Bab 1 Misi terakhir
Bab 1 Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktor baru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan." Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece. "Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!" perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit. Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kaki berat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yang tiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan dia tahu itu. “Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementara tangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulai merayap. Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalam brankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu, tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza. “Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhir permainanmu, Letnan.” Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balik jaketnya, bersiap untuk bertarung sampai titik darah penghabisan. Suara tembakan menggelegar, menghantam dinding dan menembus udara di sekitar Quenza. "Bergerak!" serunya, suaranya tegas dan penuh kontrol meski keadaan di luar kendali. Rekannya di sampingnya jatuh dengan teriakan pendek, darah memercik ke pakaian Quenza, tapi dia tak goyah. Dia tak bisa goyah. Misinya terlalu penting untuk gagal. Satu peluru menyasar dekat bahunya, mengoyak bagian kecil jaketnya, tapi Quenza hanya menyipitkan mata dan terus berjuang, menyelinap dari balik satu puing ke puing lainnya, mencari perlindungan. Tangannya masih kokoh menggenggam pistol. "Kita hampir sampai!" Quenza berteriak ke radio timnya, matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad. Namun, suara tanggapan yang diharapkan tidak pernah datang. Hanya kesunyian yang menjawab- rekannya sudah tewas, satu demi satu. Napasnya mulai pendek, tapi bukan karena takut. Bukan, Letnan Quenza tidak kenal rasa takut. Dia tahu ini misi bunuh diri sejak awal, tapi keadilan untuk pembunuhan Perdana Menteri lebih penting daripada nyawanya. Dia akan membawa kejahatan Black Mamba ke permukaan, meskipun harus membayarnya dengan hidupnya sendiri. "Letnan, mereka menyergap dari belakang!" seru salah satu anggotanya di radio, tetapi terlambat. Quenza hanya bisa menyaksikan melalui celah sempit ketika timnya diserang dengan brutal. Suara jeritan dan tembakan semakin jelas, lalu-diam. Mata Quenza berkaca-kaca, tapi bukan karena putus asa. "Tidak ... ini. belum selesai, desisnya, mengumpulkan sisa kekuatannya dan berdiri. Dia melangkah keluar dari perlindungan, pistol siap di tangan. Dia tidak akan lari. Dia bukan pengecut. Saat itulah Viktor, pemimpin Black Mamba, muncul di balik asap, wajahnya penuh kemenangan seperti binatang yang baru saja menangkap mangsa. "Aku sudah menunggumu, Letnan." Suaranya rendah dan menakutkan, tapi Quenza tidak gentar. "Viktor." Quenza menyapa dingin, matanya tak pernah lepas dari sosok pria itu. "Kau pikir ini berakhir hanya karena kau menyergap kami? Aku akan membawamu jatuh bersamaku, dan kau tahu itu." Viktor tertawa, sebuah tawa yang penuh ejekan. "Kau terlalu percaya diri untuk seseorang yang terjebak di sarang. Lihat sekelilingmu, Letnan. Tak ada yang tersisa dari tim mu. Ini hanya soal waktu sebelum kau jatuh juga." Quenza tidak mengalihkan pandangannya sedikit pun. "Aku tak butuh tim untuk menghabisimu. Cukup aku saja." Viktor mengerutkan kening, tangannya dengan tenang menarik pistol dari balik jaketnya. "Sayangnya, kamu tidak akan punya kesempatan untuk itu. Kau tahu, kau terlalu bagus untuk dibunuh dengan cepat. Aku akan menikmati ini." Quenza berlari maju, menembak tanpa ragu, melepaskan beberapa tembakan ke arah Viktor. Beberapa anak