Astaga, mulutnya harus ikut disekolahkan. Masak iya, dia akan memperkenalkanku sebagai pembantu. Biar bagaimanapun aku ini istrinya, masak nanti dia tega memperkenalkanku pada wanitanya sebagai seorang pembantu. Lagian mana ada sih pembantu yang secantik aku. Tapi sebenarnya banyak sih pembantu yang lebih cantik dari aku.
“Apa tidak ada opsi lain? Gila kamu ya? Masak iya kamu kenalin aku sebagai pembantumu?” protesku tak terima dengan usulannya. “Tenang saja, soal alasan itu banyak. Kamu tidak usah khawatirkan itu. Yang terpenting kamu jalani saja tugasmu, untuk yang lain biar aku yang urus.”“Bella, ayok buruan! Nanti kalau telat kita bisa kena hukum,” Yura berteriak sembari melambai-lambaikan tangan.“Iya, sebentar,” dengan tergopoh-gopoh aku berlari menghampirinya yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus.“Ayok buruan masuk, tuh lihat sudah sepi. Kita pasti telat!” tanganku ditarik Yura. Kami berlari memasuki area kampus. Setelah melihat sekeliling, benar kata Yura. Area depan sudah sangat sepi. Jangan bilang kami benar-benar akan terlambat. Kata orang-orang kalau dihari pertama OSPEK sudah terlambat, itu artinya riwayatmu akan tamat ditangan senior. Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berpacu semakin cepat. Sangat menakutkan!“Kalau telat gimana ini, Ra. Aku nggak mau jadi bahan bullyan kakak senior.” “Makanya ayo, buruan larinya!”Yura berlari sekuat tenaga, aku hampir tidak bisa mengikutinya. Maklum postur tubuh Yura lebih mendukung dariku. Yura sangat tinggi, hampir 170cm mungkin tingginya. Dia berparas cantik dengan rambut sepinggang, dan tubuh yang ramping pula. Hampir sempurna!Bugh!Tanpa sadar aku menabrak tubuh seseorang sampai tubuh mungilku terjerembab ke tanah.“Auh..,” rintihku.“Kalau jalan itu pakai mata!” Suara ini, sepertinya aku pernah mendengar suara ini sebelumnya. “Ma-maaf..,” aku menengadahkan wajah melihat pemilik suara yang terdengar tak asing ditelinga itu. “Bella.” Pria yang tak asing untukku itu membelalakkan mata setelah tau kalau orang yang menabraknya adalah aku.“Mas Galang.”Mas Galang adalah cinta pertamaku, dia dulu tinggal di samping rumahku. Sampai 3 tahun yang lalu dia harus ikut orang tuanya pindah keluar kota. Kami kehilangan kontak masing-masing, karena tiba-tiba saja media sosial Mas Galang tidak bisa kutemukan dan nomornya juga diganti.Mas Galang mengulurkan tangannya membantuku berdiri. Aku menatap jas yang ia pakai, dia memakai jas almamater kampus ini. Apa mungkin dia salah satu dari senior yang akan mengerjaiku disini.“Kamu maba disini?” tanyanya setelah melihat penampilanku yang amburadul. Bagaimana tidak amburadul, mereka meminta para maba untuk memakai caping yang harus dihias dengan berbagai aksesoris. Tidak hanya itu name tag yang tergantung di leherku juga dihiasi kertas warna warni yang sangat heboh. Tidak hanya itu, rambutku kini berkuncir 12, bisa dibilang mirip orang gila lah.“Iya,”“Ah... Aku telat Mas, kita ngobrol lain waktu saja ya,” pamitku setelah sadar akan situasi yang kuhadapi saat ini.“Tunggu, Bel!” Mas Galang mengejarku. Tanganku diraih olehnya.“Ayo ikut aku, kalau kamu kesana sekarang, aku berani jamin kalau kamu pasti akan kena hukum seperti mereka. Kamu sudah telat!” Mas galang menunjuk segerombol mahasiswa yang sedang menjalani hukuman dari seniornya.“Terus kamu mau ngajak aku kemana, Mas?” tanyaku masih belum mengerti.“Sudah ikut saja, nanti aku akan membantumu selamat dari hukuman itu,” dia menarik tanganku untuk mengikutinya. Aku diajak Mas Galang mengitari bangunan disamping lapangan. Entah kemana ia akan membawaku.Kami sekarang berhenti di balik dinding. Tak jauh dari tempat kami ada banyak mahasiswa yang berbaris rapi.“Barangmu mana, tak bawain. Terus nanti kamu masuk ke barisan itu ya,” perintahnya, aku hanya mengangguk pasrah. Dalam situasi seperti ini mana bisa aku protes.Mas Galang langsung mengambil alih tas yang kubawa. Sedangkan aku langsung mengikuti arahannya untuk berlari ke arah barisan yang ditunjuknya tadi.“Eh siapa itu, main masuk aja!” teriak senior wanita yang sedang berdiri di depan barisan, yang sukses membuatku berhenti seketika mematung disamping barisan yang sudah rapi.“Dia sama aku tadi, Nez. Itu adikku, biarin masuk ya.”Dengan santai Mas Galang menghampiri senior wanita itu dengan tangan masih menenteng tas milikku.“Adek apa adek? Dasar kamu, mana boleh pilih kasih, nanti diprotes yang lain kapok,” canda senior wanita itu. “Kali ini saja, oke. Nanti tak traktir makan siang deh,” Mas galang dengan santai merayu kakak senior itu. Sepertinya mereka dekat.“Siap! Lagian siapa sih yang berani melawan perintah Kak Galang,” senior itu tersenyum penuh arti.“Buruan masuk ke belakang!” perintahnya yang langsung saja kurespon dengan berlari menuju barisan paling belakang. Akhirnya aku bisa selamat dari hukuman berkat kebaikan Mas Galang.Setelah capek mengikuti rangkaian acara, akhirnya tiba juga waktu istirahat. Syukurlah, aku selalu terbebas dari hukuman hari ini.“Yura... dimana dia sekarang, apa dia tadi dihukum ya?” gumamku. Kukelilingi lapangan mencari keberadaan Yura. Sudah sekitar setengah lapangan lebih yang kulewati, namun tak napak juga wajah cantik sahabatku. ”Dimana dia, maafkan aku Yura. Aku melupakanmu tadi,” sesalku.“Gavin! itu selebgram yang terkenal. Gavin Wardhana!” Teriak para mahasiswi yang berkerumun di sebrang lapangan. Mereka berteriak dan menunjuk ke arahku.“Gavin?” batinku.“Gavin!”“Gavin!!” Para gadis itu berlari menuju ke arahku sembari meneriakkan nama Gavin dengan riuh, bak meneriaki artis terkenal saja. Karena merasa penasaran, langsung saja kuperiksa sekeliling,mencari keberadaan pria yang mereka teriakan namanya.“Gavin.”Ternyata pria itu berjalan tepat di sampingku dengan dua orang yang mengikuti dibelakang, sepertinya mereka sahabat Gavin.Ternyata kampus ini cukup sempit juga. Sebenarnya aku berharap tidak bertemu dengannya. Tapi sepertinya takdir berkata lain. Mungkin lebih baik aku pura-pura tidak sadar akan kehadirannya saja. Cukup diam dan membiarkannya berlalu. “Wah fans kamu nambah banyak Vin,” ujar salah satu temannya.“Sepertinya dia juga salah satu fans mu deh,” pria satunya menunjukku yang tengah berdiri mematung. Gavin melirikku sekilas. “Mungkin. Tapi sayang dia bukan tipeku. Kurang dari standar,” ujarnya ringan yang direspon dengan gelak tawa dari kedua temannya.Sakit hati? Jawabannya tidak! Lebih tepatnya malu sekarang. Bisa-bisanya dia bilang aku kurang dari standart di depan puluhan fansnya dan teman-temannya. Bahkan sekarang semua gadis yang tadi meneriaki namanya tiba-tiba terdiam, fokus menatapku. Sangat memalukan. Awas saja kamu Gavin, kalau sampai rumah aku akan memberimu pelajaran. Jangan pernah remehkan Bella kalau sudah marah kamu akan tamat!Lagian dia sendiri yang bilang kalau di kampus jangan pernah saling bicara. Tapi dia malah melanggarnya sendiri. Harusnya dia abaikan saja keberadaanku, itu akan lebih membantu.“Abaikan dia Bel, kita fokus cari Yura saja.” Gumamku.“Iya sih, memang kurang banget. Bodynya aja kayak anak SD, iya kan?” sahut salah satu temannya yang berbaju putih diikuti dengan gelak tawa dari mereka.“Terserah kalian saja, aku nggak minat meladeni orang nggak jelas seperti kalian.” “Belagu juga ternyata nih gadis,” sepertinya pria berbaju putih ini ingin menguji kesabaranku.“Abaikan saja,” sela Gavin.“Kamu nggak lihat, ada banyak orang yang benar-benar ngefans sama aku. Ngapain juga milih ngurus satu cewek nggak jelas, mendingan juga ngurusin para Vincy. Iya kan?” “Iya..,” para gadis itu kembali heboh mengelilingi Gavin.Untung saja dia mengalihkan suasana, kalau nggak bisa-bisa aku hajar temannya yang mulunya lemes. Tunggu sebentar, apa ini berarti Gavin sedang melindungiku? Kenapa jantungku berdebar kayak gini. Sadar Bella. Sadar!“Gavin!”“Gavin!” suasana kembali riuh, bahkan masih ada banyak gadis yang berdatangan menambah sesak kerumunan. Diantara banyaknya gadis disana, ada satu orang yang sangat menarik perhatianku.“Tunggu, itu kan Yura.” kutemukan sosok Yura diantara puluhan gadis yang tengah berkerumun disekitar Gavin.“Yura!” dia tak bergeming. Mungkin dia tak mendengar, suaraku kalah dengan teriakan penggemar Gavin.“Yura!” karena Yura tak kunjung mendengar, kuputuskan untuk menghampirinya.“Dasar si Yura, dihampiri malah kedepan,” rutukku kesal pada sahabatku itu. Dia malah meju kedepan mendekati Gavin.Yura memang belum tau kalau aku sudah menikah dengan pria itu, mengingat isi perjanjian kita yang tidak memperbolehkan status pernikahan ini bocor walaupun di tangan sahabat sendiri. Maaf Yura, aku berbohong padamu.“Wah, gila! Dia boleh juga Vin,” sa
“Sampai,” Yura memarkirkan mobil Brio warna merah miliknya tepat di depan tempat karaoke yang sering dijadikan tempat berkumpul anak kampus sini.“Kok tempat karaoke sih, katanya mau makan?”Aku jadi bingung dengan tingkah Yura yang menurutku mencurigakan. Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah mengalihkan pembicaraan, seperti ada yang sedang ia sembunyikan.“Ayok buruan kita turun.”“Yura! Aku tanya kok kita bukan ke rumah makan atau cafe tapi malah ke tempat karaoke? Katanya tadi kamu ngajak aku makan?” kuulang lagi pertanyaanku dengan nada sedikit kesal.“Di dalam kan ada menu makanan juga, Bel. Tenang saja, pokoknya aku berani jamin perutmu akan kenyang sepulang dari sini.”“Tapi untuk apa kita kesini? Memangnya kamu pengen karaokean? Tumben banget,” setauku Yura tidak terlalu suka karaokean, dia bilang tidak percaya diri dengan suaranya yang cempreng. Suaraku pun tak jauh beda dengan suara Yura sebenarnya, dan memang kami berdua bukan tipe oran
“Jangan mimpi lepas dariku,” bibirnya kini sudah hampir meraih bibir ranumku. Ciuman pertamaku! Aku tidak rela orang sepertinya merebut ciuman pertamaku. Tanpa pikir panjang kutendang harta berharga miliknya dengan sekuat tenaga.“Auh! Sialan!”Plak!Dia menampar wajahku dengan sangat keras, bahkan sampai tubuh mungilku terjerembab ke lantai.Bugh! Bugh!Perlahan kuangkat kepalaku setelah mendengar pukulan keras yang dilayangkan bertubi-tubi pada pria itu. Gavin, dia memukuli sahabatnya sendiri.“Rendy, ingat ini baik-baik! Jangan pernah sekali lagi merendahkan wanita ini baik dihadapan maupun dibelakangku. Kalau sampai aku tahu kamu merendahkannya lagi, jangan salahkan aku akan terjadi hal buruk pada dirimu. Pastinya lebih buruk dari ini,” ujar Gavin pada sahabatnya yang sudah terkulai lengkap dengan cairan berwarna merah yang mengalir dari hidung dan pojok bibirnya.“Memangnya kenapa kalau aku meren
“Sebentar, jadi yang ingin menyembunyikan hubungan ini intinya hanya Gavin saja?” mata Yura langsung melotot menatap Gavin dengan tajam sampai yang ditatap bergidik ngeri dibuatnya.“Bukan, bukan seperti itu. Ini semua atas kesepakatan kami berdua. Bukan hanya keinginan Gavin,” sanggahku cepat. Jangan sampai Yura tahu tentang perjanjian itu.“Kamu yakin Bel?” tanyanya masih berusaha mencari kebohongan di wajahku.“Yakin, aku juga ingin menikmati statusku sebagai mahasiswa tanpa embel-embel status pernikahan,” jawabku penuh dengan keyakinan.Aku memang masih ingin menikmati masa emas ini, ingin punya pacar, ingin jatuh cinta dan bebas melakukan apa saja yang kuinginkan. Andai Gavin tidak membenciku, mungkin keinginan itu akan terwujud dengannya. Tapi sudahlah, aku harus fokus pada duniaku sendiri ada atau tanpa adanya Gavin di dalamnya.“Kamu yakin?” tanya Yura lagi dengan senyuman mi
“Sebelumnya Mama sama Papa minta maaf, Bel. Kami berdua terpaksa melakukan hal ini padamu.”Mama tiba-tiba terlihat serius. Padahal sebelumnya kami sedang menonton film sambil bercanda santai. Namun tiba-tiba Mama merubah suasana menjadi menegangkan.“Kamu harus segera menikah dengan cucu keluarga Wardhana, Bel," seketika mataku terbelalak, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Semoga aku salah dengar. Aku belum ingin menikah!“Maafkan Mama dan Papa, ya. Kami terpaksa menerima perjodohan ini, semua demi masa depanmu, Sayang.”Apa? Masa depan? Yang ada masa depanku akan hancur karena perjodohan ini.Umurku baru 19 tahun, dan baru saja satu lulus SMA satu bulan yang lalu. Dan sekarang mereka akan menikahkanku dengan orang yang tidak kutahu sama sekali.Aku ini Bella, gadis yang belum pernah merasakan romansa. Gadis biasa yang tidak berani pacaran karena dilarang orang tua. Kukira setel
“Nak Bella, sini-sini,” ajak seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Mama. Dia adalah ibu Gavin, ibu Mertuaku. Tadi Mama memperkenalkanku dengan belau sebelum pernikahan berlangsung.“Gavin, gandeng Bella dan ajak berkenalan dengan keluarga kita,” Nyonya Farah Wardhana menyuruh anak bungsunya itu untuk membawaku berkeliling menemui satu persatu sanak saudaranya.“Bella ikut sama Gavin, ya.” Aku mengangguk, mengikuti Gavin yang sudah berjalan mendahuluiku.Semenjak pertemuan kita tadi, sampai acara pernikahan ini hampir selesai, belum ada percakapan diantara kami. Sama sekali belum ada. Bahkan kalau diingat lagi, kami belum berkenalan. Dia hanya diam, sorot matanya pun terlihat dingin. Tapi tak bisa dipungkiri, hal itu malah membuat aura tampannya semakin meningkat. Dasar Bella aneh.Gavin mengajakku, ah bukan. Lebih tepatnya aku mengikuti Gavin, menyapa semua keluarganya. Bahkan disaat kami menyapa keluarganya pu
“Hah, akhirnya kita sampai di rumah barumu, Sayang.”Aku yang sedari tadi bersandar di bahu Mama akhirnya bangkit, ikut melihat rumah yang bisa dibilang lumayan mewah untuk orang biasa sepertiku. Ya, rumah ini yang akan menjadi tempat tinggal baruku dengan manusia menyebalkan itu.“Gimana Bel, bagus kan?” dengan mata berbinar Mama bertanya kepadaku.“Iya, bagus kok Ma."“Kamu tahu, rumah ini yang milihin kakeknya Gavin. Kakeknya Gavin bahkan menanyakan dekorasi yang kamu sukai, mulai dari warna dan barang-barang favoritmu. Pak Wira berharap dengan begitu kamu akan betah tinggal disini. Baik banget memang beliau itu,” Mama sepertinya sangat menghormati Pak Wira, kakek Gavin yang belum pernah kutemui. Beliau saat ini sedang dinas diluar negeri, jadi beliau tidak bisa menghadiri pernikahan kami tadi.Setelah turun dari mobil, aku langsung masuk kedalam rumah dengan menarik koper merah yang berisi sebagian kecil pa
Kupikir hal seperti ini hanya terjadi dalam drama atau novel-novel romance saja. Dimana pasangan tersebut membuat kontrak kalau dia bisa bebas berhubungan dengan wanita mana saja sesuka hatinya. Tapi ternyata kisah itu sekarang berlaku padaku juga. kalau soal berhubungan dengan wanita manapun diluar rumah ini mungkin aku masih bisa sedikit memakluminya. Tapi kalau dia mau bebas melakukan apapun disini, lalu bagaimana denganku. Ini bukan tentang kecemburuan, hanya saja aku yang masih nol pengalaman soal percintaan membayangkan hal-hal yang terjadi saat pria dan wanita berkencan di rumah pasangan membuatku merasa risih sendiri. Ini nyata soalnya, kalau cuma film atau drama aku tidak akan punya masalah.Isi perjanjian yang ditulis Gavin sebenarnya hanya ada empat poin. Pertama, dia ingin pernikahan ini disembunyikan dari publik, baik kampus, sosial media maupun teman terdekat sekalipun. Kedua, dilarang mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Ketiga, selama kita menik
“Sebentar, jadi yang ingin menyembunyikan hubungan ini intinya hanya Gavin saja?” mata Yura langsung melotot menatap Gavin dengan tajam sampai yang ditatap bergidik ngeri dibuatnya.“Bukan, bukan seperti itu. Ini semua atas kesepakatan kami berdua. Bukan hanya keinginan Gavin,” sanggahku cepat. Jangan sampai Yura tahu tentang perjanjian itu.“Kamu yakin Bel?” tanyanya masih berusaha mencari kebohongan di wajahku.“Yakin, aku juga ingin menikmati statusku sebagai mahasiswa tanpa embel-embel status pernikahan,” jawabku penuh dengan keyakinan.Aku memang masih ingin menikmati masa emas ini, ingin punya pacar, ingin jatuh cinta dan bebas melakukan apa saja yang kuinginkan. Andai Gavin tidak membenciku, mungkin keinginan itu akan terwujud dengannya. Tapi sudahlah, aku harus fokus pada duniaku sendiri ada atau tanpa adanya Gavin di dalamnya.“Kamu yakin?” tanya Yura lagi dengan senyuman mi
“Jangan mimpi lepas dariku,” bibirnya kini sudah hampir meraih bibir ranumku. Ciuman pertamaku! Aku tidak rela orang sepertinya merebut ciuman pertamaku. Tanpa pikir panjang kutendang harta berharga miliknya dengan sekuat tenaga.“Auh! Sialan!”Plak!Dia menampar wajahku dengan sangat keras, bahkan sampai tubuh mungilku terjerembab ke lantai.Bugh! Bugh!Perlahan kuangkat kepalaku setelah mendengar pukulan keras yang dilayangkan bertubi-tubi pada pria itu. Gavin, dia memukuli sahabatnya sendiri.“Rendy, ingat ini baik-baik! Jangan pernah sekali lagi merendahkan wanita ini baik dihadapan maupun dibelakangku. Kalau sampai aku tahu kamu merendahkannya lagi, jangan salahkan aku akan terjadi hal buruk pada dirimu. Pastinya lebih buruk dari ini,” ujar Gavin pada sahabatnya yang sudah terkulai lengkap dengan cairan berwarna merah yang mengalir dari hidung dan pojok bibirnya.“Memangnya kenapa kalau aku meren
“Sampai,” Yura memarkirkan mobil Brio warna merah miliknya tepat di depan tempat karaoke yang sering dijadikan tempat berkumpul anak kampus sini.“Kok tempat karaoke sih, katanya mau makan?”Aku jadi bingung dengan tingkah Yura yang menurutku mencurigakan. Dia tidak menjawab pertanyaanku tapi malah mengalihkan pembicaraan, seperti ada yang sedang ia sembunyikan.“Ayok buruan kita turun.”“Yura! Aku tanya kok kita bukan ke rumah makan atau cafe tapi malah ke tempat karaoke? Katanya tadi kamu ngajak aku makan?” kuulang lagi pertanyaanku dengan nada sedikit kesal.“Di dalam kan ada menu makanan juga, Bel. Tenang saja, pokoknya aku berani jamin perutmu akan kenyang sepulang dari sini.”“Tapi untuk apa kita kesini? Memangnya kamu pengen karaokean? Tumben banget,” setauku Yura tidak terlalu suka karaokean, dia bilang tidak percaya diri dengan suaranya yang cempreng. Suaraku pun tak jauh beda dengan suara Yura sebenarnya, dan memang kami berdua bukan tipe oran
“Gavin!”“Gavin!” suasana kembali riuh, bahkan masih ada banyak gadis yang berdatangan menambah sesak kerumunan. Diantara banyaknya gadis disana, ada satu orang yang sangat menarik perhatianku.“Tunggu, itu kan Yura.” kutemukan sosok Yura diantara puluhan gadis yang tengah berkerumun disekitar Gavin.“Yura!” dia tak bergeming. Mungkin dia tak mendengar, suaraku kalah dengan teriakan penggemar Gavin.“Yura!” karena Yura tak kunjung mendengar, kuputuskan untuk menghampirinya.“Dasar si Yura, dihampiri malah kedepan,” rutukku kesal pada sahabatku itu. Dia malah meju kedepan mendekati Gavin.Yura memang belum tau kalau aku sudah menikah dengan pria itu, mengingat isi perjanjian kita yang tidak memperbolehkan status pernikahan ini bocor walaupun di tangan sahabat sendiri. Maaf Yura, aku berbohong padamu.“Wah, gila! Dia boleh juga Vin,” sa
Astaga, mulutnya harus ikut disekolahkan. Masak iya, dia akan memperkenalkanku sebagai pembantu. Biar bagaimanapun aku ini istrinya, masak nanti dia tega memperkenalkanku pada wanitanya sebagai seorang pembantu. Lagian mana ada sih pembantu yang secantik aku. Tapi sebenarnya banyak sih pembantu yang lebih cantik dari aku.“Apa tidak ada opsi lain? Gila kamu ya? Masak iya kamu kenalin aku sebagai pembantumu?” protesku tak terima dengan usulannya.“Tenang saja, soal alasan itu banyak. Kamu tidak usah khawatirkan itu. Yang terpenting kamu jalani saja tugasmu, untuk yang lain biar aku yang urus.”“Bella, ayok buruan! Nanti kalau telat kita bisa kena hukum,” Yura berteriak sembari melambai-lambaikan tangan.“Iya, sebentar,” dengan tergopoh-gopoh aku berlari menghampirinya yang sudah menungguku di depan pintu gerbang kampus.“Ayok buruan masuk, tuh lihat sudah sepi. Kita pasti telat!” tanganku
Kupikir hal seperti ini hanya terjadi dalam drama atau novel-novel romance saja. Dimana pasangan tersebut membuat kontrak kalau dia bisa bebas berhubungan dengan wanita mana saja sesuka hatinya. Tapi ternyata kisah itu sekarang berlaku padaku juga. kalau soal berhubungan dengan wanita manapun diluar rumah ini mungkin aku masih bisa sedikit memakluminya. Tapi kalau dia mau bebas melakukan apapun disini, lalu bagaimana denganku. Ini bukan tentang kecemburuan, hanya saja aku yang masih nol pengalaman soal percintaan membayangkan hal-hal yang terjadi saat pria dan wanita berkencan di rumah pasangan membuatku merasa risih sendiri. Ini nyata soalnya, kalau cuma film atau drama aku tidak akan punya masalah.Isi perjanjian yang ditulis Gavin sebenarnya hanya ada empat poin. Pertama, dia ingin pernikahan ini disembunyikan dari publik, baik kampus, sosial media maupun teman terdekat sekalipun. Kedua, dilarang mencampuri urusan pribadi satu sama lain. Ketiga, selama kita menik
“Hah, akhirnya kita sampai di rumah barumu, Sayang.”Aku yang sedari tadi bersandar di bahu Mama akhirnya bangkit, ikut melihat rumah yang bisa dibilang lumayan mewah untuk orang biasa sepertiku. Ya, rumah ini yang akan menjadi tempat tinggal baruku dengan manusia menyebalkan itu.“Gimana Bel, bagus kan?” dengan mata berbinar Mama bertanya kepadaku.“Iya, bagus kok Ma."“Kamu tahu, rumah ini yang milihin kakeknya Gavin. Kakeknya Gavin bahkan menanyakan dekorasi yang kamu sukai, mulai dari warna dan barang-barang favoritmu. Pak Wira berharap dengan begitu kamu akan betah tinggal disini. Baik banget memang beliau itu,” Mama sepertinya sangat menghormati Pak Wira, kakek Gavin yang belum pernah kutemui. Beliau saat ini sedang dinas diluar negeri, jadi beliau tidak bisa menghadiri pernikahan kami tadi.Setelah turun dari mobil, aku langsung masuk kedalam rumah dengan menarik koper merah yang berisi sebagian kecil pa
“Nak Bella, sini-sini,” ajak seorang wanita paruh baya yang terlihat lebih tua dari Mama. Dia adalah ibu Gavin, ibu Mertuaku. Tadi Mama memperkenalkanku dengan belau sebelum pernikahan berlangsung.“Gavin, gandeng Bella dan ajak berkenalan dengan keluarga kita,” Nyonya Farah Wardhana menyuruh anak bungsunya itu untuk membawaku berkeliling menemui satu persatu sanak saudaranya.“Bella ikut sama Gavin, ya.” Aku mengangguk, mengikuti Gavin yang sudah berjalan mendahuluiku.Semenjak pertemuan kita tadi, sampai acara pernikahan ini hampir selesai, belum ada percakapan diantara kami. Sama sekali belum ada. Bahkan kalau diingat lagi, kami belum berkenalan. Dia hanya diam, sorot matanya pun terlihat dingin. Tapi tak bisa dipungkiri, hal itu malah membuat aura tampannya semakin meningkat. Dasar Bella aneh.Gavin mengajakku, ah bukan. Lebih tepatnya aku mengikuti Gavin, menyapa semua keluarganya. Bahkan disaat kami menyapa keluarganya pu
“Sebelumnya Mama sama Papa minta maaf, Bel. Kami berdua terpaksa melakukan hal ini padamu.”Mama tiba-tiba terlihat serius. Padahal sebelumnya kami sedang menonton film sambil bercanda santai. Namun tiba-tiba Mama merubah suasana menjadi menegangkan.“Kamu harus segera menikah dengan cucu keluarga Wardhana, Bel," seketika mataku terbelalak, setengah tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar. Semoga aku salah dengar. Aku belum ingin menikah!“Maafkan Mama dan Papa, ya. Kami terpaksa menerima perjodohan ini, semua demi masa depanmu, Sayang.”Apa? Masa depan? Yang ada masa depanku akan hancur karena perjodohan ini.Umurku baru 19 tahun, dan baru saja satu lulus SMA satu bulan yang lalu. Dan sekarang mereka akan menikahkanku dengan orang yang tidak kutahu sama sekali.Aku ini Bella, gadis yang belum pernah merasakan romansa. Gadis biasa yang tidak berani pacaran karena dilarang orang tua. Kukira setel