Kemal menghela napas. Dia keberatan tapi karena ingin lekas tuntas, maka Kemal pun menyetujui usulan tersebut."Afwan, ana izin bawa seseorang nanti, Yai. Sekalian sumbang saran untuk bertemu di resto saja supaya lebih santai," kata Kemal sambil melirik ke arah Ahmad agar membantunya.Ekspresi wajah Damar menyiratkan keberatan. Tapi Ahmad menjelaskan tujuan Kemal tersebut supaya terkesan lebih seperti pertemuan keluarga.Jika diluar area Tazkiya, setidaknya beban Kemal sedikit berkurang. Dia menghindari hasad dari sesama muthowif Tazkiya, karena kedekatannya dengan keluarga Ahmad.Akhirnya Damar setuju dan menyebut salah satu resto langganannya. Setelah kepergian beliau, Kemal menyampaikan permintaan khusus pada sang guru agar tak membahas latar belakangnya."Fahim. Masih istikharah?" tanya Ahmad kemudian.Kemal mengangguk. "Masih, Yai. Belum ada hilal," ucapnya sembari tersenyum. Ahmad menanggapi dengan kekehan, dia lalu meminta Kemal membawa pulang dua map tersebut. "Satunya ini
"Tapi ...." Suara Kemal terdengar lagi.Zahra pun kembali mendongakkan kepalanya. "Tapi ... apa?" tanyanya lembut."Jika dalam situasi genting yang sampai mengancam nyawa. Akan ana pastikan ukhti aman lebih dahulu ... misal dengan meminta bantuan keluarga dekat. Setelah itu, ana lanjut mengurus salah satu dari keduanya," tegas Kemal seraya melihat Damar dan Zahra bergantian.Damar terlihat kurang suka, dia melontarkan protes. "Masa beg--" Namun, Kemal buru-buru mengangkat tangannya dan menyilangkan ke dada sebagai isyarat permohonan maaf. "Setelah Gauri atau Arsha aman, ana akan kembali ke sisi putri Yai.""Afwan, Yai. Salihah dan Saleh ana memiliki riwayat medis spesial. Mungkin, jika Arsha masih bisa ditolerir tapi bila Gauri ...." Kemal menggeleng pelan.Zahra kembali bertanya, "Ada apa dengan Gauri? Dia terlihat sehat," ujarnya sembari menatap lekat gadis cilik yang menggelayuti Kemal.Kali ini kemal menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada. Dia enggan membuka kondisi kese
Setelah baterai ponselnya terisi penuh, Kemal menghubungi Kamala. Dia menyampaikan hasil pertemuan dengan Zahra tadi."Oyi sudah cerita tadi ke mama, Dek. Pesan mama masih sama seperti kemarin," ujar Kamala. "Sekali lagi kok, Ma. Ini cuma buat menuhi rasa hormat saja ke Yai Ahmad. Setelah itu aku mau jalan-jalan," balas Kemal dengan suara menahan kantuk."Ya sudah sana pergi. Selesaikan urusan Adek sebelum ngurusin orang lain. oke," pungkas sang mama, menutup panggilan.Kemal meletakkan gawainya di nakas lalu menarik selimut. Pandangannya sekilas melihat ke sudut lemari. Ranselnya sudah siap, bahkan dia membawa paspor. Sekadar berjaga-jaga bila harus terbang ke suatu negara saat itu juga.Setelah bertemu dengan Tyas, dia akan langsung pergi. Perjalanannya bakal dimulai dari Bandung. Sebuah notifikasi pesan khusus berbunyi. Kemal meraih lagi ponselnya dari atas nakas. Dia pun menggulir tombol dan membuka aplikasi hijau. Mata yang sudah lelah itu terpaksa kembali melebar karena memba
Kemal menyambangi lagi tempat-tempat ketika dia remaja di Bandung. Termasuk sowan ke mantan bos bensin eceran di kawasan Pasir Koja, Pasar induk Caringin juga sekitarnya.Beberapa masih mengenalnya, tak jarang banyak yang lupa. Kemal kini duduk sejenak di bangku tempat mangkalnya dulu. Melihat lalu lalang kendaraan di ruas jalan tersibuk saban harinya.Setelah puas berpuluh menit melepaskan kenangan di sana, dia melanjutkan perjalanan menuju Lembang dan Cimahi menggunakan elf sebelum terbang ke Surabaya.Ternyata di Cimahi, Kemal tertahan cukup lama. Dia mendalami lagi cara penyulingan dari beberapa jenis bunga yang bisa dijadikan based parfum. Tanpa terasa, dua bulan berlalu. Putra Khadijah semakin larut dalam mewujudkan cita-citanya. Sementara di Jakarta. Kamala sangat sibuk semenjak kepergian Kemal. Bagusnya, dia sedikit lupa dengan kesedihan karena kehilangan Kayshan. Walaupun tak dipungkiri, dirinya juga merindukan Kemal.Begitupun Gauri, gadis itu memilih masuk asrama karena
