"Senja," panggil Kaina ragu. Tapi dia tidak ingin kehilangan kesempatan untuk berbicara dengan Senja hari ini."Bicara lah dengan Kaina, mas masuk duluan," ucap Langit, meninggalkan Senja dan Kaina di luar ruangannya."Besok aku sudah mulai tidak bekerja disini lagi," sendu Kaina.Senja menghela napasnya berat. Sebenarnya dia masih keberatan dengan pengunduran diri Kaina. "Apa kita masih bisa ketemu?" tanya Senja penuh harap.Kaina hanya bisa mengangkat kedua bahunya tidak acuh. Dia tidak bisa menjanjikan sesuatu yang dia sendiri tidak tahu, apa yang akan terjadi pada dirinya nanti."Kenapa? Sebenarnya ada masalah apa? Kenapa kamu tidak pernah mau bercerita denganku. Apa selama ini, hanya aku yang menganggapmu teman?" tuntut Senja. Dia sangat kecewa dengan tertutupnya Kaina padanya."Bukan seperti itu."Rasa bersalah mengerumuni Kaina. Dia hanya tidak mau jika Senja sampai terseret ke dalam masalahnya. "Jadi, kenapa?" desak Senja yang sangat ingin tahu masalah yang sedang dihadapi K
"Siapa kalian?! Dimana Gia?!" teriak Senja.Keringat dingin mengucur jelas di seluruh tubuhnya. Dia terjebak di sebuah rumah kosong, dimana Gia menuliskan alamat keberadaannya tadi."Wanita itu? Sebentar lagi dia juga datang kemari. Kami juga tidak sabar menunggu mereka. Agar bisa secepatnya bersenang-senang bersamamu cantik," senyum jahat keluar dari bibir empat pria yang mengempung Senja saat ini.Senja menggelengkan kepalanya. Gia ternyata sudah menipunya. Harusnya dia mengikuti kata Langit tadi. Air mata kini juga tidak kalah mengucur deras di pipinya. Rasa takut menghujam dirinya bertubi-tubi. Penyesalan memang selalu datang belakangan.flashback on.."Apa yang mau kamu beli? Biar mas temani saja," ucap Langit.Alasan terbaik yang Senja pikirkan adalah pergi berbelanja, agar bisa menolong Gia untuk membawa mamanya ke rumah sakit."Nanti mas bosan. Aku kalau berbelanja pasti lama. Banyak tempat nanti yang pasti aku singgahi," tolak Senja halus.Langit berdecak kesal. Dia tidak rela
"Tidak!! Jangan sentuh aku! pergi kalian semua!Napas Senja kian memburu, merasakan tangan, dan wajahnya menerima sentuhan."Senja... Sayang. Kamu kenapa? Sadar lah," ucap Langit. Dia melihat Senja kembali mengeluarkan keringat dingin dengan matanya yang tetap terpejam, padahal pakaian ya g di kenakan Senja semalam, sudah diganti olehnya. Rasa iba dan bersalah menghantam Langit, dia sudah sangat terlambat menolong Senja semalam. Andai kan saja dia tidak semudah itu percaya ucapan Senja. Andaikan dia bisa memutar waktu. Mungkin semua tidak akan terjadi."Jangan sentuh aku, bajingan!" teriak Senja histeris. Isak pilu tangisan Senja, keluar dari bibir kecilnya yang bergetar. Merasakan rasa takut yang merajamnya.Langit berusaha membangunkan Senja. Dia sudah mengguncang tubuh Senja, bahkan menepuk pelan pipi Senja. Tapi tidak urung Senja membuka matanya."Sayang, tenangkan dirimu. Mas ada disini. Kamu sudah aman. Semua sudah usai. Tidak akan ada lagi yang bisa menyakitimu."Tubuh Langit d
Ketukan palu hakin akhirnya Berbunyi. Setiap orang melakukan kejahatan, akan menanggung hukuman dari kejahatan yang mereka buat.Sudah banyak waktu yang terbuang hanya untuk mengikuti banyak persidangan. Hingga akhirnya napas lega bisa keluar, disaat semuanya sudah mendekam di penjara dalam jangka waktu yang Panjang.Tapi kebahagiaan mereka berbanding terbalik, dengan anak perempuan kecil yang sejak tadi tidak membuka suaranya, dan terlihat murung "Laura, sini sama nenek, kita pulang," ucap Ririn. Matanya berkaca-kaca melihat cucunya. Anak dari Rey dan juga Gia.Hati Ririn merasakan kesedihan dengan mendekamnya Rey di balik jeruji besi, tapi dengan kehadiran Laura, menjadi obat penawar hatinya.Di awal, Laura sempat menolak dan tidak menerima Ririn serta Tian. Laura yang sebatang kara, menangis, dan menjerit. Di kala dia harus terpisah dengan kedua orang tuanya, dan harus menerima orang baru yang dia sebut kakek dan nenek dalam hidupnya."Dek, tinggal lah di rumah yang telah aku beri
