Ketukan palu hakin akhirnya Berbunyi. Setiap orang melakukan kejahatan, akan menanggung hukuman dari kejahatan yang mereka buat.Sudah banyak waktu yang terbuang hanya untuk mengikuti banyak persidangan. Hingga akhirnya napas lega bisa keluar, disaat semuanya sudah mendekam di penjara dalam jangka waktu yang Panjang.Tapi kebahagiaan mereka berbanding terbalik, dengan anak perempuan kecil yang sejak tadi tidak membuka suaranya, dan terlihat murung "Laura, sini sama nenek, kita pulang," ucap Ririn. Matanya berkaca-kaca melihat cucunya. Anak dari Rey dan juga Gia.Hati Ririn merasakan kesedihan dengan mendekamnya Rey di balik jeruji besi, tapi dengan kehadiran Laura, menjadi obat penawar hatinya.Di awal, Laura sempat menolak dan tidak menerima Ririn serta Tian. Laura yang sebatang kara, menangis, dan menjerit. Di kala dia harus terpisah dengan kedua orang tuanya, dan harus menerima orang baru yang dia sebut kakek dan nenek dalam hidupnya."Dek, tinggal lah di rumah yang telah aku beri
"Ma, ayo cepat.." desak Bumi.Ada apa dengan semua orang di rumah. Sejak subuh sibuk mengajak dirinya untuk keluar. Sedangkan kepalanya terasa pusing."Dimana mas Langit?" tanya Senja. Dia sangat ingin bertanya mau kemana mereka semua mengajaknya. Jika terlalu jauh, Senja tidak berniat untuk ikut. Dia lebih memilih untukbrebahan di dalam kamar."Langit sudah pergi duluan. Dia mau memastikan tempat yang akan kita datang kan," sahut Ririn. Senja menarik napas panjang. Kenapa semua serba mendadak, dia sangat ingin menolak, dan mengatakan keluhan tubuhnya. Tapi melihat wajah sumringah semuanya, membuat Senja tidak tega untuk tidak ikut bersama."Sebentar. Biar mama bersiap-siap," ucap Senja. Dia ingin bergerak untuk berganti pakaian."Jangan!" tolak Bumi.Senja sampai mengkerutkan dahinya. Katanya mau keluar, kenapa dia di larang untuk bersiap?"Mama kayak gini saja. Nanti disana semua sudah di siap kan papa," lanjut Bumi lagi."Oh," jawab singkat Senja. Kalau seperti itu dia lebih lega.
Wajah panik Langit tidak dapat dia bendung. Dengan cepat dia menampung tubuh Senja sebelum menyatu dengan lantai."Sayang, bangun. Kamu kenapa?" tanya Langit panik. "Panggil kan dokter!" teriak langit.Langit menggendong Senja. Dia melangkah dengan lebarnya agar segera sampai ke kamar mereka berdua. Langkah kaki Langit tidak mengayun sendiri, Di belakangnya semua anggota keluarga tanpa terkecuali ikut bersama."Tolong handle pestanya. Saya mau lihat menantu saya dulu," perintah Awan pada Leo, sebelum dia bergerak menyusul Langit.Dengan berlahan Langit meletakkan Senja di atas ranjang. Tampak seorang dokter yang juga datang di acara mereka, sudah berada di samping Langit saat ini."Tolong periksa istri saya. Dia tiba-tiba jatuh pingsan," ucap Langit memohon. Raut khawatirnya belum sirna dari wajahnya."Pa.."Bumi mendekati Langit, dia sangat ingin tahu bagaimana kondisi mamanya."Biarkan dokter memeriksa mama dulu. Semoga mama baik-baik saja," ujar Langit. Dia segera mengangkat Bumi u
"Mas, turun kan, gak?" geram Senja.Sejak Langit mengetahui kehamilannya. suaminya itu tidak pernah mengizinkan dia sekedar berjalan. Langit selalu saja ada alasan untuk tidak membiarkan Senja bergerak sendiri."Ini tangga sayang. kalau kamu terpeleset bagaimana? Kasian kan anak kita nanti, dia pasti terkejut, dan kesakitan."Senja sampai menarik napas panjang. Langit sudah berlebihan. Janin saja masih berbentuk gumpalan, tapi seakan dia tahu banyak tentang apa yang di rasakan janin itu.Setelah tangga berhasil mereka turuni, Langit tetap saja menggendong Senja sampai ke meja makan. Tidak ada lagi pemberontakan diberikan Senja. Karena beribu alasan akan kembali terlontar dari bibir tebal itu."Ma, adiknya sehat kan? Sudah kasih tahu kan, kalau abangnya sangat tampan pagi ini," ucap Bumi."Kakak Laura juga sudah sangat cantik. Iya kan ma?" sahut Laura tidak mau kalah.Senja tersenyum tipis. Entah sejak kapan Laura mulai memanggil dirinya mama, begitu juga dengan Langit yang dia panggil
