"Maaf, ini dengan siapa?" kata Kemal, suaranya terdengar ragu-ragu. Pandangannya lurus ke depan sebab dia sedang menyetir."Alfred Riedl, pengacara tuan Kayshan Ghazwan," sahut pria di seberang dengan nada percaya diri."O oke." Kemal mengangguk meski lawan bicaranya tak melihat. Dia menjawab datar sebelum bertanya padanya lagi. "Ehm, hubungannya denganku?" "Bisakah kita bertemu siang nanti di Tazkiya? Ada hal yang harus saya sampaikan pada Anda," tutur sang pengacara. "Kenapa harus Tazkiya? Bisakah bertemu di tempat lain? Rumah mama misalnya," balas Kemal sedikit mengernyit. Dia segan jika menyambangi kediaman gurunya di luar kepentingan pekerjaan."Lalu, apakah hal tersebut bisa ditunda? mengingat kami baru saja kehilangan almarhum. Rasanya kurang elok untukku," tutur Kemal sedikit menegas. Dia tahu semua pengacara akan melakukan hal serupa, sebab amanah harus lekas disampaikan pada para ahli waris. Tapi, seharusnya ini menjadi suatu keperluan yang fleksibel, bisa diatur kapan w
Ahmad dan Farhan mengangkat Hana yang mulai kehilangan separuh kesadaran. Dewiq berjalan di belakang mereka, sibuk menelpon staf rumah sakit agar menyiapkan ruang tindakan untuk putrinya.Dua orang pengacara ikut panik dan gegas membereskan semua berkas yang berserakan di atas meja. Mereka pun segera keluar hunian.Mobil milik Farhan sudah terparkir tepat di depan teras ketika Kemal membuka pintu baris kedua.Dia gegas memutari mobil saat Ahmad dan Farhan membaringkan Hana agar nyaman dalam pangkuan keduanya."Na, Nana, liat ayah." Ahmad terus menepuk pipi Farhana agar tetap sadar. Dia mendapati bagian bawah abaya putrinya mulai basah.Ahmad lalu melihat ke arah Farhan tapi putranya itu malah terlihat santai, meskipun Ahmad yakin dalam hatinya pasti berkecamuk."Ngantuk," lirih Hana datar ketika melihat wajah cemas Ahmad."Jangan tidur dulu, Na. Ingat adek bayi, bayangkan yang hepi-hepi." Sebisa mungkin Ahmad tetap menstimulasi putrinya agar terjaga.Farhan menaikkan posisi kaki Farha
"Na! Ya Allah, Nana!" Suara Dewiq kian sumbang sementara Ahmad lirih membisikkan doa di telinga putrinya.Sorot mata Farhana tampak kosong, tapi ekspresi wajahnya semringah. Tangannya terangkat ke atas seakan tengah menggapai sesuatu. "Na!" bisik Dewiq terus berusaha membuat Hana terjaga meski nadinya mulai melemah.Ahmad meraup wajah putrinya dan menahan tangannya beberapa detik di wajah Farhana. Dia membisikkan doa. "U’iidzuhuu bil waahidis shomadi min syarri kulli dzii hasadin ... Yuridullahu bikumul-yusra wa laa yuriidu bikumul-'usra. Al Fatihah." Mereka berdua saling menautkan jemari sembari tak bosan membisikkan kata-kata di telinga Farhana.Suster selesai membersihkan tubuh wanita yang baru saja melahirkan itu. Dokter kandungan pun siaga di balik tirai, mulai melakukan observasi bilamana terjadi pendarahan. "Farhana bintu Ahmad Hariri ... ayah ikhlas dan ridho kalau Nana capek di dunia. Tapi jangan begini. Yang tenang, Sayang." Dewiq membenamkan wajahnya di sisi paras puca
Kemal menggeser posisi tuts ke atas. Tanpa basa basi dia langsung menyambar seseorang di ujung panggilan dengan nada ketus dan tinggi. "Heh! Sini, lu!" sentak Kemal sampai Kamala pun terkejut. Baru kali ini Kamala mendengar Kemal bersikap tak sopan. Tapi, dia memilih menunggu penjelasan darinya meskipun tetap memberikan teguran dengan menggoyang lengan Kemal.Kemal melirik mama sambungnya dengan menahan tangan Kamala yang menempel di lengan. Dia lalu menutup panggilan sepihak. Melepas cekalan Kamala dan langsung berlari menuju eskalator turun. "Adek!" Kamala berseru, dia lalu meminta Ringgo yang mengekorinya agar mengikuti Kemal. "Ing, tolong kejar adek!" pintanya pada sang asisten.Ringgo mengangguk dan langsung melesat cepat menuruni eskalator. Sementara Kamala ikut menyusul mereka dengan berjalan pelan. Dia tak sanggup berlari. Saat Ringgo tiba, Kemal mendorong seseorang dan bersiap memukulnya. Lelaki sepantaran Kayshan itu langsung menarik Kemal mundur dengan menahan lenganny
Ringgo menepuk lutut Kemal sembari terkekeh kecil. "Sabar Ger, beliau belum istirahat sejak tuan muda Kay meninggal kemarin. Kamu pulang dulu sana, kita bicarakan dengan lawyer di rumah bos besar malam ini," tutur Ringgo mewakili Kemal menyampaikan isi hati pada asisten Kayshan itu.Lelaki perlente yang masih berdiri itu mengangguk. Dia akan istirahat bila keluarga Kamala telah kembali pulang ke Belanda dan Uzbekistan. Namun, Ringgo mengatakan bahwa dirinya dan Katrin diminta oleh Kamala untuk meneruskan tugas Gery, sehingga dia bisa beristirahat setelah satu pekan terbang ke sana sini. "Baik kalau begitu. Terima kasih, Bang Ing." Gery mengangguk padanya, lalu beralih pada Kemal yang telah memejamkan mata. "Bos, saya pulang dulu. Ingat, hubungi saya kalau butuh apapun." Kemal tak menjawab, dia masih sungkan. Dirinya tak pantas menerima amanah sebesar itu.Pengacara Alfred menyusul ke rumah sakit saat jam besuk malam. Hanya ada Ahmad, si kembar, Kemal dan Ringgo di sana.Kemal mena
Selama satu pekan, Kemal bolak balik RS melihat Farshad. Rutin skin to skin, memegang jemari keriputnya sampai mengajak ngobrol, membuat kondisi psikis Farshad mengalami kemajuan pesat.Bayi cimit itu kini sudah berbobot 2300 gram. Sang kakek yang tak sabaran ingin menggendong cicitnya membelikan inkubator khusus untuk Farshad agar dapat dirawat di rumah. Malam ini, syukuran aqiqah Farshad di gelar, disatukan dengan doa massal untuk Kayshan. Keluarga besar pun kembali berkumpul termasuk kerabat Kamala dari Belanda yang belum pulang."Bentar, Nyak. Ane baru kelar piket ini. Otewe balik," jawabnya ketika Dewiq bertanya mengapa dia belum pulang.Ponselnya lalu Farhan matikan dan berjalan menuju parkiran. Saat menyalakan remote mobil, dia melihat sosok bocah yang sedang makan di bagian belakang kendaraannya. Anak itu lantas pindah tempat duduk.Farhan merasa tak enak hati sudah mengganggu orang yang sedang makan. Dia pun menghampiri anak tadi."Hai," sapanya ramah sembari tersenyum.An
Dua puluh menit berikutnya, Kemal sudah ada di rumah sang sepupu jauh. Dia langsung menghampiri pria asing yang berdiri di teras. "Nunggu siapa, Bang?" tanya Kemal saat turun dari motornya, tepat di hadapan si preman."Yang punya rumah!" "Ada urusan apa?" sahut putra Khadijah sembari memasukkan kunci ke saku jaket. "Bukannya sudah lunas semua, ya?!" Lelaki berwajah sangar itu mendelik sinis, melihat Kemal dari atas ke bawah. "Bukan urusan lu, pergi sana!" sentaknya menunjuk lurus ke wajah Kemal."Lu yang pergi, gue bisa tuntut lu karena mengganggu privasi. Ini rumah gue!" ujar Kemal tak kalah menatap tajam. Dia meludah ke sembarang arah. "Cuh, sisa utang ke bos gue belum kelar!""Apalagi?" kata Kemal sambil bersedekap. "Eru utang budi waktu mak bapaknya mau mokat di rumkit. Darah bos gue diambil dua labu gegara Eru minta tolong ke beliau. Eru bilang akan bayar itu di lain waktu!" jelasnya dengan suara sangar.Sesungguhnya Kemal paham akan kemana kelanjutan obrolan ini. Tapi, dia
Farhan tergesa, dia berjalan pincang sebab sepatunya belum terpasang dengan benar. "Han, kelarin dulu ngapa," tegur Kemal masih mendekap Farshad. "Buru-buru, Bang. Bye, duo ponakan," kata Farhan gegas berlari ke mobilnya. "Han, suster siapa tadi?" tanya Kemal sedikit lantang membuat Gauri yang sedang melihat video Vlad and Niki di yutub pun teralihkan. "Suster anakan, Bii," sambar Gauri memancing kekehan Kemal.Sayang, Farhan tak mendengar pertanyaan Kemal. Lelaki itu sudah menutup pintu mobil dan kendaraannya mulai menjauhi halaman rumah.Farshad akhirnya lelap dalam gendongan Kemal. Dia ingin menidurkan ponakannya ini tapi tak menemukan siapapun di ruang tamu. "Yai?" panggil Kemal melongokkan kepalanya ke dalam.Bisa saja dia langsung masuk ke dalam, tapi dirinya cemas bertemu Farhana. Ini adalah area pribadi sang guru, kuatir jika tanpa sengaja melihat aurat penghuninya.Kebiasaan para wanita jika di rumah, mereka tak memasang hijab dengan rapi. Sehingga berpotensi terlihat ol
Farhan langsung mendekat dan mengusap tengkuk Mehru. Dia lalu menuntun istrinya kembali duduk di sebelah Dewiq yang juga terlihat cemas."Tolong ambilkan itu," kata Dewiq pada Farhan, menunjuk ke box putih berisi peralatannya di bawah meja sofa.Lelaki itu gegas meraih benda yang dimaksud dan langsung menyodorkan pada sang mama. Dewiq lantas memeriksa menantunya seksama. Setelah beberapa menit, dia melihat pada Farhan, bergantian dengan Mehru. "Beli testpack, deh. Coba kalian hitung sendiri," katanya sembari bangun meninggalkan mereka.Farhan melihat ke arah istrinya lalu menoleh memanggil sang mama. "Lah, Nyak?" "Masa dokter dan suster nggak peka, hadeuh!" kekeh Dewiq sembari melambaikan tangan."Mas?""Kayaknya sih iya, Yang." Farhan meraih ponselnya dari saku celana. Dia lalu duduk disamping istrinya sambil mengingat dan menghitung masa subur Mehru. "Palingan baru sepekan lebih deh. Pas private party di spa itu 'kan aku haid hari pertama," ujar Mehru mengingat acara satu bulan
Setelah semua dokumen selesai dirapikan, Farhan di ajak Kemal masuk ke dalam untuk menemui Mehru. Debaran jantungnya mulai tak normal ketika nyaris mencapai ambang pintu. Meski dilakukan serba mendadak, tapi dirinya yakin bahwa Dewiq pasti memberikan segala yang terbaik.Langkah kaki Farhan terhenti ketika melihat wanita cantik dalam balutan kebaya serba putih, berdiri dan menunduk malu-malu. Tidak ada singer seperti Hana. Hanya Tiara mungil sebagai penghias sekaligus penahan agar hijab panjangnya tak mudah bergeser."Neng Eru, suaminya datang," bisik Khuzaemah, mengusap lembut punggung Mehru agar mendongakkan kepalanya.Lengan Farhan ditarik Dewiq agar dia melangkah masuk. Tapi lelaki itu malah menahan tangan ibunya."Nyak, bentaran ngapah. Kagak paham amat ni bunyi jantung dah kek bedug lebaran," sungutnya sambil mengusap dada."Tandanya idup brati. Ayo, waktunya mepet ... kamu 'kan harus kuliah nanti malam," balas sang mama tersenyum lebar.Farhan menepuk wajahnya. "Etdah ... kek
Kemal tak henti menciumi pipi Farhana dan merangkulnya mesra sejak keluar dari ruangan dokter obgyn. Dia masih setengah tak percaya jika saat ini Hana mengandung buah hati mereka. "Baru tiga pekan." Hana melingkarkan lengannya pada pinggang sang suami. "Alhamdulillah. Kita sementara pindah ke rumah ibu atau mama aja gimana, Za. Biar aku tenang kalau ke toko," ujar Kemal sembari menarik tuas pintu mobil di basement."Nggak mau. Aku pengen di Parung. Kuliah sudah online lagi ... ada mbak yang bantu ngasuh Arsha, bibi pun pasti sering ke rumah liat aku," pinta Hana ketika suaminya sudah duduk di belakang kemudi."Tapi, Sayang ...."Farhana menggenggam jemari kiri Kemal lalu mengecupnya. "Aku tenang dan betah karena di sana ada bau Kakak. Please, nggak mau pindah," tuturnya lembut sambil memandangi wajah teduh sang suami.Putra Khadijah terdiam sesaat, lalu tersenyum mengangguk. "Kalah dah kalau ibun sudah begini," balasnya seraya mengusap pipi Hana yang mulai chubby.Perjalanan mereka
Farhan gegas ke tangga belakang. Dia menggantikan Hana memapah Kemal naik ke atas."Kenapa, Bang?" "Entah, tiba-tiba pusing banget sampai muter-muter gini," tuturnya lirih sambil menahan kepala.Mehru yang sedang menggendong Farshad, buru-buru merapikan bale di teras belakang. Tapi Hana langsung berlari masuk dan membuka kamar mereka. Dia meminta Farhan memapah suaminya masuk, dan memeriksanya.Kembaran Hana itu gegas turun ke bawah mengambil tas kerja darurat yang ada di bagasi mobilnya.Farhan memeriksa iparnya ini, kemudian meminta Mehru mengambil cairan infus di mobilnya."Pusingnya range berapa, Bang? 1-10," tanya Farhan."7, bukan pusing sakit kepala tapi semua berputar-putar cepat." Kemal masih memejam, sambil memijat tengkuknya."Kalau nyeri parah di bagian tertentu, bilang ya, Bang. Nanti kuresepkan pereda nyeri sebelum cek lab.""Kayaknya Kakak kecapean deh. Pergi pulang antar aku ngampus, ke kantor, ke toko parfum ... ikut ngasuh Arsha, kadang kebangun malam beberapa kali
Segimanapun lelahnya, Kemal takkan tidur sebelum Hana kembali rileks. Seperti saat ini, dia mengusap lembut pundak mulus istrinya sembari membicarakan tentang rencana Hana.Deep talk mulai jadwal kuliah, kegiatan Kemal, sikon Arsha juga hal lain yang saling berkaitan.Hana serasa menemukan teman sebaya, yang membuatnya bebas mengeluarkan pendapat. Sekaligus figur seperti sang ayah, penyabar juga memiliki visi ke depan.Dengan Kemal dia merasa menjadi dirinya sendiri. Farhana mulai manja, kekanakan meskipun sikap anggunnya sebagai keturunan Tazkiya tetap melekat. Ibun menduselkan kepalanya di dada sang suami. Mendengar detak jantung Kemal sebelum tidur kini bagai candu, selalu membuatnya mudah masuk ke alam mimpi.Rengekan Farshad terdengar oleh Kemal satu jam ke depan. Dia juga lelah tapi tak tega membangunkan Hana.Kemal perlahan melepaskan dekapannya lalu turun dari ranjang mendekati box Arsha. "Hai boy, sama abi, ya. Jangan ganggu ibun, oke?" ucapnya lirih seraya menggendong kepo
Kemal menjawab Kamala hanya dengan gelengan kepala, dia mengejar Hana yang masuk ke kamar mandi belakang.Tok. Tok."Zaa, buka bentar," pinta Kemal mengetuk pintu, saat mendengar suara mual muntah dari dalam kamar mandi. "Sayang ...."Beberapa detik kemudian, panel itu terbuka. Hana menyembulkan kepalanya di celah pintu.Kemal mendorong pelan, kuatir istrinya kenapa-napa di dalam. "Buka, Sayang."Hana menggeleng sembari menahan pintu. "Kak, bawa daleman aku nggak di mobil?"Dia ingat, pernah melihat satu kontainer di bagasi Innova Zenix milik suaminya. Ketika Hana tanya apa isinya, sang suami menjawab itu adalah pakaian mereka.Untuk berjaga-jaga jika mendadak menginap di suatu tempat. Semua perlengkapan pribadi sudah tertata rapi dalam satu box."Bawa, kenapa?" tanyanya sembari merapikan rambut Hana yang menyembul dari ujung pashmina.Hana menarik lengan sang suami agar mendekat. "Ada pembalut juga?" bisiknya.Kemal mengernyit, sedang mengingat apakah dirinya sudah membeli barang sa
Farhan menarik kaca spion dalam. Dia memastikan penampilannya sudah rapi. "Apeeeee?" sambar Dewiq kali ini tak kalah judes. Farhan menunjuk ke arah saudaranya juga keluarga Kusuma yang hadir. Mereka tampak membawa kotak hias berisi beberapa barang."Itu apaan?" cicit Farhan. Jantungnya sudah berdebar kencang tapi Dewiq malah keluar dari mobil tanpa menjawab pertanyaannya, begitupun dengan sang ayah.Ahmad hanya menaik-turunkan alisnya ketika Farhan turun dari mobil. Sang ayah menepuk pundak putranya lalu menggamit lengan Farhan.Farhan bertanya pada Mahendra dan Aiswa tapi mereka bilang tidak tahu apa-apa. Hanya diminta datang ke sini pagi ini.Sang dokter mulai gugup ketika melihat kediaman Mehru. Teras rumah gadis itu dipenuhi pria sepuh yang menyambut kedatangan keluarganya.Netra jeli putra Ahmad sibuk melihat sana sini, barangkali ada sosok yang bisa memberi penjelasan singkat, tapi harapannya kosong. Bahkan kembarannya pun entah kemana.Rombongan dipersilakan masuk hunian. Set
Ahmad keluar dari ruang baca dan langsung diberondong pertanyaan oleh Farhan."Dalem, Kak, daleeeeemmmm ...." kata Ahmad, menyahuti panggilan putranya yang terlihat gusar. (Dalem bentuk sangat halus dari iya, selain nggih, dalam budaya Jawa)Farhan menarik lengan Ahmad untuk duduk di ruang tengah. "Babeh ingkar janji?" Dahi sang yai mengernyit. "Janji apa?""Janjiku kepadamu, kek lagu lawas." Farhan merengut sebal, entah kemana larinya emosi tadi. Begitu melihat wajah teduh Ahmad semua seketika sirna. "Yang tentang jodohin itu, loh!" "Enggak. Ayah memang masih menerima beberapa proposal baru. Tapi semuanya dikembalikan ... termasuk milik donatur Banten itu," beber Ahmad sambil menunjuk ke arah meja console tempat biasa dia menaruh map-map proposal. "Tuh, kosong."Farhan mendadak termenung. Jadi, penolakan Mehru tadi apakah dia sedang menyembunyikan sesuatu? Ucapan Dewiq yang mengatakan pada Mehru bahwa dirinya akan menggelar lamaran ... jadi ditujukan pada gadis mana? Pikir Farhan.
Mehru melangkah tegap meninggalkan taman penghubung antar cluster itu. Kepalanya menunduk, menyembunyikan senyum getir.Dia mawas diri. Mehru sempat mencari tahu silsilah keluarga Reezi dari Mifyaz. Pemuda itu memang tak bercerita banyak, dia hanya mengatakan bahwa sang dokter adalah cucu dari tokoh terpandang nan alim di daerahnya.Habrizi juga merupakan putra pertama Raden Hasbi, seorang pebisnis ulung di Singapura. Ibunya adalah putri pemilik salah satu perusahaan penyuplai obat-obatan dan alat medis. Posisi dokter itu terlalu tinggi untuknya. Bahkan jika Reezi menunduk pun, belum tentu keluarga besarnya setuju.Jika saja ayahnya masih hidup, mungkin Mehru bisa sedikit menegakkan kepala. Dulu, saat pabrik kerupuk mereka masih berjaya, keluarganya dipandang mampu lagi disegani. Namun, semua itu cuma masa lalu. Mehru buru-buru menepis kekecewaannya dengan menggeleng kepala sembari terus melangkah ke suster station.Satu pekan berlalu begitu saja. Sikap Farhan masih sama. Dan sudah