Farhana ikut bersimpuh di depan kedua orang tuanya. Dia menggosok kedua telapak tangannya naik turun dengan cepat, memohon agar Ahmad berdiri. Lelaki ini tidak pantas mengemis sesuatu dari sesama mahluk. "Ayaahh, ba-bangu-uunn!" gagap Hana masih menangis. Dia juga menarik lengan Ahmad agar bangkit. "Nana nggak apa-apa ... gwenchana, gwenchanayoo." Air matanya deras mengalir di pipi meski Farhan terus menyeka wajahnya.Kayshan menengadah, dia menghempas napas ke udara. Entah mengapa, dia jadi membenci keluarga guru sekaligus mertuanya ini.Kamala menarik Dewiq bangun, pun Farhan yang memapah ayahanda tercinta agar bangkit. Hati dokter muda juga sakit, baru kali ini melihat lelaki kebanggaannya merendahkan diri di hadapan manusia.Sesayang itu mereka pada Farhana. Gadis manis nan salihah yang sedang berkorban lahir batin demi pria pujaannya.Farhana bangun, gegas meraih lengan Kayshan, mengguncang pelan lalu menciumi telapak tangannya. Dia terus berusaha membujuk pria angkuh ini."A-ba
"Maaa!" Kayshan memegangi pipinya seraya memicing tajam pada Kamala. "Jaga bicaramu, Kay!" tegas Kamala kali ini. "Sudah mama bilang, bukan salah siapapun. Itu murni kesepakatan kami dulu," bebernya masih memandangi Kayshan."Tapi dia!" Tunjuk Kayshan lagi, pada sosok di depan pintu. "Kenapa semua orang sayang padanya, padahal kehadiran Adek adalah sebuah kesalahan!" sambarnya penuh emosi.Kemal bingung, antara melanjutkan menekan handle pintu atau bagaimana. Dia acap kali mendapat sindiran Kayshan, tak jarang menjadi objek tuduhan olehnya. Sejujurnya Kemal tak tahu, peristiwa apa yang melatari kebencian Kayshan padanya. Sekejap baik, tak jarang ketus dan sinis.Dia hanya memiliki sedikit kenangan manis dengan sang ayah. Pun, tentang sosok Ken, si kakak sulung yang telah berpulang lebih dulu. Tiada tempat bertanya bagi Kemal, karena Kamala selalu membesarkan hatinya setiap kali kata-kata pedas Kayshan terlontar.Namun, hari ini agaknya menjadi momen tepat bagi Kemal, untuk menanyaka
Kamala mengejar Kemal hingga di depan lift. Wanita itu langsung memeluk anak bungsu suaminya seraya terisak."Maafin mama, Dek," lirih Kamala.Kemal bergeming, semua hal barusan terlalu memenuhi pikirannya. Dia bingung harus bersikap bagaimana saat ini. Pemuda kalem itu hanya mampu mengusap punggung wanita yang memeluknya.Sejurus itu, putra Khadijah mengurai pelukan Kamala. Mengusap butir bening dari wajahnya, lalu mengecup punggung tangan wanita pengganti ummanya ini."Aku butuh waktu, Ma."Kamala mengangguk meski netranya masih berkabut. "Jangan benci Mama, ya," ulangnya mulai serak, sembari menangkup wajah tampan Kemal.Kemal hanya menyunggingkan senyum. Menampakkan sebaris lengkungan mirip Khadijah yang selalu meneduhkan. Banyak kisah yang belum dia ketahui secara utuh. Keluarga besar ibunya selalu menutupi, kecuali Khuzaemah. Satu-satunya adik Khadijah yang terus mendukung Kemal untuk dekat dengan keluarga Kamala.Namun, Khuzaemah juga selalu mungkir bila Kemal mulai bertanya
Kayshan yang sedang men-zoom foto tersebut, gegas berlari ke sumber suara. Dia menduga sesuatu jatuh di kamar Farhana.Benar saja, rupanya Farhana berusaha berdiri. Mungkin dia akan ke kamar mandi, tapi tubuhnya membentur lemari dan menimbulkan suara gaduh.Kayshan mendekat, meraih pundak Farhana dan mulai memapahnya menuju toilet. Namun, geliat halus sang nyonya membuat Kayshan terheran."Hand off!" lirih Farhana, menepis rangkulan lengan Kayshan di bahunya. (Jangan menyentuhku)"Nanti kamu jatuh," balas sang suami pelan karena matanya mulai berdenyut mengantuk, tapi berusaha ditahannya.Farhana berhenti, susah payah berdiri merambati dinding sambil menarik tiang infus. "Stay away!" ketusnya lagi, meminta Kayshan menjauh.Kay mengalah, dia mengangkat kedua tangan ke atas tapi tak meninggalkan istrinya begitu saja.Lelaki itu setia berdiri di depan pintu kamar mandi. Entah mengapa dia melakukan ini, yang jelas hatinya ketar-ketir. Dia masih ngeri membayangkan bila Farhana bakal nekat
