebenarnya telah kalian lakukan padaku selama ini."Setelah puas menyiksa, Yoona melepaskan cengkeramannya, menghempaskan tubuh Eliza ke lantai basah dengan kasar."Aku harap, setelah ini ingatanmu pulih," ujar Yoona sambil menyeringai.Eliza, yang terbaring sejenak, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia tersenyum menyeringai, senyuman yang membuat Yoona dan Jasmina mundur selangkah tanpa sadar. Mereka tidak bisa mengabaikan perubahan di matanya.Dulu, Eliza selalu merengek dan memohon ampun. Tapi kali ini? Tida
"Eliza!!"Daniel berteriak sambil berlari mengejar Eliza yang berlari menuju tepi jalan raya."Eliza!"Namun, Eliza sudah terlalu jauh. Daniel menghentikan langkahnya, mengatur napas sejenak, sebelum memutuskan kembali ke kafe. Ia segera menuju mobilnya yang terparkir.Renzo, yang berdiri di ambang pintu kafe, menyaksikan semua itu dengan tatapan bingung."Ada apa dengan wanita itu..." gumamnya pelan.Sementara itu, Eliza terus berlari hingga tiba di sebuah taman. Ia duduk di bangku, napasnya tersengal, dan air mata mulai mengalir tanpa sebab. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri, mencoba mengendalikan emosi yang tak terbendung."Ada apa denganku..." bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Kenapa semua ini terasa begitu menyakitkan...."Dia menangis tanpa suara, sesak di dada bercampur kebingungan yang sulit dijelaskan.Plok... plok... plok.Eliza mengangkat wajah, matanya tertuju pada Yoona yang berdiri tak jauh darinya, bertepuk tangan dengan senyum penuh ejekan."Kau menangis?" tanya