Wajah panik Langit tidak dapat dia bendung. Dengan cepat dia menampung tubuh Senja sebelum menyatu dengan lantai."Sayang, bangun. Kamu kenapa?" tanya Langit panik. "Panggil kan dokter!" teriak langit.Langit menggendong Senja. Dia melangkah dengan lebarnya agar segera sampai ke kamar mereka berdua. Langkah kaki Langit tidak mengayun sendiri, Di belakangnya semua anggota keluarga tanpa terkecuali ikut bersama."Tolong handle pestanya. Saya mau lihat menantu saya dulu," perintah Awan pada Leo, sebelum dia bergerak menyusul Langit.Dengan berlahan Langit meletakkan Senja di atas ranjang. Tampak seorang dokter yang juga datang di acara mereka, sudah berada di samping Langit saat ini."Tolong periksa istri saya. Dia tiba-tiba jatuh pingsan," ucap Langit memohon. Raut khawatirnya belum sirna dari wajahnya."Pa.."Bumi mendekati Langit, dia sangat ingin tahu bagaimana kondisi mamanya."Biarkan dokter memeriksa mama dulu. Semoga mama baik-baik saja," ujar Langit. Dia segera mengangkat Bumi u
"Mas, turun kan, gak?" geram Senja.Sejak Langit mengetahui kehamilannya. suaminya itu tidak pernah mengizinkan dia sekedar berjalan. Langit selalu saja ada alasan untuk tidak membiarkan Senja bergerak sendiri."Ini tangga sayang. kalau kamu terpeleset bagaimana? Kasian kan anak kita nanti, dia pasti terkejut, dan kesakitan."Senja sampai menarik napas panjang. Langit sudah berlebihan. Janin saja masih berbentuk gumpalan, tapi seakan dia tahu banyak tentang apa yang di rasakan janin itu.Setelah tangga berhasil mereka turuni, Langit tetap saja menggendong Senja sampai ke meja makan. Tidak ada lagi pemberontakan diberikan Senja. Karena beribu alasan akan kembali terlontar dari bibir tebal itu."Ma, adiknya sehat kan? Sudah kasih tahu kan, kalau abangnya sangat tampan pagi ini," ucap Bumi."Kakak Laura juga sudah sangat cantik. Iya kan ma?" sahut Laura tidak mau kalah.Senja tersenyum tipis. Entah sejak kapan Laura mulai memanggil dirinya mama, begitu juga dengan Langit yang dia panggil
"Kamu kenapa? tanya Langit. Sudah beberapa hari ini Senja terlalu banyak termenung. Dia sampai berpikir itu bawaan jabang bayi mereka. Tapi Langit tetap ingin bertanya, mana tahu ada yang mengganjal pikiran istrinya itu."Tidak ada mas, hanya kepikiran sesuatu saja," terang Senja. Dia tidak berani untuk berkata jauh. Karena dirinya juga masih ragu, apa yang dia lihat samar itu benar atau tidak. Tapi jika benar bagaimana? Hal itu yang terus mengganjal pikirannya. Tidak, jika benar. Dia juga tidak akan mengatakannya pada suaminya."Mas hanya mau bilang, jangan terlalu banyak berpikir. Ingat anak kita, dia merasakan apa yang dirasakan mamanya. Jadi, jika ada suatu masalah, apapun itu. Katakan sama mas, jangan ditutupi," balas Langit.Tangan Langit sekarang sangat aktif membelai lembut perut Senja yang masih terlihat datar. Apalagi di saat malam seperti ini. Hal kecil yang sudah menjadi candu untuknya."Maaf kan papa ya nak, papa belum bisa menjengukmu. Nanti setelah tiga bulan, papa past
Leo menatap wajah Langit penuh arti. Dia tidak menyangka, Langit bisa mendahuluinya tentang kabar yang selama ini di tutup olehnya dengan rapi. Sepertinya Langit sudah memiliki orang lain yang memberikan berita padanya, selain dia sendiri."Ya tuan. Dia sudah kembali ke kota ini," jawab Leo singkat. Matanya menatap berani pada lelaki yang sudah beristri itu. Leo sudah siap dengan berbagai pertanyaan yang akan kembali diberikan olehnya.Brak!!Satu tamparan keras Langit berikan di atas meja kerjanya. Ruang kedap udara itu. Tidak akan bisa membuat penghuni di dalam rumahnya terbangun."Kenapa kalian lakukan itu padanya? Kalian selama ini sengaja menutup segalanya padaku. Padahal aku sudah mempercayai segalanya padamu Leo," berang Langit. Sudah siap akan amukan Langit. Leo tersenyum tipis. "Maaf tuan. Ini juga kemauan tuan Awan. Kami hanya ingin melindungi anda dari wanita seperti Aurora. Sejak awal dia sudah tidak pantas menjadi pendamping anda," lugas Leo.Hempasan punggung kasar terd
Langit menatap tajam ke arah wanita yang beberapa minggu ini sudah menjadi sekertarisnya. Maira sejak tadi tertunduk dalam tanpa mengatakan apapun. Padahal sejak tadi, dia yang bersikeras ingin berbicara dengan Langit."Apa maumu? Kenapa diam?" tanya Langit dengan dingin. Tidak ada senyuman atau keramahan di wajahnya. Seakan kedinginan yang dia tampilkan, dapat membunuh wanita dengan tubuh gemetar di depannya dengan sekali tebas."Katakan, cepat!" desak Langit. Suaranya semakin menyalang, hingga membuat Maira tersentak kaget, dan memundurkan langkahnya beberapa ke belakang. Dia tidak ingin waktunya habis hanya karena melihat keterdiaman Maira."Maaf pak. Saya, saya.." Maira tergagap saat ingin mengatakan sesuatu yang sejak tadi tersendat di kerongkongannya. Padahal ini saat yang tepat. Dimana dia menemani tuannya itu sendiri tanpa ada istri ikut bersama, dalam pertemuan dengan koleganya di luar. Sudah banyak saliva yang sudah seperti batu kerikil Maira telan. Dia tidak tahu ingin memul
Senja sempat bergidik ngeri melihat aura yang keluar dari Maira. Sejak pulang bersama suaminya beberapa waktu yang lalu, tatapannya menyiratkan kebencian dan ketidaksukaan pada Senja. Senja sendiri tidak mengerti dengan sikap acuh Maira. Apa ini juga ada hubungannya dengan sikap Langit yang lalu juga? Apa yang terjadi pada keduanya?Terbesit pikiran buruk di otak Senja. Tapi segera dia tepis. Tidak mungkin suaminya berani berkhianat dan bermain belakang dengan sekertarisnya itu.Sebagai wanita yang sudah menikah dua kali. Senja tidak mau kejadian yang lalu terulang kembali. Dia harus melakukan sesuatu sebelum terlambat."Maira, nanti bisa temani saya keluar sebentar? Saya mau berbelanja, tapi tidak ada yang menemani," ucap Senja saat dia kembali melewati meja sekertarisnya itu.Wajah Maira di pandangan Senja berubah datar. Tapi Senja yakin dia tidak akan berani menolak keinginan Senja."Baik bu. Saya akan temani ibu nanti," sahut Maira. Dia merasa Senja hanyalah wanita tidak tahu malu
Senja sangat ingin menutup wajah amarahnya. Tapi tetap saja, emosinya yang tergambar, tidak bisa menutup rasa amarahnya.Dia meminta supir yang bersamanya untuk mengantarkannya menepi ke sebuah taman. Dia harus bisa mendinginkan kepalanya sebelum kembali ke rumah.Matanya masih melihat ke gawai yang menampilkan nama suaminya. "Maafkan aku mas," seru Senja. Dia mematikan gawainya sejenak. Tidak ingin panggilan dari Langit mengganggu kesendiriannya."Kenapa takdir pernikahanku selalu saja harus ada wanita lain disana?" monolog Senja sendiri.Dia masih mengingat jelas semua apa yang dikatakan Maira tadi.[Dia sakit. Dia lebih membutuhkan tuan, daripada anda bu Senja. Sejak awal tuan juga milik Aurora. Bukan milik anda. Harusnya anda mundur, disaat tahu seseorang yang dicintai tuan kembali. Apa anda tega memisahkan keduanya? Disaat salah satu sedang tidak berdaya dengan sakitnya?]Senja menangis terisak. Dia bisa saja membenarkan aoa yang dikatakan Maira. Tapi dia juga bisa menyalahkan Mai
Pagi ini Senja datang ke kantor dengan menunjukkan kemesraan yang tidak biasanya. Dia menggelayut manja di lengan Langit. Seakan ingin menunjukkan ke semuanya, jika Langit hanyalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang bisa berbagi dengannya.Tidak urung tingkah yang di lakukan Senja juga menjadi perhatian Maira. Kedongkolan semakin menghantam dadanya dengan palu godam. Padahal dia sudah mengatakan semuanya. Tapi dia merasa, Senja menjadi wanita yang tidak tahu diri."Kamu masuk duluan ya. Ada yang mas diskusikan sebentar dengan Maira," ucap Langit.Senja memgangguk setuju. Dia tidak perlu cemburu, karena dia tahu jika Maira tidak ada maksud lain, selain menginginkan Langit kembali pada Aurora.Suasana antara Langit dan Maira, sejenak hening. Hingga Senja sepenuhnya masuk ke dalam ruangan, baru lah Langit membuka suaranya. "Apa yang kamu lakukan kemarin dengan istri saya? Jangan pikir saya tidak tahu apapun. Saya ingatkan padamu, untuk pertama dan terakhir kali. Jangan pernah membawa