“Nak Bella, sini-sini,” ajak seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Mama. Dia adalah ibu Gavin, ibu Mertuaku. Tadi Mama memperkenalkanku dengan belau sebelum pernikahan berlangsung.
“Gavin, gandeng Bella dan ajak berkenalan dengan keluarga kita,” Nyonya Farah Wardhana menyuruh anak bungsunya itu untuk membawaku berkeliling menemui satu persatu sanak saudaranya.“Bella ikut sama Gavin, ya.” Aku mengangguk, mengikuti Gavin yang sudah berjalan mendahuluiku.Semenjak pertemuan kita tadi, sampai acara pernikahan ini hampir selesai, belum ada percakapan diantara kami. Sama sekali belum ada. Bahkan kalau diingat lagi, kami belum berkenalan. Dia hanya diam, sorot matanya pun terlihat dingin. Tapi tak bisa dipungkiri, hal itu malah membuat aura tampannya semakin meningkat. Dasar Bella aneh.Gavin mengajakku, ah bukan. Lebih tepatnya aku mengikuti Gavin, menyapa semua keluarganya. Bahkan disaat kami menyapa keluarganya pun dia tidak memperkenalkanku sama sekali. Hanya menyapa mereka lalu asyik berbincang sendiri setelahnya. Jangan tanya bagaimana dengan diriku sekarang. Seperti orang bodoh, iya hanya diam mematung memandangi mereka yang asyik berbincang. Menunggu salah seorang sadar akan kehadiranku, baru setelah itu bisa memperkenalkan diri. Miris sekali.Padahal harapanku tadi tidak seperti ini. Aku kira setelah akad kami jadi semakin dekat. Aku bisa berbicara panjang lebar dengannya, bisa lebih mengenal dia dan akhirnya kami berdua hisup bahagia sebagai pasangan suami istri. Tapi apa ini, aku hanya didiamkan saja seperti makanan basi.Semua keluarga Gavin sudah kusapa satu persatu. Sekarang tinggal keluargaku, sesuai dengan perintah Mamah tadi. Setelah selesai menyapa keluarganya, aku harus membawa Gavin untuk menyapa keluargaku juga. Tapi pertanyaannya, bagaimana caraku membuka percakapan sekarang. Bahkan untuk berdiri disampingku saja dia terlihat tidak nyaman. “Em, tadi Mama nyuruh untuk ngajak kamu kenalan sama keluarga besarku.”Kuberanikan diri untuk membuka percakapan, walaupun masih terdengar kaku. Itupun aku sudah berusaha semaksimal mungkin, sampai tubuhku dari tadi tak hentinya bergetar karena menahan takut.“Hm,” akhirnya satu kata keluar dari mulutnya. Dan itu pun sangat singkat, bahkan menurutku itu bukan sebuah kata, hanya gumaman.“Nak Gavin, sini-sini,” dengan senyum sumringah Mama melambaikan tangannya, memanggil kami berdua.Keluargaku yang datang tidak terlalu banyak, hanya sekitar 10 orang, keluarga inti saja. Kebetulan mereka kini berkumpul jadi sepertinya tidak akan butuh waktu lama seperti tadi saat berkenalan dengan keluarga Gavin yang terpisah-pisah.“Wah, ganteng banget,” tante Yuni yang memang datang terlambat, melongo melihat Gavin. “Sini, tak kenalin sama keluarga Mama,” Mama menarik tangan Gavin lembut.“Ini Tante Yuni dan ini anaknya, Fira. Kalau ini Om Iqbal sama istrinya, Tante Mila,” Mama menunjuk satu persatu orang yang memang mengelilingi kami.“Salam kenal semuanya, saya Gavin,” sapa Gavin sangat ramah. Tak lupa pula dia bubuhkan senyuman manisnya diakhir. Jangan diteruskan, aku bisa meleleh kalau lama-lama melihat senyumanmu, suamiku. Dasar Bella, mode abnormalnya hidup lagi. Tanpa terasa bibirku melengkung dengan sendirinya, ikut tersenyum dalam ketidaksadaran. Pipi, aku yakin ada rona merah disana. Bagaimana ini, jangan sampai semua orang melihat dipipiku yang seperti kepiting rebus.