Bab 1 Misi terakhir
Bab 1 Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktor baru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan." Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece. "Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!" perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit. Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kaki berat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yang tiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan dia tahu itu. “Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementara tangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulai merayap. Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalam brankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu, tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza. “Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhir permainanmu, Letnan.” Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balik jaketnya, bersiap untuk bertarung sampai titik darah penghabisan. Suara tembakan menggelegar, menghantam dinding dan menembus udara di sekitar Quenza. "Bergerak!" serunya, suaranya tegas dan penuh kontrol meski keadaan di luar kendali. Rekannya di sampingnya jatuh dengan teriakan pendek, darah memercik ke pakaian Quenza, tapi dia tak goyah. Dia tak bisa goyah. Misinya terlalu penting untuk gagal. Satu peluru menyasar dekat bahunya, mengoyak bagian kecil jaketnya, tapi Quenza hanya menyipitkan mata dan terus berjuang, menyelinap dari balik satu puing ke puing lainnya, mencari perlindungan. Tangannya masih kokoh menggenggam pistol. "Kita hampir sampai!" Quenza berteriak ke radio timnya, matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad. Namun, suara tanggapan yang diharapkan tidak pernah datang. Hanya kesunyian yang menjawab- rekannya sudah tewas, satu demi satu. Napasnya mulai pendek, tapi bukan karena takut. Bukan, Letnan Quenza tidak kenal rasa takut. Dia tahu ini misi bunuh diri sejak awal, tapi keadilan untuk pembunuhan Perdana Menteri lebih penting daripada nyawanya. Dia akan membawa kejahatan Black Mamba ke permukaan, meskipun harus membayarnya dengan hidupnya sendiri. "Letnan, mereka menyergap dari belakang!" seru salah satu anggotanya di radio, tetapi terlambat. Quenza hanya bisa menyaksikan melalui celah sempit ketika timnya diserang dengan brutal. Suara jeritan dan tembakan semakin jelas, lalu-diam. Mata Quenza berkaca-kaca, tapi bukan karena putus asa. "Tidak ... ini. belum selesai, desisnya, mengumpulkan sisa kekuatannya dan berdiri. Dia melangkah keluar dari perlindungan, pistol siap di tangan. Dia tidak akan lari. Dia bukan pengecut. Saat itulah Viktor, pemimpin Black Mamba, muncul di balik asap, wajahnya penuh kemenangan seperti binatang yang baru saja menangkap mangsa. "Aku sudah menunggumu, Letnan." Suaranya rendah dan menakutkan, tapi Quenza tidak gentar. "Viktor." Quenza menyapa dingin, matanya tak pernah lepas dari sosok pria itu. "Kau pikir ini berakhir hanya karena kau menyergap kami? Aku akan membawamu jatuh bersamaku, dan kau tahu itu." Viktor tertawa, sebuah tawa yang penuh ejekan. "Kau terlalu percaya diri untuk seseorang yang terjebak di sarang. Lihat sekelilingmu, Letnan. Tak ada yang tersisa dari tim mu. Ini hanya soal waktu sebelum kau jatuh juga." Quenza tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Aku tak butuh tim untuk menghabisimu. Cukup aku saja." Viktor mengerutkan kening, tangannya dengan tenang menarik pistol dari balik jaketnya. "Sayangnya, kamu tidak akan punya kesempatan untuk itu. Kau tahu, kau terlalu bagus untuk dibunuh dengan cepat. Aku akan menikmati ini." Quenza berlari maju, menembak tanpa ragu, melepaskan beberapa tembakan ke arah Viktor. Beberapa anak buah Viktor tersungkur, tapi Viktor sendiri gesit menghindar. Quenza tahu dia harus mendekat. Pertarungan jarak dekat adalah spesialisasinya. Namun, saat dia mendekat, Viktor berhasil menendang senjatanya keluar dari tangan Quenza. Dengan cepat, Viktor menyerangnya, menjatuhkan Quenza ke tanah dengan satu pukulan keras. Darah menetes dari sudut bibirnya, tetapi mata Quenza tetap terbakar amarah. "Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja?!" geram Quenza, menendang balik dengan lutut, membuat Viktor terhuyung mundur. Quenza bangkit dengan gerakan cepat, mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya. "Aku takkan jatuh semudah itu," katanya sambil melangkah maju, menatap Viktor tajam. Tapi Viktor sudah menyiapkan langkah terakhirnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya dan menikam perut Quenza. Rasa sakit itu tak terlukiskan, tapi Quenza hanya menggertakkan giginya, menahan teriakannya. "Kau kalah," bisik Viktor, suaranya penuh kebencian, menekan pisau itu lebih dalam. Quenza terhuyung, tangannya mencoba menahan darah yang mengalir dari lukanya. Tapi bukan rasa sakit fisik yang menghantamnya saat itu melainkan bayangan putranya, Kelvin, dan suaminya, Kenzo. Mereka menari di pikirannya, wajah mereka tersenyum, memanggilnya pulang. Dia merasakan rasa bersalah yang mendalam. "Maafkan aku," desah Quenza, tapi ini bukan permintaan maaf kepada Viktor. Ini untuk keluarga yang ditinggalkan. Untuk janji-janji yang tak bisa ditepati. Meski tubuhnya hampir mati rasa. Quenza menatap Viktor sekali lagi. "Kau mungkin bisa menghabisiku, Viktor... tapi aku akan kembali untuk menghancurkanmu. Kau tidak akan pernah tenang." Viktor tertawa lagi, menarik pisau itu keluar, membiarkan darah mengalir deras dari tubuh Quenza. "Oh, aku pastikan kau tidak akan kembali, Letnan." Saat dunia mulai menggelap, Quenza tersenyum tipis, meski rasa sakit terus mendera. Dia sudah siap menghadapi akhir ini, tetapi sesuatu di dalam dirinya tahu, ini belum benar-benar akhir. Saat nafas terakhirnya keluar dari bibirnya. "Kelvin … Renzo ...." Saat tubuhnya tak lagi merespons, nafasnya terhenti, dan detak jantungnya melemah, Quenza merasa seolah-olah waktunya di dunia sudah habis. Namun, alih-alih rasa damai atau kebebasan yang diharapkan di akhir, sesuatu yang ganjil terjadi. Ia tidak pergi ke tempat yang seharusnya menjadi tujuannya setelah kematian. Tidak ada surga. Tidak ada neraka. Hanya kekosongan, sunyi, hampa—ruang gelap tanpa ujung. Ia terombang-ambing di antara hidup dan mati, tak tahu apa yang sedang terjadi. "Ini... bukan mati," pikirnya, ia mulai merasakan sesuatu yang kuat, dorongan yang menarik jiwanya. Ia tidak bisa mengendalikan arah geraknya. Daya tarik itu begitu kuat, seolah ada tangan tak terlihat yang menggenggam rohnya dan menyeretnya ke tempat yang tidak ia pahami. Di dalam kegelapan itu, ia merasa seolah-olah jiwanya tengah melintasi batas-batas yang tak bisa dipahami oleh manusia. Ada sesuatu yang menariknya, lebih kuat daripada sekadar gravitasi dunia, lebih kuat daripada kematian itu sendiri. Kemudian, dia melihat seberkas cahaya di kejauhan, cahaya yang semakin mendekat. Cahaya itu seolah memanggil, mengundang, mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar akhir