"Apalagi sekarang?" Zico memandang tajam sang kakak yang balas melawannya dengan tatapan sebeku kutub. Kali ini Zico secara khusus dipanggil ke kantor Zio."Jangan mengacau!" Zio memperingatkan.Zico tersenyum miring. Pemuda itu langsung tahu ke mana arah pembicaraan kakaknya. "Jangan berpikir macam-macam. Aku tidak ada maksud lain selain ingin menolongnya.""Sudah kukatakan kau tidak perlu melakukannya!" tegas Zio mematahkan semua argumen Zico."Kenapa? Kau cemburu padaku? Yang benar saja. Meski ya, kakak iparku memang cantik, setelah di-make over dia makin ciamikk."Rahang Zio mengeras. Berdebat dengan adiknya memang tidak bakal ada habisnya. Zico memang pembuat onar yang ulung. Pandai sekali dia membuatnya darah tinggi. Sama seperti orang rumah yang hobi sekali membuatnya pusing.Semua gara-gara Nancy yang masih terus mengungkit perihal Lea yang kekeuh dia sebut pencuri. Dan Inez yang terus-terusan mengungkapkan rasa tidak sukanya pada Lea. Belum lagi ditambah masalah perusahaan
Jantung Lea berdebum kencang. Dia sudah berusaha mengenyahkan part Nancy dan Zio berciuman. Tapi bayangan itu justru kian nyata di benaknya. Lea yang kepo dengan pintu yang selalu dimasuki Zio ingin tahu itu ruangan apa. Tapi rasa penasarannya berbuah sesak. Dia melihat Nancy mencium Zio. Saat itu Lea langsung membekap mulutnya. Lantas berlari masuk ke kamar mandi. Dia buka keran sampai full hingga airnya seketika mengguyur kepalanya. Rasanya agak sakit tapi memang itu yang dia cari. "Mereka sering melakukannya. Mereka pasangan kekasih," gumam Lea menyimpulkan sendiri.Gadis itu berkali-kali memukul kepalanya, agar bayangan dua insan yang sedang bergumul panas di sebelah menghilang dari kepalanya."Kenapa tidak mau hilang sih? Kenapa juga mereka melakukannya di sana. Kalau ada orang tahu bagaimana? Eh, tapi itu kan bukan urusanku, kenapa aku peduli."Saat Lea masih menggerutu, di depan pintu kamar mandi ada Zio yang juga ingin masuk ke sana. Pria itu ingin mencuci bibirnya yang baru
Zio melirik tubuh yang terbaring elok di kasurnya. Iya, tidak salah, sosok itu tidur di ranjang Zio. Semalam, setelah acara menghapus jejak ciuman Nancy bertukar jadi pelajaran, private lesson bertukar saliva. Zio mendapati tubuh Lea menggigil kedinginan. Pria itu awalnya acuh, padahal Lea baru saja memberinya sensasi ciuman yang menakjubkan. Tapi saat tengah malam, waktu dia kembali dari ruang kerja, tentu setelah memastikan Nancy sudah tidak ada di sana. Zio kembali mengamati paras Lea yang tidur di sofa.Entah mendapat dorongan dari mana, pria itu lantas menggendong Lea untuk tidur satu ranjang dengannya. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidur di sampingnya setelah Nika meninggal."Rasanya seperti melihatmu kembali. Meski tetap tidak akan sama."Lea tidur sangat anteng sepanjang malam, tidak berisik. Tarikan napasnya halus dan teratur. Zio bahkan sampai memeriksa napas Lea untuk memastikan gadis itu masih bernapas. Kebiasaan saat masih bersama Nika. Sleep apnea adalah ke