“Kak Gavin, boleh minta kontaknya gak? Kita kan sudah jadi sepupu, boleh dong dikasih kontaknya biar bisa semakin dekat.”Dengan mata berbinar, Fira menghampiri Gavin. Bahkan dia menggeser posisiku, untuk bisa berdiri lebih dekat dengan Gavin. Nada bicaranya yang dibuat-buat semanis dan semanja mungkin, terdengar menjijikan ditelingaku. Sejak kapan Fira jadi centil seperti ini.Usia kami memang sama, hanya terpaut dua bulan saja. Aku tidak terlalu dekat dengan sepupuku yang satu ini. Selera kami sangat bertolak belakang, kalau bersama pun lebih sering bertengkar daripada akurnya.“Boleh ya Kak,” Fira masih berusaha merayu Gavin dengan memasang wajah seimut mungkin.“Fira, jangan dipaksa Gavinnya. Nanti kalau sudah waktunya juga kalian bisa dekat sendiri. Ini juga kita baru ketemu pertama kali, tolong jaga sikap sedikit ya, Nak,” Mamah memperingatkan Fira dengan halus. Rasain Si Fira kena tegur Mama. Siapa suruh dia kecentilan sama suami sepupu sendiri.“Halah, kamu itu lho Mbak. Sombong banget, mentang-mentang punya mantu ganteng. Cuma mau kenal saja kamu sudah ribet banget kayak gitu,” sahut Tante Yuni yang tak terima.“Sudah, bawa Gavin keluar dulu, Bel. Kalian kan pasti belum kenal satu sama lain. Sana ngobrol-ngobrol di depan,” perintah Mama.“Ya Tante, kan Fira mau ngobrol juga sama Gavin,” Fira merengek tak terima setelah kepergian kami.Bagaimana ini, suasananya amat sangat canggung. Sudah hampir 5 menit kami berdua duduk di kursi dekat taman, tapi tak sepatah katapun yang keluar dari mulut kami berdua.Ingin rasa memulai percakapan, tapi bingung apa yang harus kuucapkan. Tidak mungkin kan aku memperkenalkan diri lagi, rasanya aneh. Kalau langsung sok kenal nanya-nanya juga aneh. Terlebih dia juga tidak mau memulai pembicaraan terlebih dulu. Bukankah dalam situasi seperti ini biasanya cowok dulu yang nanya-nanya. Walaupun aku suka sama dia, bukan berarti aku bisa bersikap centil dan tak tau malu seperti Fira tadi. Aku bukan tipe cewek seperti itu.“Heh!”Ditengah lamunan, aku masih bisa mendengar suara Gavin. Dia memulai percakapan denganku, akhirnya momen ini datang juga. Tanpa pikir panjang aku langsung memalingkan wajah kesamping, menghadapnya degan senyum lebar.“Iya,” jawabku seadanya.“Pernikahan ini hanya diatas kertas, jadi ingat dari sekarang. Status kita dibelakang keluarga hanya orang asing! Jangan pernah berharap lebih padaku. Karena kamu sama sekali bukan tipeku!” Deg.Dadaku serasa dihujani ribuan peluru sampai berdarah-darah. Dua kalimat singkat yang sangat menyakitkan keluar dari mulut Gavin, dan itu sukses membuat hatiku sangat sakit.Sebulir cairan bening menetes ditangan. Aku merutuki diri sendiri yang dengan bodohnya berharap banyak dengan sosok Gavin. Padahal kalau dipikir lagi, pernikahan ini sebenarnya hanya menguntungkan keluarganku dan tidak untuk keluarga Gavin. Mungkin Gavin menerima pernikahan ini karena paksaan dari orangtuanya. Mengingat bagaimana ekspresinya yang terlihat muram selama acara berlangsung. Sangat beda denganku yang sangat bahagia.Sekarang Gavin sudah pergi meninggalkanku termenung sendiri di taman depan rumah. Tentunya dengan air mata yang masih setia mengalir. Persetan dengan riasan, kalau memang luntur biarlah luntur saja sekalian. Biar hancur seperti hatiku yang ditolak mentah-mentah oleh suaminya di hari pertama pernikahan.Lalu bagaimana aku akan menjalani hidup kedepannya, sedangkan ini aku harus tinggal serumah dengan manusia itu.“Bella bodoh, seharusnya kemarin kamu tolak saja penikahan ini. Barang cuma disodorin foto orang ganteng saja langsung melempem. Kalau sudah begini mau bagaimana coba? Mau kamu makan tuh ketampanan suamimu? Tampan juga cuma covernya saja, dalamnya sangat busuk. Masih saja kamu idam-idamkan.”“Bodoh! Bella bodoh!” teriakku tak jelas memaki diri sendiri.Sudah cukup, jangan sampai ada orang yang melihat. Bisa-bisa besok viral, karena menangis sambil teriak-teriak kayak orang gila ditaman. Apalagi ini hari pernikahankui. Memikirkannya saja sudah membuatku geli. Lebih baik aku kembali saja kedalam dan menghadapi semua ini dengan keren.Bella, kamu pasti bisa!“Hah, akhirnya kita sampai di rumah barumu, Sayang.”Aku yang sedari tadi bersandar di bahu Mama akhirnya bangkit, ikut melihat rumah yang bisa dibilang lumayan mewah untuk orang biasa sepertiku. Ya, rumah ini yang akan menjadi tempat tinggal baruku dengan manusia menyebalkan itu.“Gimana Bel, bagus kan?” dengan mata berbinar Mama bertanya kepadaku.“Iya, bagus kok Ma."“Kamu tahu, rumah ini yang milihin kakeknya Gavin. Kakeknya Gavin bahkan menanyakan dekorasi yang kamu sukai, mulai dari warna dan barang-barang favoritmu. Pak Wira berharap dengan begitu kamu akan betah tinggal disini. Baik banget memang beliau itu,” Mama sepertinya sangat menghormati Pak Wira, kakek Gavin yang belum pernah kutemui. Beliau saat ini sedang dinas diluar negeri, jadi beliau tidak bisa menghadiri pernikahan kami tadi.Setelah turun dari mobil, aku langsung masuk kedalam rumah dengan menarik koper merah yang berisi sebagian kecil pa
Kupikir hal seperti ini hanya terjadi dalam drama atau novel-novel romance saja. Dimana pasangan tersebut membuat kontrak kalau dia bisa bebas berhubungan dengan wanita mana saja sesuka hatinya. Tapi ternyata kisah itu sekarang berlaku padaku juga. kalau soal berhubungan dengan wanita manapun diluar rumah ini mungkin aku masih bisa sedikit memakluminya. Tapi kalau dia mau bebas melakukan apapun disini, lalu bagaimana denganku. Ini bukan tentang kecemburuan, hanya saja aku yang masih nol pengalaman soal percintaan membayangkan hal-hal yang terjadi saat pria dan wanita berkencan di rumah pasangan membuatku merasa risih sendiri. Ini nyata soalnya, kalau cuma film atau drama aku tidak akan punya masalah.Isi perjanjian yang ditulis Gavin sebenarnya hanya ada empat poin. Pertama, dia ingin pernikahan ini disembunyikan dari publik, baik kampus, sosial media maupun teman terdekat sekalipun. Kedua, dilarang mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Ketiga, selama kita menik
Astaga, mulutnya harus ikut disekolahkan. Masak iya, dia akan memperkenalkanku sebagai pembantu. Biar bagaimanapun aku ini istrinya, masak nanti dia tega memperkenalkanku pada wanitanya sebagai seorang pembantu. Lagian mana ada sih pembantu yang secantik aku. Tapi sebenarnya banyak sih pembantu yang lebih cantik dari aku.“Apa tidak ada opsi lain? Gila kamu ya? Masak iya kamu kenalin aku sebagai pembantumu?” protesku tak terima dengan usulannya.“Tenang saja, soal alasan itu banyak. Kamu tidak usah khawatirkan itu. Yang terpenting kamu jalani saja tugasmu, untuk yang lain biar aku yang urus.”“Bella, ayok buruan! Nanti kalau telat kita bisa kena hukum,” Yura berteriak sembari melambai-lambaikan tangan.“Iya, sebentar,” dengan tergopoh-gopoh aku berlari menghampirinya yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus.“Ayok buruan masuk, tuh lihat sudah sepi. Kita pasti telat!” tanganku
“Gavin!”“Gavin!” suasana kembali riuh, bahkan masih ada banyak gadis yang berdatangan menambah sesak kerumunan. Diantara banyaknya gadis disana, ada satu orang yang sangat menarik perhatianku.“Tunggu, itu kan Yura.” kutemukan sosok Yura diantara puluhan gadis yang tengah berkerumun disekitar Gavin.“Yura!” dia tak bergeming. Mungkin dia tak mendengar, suaraku kalah dengan teriakan penggemar Gavin.“Yura!” karena Yura tak kunjung mendengar, kuputuskan untuk menghampirinya.“Dasar si Yura, dihampiri malah kedepan,” rutukku kesal pada sahabatku itu. Dia malah meju kedepan mendekati Gavin.Yura memang belum tau kalau aku sudah menikah dengan pria itu, mengingat isi perjanjian kita yang tidak memperbolehkan status pernikahan ini bocor walaupun di tangan sahabat sendiri. Maaf Yura, aku berbohong padamu.“Wah, gila! Dia boleh juga Vin,” sa
“Sampai,” Yura memarkirkan mobil Brio warna merah miliknya tepat di depan tempat karaoke yang sering dijadikan tempat berkumpul anak kampus sini.“Kok tempat karaoke sih, katanya mau makan?”Aku jadi bingung dengan tingkah Yura yang menurutku mencurigakan. Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah mengalihkan pembicaraan, seperti ada yang sedang ia sembunyikan.“Ayok buruan kita turun.”“Yura! Aku tanya kok kita bukan ke rumah makan atau cafe tapi malah ke tempat karaoke? Katanya tadi kamu ngajak aku makan?” kuulang lagi pertanyaanku dengan nada sedikit kesal.“Di dalam kan ada menu makanan juga, Bel. Tenang saja, pokoknya aku berani jamin perutmu akan kenyang sepulang dari sini.”“Tapi untuk apa kita kesini? Memangnya kamu pengen karaokean? Tumben banget,” setauku Yura tidak terlalu suka karaokean, dia bilang tidak percaya diri dengan suaranya yang cempreng. Suaraku pun tak jauh beda dengan suara Yura sebenarnya, dan memang kami berdua bukan tipe oran
“Jangan mimpi lepas dariku,” bibirnya kini sudah hampir meraih bibir ranumku. Ciuman pertamaku! Aku tidak rela orang sepertinya merebut ciuman pertamaku. Tanpa pikir panjang kutendang harta berharga miliknya dengan sekuat tenaga.“Auh! Sialan!”Plak!Dia menampar wajahku dengan sangat keras, bahkan sampai tubuh mungilku terjerembab ke lantai.Bugh! Bugh!Perlahan kuangkat kepalaku setelah mendengar pukulan keras yang dilayangkan bertubi-tubi pada pria itu. Gavin, dia memukuli sahabatnya sendiri.“Rendy, ingat ini baik-baik! Jangan pernah sekali lagi merendahkan wanita ini baik dihadapan maupun dibelakangku. Kalau sampai aku tahu kamu merendahkannya lagi, jangan salahkan aku akan terjadi hal buruk pada dirimu. Pastinya lebih buruk dari ini,” ujar Gavin pada sahabatnya yang sudah terkulai lengkap dengan cairan berwarna merah yang mengalir dari hidung dan pojok bibirnya.“Memangnya kenapa kalau aku meren
“Sebentar, jadi yang ingin menyembunyikan hubungan ini intinya hanya Gavin saja?” mata Yura langsung melotot menatap Gavin dengan tajam sampai yang ditatap bergidik ngeri dibuatnya.“Bukan, bukan seperti itu. Ini semua atas kesepakatan kami berdua. Bukan hanya keinginan Gavin,” sanggahku cepat. Jangan sampai Yura tahu tentang perjanjian itu.“Kamu yakin Bel?” tanyanya masih berusaha mencari kebohongan di wajahku.“Yakin, aku juga ingin menikmati statusku sebagai mahasiswa tanpa embel-embel status pernikahan,” jawabku penuh dengan keyakinan.Aku memang masih ingin menikmati masa emas ini, ingin punya pacar, ingin jatuh cinta dan bebas melakukan apa saja yang kuinginkan. Andai Gavin tidak membenciku, mungkin keinginan itu akan terwujud dengannya. Tapi sudahlah, aku harus fokus pada duniaku sendiri ada atau tanpa adanya Gavin di dalamnya.“Kamu yakin?” tanya Yura lagi dengan senyuman mi
“Sebelumnya Mama sama Papa minta maaf, Bel. Kami berdua terpaksa melakukan hal ini padamu.”Mama tiba-tiba terlihat serius. Padahal sebelumnya kami sedang menonton film sambil bercanda santai. Namun tiba-tiba Mama merubah suasana menjadi menegangkan.“Kamu harus segera menikah dengan cucu keluarga Wardhana, Bel," seketika mataku terbelalak, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Semoga aku salah dengar. Aku belum ingin menikah!“Maafkan Mama dan Papa, ya. Kami terpaksa menerima perjodohan ini, semua demi masa depanmu, Sayang.”Apa? Masa depan? Yang ada masa depanku akan hancur karena perjodohan ini.Umurku baru 19 tahun, dan baru saja satu lulus SMA satu bulan yang lalu. Dan sekarang mereka akan menikahkanku dengan orang yang tidak kutahu sama sekali.Aku ini Bella, gadis yang belum pernah merasakan romansa. Gadis biasa yang tidak berani pacaran karena dilarang orang tua. Kukira setel
“Sebentar, jadi yang ingin menyembunyikan hubungan ini intinya hanya Gavin saja?” mata Yura langsung melotot menatap Gavin dengan tajam sampai yang ditatap bergidik ngeri dibuatnya.“Bukan, bukan seperti itu. Ini semua atas kesepakatan kami berdua. Bukan hanya keinginan Gavin,” sanggahku cepat. Jangan sampai Yura tahu tentang perjanjian itu.“Kamu yakin Bel?” tanyanya masih berusaha mencari kebohongan di wajahku.“Yakin, aku juga ingin menikmati statusku sebagai mahasiswa tanpa embel-embel status pernikahan,” jawabku penuh dengan keyakinan.Aku memang masih ingin menikmati masa emas ini, ingin punya pacar, ingin jatuh cinta dan bebas melakukan apa saja yang kuinginkan. Andai Gavin tidak membenciku, mungkin keinginan itu akan terwujud dengannya. Tapi sudahlah, aku harus fokus pada duniaku sendiri ada atau tanpa adanya Gavin di dalamnya.“Kamu yakin?” tanya Yura lagi dengan senyuman mi
“Jangan mimpi lepas dariku,” bibirnya kini sudah hampir meraih bibir ranumku. Ciuman pertamaku! Aku tidak rela orang sepertinya merebut ciuman pertamaku. Tanpa pikir panjang kutendang harta berharga miliknya dengan sekuat tenaga.“Auh! Sialan!”Plak!Dia menampar wajahku dengan sangat keras, bahkan sampai tubuh mungilku terjerembab ke lantai.Bugh! Bugh!Perlahan kuangkat kepalaku setelah mendengar pukulan keras yang dilayangkan bertubi-tubi pada pria itu. Gavin, dia memukuli sahabatnya sendiri.“Rendy, ingat ini baik-baik! Jangan pernah sekali lagi merendahkan wanita ini baik dihadapan maupun dibelakangku. Kalau sampai aku tahu kamu merendahkannya lagi, jangan salahkan aku akan terjadi hal buruk pada dirimu. Pastinya lebih buruk dari ini,” ujar Gavin pada sahabatnya yang sudah terkulai lengkap dengan cairan berwarna merah yang mengalir dari hidung dan pojok bibirnya.“Memangnya kenapa kalau aku meren
“Sampai,” Yura memarkirkan mobil Brio warna merah miliknya tepat di depan tempat karaoke yang sering dijadikan tempat berkumpul anak kampus sini.“Kok tempat karaoke sih, katanya mau makan?”Aku jadi bingung dengan tingkah Yura yang menurutku mencurigakan. Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah mengalihkan pembicaraan, seperti ada yang sedang ia sembunyikan.“Ayok buruan kita turun.”“Yura! Aku tanya kok kita bukan ke rumah makan atau cafe tapi malah ke tempat karaoke? Katanya tadi kamu ngajak aku makan?” kuulang lagi pertanyaanku dengan nada sedikit kesal.“Di dalam kan ada menu makanan juga, Bel. Tenang saja, pokoknya aku berani jamin perutmu akan kenyang sepulang dari sini.”“Tapi untuk apa kita kesini? Memangnya kamu pengen karaokean? Tumben banget,” setauku Yura tidak terlalu suka karaokean, dia bilang tidak percaya diri dengan suaranya yang cempreng. Suaraku pun tak jauh beda dengan suara Yura sebenarnya, dan memang kami berdua bukan tipe oran
“Gavin!”“Gavin!” suasana kembali riuh, bahkan masih ada banyak gadis yang berdatangan menambah sesak kerumunan. Diantara banyaknya gadis disana, ada satu orang yang sangat menarik perhatianku.“Tunggu, itu kan Yura.” kutemukan sosok Yura diantara puluhan gadis yang tengah berkerumun disekitar Gavin.“Yura!” dia tak bergeming. Mungkin dia tak mendengar, suaraku kalah dengan teriakan penggemar Gavin.“Yura!” karena Yura tak kunjung mendengar, kuputuskan untuk menghampirinya.“Dasar si Yura, dihampiri malah kedepan,” rutukku kesal pada sahabatku itu. Dia malah meju kedepan mendekati Gavin.Yura memang belum tau kalau aku sudah menikah dengan pria itu, mengingat isi perjanjian kita yang tidak memperbolehkan status pernikahan ini bocor walaupun di tangan sahabat sendiri. Maaf Yura, aku berbohong padamu.“Wah, gila! Dia boleh juga Vin,” sa
Astaga, mulutnya harus ikut disekolahkan. Masak iya, dia akan memperkenalkanku sebagai pembantu. Biar bagaimanapun aku ini istrinya, masak nanti dia tega memperkenalkanku pada wanitanya sebagai seorang pembantu. Lagian mana ada sih pembantu yang secantik aku. Tapi sebenarnya banyak sih pembantu yang lebih cantik dari aku.“Apa tidak ada opsi lain? Gila kamu ya? Masak iya kamu kenalin aku sebagai pembantumu?” protesku tak terima dengan usulannya.“Tenang saja, soal alasan itu banyak. Kamu tidak usah khawatirkan itu. Yang terpenting kamu jalani saja tugasmu, untuk yang lain biar aku yang urus.”“Bella, ayok buruan! Nanti kalau telat kita bisa kena hukum,” Yura berteriak sembari melambai-lambaikan tangan.“Iya, sebentar,” dengan tergopoh-gopoh aku berlari menghampirinya yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus.“Ayok buruan masuk, tuh lihat sudah sepi. Kita pasti telat!” tanganku
Kupikir hal seperti ini hanya terjadi dalam drama atau novel-novel romance saja. Dimana pasangan tersebut membuat kontrak kalau dia bisa bebas berhubungan dengan wanita mana saja sesuka hatinya. Tapi ternyata kisah itu sekarang berlaku padaku juga. kalau soal berhubungan dengan wanita manapun diluar rumah ini mungkin aku masih bisa sedikit memakluminya. Tapi kalau dia mau bebas melakukan apapun disini, lalu bagaimana denganku. Ini bukan tentang kecemburuan, hanya saja aku yang masih nol pengalaman soal percintaan membayangkan hal-hal yang terjadi saat pria dan wanita berkencan di rumah pasangan membuatku merasa risih sendiri. Ini nyata soalnya, kalau cuma film atau drama aku tidak akan punya masalah.Isi perjanjian yang ditulis Gavin sebenarnya hanya ada empat poin. Pertama, dia ingin pernikahan ini disembunyikan dari publik, baik kampus, sosial media maupun teman terdekat sekalipun. Kedua, dilarang mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Ketiga, selama kita menik
“Hah, akhirnya kita sampai di rumah barumu, Sayang.”Aku yang sedari tadi bersandar di bahu Mama akhirnya bangkit, ikut melihat rumah yang bisa dibilang lumayan mewah untuk orang biasa sepertiku. Ya, rumah ini yang akan menjadi tempat tinggal baruku dengan manusia menyebalkan itu.“Gimana Bel, bagus kan?” dengan mata berbinar Mama bertanya kepadaku.“Iya, bagus kok Ma."“Kamu tahu, rumah ini yang milihin kakeknya Gavin. Kakeknya Gavin bahkan menanyakan dekorasi yang kamu sukai, mulai dari warna dan barang-barang favoritmu. Pak Wira berharap dengan begitu kamu akan betah tinggal disini. Baik banget memang beliau itu,” Mama sepertinya sangat menghormati Pak Wira, kakek Gavin yang belum pernah kutemui. Beliau saat ini sedang dinas diluar negeri, jadi beliau tidak bisa menghadiri pernikahan kami tadi.Setelah turun dari mobil, aku langsung masuk kedalam rumah dengan menarik koper merah yang berisi sebagian kecil pa
“Nak Bella, sini-sini,” ajak seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Mama. Dia adalah ibu Gavin, ibu Mertuaku. Tadi Mama memperkenalkanku dengan belau sebelum pernikahan berlangsung.“Gavin, gandeng Bella dan ajak berkenalan dengan keluarga kita,” Nyonya Farah Wardhana menyuruh anak bungsunya itu untuk membawaku berkeliling menemui satu persatu sanak saudaranya.“Bella ikut sama Gavin, ya.” Aku mengangguk, mengikuti Gavin yang sudah berjalan mendahuluiku.Semenjak pertemuan kita tadi, sampai acara pernikahan ini hampir selesai, belum ada percakapan diantara kami. Sama sekali belum ada. Bahkan kalau diingat lagi, kami belum berkenalan. Dia hanya diam, sorot matanya pun terlihat dingin. Tapi tak bisa dipungkiri, hal itu malah membuat aura tampannya semakin meningkat. Dasar Bella aneh.Gavin mengajakku, ah bukan. Lebih tepatnya aku mengikuti Gavin, menyapa semua keluarganya. Bahkan disaat kami menyapa keluarganya pu
“Sebelumnya Mama sama Papa minta maaf, Bel. Kami berdua terpaksa melakukan hal ini padamu.”Mama tiba-tiba terlihat serius. Padahal sebelumnya kami sedang menonton film sambil bercanda santai. Namun tiba-tiba Mama merubah suasana menjadi menegangkan.“Kamu harus segera menikah dengan cucu keluarga Wardhana, Bel," seketika mataku terbelalak, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Semoga aku salah dengar. Aku belum ingin menikah!“Maafkan Mama dan Papa, ya. Kami terpaksa menerima perjodohan ini, semua demi masa depanmu, Sayang.”Apa? Masa depan? Yang ada masa depanku akan hancur karena perjodohan ini.Umurku baru 19 tahun, dan baru saja satu lulus SMA satu bulan yang lalu. Dan sekarang mereka akan menikahkanku dengan orang yang tidak kutahu sama sekali.Aku ini Bella, gadis yang belum pernah merasakan romansa. Gadis biasa yang tidak berani pacaran karena dilarang orang tua. Kukira setel