hidup. Cahaya itu menyilaukan, semakin mendekat, hingga akhirnya, dalam sekejap, semuanya berubah. Splaassshhh! Sebuah cahaya terang yang tiba-tiba muncul, menyelimuti tubuh Quenza yang tak bernyawa. Dalam hitungan detik, cahaya itu menarik jiwanya, secepat kilat membawanya menjauh dari tempat gelap dan dingin itu. Rasa sakit yang mengoyak dadanya lenyap seketika. Tidak ada darah, tidak ada tawa kejam Victor, tidak ada penderitaan. Cahaya itu tiba-tiba berubah. Ia merasa tubuhnya dipaksa memasuki ruang yang asing, menekan, seolah-olah jiwanya dipaksa masuk ke dalam sesuatu yang bukan miliknya. Tiba-tiba, ia membuka mata. "Dia... hidup?" salah satu perawat berbisik, matanya membelalak tak percaya. “Ini kuasa Tuhan....” Dokter utama, yang sebelumnya memeriksa denyut nadi yang sudah tidak ada, menatap ke arah monitor. Mesin menunjukkan tanda-tanda kehidupan—denyut yang kembali muncul, meski pelan dan lemah. Mereka semua terpaku. Sementara tubuh pasien bergerak perlahan, kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Nafasnya berat dan tidak teratur, matanya masih kosong, seolah-olah jiwanya belum benar-benar kembali ke tubuhnya. Seluruh tim medis dalam ruangan itu bergerak dengan kecepatan gila, meski kebingungan dan ketegangan merayapi mereka. Dokter kembali memeriksa organ vitalnya, sementara seorang perawat segera menyiapkan alat bantu pernapasan, dan yang lain memastikan bahwa tubuh pasien tidak mengalami kerusakan lebih lanjut. "Apa yang terjadi ...?" pikirnya dalam kebingungan. Tapi suaranya tidak bisa terdengar. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk bangkit, meski tubuhnya terasa sangat lemah. Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi. "Di mana aku ...?" Suaranya lemah. Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?" "Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?" “Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata."Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin
Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"
Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lai
Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah megah itu. Eliza, yang baru saja meminum pil dari Jasmina, terlelap di atas ranjang besarnya. Tubuhnya terasa semakin lemah dari hari ke hari, seolah energi hidupnya perlahan tersedot keluar tanpa ia sadari. Meski tertidur, Eliza tampak gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak tak tenang di balik selimut tebal, keningnya berkeringat, sementara napasnya tak teratur.Malam itu bukanlah malam yang damai seperti seharusnya. Mimpi aneh kembali menghantui pikirannya. Dalam mimpinya, Eliza melihat sosok seorang letnan polisi—seorang wanita cantik dengan wajah penuh ketegasan dan keberanian. Suara teriakan bergema di kejauhan, disusul oleh suara tembakan yang memekakkan telinga. Semuanya tampak nyata, begitu hidup, seolah-olah ia berada di tengah baku tembak itu.Eliza terengah-engah, merasakan panas dan adrenalin dari mimpi itu. Dalam mimpi yang semakin kabur namun tetap menghantui, seorang pria berteriak berkali-kali, memanggil nama yang seperti