Lea turun dari taksi online yang dia pesan dengan ragu. Dia melihat bangunan di sekitarnya. Deretan gedung yang berjajar rapi dengan konsep modern futuristik. Tempat yang jadi institusi Zico belajar.Belajar untuk menghasilkan masalah kalau begini ceritanya. Lea yang sedang merawat kebun Inez tiba-tiba dikejutkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Bagaimana Lea tidak terkejut jika selama ini tidak ada yang tahu nomor perempuan itu kecuali ....Dan disinilah dia, berjalan sendirian dengan bola mata lirik kiri kanan mencari ruangan yang ditunjukkan satpam di depan sana.Beberapa murid yang melihat Lea tampak tak acuh, inilah cermin pendidikan saat ini. Anak-anak kehilangan sopan santunnya. Tak ada rasa empati dan simpati dalam perilaku anak sehari-hari. Semua hanya memikirkan diri sendiri."Siang kakak, perlu bantuan?"Ah salah, masih ada satu dua anak-anak yang punya adab dan kepedulian. Contohnya di depan Lea. Seorang siswi yang dalam pandangan Lea cantik. "Mau ketemu Mister G
"Zio, Zio, bukan Kak Lea yang salah, tapi aku yang minta dia datang."Brak!"Mampus!" Zico mengumpat di pintu yang baru dibanting tepat di depan hidungnya. Jelas dia cemas akan keadaan Lea. Perempuan itu lebih suka diam, saat Zio menindasnya.Tidak peduli mereka suami istri, tapi Zico tidak suka jika Zio semena-mena pada wanita. Dia tukang tawur, tukang maki, selalu bentrok dengan mamanya yang kerap Zico sebut tantruman. Namun Zico tak pernah melakukan kekerasan fisik. Apalagi sampai menyakiti perempuan, tapi tetap, perempuan yang Zico bela punya tanda kutip. Tidak semua perempuan dia bela terutama yang modelan Nancy. Kata Zico, wanita seperti Nancy halal buat dilarung ke laut. Tega bener emang itu anak!Zico masih mematung di depan pintu saat Erna datang tergopoh-gopoh."Bagaimana, Mas?" tanya Erna cemas."Mana aku tahu, lagian elu pakai ngadu ke tuan kulkas, kalau Lea ke sekolahku.""Enggak, Mas. Suer, saya gak bilang apa-apa. Saya saja baru tahu Non Lea gak ada di rumah setelah s
"Jangan ngaco kamu!" Sergah Zio tampak gusar dengan cemas merayapi hati."Kenapa tidak mungkin. Ada satu orang asing di rumah ini. Dan sejak tadi dia tidak kelihatan. Bisa saja dia yang membawa Archie pergi saat kita semua tidak ada."Zio langsung tanggap maksud Nancy. Lelaki itu meraih ponsel, lantas menghubungi satu nomor. Tidak aktif. Zio menggeram marah saat itu juga."Periksa lagi, siapa tahu dia tertidur di suatu tempat. Kalian tahu sendiri Archie itu suka tidur sembarangan."Semua orang bergerak mengikuti perintah Zio. Pun dengan pria itu yang masuk ke ruang kerja, Archie suka sekali bermain di tempat itu. Pernah dia menemukan Archie tidur di bawah meja. Bagaimana balita itu tidak membuat heboh. Dua jam menghilang, dan ditemukan tidur di ruangan Zio."Ada tidak?" Nancy menerobos masuk. Dia melihat Zio lalu memeluknya."Aku takut hal buruk terjadi padanya." Sepasang tangan Nancy melingkari tubuh Zio. Air mata Nancy mengalir di pipi sang aspri."Dia tidak akan kenapa-kenapa. Tid
"Beneran Arch takut petir?" Zio bertanya lembut pada Archie yang baru diganti pakaiannya."Beneran Papa. Takut suaranya, takut kelipnya," balas Arch sambil mengucek mata. Zio dan Zico saling pandang, bagaimana hal segenting ini luput dari perhatian mereka. Tidak bisa keduanya bayangkan ketakutan Arch tiap kali hujan petir melanda."Terus Arch selama ini kalau hujan petir ngapain? Kok gak nyari papa atau om buat minta temenin?" Zico bertanya setelah melempar pakaian kotor Arch ke keranjang pakaian. Sang bocah bertepuk tangan heboh, sebab lemparan Zico sangat jitu."Kata Aunty Nancy, jadi anak cowok harus berani. Jadi Arch cuma sembunyi di balik selimut kalau ada petir," jawab Arch polos."Tapi tadi petirnya gede-gede biar pun hujannya gak gede. Arch takut banget. Semua orang belum balik, jadi Arch cari Aunty Le, kata mbak Desi, Aunty Le selalu ada di rumah. Enak tidur sama Aunty Le, kayak dikelonin mama." Arch menguap selepas bercerita panjang.Zico dan Zio kembali saling pandang."Ti
Uhuk! Lea tersedak kala teringat ucapan Zio semalam. "Suka dia cium katanya. Gak kebalik tuh, dia yang suka main cium." Lea menggerutu sambil menggosok gigi. Gara-gara Zio, dia tidak bisa tidur semalam. Alhasil dia memutuskan bangun ketika sinar mentari mulai mengintip di ufuk timur.Saat jendela kamarnya mulai silau, Lea beranjak ke kamar mandi. Mencoba mengabaikan visual pria yang tidur tengkurap tanpa baju. Hingga punggung berotot Zio membuat penglihatan Lea terganggu. Sungguh baru Zio, pria yang dia lihat nyaris telanjang di depannya. Tahu sendiri selama jadi istri Rian dia buta, bahkan rupa Rian baru beberapa waktu lalu dia lihat. Oh kenapa dia jadi penasaran dengan rupa orang-orang yang pernah dia temui sebelumnya. Dia ingin tahu rupa Vika, Rina, orang-orang yang kerap membulinya di masa lalu. Bukan ingin membalas. Hanya ingin tahu saja. Lea melonjak kaget ketika pintu kamar mandi terbuka, Zio masuk tanpa peduli Lea ada di situ. Perempuan itu buru-buru membasuh muka untuk kem
"Tenang saja, Celio aman sama mama. Kalian bersenang-senanglah. Livi juga anteng kalau ada Arch."Lea memeluk Inez dan Anita bergantian. Merasa sangat beruntung memiliki dua wanita tersebut dalam kehidupannya.Dia disupport seratus persen dalam karier, dibantu dalam mengurus buah hati. Sungguh sebuah anugerah yang tak terganti oleh apapun.Lea mengulas senyum, dia berjalan menghampiri sang suami yang sudah menunggu."Persediaan ASI melimpah, nyonya siap diajak kencan," goda Zio sambil membuka pintu mobil "Memangnya mau ke mana?""Adalah. Kita kan belum pernah pergi kencan seperti ini."Lea kembali melengkungkan bibir. Iya, dia dan Zio dikatakan belum pernah pergi berdua, menikmati waktu tanpa diganggu. Boleh dikatakan ini adalah reward dari semua kesibukan Lea dan Zio selama ini. Juga kerelaan atas keduanya yang hampir tak pernah protes soal pekerjaan masing-masing.Saling percaya dan komunikasi adalah dua hal yang Zio dan Lea terapkan dalam rumah tangga mereka. Prinsip yang juga mu
"Diem lu biji melinjo! Anak gue itu!" Hardik Zico."Bodo amat! Livi mana! Tante! Livi mana?!" Balas Arch tak takut oleh bentakan sang om."Lihat Kak Celio."Jawab Raisa setelah Arch mencium tangan Raisa juga mencium pipi wanita yang memang sudah Arch kenal dari dulu.Bocah itu melesat mencari Livi. Dengan Raisa lekas memeluk Lea yang balik mendekapnya."Terima kasih sudah bertahan sendirian selama ini. Kenapa tidak hubungi Kakak?"Raisa terisak lirih. Dia tahu mengarah ke mana pembicaraan Lea."Takut, Kak. Waktu itu kakak dan kak Zio masih musuhan. Kalau aku kasih tahu, mereka bisa war lebih parah.""Keadaannya akan berbeda, Sa. Mereka musuhan tapi tidak bisa mengabaikan keadaanmu. Lihat sekarang, mereka bisa akur. Agra malah yang kasih tahu banyak soal kesukaanmu."Raisa menerima detail konsep akadnya."Kak, serius ini?""Serius. Dia yang minta. Dan kakakmu setuju. Akan lebih baik jika begitu. Dia sudah siapkan semuanya."Lea dan Raisa melihat ke arah Zico yang tangannya sibuk bermai