Farhana memastikan lagi isi pesan tersebut. Dia lalu membuka aplikasi hitam berlogo not nada, yang menjadi penyambung komunikasi mereka selama ini."Wa alaikumussalam. Saya akan kirimkan sampel produk sebelum menerima pesanan Anda. Mohon sertakan alamat lengkap. Terima kasih." Hana mengetik pesan untuk admin Argasatya.["Oke. Untuk memudahkan Nona Khanza, ahsan-lebih baik dititipkan di lobby apartemen saja. Nanti staf kami yang akan mengambil produknya."] Farhana mengernyit heran, sepertinya Argasatya enggan membagi lokasi toko offline mereka. Dia sedang tak ingin berpikir keras, maka langsung menyetujui usulan tadi."Oke." Tiada balasan lagi dari Argasatya setelah itu. Namun, Farhana mulai mencurigai seseorang. Merasa ingin memastikan sesuatu, dia menggulir koleksi unggahan video di berandanya. Lima menit kemudian, dia menepuk jidatnya sendiri. Senyam senyum menertawai kebodohannya. "Kamu ke ge-er an, Nana. Dia pasti scroll sampe bawah dan nemu VT lama waktu awal-awal merajut ata
Keduanya terlelap di sofa hingga jelang subuh. Ketika membuka mata, Farhana melihat Kayshan tidur nyenyak di atas pangkuan.Inginnya bertahan seperti iitu hingga Kay bangun, tapi otaknya memerintahkan untuk segera bangkit dan mandi."Maaf, badanku sudah lengket," kata Farhana pelan. Dia beringsut perlahan, menggeser kepala Kayshan agar tak lagi menumpu pahanya.Jika kondisi hatinya masih normal seperti saat awal-awal pernikahan, mungkin Farhana akan mudah luluh melihat sikap manis Kayshan. Kejadian kemarin sontak mengubah itu semua.Farhana masih belum bisa memaafkan Kayshan yang telah membuat Ahmad rela merendahkan diri, mengemis izin darinya. Bagi Hana, itu sebuah penghinaan. Setelah memastikan Kay tidak terbangun, Hana kembali menuju pantry. Dia memungut botol minum dari atas lantai, dan mengambil makanan tambahan dari kulkas. Hari ini, dia bertekad takkan menampakkan diri.Kayshan bangun tepat alarm azan subuh berbunyi. Dia celingukan mencari Farhana. Ponsel milik gadis itu pun m
"Ke depan, Bos," jawab Gery sambil mengacungkan telunjuk ke arah ruang tamu.Kayshan menapaki anak tangga terakhir sembari berkata, "Ikut aku!" Dia menuju ruang kerja dan meminta Murni mengantarkan sarapan ke sana.Gery duduk di sofa berhadapan dengan sang pimpinan. Wajah Kayshan terlihat kusut pagi ini, bahkan dasinya belum tersimpul rapi.Lelaki itu tak bicara sebelum kopi yang Murni antarkan habis. Gery pun enggan bertanya, otaknya sedang merangkai jawaban akurat bila Kayshan menyalahkan dirinya perihal persiapan kejutan kemarin."Menurutmu, aku harus melakukan apalagi?" tanya Kayshan tiba-tiba."...." Gery hanya diam, pertanyaan itu merupakan kalimat menggantung baginya."Hana sepertinya muak denganku." Kay menjelaskan maksud ucapan tadi. "Kukira dia pemaaf," keluhnya bernada lemas.Gery menghela napas. "Sabar aja, Bos. Mungkin effort Anda belum begitu besar," jujur sang asisten.Kayshan lantas mencoba menghubungi Farhana lewat ponsel yang biasa mereka gunakan untuk berkomunikasi.
Kayshan lagi-lagi melihat ke arah jendela. Sesekali melirik jam tangannya. Otak sang CEO tengah berperang antara gengsi dan kesegeraan. Dia harus membawa Farhana ke Malaysia esok sore karena rangkaian kegiatan telah disiapkan untuknya. Semata agar Kayshan yakin bahwa dia tak merusak wanita alim itu.Bisa saja dia meminta mereka ke Indonesia atau melakukan medical test domestik. Tapi, Kayshan takut informasinya bocor mengingat keluarga Farhana adalah praktisi kesehatan dan pemilik rumah sakit elit. Sesama nakes tentu saling mengenal bukan? Pikirnya.Dalam kebingungan itu, dia menggulir daftar kontak. Ingin menginformasikan pada seseorang agar menangguhkan jadwal jika sore ini upayanya belum berhasil.Namun, tanpa dia sengaja tiba-tiba jemari Kayshan menekan satu kontak di ponselnya. Dia gelagapan, ingin memutus panggilan tapi malah langsung tersambung."Assalamualaikum, Kay?" Mendengar suara di seberang, Kayshan menelan ludah. Dia berdehem sebab suaranya mendadak berat."Ehhemm ... w