"Ma, ayo cepat.." desak Bumi.Ada apa dengan semua orang di rumah. Sejak subuh sibuk mengajak dirinya untuk keluar. Sedangkan kepalanya terasa pusing."Dimana mas Langit?" tanya Senja. Dia sangat ingin bertanya mau kemana mereka semua mengajaknya. Jika terlalu jauh, Senja tidak berniat untuk ikut. Dia lebih memilih untukbrebahan di dalam kamar."Langit sudah pergi duluan. Dia mau memastikan tempat yang akan kita datang kan," sahut Ririn. Senja menarik napas panjang. Kenapa semua serba mendadak, dia sangat ingin menolak, dan mengatakan keluhan tubuhnya. Tapi melihat wajah sumringah semuanya, membuat Senja tidak tega untuk tidak ikut bersama."Sebentar. Biar mama bersiap-siap," ucap Senja. Dia ingin bergerak untuk berganti pakaian."Jangan!" tolak Bumi.Senja sampai mengkerutkan dahinya. Katanya mau keluar, kenapa dia di larang untuk bersiap?"Mama kayak gini saja. Nanti disana semua sudah di siap kan papa," lanjut Bumi lagi."Oh," jawab singkat Senja. Kalau seperti itu dia lebih lega.
Wajah panik Langit tidak dapat dia bendung. Dengan cepat dia menampung tubuh Senja sebelum menyatu dengan lantai."Sayang, bangun. Kamu kenapa?" tanya Langit panik. "Panggil kan dokter!" teriak langit.Langit menggendong Senja. Dia melangkah dengan lebarnya agar segera sampai ke kamar mereka berdua. Langkah kaki Langit tidak mengayun sendiri, Di belakangnya semua anggota keluarga tanpa terkecuali ikut bersama."Tolong handle pestanya. Saya mau lihat menantu saya dulu," perintah Awan pada Leo, sebelum dia bergerak menyusul Langit.Dengan berlahan Langit meletakkan Senja di atas ranjang. Tampak seorang dokter yang juga datang di acara mereka, sudah berada di samping Langit saat ini."Tolong periksa istri saya. Dia tiba-tiba jatuh pingsan," ucap Langit memohon. Raut khawatirnya belum sirna dari wajahnya."Pa.."Bumi mendekati Langit, dia sangat ingin tahu bagaimana kondisi mamanya."Biarkan dokter memeriksa mama dulu. Semoga mama baik-baik saja," ujar Langit. Dia segera mengangkat Bumi u
"Mas, turun kan, gak?" geram Senja.Sejak Langit mengetahui kehamilannya. suaminya itu tidak pernah mengizinkan dia sekedar berjalan. Langit selalu saja ada alasan untuk tidak membiarkan Senja bergerak sendiri."Ini tangga sayang. kalau kamu terpeleset bagaimana? Kasian kan anak kita nanti, dia pasti terkejut, dan kesakitan."Senja sampai menarik napas panjang. Langit sudah berlebihan. Janin saja masih berbentuk gumpalan, tapi seakan dia tahu banyak tentang apa yang di rasakan janin itu.Setelah tangga berhasil mereka turuni, Langit tetap saja menggendong Senja sampai ke meja makan. Tidak ada lagi pemberontakan diberikan Senja. Karena beribu alasan akan kembali terlontar dari bibir tebal itu."Ma, adiknya sehat kan? Sudah kasih tahu kan, kalau abangnya sangat tampan pagi ini," ucap Bumi."Kakak Laura juga sudah sangat cantik. Iya kan ma?" sahut Laura tidak mau kalah.Senja tersenyum tipis. Entah sejak kapan Laura mulai memanggil dirinya mama, begitu juga dengan Langit yang dia panggil
"Kamu kenapa? tanya Langit. Sudah beberapa hari ini Senja terlalu banyak termenung. Dia sampai berpikir itu bawaan jabang bayi mereka. Tapi Langit tetap ingin bertanya, mana tahu ada yang mengganjal pikiran istrinya itu."Tidak ada mas, hanya kepikiran sesuatu saja," terang Senja. Dia tidak berani untuk berkata jauh. Karena dirinya juga masih ragu, apa yang dia lihat samar itu benar atau tidak. Tapi jika benar bagaimana? Hal itu yang terus mengganjal pikirannya. Tidak, jika benar. Dia juga tidak akan mengatakannya pada suaminya."Mas hanya mau bilang, jangan terlalu banyak berpikir. Ingat anak kita, dia merasakan apa yang dirasakan mamanya. Jadi, jika ada suatu masalah, apapun itu. Katakan sama mas, jangan ditutupi," balas Langit.Tangan Langit sekarang sangat aktif membelai lembut perut Senja yang masih terlihat datar. Apalagi di saat malam seperti ini. Hal kecil yang sudah menjadi candu untuknya."Maaf kan papa ya nak, papa belum bisa menjengukmu. Nanti setelah tiga bulan, papa past
Senja menghirup udara segar di daerah perkampungan. Biasa yang terpandang matanya adalah bangunan yang tinggi menjulang. Kini sepanjang mata yang memandang hanya hamparan hijau dari kebun dan juga sawah. Sungguj sangat menyegarkan matanya."Ma, mana permainannya. Kata mama disini ada permainan? Lihat ini," keluh Bumi. Dia menyodorkan gawainya yang sinyalnya sering hilang dan timbul, hingga dia tidak bisa bermain game yang ada di gawainya. "Bumi mau balik ke rumah ma," sungut Bumi. Terbiasa di kota, membuatnya sangat asing dengan daerah yang dia datangi, belum lagi orang-orang disekitarnya terlihat aneh baginya. Bagaimana tidak aneh, mereka semua memandang ke arah Bumi dengan mata yang tidak berkedip."Ma, Laura cantikkan? Kata nenek, dulu gadis cantik disinu, rambutnya di kepang dua," ucap Laura. Sangat berbeda dengan abangnya. Dia sangat semangat berada di kampung. Apalagi banyak tumbuhan bunga cantik disekitar rumah yang sangat jarang terlihat di kota."Sabar. Baru juga semalam. Kem
"Ma, kita mau kemana?" tanya Bumi. Dia membantu mamanya meletakkan pakaiannya ke dalam koper."Kita akan berlibur. Kalian kan sedang liburan sekolah. Jadi kita akan ke kampung neneknya Laura. Sejak kamu lahir, belum pernah mama ajak ke daerah perkampungan," jelas Senja.Pagi ini, setelah suaminya berangkat kerja. Senja mengajak Bumi untuk berkemas. Dia tidak berniat meminta izin pada Langit. Karena sudah lama juga mereka berdua menjadi orang asing, seperti tidak saling mengenal. Bukan itu saja, bahkan suaminya memilih tidur di kamar yang lain, tidak seranjang bersamanya."Apa disana banyak permainan?" tanya Langit. Dia hanya tahu liburan selalu berhubungan dengan permainan."Ya, banyak. Disana banyak permainan yang tidak akan kamu temukan di kota," jelas Senja.Bola mata Bumi berbinar cerah. Dia jadi penasaran permainan seperti apa yang ada disana.Setelah memastikan barang yang akan dibawa sudah terkemas dengan baik. Senja mendatangi kamar Laura Dimana ada Ririn dan juga Laura di dal
"Dari mana kamu Senja?" tanya Ririn. Dia baru saja terbangun dari tidurnya. Tapi tidak menemukan Senja berada di atas ranjangnya. Dia sempat panik, tapi seketika hilang disaat melihat Senja sudah mulai masuk ke dalam kamar kembali."Hanya menghirup angin malam sebentar bu. Bosan rasanya di aras ranjang. Kebanyakan tidur, membuat Senja tidak bisa tidur kembali. Maaf sudah membuat ibu khawatir," jelas Senja. Dia berusaha tersenyum selebar mungkin, untuk menutupi hatinya yang sedang porak poranda.Balasan senyum diberikan Ririn. Walau wajah Senja tersenyum, dia bisa melihat mata Senja yang sendu. Seberapa banyak anaknya itu menutupi kesedihannya sendiri. Ingin Ririn medengar semua beban yang membuat sedih anak dari majikannya dulu itu."Besok sepertinya kita sudah bisa kembali bu. Senja sekalian mau ambil cuti. Rasanya ingin kembali merasakan suasana hijau, pasti tenang ya bu," celetuk Senja lagi. Dia sudah berjalan dan kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang.Merasa Senja mengajaknya