Rasa penasaran yang mencekik akhirnya mendorong Eliza untuk bertindak lebih berani. Langkah kakinya dipercepat, dan tanpa ragu, tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu di ruangan yang temaram itu. Ketika jari-jarinya menyentuh saklar, ia menekannya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ruangan itu terang-benderang, dan pemandangan yang tersaji di depannya membuat dunia Eliza seakan runtuh.Di atas ranjang besar dengan selimut kusut, Diego dan Yoona tergeletak, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Mereka berdua langsung tersentak, menoleh ke arah Eliza dengan ekspresi terkejut bercampur rasa panik. Namun bagi Eliza, semuanya terasa melambat—seolah detik-detik itu memaku dirinya di tempat.Eliza berdiri membeku di ambang pintu, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Napasnya tersengal-sengal, dada sesak seperti ditimpa beban berat. Seolah, semua kepingan
Pagi itu, Eliza terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Pandangannya kabur sesaat, dan tubuhnya terasa lemas seakan ada beban berat di atasnya. Saat ia duduk di atas ranjang, ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai berputar di benaknya—bayangan Diego dan Yoona di atas ranjang membuatnya merasa mual. Di depan cermin, Diego sudah berpakaian rapi, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya. Langkahnya perlahan mendekat ke ranjang, senyuman dingin tersungging di bibirnya saat ia menatap Eliza. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh rambut Eliza, namun sesuatu dalam diri Eliza mendidih. Eliza dengan cepat menepis tangan Diego, matanya menatap tajam penuh jijik. Sentuhannya sekarang bagaikan racun yang ingin ia hindari. “Jangan sentuh aku,” suara Eliza terdengar serak namun tegas, masih terpengaruh oleh mimpi buruk dan kenyataan yang mengerikan. Diego mengangkat alis, tak percaya Eliza akan menolaknya begitu saja. “Apa maksudmu, Eliza? Ak
Suasan malam di rumah Diego sedikit berbeda. Nampak sebuah mobil hitam di ikuti dua mobil lainnya terparkir di halaman. Dari dalam mobil, keluar seorang pria paruh baya dengan aura berwibawa, di ikuti seorang anak lelaki yang memegang tangannya erat."Mama! Papa!" teriak bocah itu dengan suara ceria.Yoona, yang berdiri di depan pintu, langsung tersenyum lebar. "Miko! Sayangku!" serunya sambil membuka tangan untuk memeluk putranya yang berlari ke arahnya.Yoona menggendong Miko dengan penuh kasih, lalu berjalan menghampiri pria itu. "Papa, akhirnya sampai juga," katanya Yoona.Pria mengangguk pelan, tatapannya tegas namun penuh wibawa. "Aku ingin memastikan Miko baik-baik saja. Bagaimana denganmu, Yoona?""Aku baik, Papa. Terima kasih sudah mengantar Miko ke sini," jawab Yoona sambil tersenyum.Di sudut lain, Jasmina dan Casandra, yang mengintip dari balik tirai jendela, tampak terkejut. Casandra berbisik, "Bukankah itu Tuan Viktor? Ayahnya Yoona?"Jasmina mengangguk ragu. "Sepertinya
bab 33 Senyum kepalsuan.Diego mendorong pintu kamar Eliza perlahan, matanya langsung tertuju pada istrinya yang terbaring diam. Wajahnya tampak tenang, seolah sedang tenggelam dalam tidur yang nyenyak. Ia mendekat, duduk di tepi ranjang, dan memperhatikan Eliza dengan seksama."Dia masih tidur?" gumam Diego, mengusap lembut rambut Eliza.Jasmina yang berdiri di ambang pintu masuk perlahan. "Di masa pemulihan seperti ini, Eliza memang sering tidur. Itu wajar, Diego. Tubuhnya butuh waktu untuk kembali pulih."Diego menoleh ke arah Jasmina. "Mama sudah merawatnya dengan baik, kan? Aku benar-benar percaya sama Mama.""Tentu saja, Nak," Jasmina menjawab dengan senyum lembut, meskipun matanya menyiratkan sesuatu yang lain. "Eliza adalah menantuku. Aku pastikan dia mendapat perawatan terbaik."Diego mengangguk, membelai rambut Eliza sekali lagi. "Terima kasih, Ma. Kalau Mama tidak ada, aku tidak tahu harus bagaimana. Aku keluar dulu, biar dia istirahat."Diego berdiri, berjalan menuju pintu
Daniel berdiri tegak di depan pintu, matanya tajam memandang Jasmina dan Yoona yang terlihat enggan menerima kedatangannya. Ia tak bergeming meskipun ucapan mereka bernada kasar."Anda lagi?" sindir Yoona sambil melipat tangan di dada. "Apa di kepolisian tidak ada tugas lain selain terus mengganggu keluarga kami?"Daniel tetap tenang, meskipun jelas kesabarannya mulai diuji. "Aku hanya ingin memastikan, kalau Eliza baik-baik saja."Jasmina melangkah maju, tatapan matanya menusuk. "Eliza baik-baik saja! Kami merawatnya dengan sangat baik di rumah ini. Anda tidak perlu ikut campur urusan keluarga kami, Letnan.""Kalau memang begitu, kenapa saya tidak pernah bisa menghubunginya? Teleponnya mati, tidak ada kabar sama sekali. Ini bukan sikap orang yang baik-baik saja," balas Daniel tegas.Yoona mendengus sambil menatap Daniel dengan tatapan penuh amarah. "Eliza tidak ingin diganggu, apalagi oleh Anda! Anda pikir siapa diri Anda sampai bisa masuk dan mencampuri kehidupan pribadinya?"Daniel
Daniel baru saja keluar dari ruang mayat. Saat berjalan di koridor rumah sakit, matanya tanpa sengaja bertemu dengan seorang pria yang familiar—Renzo. Pria itu langsung menyapanya.“Bukankah kau yang kemarin bersama …” Renzo memulai, sedikit ragu.“Eliza,” sahut Daniel dengan cepat. “Namanya Eliza.”Renzo tersenyum kecil. “Ah, iya. Saya belum sempat mengucapkan terima kasih atas bantuan kalian kemarin.”Daniel mengangguk sopan. “Nanti akan saya sampaikan,” ujarnya singkat. “Anda sendiri sedang apa di sini?”Renzo menghela napas, raut wajahnya berubah muram. “Putraku, Alvin. Demamnya tinggi sejak tadi malam.”Daniel mengangguk mengerti, lalu mengulurkan tangannya. “Saya Daniel,” katanya. “Bekerja di kepolisian. Kebetulan dulu Letnan Quenza adalah senior saya.”Renzo tertegun mendengar nama itu, ekspresinya mendadak berubah. “Quenza? Kau mengenal mendiang istriku?” tanyanya, suaranya terdengar pelan, hampir berbisik.Daniel terdiam sejenak sebelum mengangguk perlahan. “Ya, saya mengenal
Diego berpamitan kepada Jasmina pagi itu, wajahnya tampak lelah. "Mama, tolong jaga Eliza baik-baik selama aku keluar kota. Ini cuma dua hari, aku tidak mau ada masalah saat aku kembali."Jasmina tersenyum lembut, berusaha tampak penuh kasih sayang. "Tenang saja, Nak. Eliza akan baik-baik saja di rumah. Mama akan memastikan dia tidak kekurangan apa pun."Diego mengangguk, merasa yakin. Namun, begitu mobilnya meninggalkan halaman, Jasmina langsung wajahnya berubah dingin. la melangkah ke ruang keluarga di mana Casandra dan Yoona sudah menunggunya."Kita lakukan sekarang," kata Jasmina.Casandra, adik Diego, menyeringai. "Sudah waktunya dia tahu tempatnya."Yoona melipat tangan di dada, senyum sinis menghiasi wajahnya. "Pastikan dia tidak bisa melawan. Aku sudah membawa sesuatu untuk membungkam mulutnya."Tanpa membuang waktu, ketiganya menuju kamar Eliza. Jasmina memutar kunci dan mereka bertiga masuk, mengunci pintu dari dalam. Eliza, yang sedang duduk di tepi ranjang, menatap mereka
Lihatlah dia! Pulang ke rumah seperti tak ada yang terjadi!" seru Yoona, menunjuk ke arah Eliza. Nada bicaranya tajam, menusuk, seperti racun yang sengaja dituangkan untuk memanaskan suasana. Diego, yang sudah gelisah sejak tadi, akhirnya tidak mampu menahan emosinya."Apa maksudmu?" tanya Eliza. la melangkah mendekat, matanya menatap lurus ke arah Yoona."Diego mencarimu ke mana-mana seperti orang gila! Dan kau? Kau malah asyik bersenang-senang dengan detektif gila itu!" tuduh Yoona tanpa ragu, senyumnya sinis. Kata-katanya tajam, seolah ingin merobek harga diri Eliza."Jaga bicaramu!" Eliza memperingatkan, nadanya naik satu tingkat, tapi tetap berusaha menahan diri.Namun sebelum ia bisa melanjutkan, plak! Sebuah tamparan keras mendarat di pipinya, membuat ruangan langsung hening. Eliza terdiam, menatap Diego dengan tatapan tak percaya."Kau yang diam!" bentak Diego, suaranya menggema di ruangan. "Kau memang pantas ditampar! Bahkan aku seharusnya sudah menceraikanmu sejak lama! Dasa
Eliza masih tertidur pulas akibat pengaruh obat bius. Wajahnya tampak tenang, tenggelam ke dalam dunia mimpi yang selama ini menghantuinya.Eliza merasa tubuhnya ringan, seperti terseret oleh cahaya putih dan terjatuh, tepat di tengah medan pertempuran, suara benturan, jeritan, dan debu berterbangan di udara. Di sana, ia melihat sosok yang sudah sering muncul dalam mimpinya, seorang wanita dengan tubuh berlumuran darah, melambaikan tangan padanya."Kau, siapa?" tanya Eliza, berjalan perlahan mendekati wanita itu.Wanita itu mengangkat wajahnya, penuh luka tetapi dengan tatapan penuh tekad. "Aku... aku adalah kamu...""Tidak! Kau bukan aku!" Eliza mundur beberapa langkah, tubuhnya gemetar ketakutan saat wanita itu—Quenza—berusaha bangkit, meski tubuhnya jelas terluka parah. Dengan langkah tertatih, Quenza berjalan mendekat."Jangan mendekat!" teriak Eliza panik, memeluk tubuhnya sendiri seolah mencoba melindungi diri.Quenza terus berjalan, darah menetes dari tubuhnya, tetapi matanya t
Bab 28 Bukan Eliza yang dulu."Kalian akan membayarnya!" teriak Eliza saat Yoona dan Jasmina menenggelamkan wajahnya ke dalam bak mandi.Air dingin mengalir masuk ke hidung dan mulut Eliza, membuatnya tersedak, namun ia tetap bertahan. Sesekali, pandangannya terarah ke Diego, yang hanya berdiri mematung di ambang pintu kamar mandi, tanpa melakukan apa-apa. Tatapan Eliza penuh dengan kebencian dan kemarahan yang terpendam."Baiklah," gumam Eliza dalam hati, "aku ingin tahu apa yang sebenarnya telah kalian lakukan padaku selama ini."Setelah puas menyiksa, Yoona melepaskan cengkeramannya, menghempaskan tubuh Eliza ke lantai basah dengan kasar."Aku harap, setelah ini ingatanmu pulih," ujar Yoona sambil menyeringai.Eliza, yang terbaring sejenak, tiba-tiba mengangkat wajahnya. Ia tersenyum menyeringai, senyuman yang membuat Yoona dan Jasmina mundur selangkah tanpa sadar. Mereka tidak bisa mengabaikan perubahan di matanya.Dulu, Eliza selalu merengek dan memohon ampun. Tapi kali ini? Tida
"Eliza!!"Daniel berteriak sambil berlari mengejar Eliza yang berlari menuju tepi jalan raya."Eliza!"Namun, Eliza sudah terlalu jauh. Daniel menghentikan langkahnya, mengatur napas sejenak, sebelum memutuskan kembali ke kafe. Ia segera menuju mobilnya yang terparkir.Renzo, yang berdiri di ambang pintu kafe, menyaksikan semua itu dengan tatapan bingung."Ada apa dengan wanita itu..." gumamnya pelan.Sementara itu, Eliza terus berlari hingga tiba di sebuah taman. Ia duduk di bangku, napasnya tersengal, dan air mata mulai mengalir tanpa sebab. Ia memegangi dadanya yang terasa nyeri, mencoba mengendalikan emosi yang tak terbendung."Ada apa denganku..." bisiknya lirih, suaranya bergetar. "Kenapa semua ini terasa begitu menyakitkan...."Dia menangis tanpa suara, sesak di dada bercampur kebingungan yang sulit dijelaskan.Plok... plok... plok.Eliza mengangkat wajah, matanya tertuju pada Yoona yang berdiri tak jauh darinya, bertepuk tangan dengan senyum penuh ejekan."Kau menangis?" tanya