buah Viktor tersungkur, tapi Viktor sendiri gesit menghindar. Quenza tahu dia harus mendekat. Pertarungan jarak dekat adalah spesialisasinya. Namun, saat dia mendekat, Viktor berhasil menendang senjatanya keluar dari tangan Quenza. Dengan cepat, Viktor menyerangnya, menjatuhkan Quenza ke tanah dengan satu pukulan keras. Darah menetes dari sudut bibirnya, tetapi mata Quenza tetap terbakar amarah. "Kau pikir bisa menghentikanku begitu saja?!" geram Quenza, menendang balik dengan lutut, membuat Viktor terhuyung mundur. Quenza bangkit dengan gerakan cepat, mengabaikan rasa sakit di seluruh tubuhnya. "Aku takkan jatuh semudah itu," katanya sambil melangkah maju, menatap Viktor tajam. Tapi Viktor sudah menyiapkan langkah terakhirnya. Dengan satu gerakan cepat, dia mengeluarkan pisau dari ikat pinggangnya dan menikam perut Quenza. Rasa sakit itu tak terlukiskan, tapi Quenza hanya menggertakkan giginya, menahan teriakannya. "Kau kalah," bisik Viktor, suaranya penuh kebencian, menekan pisau itu lebih dalam. Quenza terhuyung, tangannya mencoba menahan darah yang mengalir dari lukanya. Tapi bukan rasa sakit fisik yang menghantamnya saat itu melainkan bayangan putranya, Kelvin, dan suaminya, Kenzo. Mereka menari di pikirannya, wajah mereka tersenyum, memanggilnya pulang. Dia merasakan rasa bersalah yang mendalam. "Maafkan aku," desah Quenza, tapi ini bukan permintaan maaf kepada Viktor. Ini untuk keluarga yang ditinggalkan. Untuk janji-janji yang tak bisa ditepati. Meski tubuhnya hampir mati rasa. Quenza menatap Viktor sekali lagi. "Kau mungkin bisa menghabisiku, Viktor... tapi aku akan kembali untuk menghancurkanmu. Kau tidak akan pernah tenang." Viktor tertawa lagi, menarik pisau itu keluar, membiarkan darah mengalir deras dari tubuh Quenza. "Oh, aku pastikan kau tidak akan kembali, Letnan." Saat dunia mulai menggelap, Quenza tersenyum tipis, meski rasa sakit terus mendera. Dia sudah siap menghadapi akhir ini, tetapi sesuatu di dalam dirinya tahu, ini belum benar-benar akhir. Saat nafas terakhirnya keluar dari bibirnya. "Kelvin … Renzo ...." Saat tubuhnya tak lagi merespons, nafasnya terhenti, dan detak jantungnya melemah, Quenza merasa seolah-olah waktunya di dunia sudah habis. Namun, alih-alih rasa damai atau kebebasan yang diharapkan di akhir, sesuatu yang ganjil terjadi. Ia tidak pergi ke tempat yang seharusnya menjadi tujuannya setelah kematian. Tidak ada surga. Tidak ada neraka. Hanya kekosongan, sunyi, hampa—ruang gelap tanpa ujung. Ia terombang-ambing di antara hidup dan mati, tak tahu apa yang sedang terjadi. "Ini... bukan mati," pikirnya, ia mulai merasakan sesuatu yang kuat, dorongan yang menarik jiwanya. Ia tidak bisa mengendalikan arah geraknya. Daya tarik itu begitu kuat, seolah ada tangan tak terlihat yang menggenggam rohnya dan menyeretnya ke tempat yang tidak ia pahami. Di dalam kegelapan itu, ia merasa seolah-olah jiwanya tengah melintasi batas-batas yang tak bisa dipahami oleh manusia. Ada sesuatu yang menariknya, lebih kuat daripada sekadar gravitasi dunia, lebih kuat daripada kematian itu sendiri. Kemudian, dia melihat seberkas cahaya di kejauhan, cahaya yang semakin mendekat. Cahaya itu seolah memanggil, mengundang, mengisyaratkan sesuatu yang lebih besar daripada sekadar akhir hidup. Cahaya itu menyilaukan, semakin mendekat, hingga akhirnya, dalam sekejap, semuanya berubah. Splaassshhh! Sebuah cahaya terang yang tiba-tiba muncul, menyelimuti tubuh Quenza yang tak bernyawa. Dalam hitungan detik, cahaya itu menarik jiwanya, secepat kilat membawanya menjauh dari tempat gelap dan dingin itu. Rasa sakit yang mengoyak dadanya lenyap seketika. Tidak ada darah, tidak ada tawa kejam Victor, tidak ada penderitaan. Cahaya itu tiba-tiba berubah. Ia merasa tubuhnya dipaksa memasuki ruang yang asing, menekan, seolah-olah jiwanya dipaksa masuk ke dalam sesuatu yang bukan miliknya. Tiba-tiba, ia membuka mata. "Dia... hidup?" salah satu perawat berbisik, matanya membelalak tak percaya. “Ini kuasa Tuhan....” Dokter utama, yang sebelumnya memeriksa denyut nadi yang sudah tidak ada, menatap ke arah monitor. Mesin menunjukkan tanda-tanda kehidupan—denyut yang kembali muncul, meski pelan dan lemah. Mereka semua terpaku. Sementara tubuh pasien bergerak perlahan, kesadarannya belum sepenuhnya kembali. Nafasnya berat dan tidak teratur, matanya masih kosong, seolah-olah jiwanya belum benar-benar kembali ke tubuhnya. Seluruh tim medis dalam ruangan itu bergerak dengan kecepatan gila, meski kebingungan dan ketegangan merayapi mereka. Dokter kembali memeriksa organ vitalnya, sementara seorang perawat segera menyiapkan alat bantu pernapasan, dan yang lain memastikan bahwa tubuh pasien tidak mengalami kerusakan lebih lanjut. "Apa yang terjadi ...?" pikirnya dalam kebingungan. Tapi suaranya tidak bisa terdengar. Ia merasakan dorongan yang kuat untuk bangkit, meski tubuhnya terasa sangat lemah. Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untuk pertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapas lagi. "Di mana aku ...?" Suaranya lemah. Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dan kurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadi padaku?" "Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kau istirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kau rasakan, Nyonya?" “Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut dengan pertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaan teraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata."Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin
Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"
Eliza melangkah keluar dari kamarnya, menyusuri koridor rumah yang luas dengan langkah pelan. Sepanjang perjalanan, matanya menjelajah setiap sudut, memandangi barang-barang mewah yang tampaknya tidak pernah kekurangan. Langit-langit tinggi dengan lampu kristal berkilauan, sofa kulit yang diposisikan sempurna di ruang tamu, dan hiasan dinding yang tampak seperti lukisan mahal semuanya menciptakan suasana kemewahan yang megah.Namun di balik semua itu, Eliza merasakan kehampaan yang menyakitkan. Segalanya begitu berlebihan, tapi entah kenapa tidak ada yang benar-benar terasa berarti. Rumah ini mungkin dipenuhi dengan kemewahan, tapi kosong dari sesuatu yang jauh lebih penting—kehidupan.Saat Eliza mencapai ruang keluarga, matanya tertuju pada deretan foto yang terpajang dengan bangga di atas perapian. Potret keluarga yang diambil dalam berbagai kesempatan, menampilkan wajah-wajah yang tampak bahagia. Diego dan Gloria ada di sebagian besar foto, begitu pula beberapa anggota keluarga lai
Malam semakin larut, dan keheningan menyelimuti rumah megah itu. Eliza, yang baru saja meminum pil dari Jasmina, terlelap di atas ranjang besarnya. Tubuhnya terasa semakin lemah dari hari ke hari, seolah energi hidupnya perlahan tersedot keluar tanpa ia sadari. Meski tertidur, Eliza tampak gelisah. Tubuhnya bergerak-gerak tak tenang di balik selimut tebal, keningnya berkeringat, sementara napasnya tak teratur.Malam itu bukanlah malam yang damai seperti seharusnya. Mimpi aneh kembali menghantui pikirannya. Dalam mimpinya, Eliza melihat sosok seorang letnan polisi—seorang wanita cantik dengan wajah penuh ketegasan dan keberanian. Suara teriakan bergema di kejauhan, disusul oleh suara tembakan yang memekakkan telinga. Semuanya tampak nyata, begitu hidup, seolah-olah ia berada di tengah baku tembak itu.Eliza terengah-engah, merasakan panas dan adrenalin dari mimpi itu. Dalam mimpi yang semakin kabur namun tetap menghantui, seorang pria berteriak berkali-kali, memanggil nama yang seperti
Rasa penasaran yang mencekik akhirnya mendorong Eliza untuk bertindak lebih berani. Langkah kakinya dipercepat, dan tanpa ragu, tangannya meraba dinding, mencari saklar lampu di ruangan yang temaram itu. Ketika jari-jarinya menyentuh saklar, ia menekannya tanpa berpikir panjang. Dalam sekejap, ruangan itu terang-benderang, dan pemandangan yang tersaji di depannya membuat dunia Eliza seakan runtuh.Di atas ranjang besar dengan selimut kusut, Diego dan Yoona tergeletak, tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh mereka. Mereka berdua langsung tersentak, menoleh ke arah Eliza dengan ekspresi terkejut bercampur rasa panik. Namun bagi Eliza, semuanya terasa melambat—seolah detik-detik itu memaku dirinya di tempat.Eliza berdiri membeku di ambang pintu, tangannya mencengkeram gagang pintu dengan kuat, begitu keras hingga buku-buku jarinya memutih. Matanya membelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Napasnya tersengal-sengal, dada sesak seperti ditimpa beban berat. Seolah, semua kepingan
Pagi itu, Eliza terbangun dengan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya. Pandangannya kabur sesaat, dan tubuhnya terasa lemas seakan ada beban berat di atasnya. Saat ia duduk di atas ranjang, ingatan samar-samar tentang kejadian semalam mulai berputar di benaknya—bayangan Diego dan Yoona di atas ranjang membuatnya merasa mual. Di depan cermin, Diego sudah berpakaian rapi, mengenakan jas hitam mahal seperti biasanya. Langkahnya perlahan mendekat ke ranjang, senyuman dingin tersungging di bibirnya saat ia menatap Eliza. Tanpa berkata-kata, ia mengulurkan tangan, hendak menyentuh rambut Eliza, namun sesuatu dalam diri Eliza mendidih. Eliza dengan cepat menepis tangan Diego, matanya menatap tajam penuh jijik. Sentuhannya sekarang bagaikan racun yang ingin ia hindari. “Jangan sentuh aku,” suara Eliza terdengar serak namun tegas, masih terpengaruh oleh mimpi buruk dan kenyataan yang mengerikan. Diego mengangkat alis, tak percaya Eliza akan menolaknya begitu saja. “Apa maksudmu, Eliza? Ak
Eliza berdiri mematung di bawah langit senja, warna keemasan menyelimuti halaman rumah Renzo. Karangan bunga memenuhi halaman rumah Renzo. membawa aroma kesedihan yang bercampur dengan rasa hormat. Senyum tipis menghiasi bibirnya, tapi matanya memancarkan kesedihan yang sulit disembunyikan."Kau senang? Ini yang kau inginkan?" tanya Diego, suaranya datar, namun sorot matanya penuh tanya.Eliza menoleh perlahan, menatap Diego. Untuk sesaat, tak ada jawaban yang terucap. Kata-kata terasa seperti beban yang sulit diungkapkan. Benarkah ini yang ia inginkan? Dia bahkan tidak tahu apa yang sebenarnya dia harapkan selama ini."Aku tidak tahu, Diego," jawab Eliza akhirnya, suaranya lirih. "Aku hanya menjalani apa yang ada di hadapanku. Takdir ini... bukan pilihanku."Diego menghela napas, matanya menatap jauh ke arah bunga-bunga itu, seolah mencoba membaca makna yang tersembunyi di baliknya. "Takdir memang bukan pilihan, El. Tapi apa yang kau lakukan setelahnya, yang akan menentukan segalanya
Di tengah keheningan mencekam, hanya terdengar suara sirene mobil polisi dan percakapan samar melalui radio petugas. Asap tebal membubung dari reruntuhan gedung, menyelimuti area dengan aura suram dan menyesakkan.Diego dan Renzo terduduk lemas di tanah, wajah mereka memancarkan keputusasaan yang mendalam. Namun, di tengah keputusasaan itu, mereka menangkap gerakan kecil di rerumputan yang bergoyang tak jauh dari mereka."Apa itu?" Renzo bergumam, matanya penuh harapan bercampur rasa tak percaya.Tiba-tiba, sebuah penutup logam perlahan terangkat dari bawah tanah. Asap mengepul keluar dari dalam, dan detik berikutnya, kepala Eliza menyembul keluar, wajahnya berlumur darah dan debu, matanya penuh tekad meski lelah."Eliza!"Diego dan Renzo berteriak serempak, seruan mereka memecah keheningan. Dengan cepat, mereka berlari ke arahnya, tak peduli dengan luka di tubuh mereka.Mereka membantu Eliza keluar dari pintu bawah tanah. Eliza terbatuk-batuk, tubuhnya limbung, tetapi senyumnya tipis
"Ibu!" teriak Kelvin, suaranya penuh kebahagiaan dan kelegaan."Mama!" seru Miko, matanya bersinar cerah meskipun situasi masih mencekam.Eliza menatap kedua anaknya dengan lembut. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya, khawatir.Keduanya mengangguk dengan senyum kecil, meskipun masih tampak cemas."Kita harus pergi dari sini!" kata Diego tegas, wajahnya serius."Victor sudah memasang bom di gedung ini!" Sela Renzo.Kekhawatiran langsung melintas di mata Eliza. Waktu mereka sangat terbatas. "Kalian bawa anak-anak!" perintah Eliza, sambil menyentuh bahu Diego. "Aku akan melindungi kalian. Cepat!"Diego tanpa ragu menggendong Miko, dan Renzo segera menggendong Kelvin. Dengan langkah cepat dan hati-hati, mereka berlari keluar dari ruangan, menuju pintu utama. Eliza tetap berada di belakang, memastikan mereka aman, sembari mempersiapkan diri untuk menghadapi apapun yang ada di depan. Tembakan terdengar di kejauhan, namun Eliza hanya fokus pada satu tujuan, melindungi keluarganya dan memastika
Damon tersenyum tipis, lalu mengangkat tangannya memberi isyarat kepada pria berjas hitam di belakangnya. Tanpa sepatah kata pun, pria itu berjalan ke meja dan menekan tombol yang memulai proses di layar monitor. Monitor besar itu menyala, menampilkan berbagai gambar dan data yang berpindah dengan cepat."Lihatlah," kata Damon, suara rendah namun penuh ketenangan. Dia memperhatikan ekspresi Eliza yang berubah saat layar memperlihatkan rekaman markas yang meledak, diikuti dengan gambaran tubuh Letnan Quenza yang terluka parah, tergeletak tanpa nyawa. Namun, di detik-detik terakhir, seorang pria bertubuh kekar, salah satu anak buah Damon, muncul membawa tubuh Letnan Quenza yang sekarat ke rumah sakit terdekat. Proses transfer memori yang menegangkan terlihat jelas di layar, alat-alat medis canggih digunakan untuk memindahkan semua ingatan Quenza ke tubuh Eliza yang telah dinyatakan mati."Tidak mungkin!" teriak Eliza, wajahnya berubah kaget dan marah. Dengan cepat, ia mengangkat senjata
Sesampainya di pusat kota, Eliza dengan cekatan menyembunyikan senjatanya di balik jaket panjang yang ia kenakan. Diego dan Renzo melakukan hal yang sama, memastikan tak ada yang mencurigai mereka.Mereka melangkah keluar dari mobil yang diparkir di sudut jalan, tubuh mereka sudah bersih dari luka-luka yang sempat mereka rawat seadanya. Hiruk-pikuk kota menyambut mereka, dengan keramaian manusia yang memadati jalan untuk merayakan hari kemerdekaan Mazatlán.Karnaval Mazatlán berlangsung meriah. Jalanan penuh dengan parade warna-warni, musik tradisional mengalun keras, dan sorak-sorai warga menambah semarak suasana. Polisi tampak berjaga di setiap sudut kota, mengawasi kerumunan dengan ketat.Eliza mengedarkan pandangannya dengan hati-hati. Matanya menelusuri setiap wajah di kerumunan, setiap gerakan yang terasa sedikit janggal. Renzo dan Diego berjalan di belakangnya, sikap mereka sama waspadanya.Namun, suasana meriah itu berubah dalam sekejap.DUAR!Sebuah ledakan keras mengguncang
Mobil melaju dengan kecepatan maksimal membuat jalanan sepi di depan terasa semakin sempit. Diego mengepalkan tangan di setir, matanya fokus ke mobil musuh yang melaju dari arah berlawanan."Aku akan adu banteng dengan mereka!" serunya."Diego, kau gila! Kita bisa mati!" Renzo berteriak, suaranya penuh kepanikan. la memegang dashboard dengan erat, keringat mengucur di wajahnya."Menunduk!" perintah Diego tanpa ragu, suaranya tegas.Eliza langsung merunduk, tapi matanya tetap memperhatikan situasi, rahangnya mengatup rapat. Sementara Renzo hanya bisa berteriak lagi. "Diego! Aku belum mau mati!"Mobil Diego dan musuh semakin mendekat, jarak di antara mereka hanya hitungan detik.BRAK!!Tabrakan keras terjadi. Mobil Diego menghantam mobil musuh dengan kekuatan penuh. Bunyi logam beradu memekakkan telinga, pecahan kaca beterbangan ke segala arah. Benturan itu begitu hebat hingga mobil Diego terlempar ke luar jalur, berputar beberapa kali di udara sebelum menghantam tanah dengan keras.Tub
Eliza duduk di kursi belakang mobil, pandangannya tajam menatap ke luar jendela. Diego mengemudi dengan fokus, sementara Renzo duduk di kursi penumpang depan, menggenggam senjatanya dengan cemas. Ketiganya telah siap dengan senjata masing-masing, meninggalkan markas Antonio dan Daniel tanpa banyak bicara. Eliza tahu mereka tak bisa terus melibatkan orang lain dalam urusannya. Ia hanya berjanji akan menghubungi Antonio jika benar-benar dalam keadaan terdesak.Mobil melaju dengan kecepatan tinggi di jalan raya yang ramai oleh kendaraan lain. Tujuan mereka adalah perbatasan kota, tetapi perjalanan itu akan memakan waktu berjam-jam. Suasana di dalam mobil terasa tegang, dan setiap suara dari luar terdengar lebih nyaring dari biasanya."Sepertinya kepergian kita ada yang membocorkannya lagi," kata Eliza tiba-tiba, matanya menatap kaca spion dengan waspada.Diego melirik spion tengah. "Kau yakin?"Renzo, yang penasaran, menyembulkan kepalanya keluar jendela, mencoba memastikan. "Sial! Tiga
Dari kejauhan, suara deru mobil mendekat, memecah keheningan malam yang hanya diisi oleh gemuruh api dari puing-puing markas Victor. Eliza, Diego, dan Renzo segera bangkit, tubuh mereka menegang dengan kewaspadaan tinggi.Sebuah mobil berhenti tak jauh dari tempat mereka. Pintu mobil terbuka, dan dua pria muncul dari dalam—Antonio dan Daniel. Wajah mereka penuh kekhawatiran saat mereka bergegas menghampiri."Eliza, kau tidak apa-apa?" tanya Daniel, suaranya penuh kekhawatiran.Diego dengan cepat memotong, suaranya terdengar kesal. "Hei, jangan terlalu banyak bicara. Istriku terluka. Cepat bantu!"Daniel hanya mengangguk, memahami situasi tanpa membantah. Bersama Antonio, mereka membantu Eliza ke mobil, sementara Diego dan Renzo tetap berada di sisi Eliza, memastikan dia tidak semakin terluka.Di perjalanan, Eliza hanya diam, mencoba menahan rasa sakit yang menjalar dari lukanya. Renzo, yang duduk di sampingnya, sesekali melirik dengan penuh perhatian, sementara Diego menggenggam tanga
Dentuman tembakan bergema, memantul di sepanjang koridor sempit dengan dinding-dinding beton. Eliza, Diego, dan Renzo bersembunyi di balik pilar besar, dada mereka naik turun seiring napas yang tak beraturan. Bau mesiu memenuhi udara, bercampur dengan keringat dan darah."Mereka semakin dekat," bisik Diego, matanya melirik ke arah lorong tempat musuh terus menembakkan peluru secara membabi buta."Diam!" bisik Eliza, wajahnya penuh dengan konsentrasi meskipun bahunya berdarah. Dia mengintip sedikit, cukup untuk melihat posisi musuh tanpa terlalu terekspos.Dor! Dor! Peluru menghantam pilar, serpihan beton terbang ke segala arah, memercik seperti hujan kecil."Kita tidak bisa terus di sini," Renzo berkata, tangannya menggenggam pistol erat-erat, suaranya gemetar tetapi penuh tekad.Eliza menyeka keringat di dahinya, rasa sakit dari luka tembak di pahanya hampir membuatnya lumpuh, tapi dia menolak menyerah. "Kita akan maju. Aku di depan, kalian di belakangku. Hitung sampai tiga, lalu kit