Lenguhan keluar dari bibir Senja. Pandangan Senja langsung bergerak liar untuk meraba area sekitarnya saat ini. Dia masih ingat, jika tadi dia masih berada di tamab rumah sakit, dia juga masih sadar, saat dirinya akan kehilangan kesadarannya."Kamu sudah sadar nak? Kenapa sampai bisa pingsan? Untung saja janinmu baik-baik saja," seru Ririn. Saat melihat Senja mulai membuka mata, dan seperti kencari sesuatu yang berada di dalam kamar inap yang mereka tempati.Tatapan Senja menyiratkan kekecewaannya. Tidak ada lagi rona warna bahagia terpantuk disana, hanya tinggal warna hitam dan putih saja. Di ruangan yang besar, ada satu tempat tidur untuknya. Tapi tidak ada suaminya disana. Dimana Langit? Apakah dia sesibuk itu dengan Aurora sekarang ini? Hingga tidak tahu keberadaan dan keadaan dia sekarang? Hati Senja merasa tusukan-tusukan duri tajam yang terus menusuk tanpa ampun."Kenapa? Cerita sama ibu, jangan pendam masalahmu sendiri. Apa kamu mencari suamimu? Apa perlu ibu memanggilnya, agar
Sudah beberapa hari berjalan, Senja dan Langit melakukan perang dingin. Langit dengan ego besarnya, selalu pergi bekerja terlebih dahulu, membiarkan Senja berangkat bersama supir mereka."Ma, papa kenapa?" tanya Bumi.Ternyata anak-anaknya juga sampai merasakan perbedaan yang terjadi diantara mereka."Papa sedang sangat sibuk. Jadi terburu-buru dan duluan pergi. Kalau mama kan sdang hamil," alasan Senja.Bumi menatap curiga pada mamanya. Tentu tatapan Langit langsung membuat mamanya salah tingkah, dan tidak berani membalas tatapan matanya."Laura, gimana sekolahnya. Teman barumu, masih mau terus dekat-dekat abang?" tanya Senja. Dia sengaja mengalihkan pembicaraan."Masih ma. Katanya dia mau ketemu dan berkenalan dengan calon mertuanya. Siapa sih ma, calon mertua itu? Sampai abang makin marah da mengusir kami," tanya Laura penasaran.Senja tersenyum tipis. Dia jadi penasaran dengan teman Laura. Kenapa bisa berpikir sedewasa itu. "Calon mertua itu, sebutan untuk mama, dan papa untuk pasa
"Kamu dari mana?" tanya Langit. Saat Senja kembali ke kantor. Langit sudah berada di ruangan mereka.Sebelum menjawab. Senja tersenyum pada suaminya. Menyiratkan jika dia baik-baik saja. "Mas pasti tahu, aku dari mana," jawab Senja.Helaan napas panjang keluar dari bibir Langit. Dia tahu, dia sempat menguntit istrinya tadi, dan dia juga terkejut dengan kondisi Aurora. Ada rasa bersalah dan ingin melindungi wanita yang dulu pernah mengisi hatinya."Jangan kesana lagi. Dia hanya masa lalu mas. Mas tidak mau kamu terluka," sahut Langit.Senyum Senja semakin melengkung. Kalimat Langit sudah memberitahukan jika suaminya tahu, jika di rumah sakit itu ada masa lalunya yang sedang terbaring lemah."Jangan marahi Maira. Dia hanya meminta tolong padaku. Aku sudah berjanji akan membantu biaya rumah sakit dan juga operasi temannya," jelas Senja. Lidahnya tidak bisa menyebut nama Aurora di depan suaminya."Terserahmu," jawab singkat Langit. Dia memilih melanjutkan pekerjaannya, daripada mengajak Se
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu