Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah megah itu. Eliza, yang baru saja meminum pil dari Jasmina, terlelap di atas ranjang besarnya. Tubuhnya terasa semakin lemah dari hari ke hari, seolah energi hidupnya perlahan tersedot keluar tanpa ia sadari. Meski tertidur, Eliza tampak gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak tak tenang di balik selimut tebal, keningnya berkeringat, sementara napasnya tak teratur.
Malam itu bukanlah malam yang damai seperti seharusnya. Mimpi aneh kembali menghantui pikirannya. Dalam mimpinya, Eliza melihat sosok seorang letnan polisi—seorang wanita cantik dengan wajah penuh ketegasan dan keberanian. Suara teriakan bergema di kejauhan, disusul oleh suara tembakan yang memekakkan telinga. Semuanya tampak nyata, begitu hidup, seolah-olah ia berada di tengah baku tembak itu. Eliza terengah-engah, merasakan panas dan adrenalin dari mimpi itu. Dalam mimpi yang semakin kabur namun tetap menghantui, seorang pria berteriak berkali-kali, memanggil nama yang sepertinya tidak asing baginya. "Quenza!" suara itu menggelegar dalam kepalanya, seakan menggema dari setiap sudut mimpi tersebut. "Quenza...?" Eliza bergumam dalam tidurnya, tubuhnya semakin gelisah di bawah selimut. "Siapa Quenza? Bukankah aku... Eliza?" pikirnya dalam tidur yang tak tenang. Namun, suara pria itu terus memanggil, semakin keras, semakin mendesak. "Quenza!" Eliza tiba-tiba terbangun dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya menggigil, dan wajahnya basah oleh keringat. Ia merasakan detak jantungnya berdegup cepat, seolah habis berlari dalam mimpi itu. Ruangan kamarnya yang gelap kini terasa semakin menyesakkan. Ia duduk di ranjang, tangannya menggenggam erat selimutnya, mencoba menenangkan dirinya yang masih terguncang. "Mengapa... mengapa aku sering bermimpi aneh seperti ini?" gumamnya pelan, masih terdengar suara tembakan di telinganya. Eliza menoleh ke jendela yang setengah terbuka, membiarkan angin malam masuk dan menyentuh kulitnya yang panas. Ia mengusap wajahnya yang basah dengan punggung tangan, mencoba meresapi kenyataan. Namun, pertanyaan itu terus berputar-putar di benaknya, membuatnya semakin gelisah. "Quenza? Itu... aku? Tapi mengapa mereka memanggilku Eliza?" Eliza bangkit dari ranjangnya, berjalan menuju cermin di sudut ruangan. Ia memandangi bayangannya sendiri dengan tatapan penuh kebingungan. Siapa sebenarnya dirinya? Apakah ia Eliza, seperti yang dikatakan semua orang di rumah ini, atau ada lebih banyak kebenaran di balik mimpi-mimpi itu? "Apa yang terjadi padaku? Siapa aku sebenarnya?" bisiknya lirih pada bayangan dirinya di cermin. Tapi cermin itu hanya memantulkan sosoknya yang rapuh dan lelah, tanpa memberi jawaban apapun. Malam itu, Eliza merasa lebih terasing daripada sebelumnya. Mimpi-mimpi aneh itu bukan sekadar ilusi, sepertinya mereka berusaha memberitahunya sesuatu. Dan nama Quenza, entah mengapa, terus terngiang di telinganya, seolah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari jati dirinya. Eliza berdiri terpaku di depan cermin, masih terengah-engah, ketika tiba-tiba suara langkah kaki terdengar samar di luar kamarnya. Dia mengerutkan alisnya, perasaan aneh muncul di hatinya. Suara tawa manja seorang wanita mengiringi langkah kaki itu, menggema di sepanjang koridor yang sepi. Penasaran dan dengan firasat buruk yang makin kuat, Eliza berjalan perlahan menuju pintu. Tangannya gemetar saat meraih gagang pintu. Dengan gerakan hati-hati, ia membuka pintu sedikit, cukup untuk mengintip ke luar. Matanya segera menangkap pemandangan di ujung lorong—Diego, yang seharusnya adalah suaminya, sedang berdiri berpagut tangan dengan seorang wanita cantik yang tidak ia kenali. Diego tampak begitu mesra dengan wanita itu, yang kini jelas terlihat sebagai Yoona, salah satu kenalan keluarga. Tawa Yoona terdengar lembut, dan tanpa ragu, mereka saling berciuman. Eliza hanya bisa memandang pemandangan itu dengan bingung, darahnya berdesir aneh, dadanya terasa sesak. "Diego...?" bisik Eliza pelan, namun suaranya hilang ditelan kekosongan lorong. Pemandangan itu menampar kesadarannya, membuat pertanyaan di kepalanya berputar lebih cepat. Eliza melangkah mundur ke dalam kamarnya, mencoba mencerna apa yang baru saja dilihatnya. "Kalau Diego memang suamiku... kenapa dia bisa bermesraan dengan wanita lain seperti itu?" pikir Eliza. Semakin lama, semakin banyak hal yang tak bisa ia pahami dari kehidupannya saat ini. Tubuhnya terasa semakin lemah, lututnya bergetar seolah kehilangan daya untuk menopang berat beban kenyataan. Namun, di antara kebingungannya, ada rasa perih yang mulai menyusup ke dalam hatinya—rasa sakit yang belum sepenuhnya ia pahami. Eliza memejamkan mata, berusaha menenangkan diri. Nafasnya pendek, udara terasa semakin berat. Tangannya mencengkeram gagang pintu erat-erat, seolah mencoba mencari pegangan dalam kekosongan pikirannya. Ketika ia kembali membuka matanya, bayangan Diego dan Yoona masih membekas, seakan tertanam dalam benaknya. "Mengapa... semua ini terasa salah?" bisik Eliza pada dirinya sendiri, suara lemah tapi sarat dengan kebingungan. "Siapa aku sebenarnya... dan siapa mereka dalam hidupku?" Dalam kegelapan malam itu, di balik kemewahan yang mengelilinginya, Eliza merasa semakin tersesat dalam teka-teki hidupnya. Mimpi-mimpi aneh tentang Quenza, sosok Diego yang seolah mengkhianati peran suami, dan identitasnya sendiri yang kian kabur—semuanya membanjiri pikirannya, membuatnya terjebak dalam pertanyaan tanpa jawaban. Rasa ingin tahu yang membara mendorong Eliza untuk bertindak. Pemandangan mesra Diego dan Yoona tidak bisa ia abaikan begitu saja. Setiap langkah yang ia ambil seolah didorong oleh dorongan kuat yang tak bisa dijelaskan, membuatnya keluar dari kamar tanpa pikir panjang. Namun, saat ia sampai di lorong, mereka berdua sudah menghilang. Eliza menatap kosong lorong yang kini sepi, kebingungan merayap di benaknya. Ia berjalan pelan, matanya berkeliling mencari petunjuk. Di sudut lain rumah yang besar dan sepi itu, samar-samar terdengar suara tawa dan obrolan rendah dari ruangan lain. Eliza mengerutkan kening, mencoba mengikuti sumber suara tersebut. Kakinya menuntunnya ke sebuah pintu yang tertutup rapat, pintu yang ia ingat jarang sekali digunakan. Eliza berdiri di depan pintu itu, tangannya terulur dengan ragu. Ia menyentuh gagang pintu, dingin di kulitnya. Hatinya berdebar kencang, seolah ada sesuatu yang menahannya untuk masuk, tapi rasa penasaran lebih kuat. "Tidak terkunci?" gumam Eliza pelan pada dirinya sendiri. Dengan hati-hati, ia memutar gagang pintu. Pintu itu terbuka sedikit dengan suara berderit pelan, cukup untuk membuatnya mengintip ke dalam. "Apa yang mereka lakukan di dalam?" Eliza bertanya-tanya dalam hatinya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa gugup bercampur dengan ketakutan semakin menghantuinya. Dia mendorong pintu itu perlahan, memastikan tidak ada suara mencolok yang bisa membuat mereka sadar akan kehadirannya. Di balik pintu itu, samar-samar terdengar suara Diego berbicara dengan nada rendah. Eliza berhenti sejenak, tubuhnya tegang, berusaha menangkap kata-kata yang diucapkan. Telinganya berdetak bersama jantungnya yang berdentum keras, lalu ia mendorong pintu sedikit lebih lebar. Dalam cahaya redup ruangan, Eliza melihat bayangan Diego dan Yoona, duduk berhadapan, tampak akrab. Mereka berbicara pelan, kepala mereka mendekat, tawa kecil Yoona terdengar lagi, kali ini lebih intim. Diego tertawa kecil, "Jangan khawatir, semuanya sudah diatur. Kamu tahu aku akan melakukan apa saja untuk memastikan ini berhasil." Yoona menyeringai, "aku tahu, tapi aku hanya ingin memastikan. Eliza tidak curiga, kan?" Eliza terkejut mendengar namanya disebut. Jantungnya semakin berdebar, rasa bingung dan curiga bercampur aduk. Ia tak bisa menahan lagi dorongan untuk masuk dan mengetahui apa yang sedang terjadi.Rasa penasaran yang mencekik akhirnya mendorong Eliza untuk bertindak lebih berani. Langkah kakinya dipercepat, dan tanpa ragu, tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu di ruangan yang temaram itu. Ketika jari-jarinya menyentuh saklar, ia menekannya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ruangan itu terang-benderang, dan pemandangan yang tersaji di depannya membuat dunia Eliza seakan runtuh.Di atas ranjang besar dengan selimut kusut, Diego dan Yoona tergeletak, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Mereka berdua langsung tersentak, menoleh ke arah Eliza dengan ekspresi terkejut bercampur rasa panik. Namun bagi Eliza, semuanya terasa melambat—seolah detik-detik itu memaku dirinya di tempat.Eliza berdiri membeku di ambang pintu, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Napasnya tersengal-sengal, dada sesak seperti ditimpa beban berat. Seolah, semua kepingan
Pagi itu, Eliza terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Pandangannya kabur sesaat, dan tubuhnya terasa lemas seakan ada beban berat di atasnya. Saat ia duduk di atas ranjang, ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai berputar di benaknya—bayangan Diego dan Yoona di atas ranjang membuatnya merasa mual. Di depan cermin, Diego sudah berpakaian rapi, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya. Langkahnya perlahan mendekat ke ranjang, senyuman dingin tersungging di bibirnya saat ia menatap Eliza. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh rambut Eliza, namun sesuatu dalam diri Eliza mendidih. Eliza dengan cepat menepis tangan Diego, matanya menatap tajam penuh jijik. Sentuhannya sekarang bagaikan racun yang ingin ia hindari. “Jangan sentuh aku,” suara Eliza terdengar serak namun tegas, masih terpengaruh oleh mimpi buruk dan kenyataan yang mengerikan. Diego mengangkat alis, tak percaya Eliza akan menolaknya begitu saja. “Apa maksudmu, Eliza? Ak
Eliza duduk di tepi tempat tidur pemeriksaan, merasa sedikit pusing setelah pemeriksaan medis yang baru saja dilakukan. Ruangan itu dingin dan steril, bau khas rumah sakit menusuk hidungnya. Dia merasa lelah, pikirannya berkabut, seolah ada sesuatu yang penting yang dia lupakan, tapi dia tidak bisa menggapainya. Di ruangan lain, Diego sedang berbicara dengan dokter, tetapi Eliza merasa waspada. Entah mengapa, dia tidak sepenuhnya mempercayai pria yang mengaku sebagai suaminya itu.Sementara Eliza memijat pelipisnya, Diego berada di ruang dokter. Wajahnya tampak penuh perhatian, namun matanya bersinar dengan rencana yang tersembunyi."Jadi, bagaimana kondisi istri saya, Dok?" tanya Diego dengan nada yang dibuat cemas, tapi dalam hatinya, Diego hampir tidak bisa menahan kegembiraan.Dokter menghela napas pelan, membuka catatan medis Eliza di tangannya. "Sejujurnya, Tuan Diego, kami menduga istri Anda mengalami amnesia. Mengingat kondisinya, ada kemungkinan ini bisa menjadi permanen, ter
Hari-hari berlalu, namun Eliza semakin tenggelam dalam pikirannya sendiri. Setelah pertemuannya dengan Kelvin, dunianya terasa semakin sempit. Bahkan, hal-hal yang biasanya akan membuatnya bereaksi — kemesraan Diego dan Yoona yang dipamerkan dengan sengaja, Jasmina yang rutin memberinya obat, serta Robert yang sering mabuk-mabukan di luar — kini tak mampu menggugah emosinya. Hatinya mati rasa, dan pikirannya terus berputar pada satu pertanyaan: Siapa Kelvin? Setiap kali ia mengingat wajah kecil itu, perasaannya bercampur antara kesedihan dan rasa penasaran yang menusuk.Eliza duduk di sudut ruangan, menatap kosong ke arah jendela. Sinar matahari masuk melalui tirai tipis, tapi kehangatannya tidak mampu menembus dinginnya hati Eliza.Yoona melintas dengan tawa manja, melingkarkan lengannya di leher Diego. Mereka bercanda dengan suara yang cukup keras untuk didengar Eliza, tapi Eliza tak bergeming. Bahkan, ketika Yoona sengaja mencium Diego dengan suara yang dibuat seprovokatif mungkin,
Malam itu, kesunyian yang pekat menyelimuti kamar Eliza. Hanya suara jarum jam yang berputar lambat, detak demi detak, menemani kekosongan yang menghantui pikirannya. Eliza duduk di tepi ranjang, tangannya menggenggam erat selimut yang terasa dingin. Setiap kali ia menutup mata, bayangan mimpi-mimpi aneh dan suara orang-orang yang tak dikenal terus membayangi.Kekhawatiran merayapi dirinya. Eliza tidak ingin terjebak dalam mimpi-mimpi itu lagi—mimpi tentang orang-orang yang memanggilnya dengan nama yang bukan miliknya, tentang kegelapan yang tak bisa ia pahami.Dengan gelisah, Eliza bangkit dari tempat tidurnya. Langkahnya perlahan dan hati-hati. Kakinya yang telanjang menyentuh lantai dingin, menambah rasa tidak nyaman yang sudah mencekam hatinya. Ia menatap sekeliling kamar, merasakan setiap sudut seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan.Rasa takut semakin kuat, membuatnya tidak tahan berada di kamar itu lebih lama. Tanpa ragu, Eliza membuka pintu dan melangkah keluar. Loro
Eliza mengusap debu tebal dari permukaan buku diary yang tanpa sengaja ia temukan. Jantungnya berdegup kencang. Sesuatu tentang buku itu terasa penting—terlalu penting untuk diabaikan. Dengan diary di tangannya, ia bergegas keluar dari gudang. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seolah-olah rahasia yang tersembunyi dalam buku itu sudah mulai menekan dirinya, bahkan sebelum ia membukanya.Saat tiba di lorong rumah, langkah Eliza terhenti di depan pintu kamar Diego. Telinganya menangkap suara familiar—desahan napas Yoona yang penuh gairah, memecah keheningan malam. Eliza memejamkan mata sejenak, merasakan amarah dan jijik berputar dalam pikirannya.Eliza berdiri diam, menggenggam diary erat-erat, matanya menatap pintu kamar Diego. Telinganya dipenuhi suara desahan Yoona dan Diego. Napasnya semakin berat, namun kali ini bukan karena rasa sakit di kepalanya, melainkan kebencian yang semakin menggelora. Ia ingin masuk, ingin berteriak, tetapi tubuhnya terasa kaku."Setiap malam... sela
Eliza terbangun dengan rasa sakit yang menusuk di kepalanya. Pagi itu terasa begitu samar, seperti mimpi buruk yang belum sepenuhnya usai. Ia duduk di atas ranjang, menggosok pelipisnya dengan pelan, mencoba mengusir rasa pusing yang tak kunjung hilang. Suara langkah kaki Jasmina terdengar dari arah pintu, membawa sarapan dan beberapa pil yang biasa disodorkannya setiap pagi.Ia mencoba mengingat kejadian semalam. Ingatan tentang seseorang yang memukul tengkuknya terus menghantui. Suara misterius yang memerintah untuk membakar diary masih bergema di kepalanya."Semalam ada yang memukulku..." Ucapannya, meski pelan, cukup jelas untuk didengar oleh Jasmina dan Diego yang berdiri tak jauh dari tempat tidurnya. Keduanya bertukar pandang, seolah mencoba mengukur apakah Eliza benar-benar sadar dengan apa yang dia katakan.Jasmina menimpali dengan nada meremehkan. "Kau berhalusinasi, Eliza. Semalam kau tidur dengan pulas."Eliza menggeleng dengan keras, mengabaikan denyut nyeri di kepalanya
Eliza membuka matanya perlahan, cahaya yang masuk dari jendela membuat pandangannya terasa menyilaukan. Kepalanya berdenyut, setiap detak terasa seperti palu yang menghantam pelipisnya. Tubuhnya terasa sangat lemah, seolah-olah seluruh energinya terkuras. Saat penglihatannya mulai fokus, dia melihat sosok Diego berdiri di samping ranjang, bersilang tangan di dada, ekspresinya dingin dan datar, selalu seperti itu.Eliza mencoba duduk, namun rasa pusing yang hebat membuatnya terhuyung kembali ke bantal. Dia menutup mata sejenak, mengatur napas, sebelum menatap Diego dengan tatapan yang tajam namun lelah.Diego menatap wajah Eliza tanpa ekspresi, suaranya nyaris datar. "Kau baik-baik saja, Eliza?"Eliza menjawab dengan nada ketus, meski suaranya lemah. "Apa menurutmu aku terlihat baik-baik saja, Diego?"Diego mengangkat alis sedikit, seakan mendengar jawaban Eliza hanyalah hal kecil yang mengganggu. Dia tidak menunjukkan rasa prihatin ataupun kesal. Alih-alih, dia justru menghela napas
Suasan malam di rumah Diego sedikit berbeda. Nampak sebuah mobil hitam di ikuti dua mobil lainnya terparkir di halaman. Dari dalam mobil, keluar seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa, di ikuti seorang anak lelaki yang memegang tangannya erat."Mama! Papa!" teriak bocah itu dengan suara ceria.Yoona, yang berdiri di depan pintu, langsung tersenyum lebar. "Miko! Sayangku!" serunya sambil membuka tangan untuk memeluk putranya yang berlari ke arahnya.Yoona menggendong Miko dengan penuh kasih, lalu berjalan menghampiri pria itu. "Papa, akhirnya sampai juga," katanya Yoona.Pria mengangguk pelan, tatapannya tegas namun penuh wibawa. "Aku ingin memastikan Miko baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Yoona?""Aku baik, Papa. Terima kasih sudah mengantar Miko ke sini," jawab Yoona sambil tersenyum.Di sudut lain, Jasmina dan Casandra, yang mengintip dari balik tirai jendela, tampak terkejut. Casandra berbisik, "Bukankah itu Tuan Viktor? Ayahnya Yoona?"Jasmina mengangguk ragu. "Sepertinya
bab 33 Senyum kepalsuan.Diego mendorong pintu kamar Eliza perlahan, matanya langsung tertuju pada istrinya yang terbaring diam. Wajahnya tampak tenang, seolah sedang tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan memperhatikan Eliza dengan seksama."Dia masih tidur?" gumam Diego, mengusap lembut rambut Eliza.Jasmina yang berdiri di ambang pintu masuk perlahan. "Di masa pemulihan seperti ini, Eliza memang sering tidur. Itu wajar, Diego. Tubuhnya butuh waktu untuk kembali pulih."Diego menoleh ke arah Jasmina. "Mama sudah merawatnya dengan baik, kan? Aku benar-benar percaya sama Mama.""Tentu saja, Nak," Jasmina menjawab dengan senyum lembut, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Eliza adalah menantuku. Aku pastikan dia mendapat perawatan terbaik."Diego mengangguk, membelai rambut Eliza sekali lagi. "Terima kasih, Ma. Kalau Mama tidak ada, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku keluar dulu, biar dia istirahat."Diego berdiri, berjalan menuju pintu
Daniel berdiri tegak di depan pintu, matanya tajam memandang Jasmina dan Yoona yang terlihat enggan menerima kedatangannya. Ia tak bergeming meskipun ucapan mereka bernada kasar."Anda lagi?" sindir Yoona sambil melipat tangan di dada. "Apa di kepolisian tidak ada tugas lain selain terus mengganggu keluarga kami?"Daniel tetap tenang, meskipun jelas kesabarannya mulai diuji. "Aku hanya ingin memastikan, kalau Eliza baik-baik saja."Jasmina melangkah maju, tatapan matanya menusuk. "Eliza baik-baik saja! Kami merawatnya dengan sangat baik di rumah ini. Anda tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami, Letnan.""Kalau memang begitu, kenapa saya tidak pernah bisa menghubunginya? Teleponnya mati, tidak ada kabar sama sekali. Ini bukan sikap orang yang baik-baik saja," balas Daniel tegas.Yoona mendengus sambil menatap Daniel dengan tatapan penuh amarah. "Eliza tidak ingin diganggu, apalagi oleh Anda! Anda pikir siapa diri Anda sampai bisa masuk dan mencampuri kehidupan pribadinya?"Daniel
Daniel baru saja keluar dari ruang mayat. Saat berjalan di koridor rumah sakit, matanya tanpa sengaja bertemu dengan seorang pria yang familiar—Renzo. Pria itu langsung menyapanya.“Bukankah kau yang kemarin bersama …” Renzo memulai, sedikit ragu.“Eliza,” sahut Daniel dengan cepat. “Namanya Eliza.”Renzo tersenyum kecil. “Ah, iya. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian kemarin.”Daniel mengangguk sopan. “Nanti akan saya sampaikan,” ujarnya singkat. “Anda sendiri sedang apa di sini?”Renzo menghela napas, raut wajahnya berubah muram. “Putraku, Alvin. Demamnya tinggi sejak tadi malam.”Daniel mengangguk mengerti, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Daniel,” katanya. “Bekerja di kepolisian. Kebetulan dulu Letnan Quenza adalah senior saya.”Renzo tertegun mendengar nama itu, ekspresinya mendadak berubah. “Quenza? Kau mengenal mendiang istriku?” tanyanya, suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.Daniel terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. “Ya, saya mengenal
Diego berpamitan kepada Jasmina pagi itu, wajahnya tampak lelah. "Mama, tolong jaga Eliza baik-baik selama aku keluar kota. Ini cuma dua hari, aku tidak mau ada masalah saat aku kembali."Jasmina tersenyum lembut, berusaha tampak penuh kasih sayang. "Tenang saja, Nak. Eliza akan baik-baik saja di rumah. Mama akan memastikan dia tidak kekurangan apa pun."Diego mengangguk, merasa yakin. Namun, begitu mobilnya meninggalkan halaman, Jasmina langsung wajahnya berubah dingin. la melangkah ke ruang keluarga di mana Casandra dan Yoona sudah menunggunya."Kita lakukan sekarang," kata Jasmina.Casandra, adik Diego, menyeringai. "Sudah waktunya dia tahu tempatnya."Yoona melipat tangan di dada, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Pastikan dia tidak bisa melawan. Aku sudah membawa sesuatu untuk membungkam mulutnya."Tanpa membuang waktu, ketiganya menuju kamar Eliza. Jasmina memutar kunci dan mereka bertiga masuk, mengunci pintu dari dalam. Eliza, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap mereka
Lihatlah dia! Pulang ke rumah seperti tak ada yang terjadi!" seru Yoona, menunjuk ke arah Eliza. Nada bicaranya tajam, menusuk, seperti racun yang sengaja dituangkan untuk memanaskan suasana. Diego, yang sudah gelisah sejak tadi, akhirnya tidak mampu menahan emosinya."Apa maksudmu?" tanya Eliza. la melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah Yoona."Diego mencarimu ke mana-mana seperti orang gila! Dan kau? Kau malah asyik bersenang-senang dengan detektif gila itu!" tuduh Yoona tanpa ragu, senyumnya sinis. Kata-katanya tajam, seolah ingin merobek harga diri Eliza."Jaga bicaramu!" Eliza memperingatkan, nadanya naik satu tingkat, tapi tetap berusaha menahan diri.Namun sebelum ia bisa melanjutkan, plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuat ruangan langsung hening. Eliza terdiam, menatap Diego dengan tatapan tak percaya."Kau yang diam!" bentak Diego, suaranya menggema di ruangan. "Kau memang pantas ditampar! Bahkan aku seharusnya sudah menceraikanmu sejak lama! Dasa
Eliza masih tertidur pulas akibat pengaruh obat bius. Wajahnya tampak tenang, tenggelam ke dalam dunia mimpi yang selama ini menghantuinya.Eliza merasa tubuhnya ringan, seperti terseret oleh cahaya putih dan terjatuh, tepat di tengah medan pertempuran, suara benturan, jeritan, dan debu berterbangan di udara. Di sana, ia melihat sosok yang sudah sering muncul dalam mimpinya, seorang wanita dengan tubuh berlumuran darah, melambaikan tangan padanya."Kau, siapa?" tanya Eliza, berjalan perlahan mendekati wanita itu.Wanita itu mengangkat wajahnya, penuh luka tetapi dengan tatapan penuh tekad. "Aku... aku adalah kamu...""Tidak! Kau bukan aku!" Eliza mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar ketakutan saat wanita itu—Quenza—berusaha bangkit, meski tubuhnya jelas terluka parah. Dengan langkah tertatih, Quenza berjalan mendekat."Jangan mendekat!" teriak Eliza panik, memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri.Quenza terus berjalan, darah menetes dari tubuhnya, tetapi matanya t
Bab 28 Bukan Eliza yang dulu."Kalian akan membayarnya!" teriak Eliza saat Yoona dan Jasmina menenggelamkan wajahnya ke dalam bak mandi.Air dingin mengalir masuk ke hidung dan mulut Eliza, membuatnya tersedak, namun ia tetap bertahan. Sesekali, pandangannya terarah ke Diego, yang hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, tanpa melakukan apa-apa. Tatapan Eliza penuh dengan kebencian dan kemarahan yang terpendam."Baiklah," gumam Eliza dalam hati, "aku ingin tahu apa yang sebenarnya telah kalian lakukan padaku selama ini."Setelah puas menyiksa, Yoona melepaskan cengkeramannya, menghempaskan tubuh Eliza ke lantai basah dengan kasar."Aku harap, setelah ini ingatanmu pulih," ujar Yoona sambil menyeringai.Eliza, yang terbaring sejenak, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia tersenyum menyeringai, senyuman yang membuat Yoona dan Jasmina mundur selangkah tanpa sadar. Mereka tidak bisa mengabaikan perubahan di matanya.Dulu, Eliza selalu merengek dan memohon ampun. Tapi kali ini? Tida
"Eliza!!"Daniel berteriak sambil berlari mengejar Eliza yang berlari menuju tepi jalan raya."Eliza!"Namun, Eliza sudah terlalu jauh. Daniel menghentikan langkahnya, mengatur napas sejenak, sebelum memutuskan kembali ke kafe. Ia segera menuju mobilnya yang terparkir.Renzo, yang berdiri di ambang pintu kafe, menyaksikan semua itu dengan tatapan bingung."Ada apa dengan wanita itu..." gumamnya pelan.Sementara itu, Eliza terus berlari hingga tiba di sebuah taman. Ia duduk di bangku, napasnya tersengal, dan air mata mulai mengalir tanpa sebab. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri, mencoba mengendalikan emosi yang tak terbendung."Ada apa denganku..." bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Kenapa semua ini terasa begitu menyakitkan...."Dia menangis tanpa suara, sesak di dada bercampur kebingungan yang sulit dijelaskan.Plok... plok... plok.Eliza mengangkat wajah, matanya tertuju pada Yoona yang berdiri tak jauh darinya, bertepuk tangan dengan senyum penuh ejekan."Kau menangis?" tanya