"Kamu kenapa? tanya Langit. Sudah beberapa hari ini Senja terlalu banyak termenung. Dia sampai berpikir itu bawaan jabang bayi mereka. Tapi Langit tetap ingin bertanya, mana tahu ada yang mengganjal pikiran istrinya itu."Tidak ada mas, hanya kepikiran sesuatu saja," terang Senja. Dia tidak berani untuk berkata jauh. Karena dirinya juga masih ragu, apa yang dia lihat samar itu benar atau tidak. Tapi jika benar bagaimana? Hal itu yang terus mengganjal pikirannya. Tidak, jika benar. Dia juga tidak akan mengatakannya pada suaminya."Mas hanya mau bilang, jangan terlalu banyak berpikir. Ingat anak kita, dia merasakan apa yang dirasakan mamanya. Jadi, jika ada suatu masalah, apapun itu. Katakan sama mas, jangan ditutupi," balas Langit.Tangan Langit sekarang sangat aktif membelai lembut perut Senja yang masih terlihat datar. Apalagi di saat malam seperti ini. Hal kecil yang sudah menjadi candu untuknya."Maaf kan papa ya nak, papa belum bisa menjengukmu. Nanti setelah tiga bulan, papa past
Leo menatap wajah Langit penuh arti. Dia tidak menyangka, Langit bisa mendahuluinya tentang kabar yang selama ini di tutup olehnya dengan rapi. Sepertinya Langit sudah memiliki orang lain yang memberikan berita padanya, selain dia sendiri."Ya tuan. Dia sudah kembali ke kota ini," jawab Leo singkat. Matanya menatap berani pada lelaki yang sudah beristri itu. Leo sudah siap dengan berbagai pertanyaan yang akan kembali diberikan olehnya.Brak!!Satu tamparan keras Langit berikan di atas meja kerjanya. Ruang kedap udara itu. Tidak akan bisa membuat penghuni di dalam rumahnya terbangun."Kenapa kalian lakukan itu padanya? Kalian selama ini sengaja menutup segalanya padaku. Padahal aku sudah mempercayai segalanya padamu Leo," berang Langit. Sudah siap akan amukan Langit. Leo tersenyum tipis. "Maaf tuan. Ini juga kemauan tuan Awan. Kami hanya ingin melindungi anda dari wanita seperti Aurora. Sejak awal dia sudah tidak pantas menjadi pendamping anda," lugas Leo.Hempasan punggung kasar terd
Langit menatap tajam ke arah wanita yang beberapa minggu ini sudah menjadi sekertarisnya. Maira sejak tadi tertunduk dalam tanpa mengatakan apapun. Padahal sejak tadi, dia yang bersikeras ingin berbicara dengan Langit."Apa maumu? Kenapa diam?" tanya Langit dengan dingin. Tidak ada senyuman atau keramahan di wajahnya. Seakan kedinginan yang dia tampilkan, dapat membunuh wanita dengan tubuh gemetar di depannya dengan sekali tebas."Katakan, cepat!" desak Langit. Suaranya semakin menyalang, hingga membuat Maira tersentak kaget, dan memundurkan langkahnya beberapa ke belakang. Dia tidak ingin waktunya habis hanya karena melihat keterdiaman Maira."Maaf pak. Saya, saya.." Maira tergagap saat ingin mengatakan sesuatu yang sejak tadi tersendat di kerongkongannya. Padahal ini saat yang tepat. Dimana dia menemani tuannya itu sendiri tanpa ada istri ikut bersama, dalam pertemuan dengan koleganya di luar. Sudah banyak saliva yang sudah seperti batu kerikil Maira telan. Dia tidak tahu ingin memul
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu