Share

Kepingan mimpi.

Penulis: Reinz Jr
last update Terakhir Diperbarui: 2024-11-25 17:26:53

Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya.

Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?”

Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.”

Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.”

Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Tapi... sekarang bukan waktunya untuk membicarakan itu.”

Eliza menatapnya dengan putus asa, berharap mendapat jawaban lebih. “Tapi aku ingin tahu, Diego. Rasanya semua ini begitu asing. Kau… hanya datang sebentar, seperti terburu-buru setiap kali. Apa benar aku adalah istrimu?”

Diego menghela napas panjang, berdiri dari kursinya. “Aku memang suamimu, Eliza. Tapi kalau kau terus seperti ini, hanya akan membuat keadaan lebih sulit. Ingatanmu akan kembali pada waktunya.”

Tanpa memberikan kesempatan Eliza untuk bertanya lagi, Diego menepuk bahunya perlahan. “Istirahatlah, Eliza. Aku harus pergi sekarang.”

Diego berbalik dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan Eliza yang semakin bingung dan merasa hampa.

Eliza berdiri dengan langkah goyah, tubuhnya terasa lemah setelah seminggu terbaring di rumah sakit. Ia berjalan pelan menuju jendela, memandang ke luar dengan mata yang mulai lelah. Dari balik kaca jendela, ia melihat Diego tengah berbicara dengan seorang wanita yang tampak sangat cantik, mengenakan pakaian rapi dan tampak begitu akrab dengan Diego.

Wanita itu tertawa kecil saat Diego berkata sesuatu, dan mereka berjalan bersama menuju mobil di luar rumah sakit. Eliza memandang mereka dengan tatapan penuh kebingungan.

"Siapa wanita itu? Apakah adikku? Kakakku? Tapi kenapa dia tidak menemuiku kalau memang dia keluargaku?" gumam Eliza pelan, matanya tetap mengikuti setiap langkah wanita itu dan Diego. "Atau... adiknya?"

Pikirannya mulai kacau. Dia merasa ada sesuatu yang sangat penting yang hilang, tapi tidak bisa mengingatnya. Mengapa wanita itu tidak datang menemuinya, kalau memang dia orang terdekatnya? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan?

Eliza mendesah putus asa, menempelkan tangannya di kaca jendela, mencoba mencari jawaban dalam kekosongan pikirannya. "Apapun tentang diriku... atau Diego... aku sama sekali tidak mengingatnya," ujarnya dengan suara serak.

Tiba-tiba, matanya terhenti pada bayangan Diego yang melambaikan tangan kepada wanita itu, sebelum masuk ke mobil. Wanita itu terlihat tersenyum, dan Eliza merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada rasa aneh yang muncul, sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan.

Dengan langkah berat, Eliza mundur dari jendela, kembali ke ranjangnya, mencoba menenangkan diri meski rasa bingung dan cemas semakin menyelimutinya.

Eliza memegang remote dengan tangan bergetar, menyalakan televisi dan mulai memindah-mindah saluran. Matanya berhenti di sebuah siaran ulang berita, yang menampilkan rekaman tentang kecelakaan yang menimpanya. Seorang reporter menjelaskan dengan detail, memperlihatkan gambar mobil rusak parah yang ditemukan di tengah jalan raya di malam yang sunyi.

"Kecelakaan tunggal?" bisik Eliza dengan suara serak. "Jadi... aku mengalami kecelakaan sendirian, di malam hari?"

Ia memandang layar dengan tatapan bingung. Kata-kata reporter terus mengalun di telinganya, menjelaskan bahwa kecelakaan itu terjadi karena dugaan pengemudi sedang dalam kondisi mabuk.

"Malam-malam... sendirian... mengemudi?" gumam Eliza lagi, mencoba mencari jawaban di benaknya yang kosong. "Mabuk? Aku... mabuk?"

Eliza mengerutkan keningnya, mencoba mengingat kejadian itu. Namun, setiap kali ia berusaha keras menggali ingatan, yang muncul hanyalah kilasan bayangan yang samar-samar—suara tembakan yang menggema, ledakan di tengah kegelapan, seolah berada di medan pertempuran. Gambar-gambar itu membanjiri pikirannya, membuatnya semakin bingung.

Dengan frustrasi, Eliza menutup matanya dan meremas kepalanya, berharap gambaran-gambaran aneh itu menghilang. Namun, suara-suara tersebut hanya semakin keras, seolah menuntutnya untuk mengingat sesuatu yang terkubur dalam ingatan.

Eliza memejamkan mata, menahan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya, lalu perlahan membuka mata dan menatap layar televisi. Reporter kini sedang mewawancarai seorang pengamat otomotif, yang menjelaskan bahwa pengemudi tidak terbukti dalam keadaan mabuk pada saat kecelakaan.

“Menurut pemeriksaan, penyebab kecelakaan bukan karena mabuk, tetapi karena rem blong. Namun, untuk mobil baru seperti itu, seharusnya sangat kecil kemungkinan terjadi kerusakan mendadak,” jelas pengamat itu dengan serius.

Eliza mengulang kata-kata itu dalam hati. "Mabuk… rem blong…" gumamnya pelan, mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang berserakan dalam pikirannya.

Sebuah perasaan tidak nyaman mulai tumbuh di hatinya, seolah ada sesuatu yang tidak beres. “Mobil baru… rem blong… tidak masuk akal,” bisiknya. Ia merasakan firasat aneh, seolah kecelakaan ini bukan sekadar kecelakaan biasa.

Eliza menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Dan Diego... dia tidak terlihat khawatir padaku... bukankah aku istrinya?” ucapnya dengan suara pelan, namun penuh kebingungan. Ia menggeleng, merasa semakin terjebak dalam pikiran yang membingungkan.

“Benar-benar aneh,” gumamnya lagi. “Mungkin memang benar. Aku tidak mengingat semuanya karena aku amnesia.” Ia mencoba berdamai dengan prasangka yang muncul, tapi rasa tidak nyaman tetap menghantuinya.

Bayangan perempuan yang tadi ia lihat bersama Diego di halaman rumah sakit muncul lagi dalam pikirannya. Wajah cantik perempuan itu tampak samar, namun tatapannya terasa akrab, seolah-olah ada hubungan di antara mereka.

“Siapa perempuan itu?” bisiknya, tak bisa menahan rasa penasaran yang terus muncul. Apakah dia orang dekat? Teman? Atau bahkan seseorang yang lebih dari sekadar kenalan bagi Diego?

Eliza merasa dirinya terjebak dalam teka-teki yang tidak ia pahami, dan setiap potongan ingatan yang samar-samar muncul justru semakin menambah kebingungannya.

Bab terkait

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Yatim piatu?

    Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pil untuk Eliza.

    Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Misi terakhir.

    "Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktorbaru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan."Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece."Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!"perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kakiberat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yangtiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan diatahu itu.“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementaratangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulaimerayap.Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalambrankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu,tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhirpermainanmu, Letnan.”Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balikjake

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Amnesia.

    "Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga

Bab terbaru

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Pil untuk Eliza.

    Eliza duduk di ruang tamu besar rumahnya, matanya melayang ke berbagai sudut, mencoba memahami lingkungan yang terasa asing meski seharusnya akrab. Sebuah rasa sakit yang berdenyut di pelipisnya kembali menyerang, membuatnya memijit kening dengan pelan. Setiap kali ia mencoba mengingat, kepalanya seolah dihantam palu. Memori-memori yang kabur itu berlarian di tepi kesadarannya, namun tak satu pun yang benar-benar bisa diraih.Di ruangan yang sama, Jasmina ibu Diego, duduk dengan tatapan penuh perhitungan. Wanita itu tersenyum lemah, tetapi senyum itu tidak pernah benar-benar sampai ke matanya.Jasmina meletakkan secangkir teh di depan Eliza. "Minumlah, sayang. Ini akan membuatmu merasa lebih baik," katanya lembut, tapi nada suaranya selalu ada sedikit tekanan yang sulit diabaikan.Eliza meraih cangkir itu dengan ragu, tatapannya ke arah Jasmina, merasa ada sesuatu yang salah namun tak mampu menaruh curiga pada apa yang salah."Terima kasih, apa kamu setiap hari memberikanku obat ini?"

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Yatim piatu?

    Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”Di ambang pin

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Kepingan mimpi.

    Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya. Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?” Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.” Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.” Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Ta

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Amnesia.

    "Di mana aku ...?" Suaranya lemah.Ia terengah-engah, paru-parunya seolah memompa udara untukpertama kalinya setelah sekian lama. Jiwanya baru saja kembali, dan bernapaslagi.Ia memandangi tangannya sendiri—tangannya yang halus dankurus. Ada rasa asing yang menjalar di seluruh tubuhnya. "Apa yang terjadipadaku?""Nyonya Eliza, tenanglah. Sebaiknya kauistirahat." Kata Dokter sambil memeriksa matanya. "Apa yang kaurasakan, Nyonya?"“Eliza?” ucapnya pelan, kepalanya semakin berdenyut denganpertanyaan yang tiada henti. Setiap ingatan terasa kabur, setiap perasaanteraduk-aduk, membuatnya tak tahu mana yang nyata.Dokter melirik perawat yang berdiri tak jauh di belakang."Di mana suaminya? Atau keluarganya?" tanyanya pelan.Perawat hanya menggelengkan kepala, ekspresinya tampak penuhsimpati.Dokter menarik napas panjang, kembali menatap wanita diranjang dengan penuh perhatian. "Nyonya Eliza," katanya dengan nadayang lebih lembut, "untuk sekarang, sebaiknya kau beristirahat. Janga

  • ISTRI YANG TAK DIAKUI   Misi terakhir.

    "Quenza, kita dapat data dari kamera pengintai. Viktorbaru saja masuk ke gedung. Dia lebih dekat dari yang kita perkirakan."Suara salah satu anggota tim terdengar melalui earpiece."Baik, kita harus buka brankas itu sekarang!"perintah Quenza, sambil bergerak menuju dinding dengan gesit.Saat dia mulai meretas sistem brankas, suara langkah kakiberat terdengar di lorong. Quenza berhenti sejenak, merasakan udara yangtiba-tiba menjadi lebih tegang. Sesuatu yang buruk akan segera terjadi, dan diatahu itu.“Cepat! Selesaikan ini!” desisnya pada timnya, sementaratangannya terus bekerja dengan cepat, mencoba mengabaikan ketakutan yang mulaimerayap.Namun, sebelum mereka bisa mendapatkan akses ke dalambrankas, pintu ruangan terbuka lebar, dan Viktor berdiri di ambang pintu,tersenyum dingin. Mata penuh kekejaman itu menatap langsung ke arah Quenza.“Kukira kau bisa mengelabui kami? Selamat datang di akhirpermainanmu, Letnan.”Tanpa berpikir panjang, Quenza meraih pistol di balikjake

DMCA.com Protection Status