"Baru juga nyetak satu, sudah mau dipotong. Kejam amat kalian," balas Zico santai.Inez dan Anita saling pandang. "Ndak mempan, Ta.""Iya, ya," sahut Anita heran."Sudah gak mempan dramanya. Dah kenalin, ini calon istri, sama anakku."Zico menarik tangan Raisa yang tampak bingung. Inez dan Anita memindai tampilan Raisa. Dari atas ke bawah. Dari bawah balik lagi ke atas."Screening-nya sudah deh. Kalian nakutin dia. Zico jamin dia lolos sensor. Kan sudah ada buktinya."Raisa makin gugup melihat ekspresi dua perempuan yang dia tahu salah satunya mama Zico."Co, mereka gak suka aku ya?" Bisik Raisa panik."Suka kok. Mereka lagi main drama. Jadi mari kita ikutan."Raisa tidak mengerti dengan ucapan Zico. Tapi detik setelahnya dia dibuat menganga ketika Zico berlutut di hadapan Inez dan Anita."Heh? Ngapain kamu?" Inez bingung melihat kelakuan sang putra."Mau minta maaf. Zico tahu salah. Tapi Zico janji akan memperbaiki semua. Zico bakal tanggung jawab."Ucap Zico dengan wajah memelas pe
Agra tak habis pikir, Raisa bahkan membawa Livi ke pernikahan mereka. Tapi dia sama sekali tidak tahu. "Ini aku yang kebangetan atau dia yang terlalu pintar?" Agra bertanya ketika mereka sampai di apart Raisa. Sebuah tempat yang membuat dada Zio sesak. Bukan karena kurang mewah, atau kurang bagus. Namun di sini, dia bisa merasakan perjuangan seorang Raisa dalam merawat Livi.Dia kembali teringat bagaimana susahnya Lea hamil dan melahirkan. Beruntungnya Lea punya dirinya juga yang lain.Tapi Raisa, totally alone. Sendirian. Tidak terbayangkan bagaimana Raisa berlomba dengan waktu, kuliah, pekerjaan juga dirinya sendiri. Bisa tetap waras sampai sekarang saja sudah bagus."Biarkan dia makan sendiri." Suara galak Raisa terdengar ketika Zico coba menyuapi Livi."Dua-duanya. Kau bego dan adikmu terlampau smart," ceplos James yang sepertinya mulai akrab dengan Agra.Ingat, dua pria itu juga hampir adu tinju waktu itu."Sialan kau!" Agra menendang James, tapi pria itu berhasil menghindar."
Tujuh jam kemudian.Zio dengan didampingi James mendarat di bandara internasional Haneda. Mereka langsung menuju rumah sakit tempat Zico dirawat.Awalnya mereka kemari untuk mengurusi Zico, tapi siapa sangka yang mereka temui justru melebihi ekspektasi mereka.James sengaja ikut, sebab dia sudah diberi bisikan oleh Miguel. Mengenai garis besar persoalan Zico."Apa yang terjadi sebenarnya?" Itu yang Zio tanyakan begitu dia berhadapan dengan Agra."Duduk dulu. Kita bicara." Zio mengikuti permintaan Agra. Dua pria itu terlibat pembicaraan serius. Sangat serius sampai Zio memejamkan mata, coba menahan diri.Di tempat Raisa, perempuan itu hanya bisa diam, tertunduk tanpa berani melihat ke arah Zio. Sejak dulu, aura Zio sangat menakutkan bagi Raisa."Apa aku harus percaya begitu saja? Maaf bukan meragukanmu. Tapi Zico itu brengsek."Zio berujar sambil menatap Raisa."Soal Livi, apa kalian punya bukti otentik kalau dia anak Zico. Tes DNA contohnya." Agra bertanya pada sang adik."Zico punya
Setelah semalam merenung, menimang juga mempertimbangkan semua hal dari segala sisi. Pada akhirnya Agra memutuskan untuk menyerahkan permasalahan sang adik pada yang bersangkutan.Agra tidak ingin mendoktrin, apalagi memaksa Raisa soal apapun. Pun dengan Zico, Agra secara khusus minta bertemu. Dan Zico dengan segera menyanggupi.Dengan membawa Livi, Agra kembali dibuat yakin dengan keputusannya. Dia pasti Zico bisa lebih baik darinya. "Aku izinkan kau berjuang. Tapi dengan satu catatan. Jika dia menolak kau harus enyah dari hadapannya juga Livi."Zico menelan ludah. Ditolak Raisa dia bisa terima. Tapi berjauhan dengan Livi, Zico tidak akan sanggup. Tidak, setelah dia menjalani dua puluh empat jam full bersama sang putri. Zico tidak akan bisa berpisah dengan Livi. Tidak, sesudah dia menyadari betapa berharganya Livi baginya.Maka siang itu dengan harapan setinggi langit, Zico nekat melamar Raisa. Dia yakin lamarannya akan diterima."Sa, mari menikah."Suara Zio membuat Raisa kembali
"Apapa," sebut Livi dengan bibir bertekuk menahan tangis."Ndak apa-apa, Sayang. Apapa nakal jadi pantas dipukul. Tapi kamu gak boleh asal pukul orang."Livi melayangkan tatapan tajam penuh permusuhan pada Agra."He, bukan Om yang salah. Dia yang jahat."Livi menangis dengan tangan sibuk melempar apa saja yang ada di meja. Agra maju tidak terima dengan aksi sang ponakan. Sementara Zico dengan cepat mendekap Livi yang bibir mungilnya terus menyebut om jahat."Kau! Kau jangan mimpi bisa dapatin Raisa," ancam Agra."Agra, berhenti gak!" Pria itu kicep begitu sang istri bicara. Irene mendekati Raisa yang cuma duduk sambil memijat pelipisnya yang berdenyut. Dalam sekejap, Livi sudah jadi perisai hidup untuk ayahnya. Dipandangnya wajah Zico yang memar di beberapa tempat. Saat ini pria itu masih menenangkan Livi yang masih menebar aura permusuhan pada omnya."Ren ....""Jangan tanya, Mbak. Pusing aku." Irene mundur ketika Raisa angkat tanganAgra mendesah frustrasi. Pria itu berdiam diri d
"Apa kamu bilang? Zico ke Tokyo?" Lea mengutip ucapan Zio barusan."Lah kan aku sudah bilang kemarin. Abian kasih tahu kalau Zico ke Tokyo. Katanya kerjaannya berantakan, jadi mereka suruh Zico buat healing lagi."Zio berkata sambil mendekati Lea yang sedang menyusui Celio. Zio seketika jadi cemburu. Benda itu bertambah menggiurkan, tapi sekarang bukan lagi miliknya. Ada Celio yang memonopoli tempat favorit Zio."Dia ke Tokyo bukan healing tapi cari perkara. Lihat saja yang ada di sana. Bukannya Zico selalu sakit kepala kalau coba mengingat Raisa," Lea membetulkan posisi Celio supaya lebih nyaman."Kan beda kalau ketemu orangnya langsung. Boy, gantian napa. Dikit aja."Lea menepis tangan Zio yang selalu ingin mengganggu Celio. Bayi lelaki itu sudah bertambah montok dengan pipi seperti bakpao. Tingkahnya juga bikin satu rumah tertawa senang."Memangnya kau setuju kalau Zico dengan Raisa?""Enggak! Jauh-jauh dari yang namanya Agra," balas Zio cepat.Lea seketika memutar bola matanya je
Livi menangis dengan tubuh Raisa turut gemetar, melihat bagaimana Zico menggelepar menahan sakit di kepala. "Tolong, Dok. Sakit!" Teriak Zico berulang kali.Dia pegangi kepalanya yang serasa mau pecah. Pria itu meringis, mendesis sementara tim medis sedang mencoba mengurangi kesakitan yang Zico rasa.Raisa susah payah berhasil membawa Zico ke klinik terdekat. Tubuh Zico yang tumbuh besar dan tinggi membuat Raisa kesulitan memapah. Ditambah dia sedang menggendong Livi yang sejak itu mulai menangis.Beruntungnya dia bertemu dua orang yang membantu Zico berjalan ke klinik. "Apapa!" Sebut Livi berulang kali. Balita tersebut tampak ketakutan, tapi juga menampilkan ekspresi sedih."Apa yang terjadi padanya?" Seorang dokter bertanya setelah Zico berhasil ditenangkan. Raisa melirik Zico yang mulai tenang, meski sesekali masih meringis kesakitan."Dia bilang pernah kecelakaan, lalu hilang ingatan. Tapi saya tidak tahu detail-nya.""Oke, kami paham. Kami akan memeriksanya lebih lanjut. Takut