"Sebenarnya ...," lirih Dewiq mencondongkan badannya ke arah mereka. Hana malah ikut-ikutan mendekat sampai menarik ranjang ayun dimana Farshad tidur. Ahmad pun tak kalah penasaran, dia sempat menempeli tubuh istrinya itu. "Rahasia!" kekeh Dewiq sembari bangun meninggalkan keduanya yang berwajah masam. "Ish! Jangan-jangan keusilan si Parhon nurun dari ibu," gerutu Hana melirik ke arah Ahmad yang kembali asik menonton televisi. "He em," jawab Ahmad singkat, ikut sebal dengan ulah istrinya. Lelaki itu lalu bertanya tentang rencana Farhana setelah acara besar di Tazkiya nanti. Hana mengatakan bahwa dirinya bakal pindah. Mencari atau membangun rumah impian di wilayah beriklim sejuk. Jauh dari hingar bingar dan hidup sebagai orang biasa dengan Farshad di sana. Ahmad menyarankan agar Hana mencari lokasi yang dekat dengan saudara. Mega Mendung, Kuningan atau Majalengka bisa jadi pilihan. Sepupu dan bibi Farhana tinggal di daerah itu. Tujuannya supaya mudah meminta pertolonga
"Serius, Bang?" Kemal mendesah napas panjang. "Iya. Hanya titip Arsha, bukan yang lain," jawabnya lugas."Terus, pasrah gitu aja?" "Yang kamu liat begitu?" Kemal membalik pertanyaan Farhan.Sang dokter mengangguk. "He em." "Logis." Putra Khadijah berkata sembari tersenyum, karena suaranya terdengar ringan. "Papa bilang, datanglah jika sudah pantas. Sedangkan kepantasan itu nggak bakalan ada selama cermin kita masih memantulkan bayangan yang sama ... dan matamu mengagumi itu, Han."Dahi Farhan mengernyit. "Maksudnya?" Kemal lagi-lagi tertawa. "Pikirin sendiri, aja." Farhan memutar otaknya tapi karena terlalu lelah seharian ini, dia tak menemukan benang merah dari ucapan Kemal. "Jadi?" "Nggak jadi-jadi ... ya begitu," pungkas Kemal."Aku bisa apa kalau itu sudah jadi keputusan abang," decak Farhan seraya membuang napas ke udara."Bisa doain hajat kami agar lancar ... atau bisa endorse honeymoon, contohnya," kekeh Kemal membuat dokter muda ini tertawa lebar."Siap ... betewe, progr
Dari Bandara, Kemal langsung menuju Tazkiya. Kala baru turun dari taksi di halaman depan aula, dia berjumpa dengan Didi. "Yassalam, makin kinyis aja," kekeh sang senior ketika melihat Kemal kembali ke Tazkiya.Kemal menyodorkan jemarinya seraya tersenyum. "Maa sya Allah mabruk, Kang," sapa Kemal pada seniornya yang sudah lama tak saling jumpa. Dia membalas senyuman sambil menepuk lengan Kemal. "Alhamdulillah."Keduanya lantas menuju kediaman sang pimpinan pondokan karena ada hal yang harus dibahas.Saat mereka mengucap salam di teras, ternyata di sana telah berkumpul beberapa rekan kerja lainnya.Setelah umroh kloter awal selesai, acara penting akan digelar di Jeddah. Untuk itu, Ahmad mengalihkan beberapa tugas yang biasa mereka emban ke personil lain. Sebab selain menjadi muthowif, keduanya terbiasa berperan sebagai tur leader.Agar semua acara berjalan lancar di sana, Ahmad menggelar rapat. Banyaknya hal yang harus diperjelas membuat diskusi berlangsung hingga malam hari, karena t
"Qobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan." "Sah!" Tak jauh dari mereka, kegiatan serupa pun tengah berlangsung. Salawat dan doa dipanjatkan oleh para jama'ah. Mempelai pria masih menunduk ketika sosok panutan yang memberikan wejangan itu menyematkan banyak nasihat padanya. Tyas Aspasya pun tertunduk haru. Pemilik agency model Queen Aspasya itu sungguh tak menduga bila kekecewaannya terhadap perilaku sang suami di kehidupan pernikahan terdahulu, diganti dengan pria di hadapannya. ~Dirinya tergugah meminta bantuan Ahmad kala bertemu lagi dengan Dewiq di suatu acara. Dulu, Dewiq adalah dokter pribadi keluarganya selama beberapa tahun. Di Minggu pagi saat berjalan menuju kediaman Ahmad. Dia melihat seorang pria baru keluar dari sana. Tyas yang berniat meminta saran pada beliau, dibuat terpesona oleh penampilan sang muthowif itu. Tyas lantas menanyakan hal tersebut pada Ahmad dan menyampaikan niatannya. Sungguh dia tak mengira, bahwa hari itu adalah langkah a
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah