Lea turun dari taksi online yang dia pesan dengan ragu. Dia melihat bangunan di sekitarnya. Deretan gedung yang berjajar rapi dengan konsep modern futuristik. Tempat yang jadi institusi Zico belajar.Belajar untuk menghasilkan masalah kalau begini ceritanya. Lea yang sedang merawat kebun Inez tiba-tiba dikejutkan dengan ponselnya yang berdering nyaring. Bagaimana Lea tidak terkejut jika selama ini tidak ada yang tahu nomor perempuan itu kecuali ....Dan disinilah dia, berjalan sendirian dengan bola mata lirik kiri kanan mencari ruangan yang ditunjukkan satpam di depan sana.Beberapa murid yang melihat Lea tampak tak acuh, inilah cermin pendidikan saat ini. Anak-anak kehilangan sopan santunnya. Tak ada rasa empati dan simpati dalam perilaku anak sehari-hari. Semua hanya memikirkan diri sendiri."Siang kakak, perlu bantuan?"Ah salah, masih ada satu dua anak-anak yang punya adab dan kepedulian. Contohnya di depan Lea. Seorang siswi yang dalam pandangan Lea cantik. "Mau ketemu Mister G
"Zio, Zio, bukan Kak Lea yang salah, tapi aku yang minta dia datang."Brak!"Mampus!" Zico mengumpat di pintu yang baru dibanting tepat di depan hidungnya. Jelas dia cemas akan keadaan Lea. Perempuan itu lebih suka diam, saat Zio menindasnya.Tidak peduli mereka suami istri, tapi Zico tidak suka jika Zio semena-mena pada wanita. Dia tukang tawur, tukang maki, selalu bentrok dengan mamanya yang kerap Zico sebut tantruman. Namun Zico tak pernah melakukan kekerasan fisik. Apalagi sampai menyakiti perempuan, tapi tetap, perempuan yang Zico bela punya tanda kutip. Tidak semua perempuan dia bela terutama yang modelan Nancy. Kata Zico, wanita seperti Nancy halal buat dilarung ke laut. Tega bener emang itu anak!Zico masih mematung di depan pintu saat Erna datang tergopoh-gopoh."Bagaimana, Mas?" tanya Erna cemas."Mana aku tahu, lagian elu pakai ngadu ke tuan kulkas, kalau Lea ke sekolahku.""Enggak, Mas. Suer, saya gak bilang apa-apa. Saya saja baru tahu Non Lea gak ada di rumah setelah s
"Jangan ngaco kamu!" Sergah Zio tampak gusar dengan cemas merayapi hati."Kenapa tidak mungkin. Ada satu orang asing di rumah ini. Dan sejak tadi dia tidak kelihatan. Bisa saja dia yang membawa Archie pergi saat kita semua tidak ada."Zio langsung tanggap maksud Nancy. Lelaki itu meraih ponsel, lantas menghubungi satu nomor. Tidak aktif. Zio menggeram marah saat itu juga."Periksa lagi, siapa tahu dia tertidur di suatu tempat. Kalian tahu sendiri Archie itu suka tidur sembarangan."Semua orang bergerak mengikuti perintah Zio. Pun dengan pria itu yang masuk ke ruang kerja, Archie suka sekali bermain di tempat itu. Pernah dia menemukan Archie tidur di bawah meja. Bagaimana balita itu tidak membuat heboh. Dua jam menghilang, dan ditemukan tidur di ruangan Zio."Ada tidak?" Nancy menerobos masuk. Dia melihat Zio lalu memeluknya."Aku takut hal buruk terjadi padanya." Sepasang tangan Nancy melingkari tubuh Zio. Air mata Nancy mengalir di pipi sang aspri."Dia tidak akan kenapa-kenapa. Tid
"Beneran Arch takut petir?" Zio bertanya lembut pada Archie yang baru diganti pakaiannya."Beneran Papa. Takut suaranya, takut kelipnya," balas Arch sambil mengucek mata. Zio dan Zico saling pandang, bagaimana hal segenting ini luput dari perhatian mereka. Tidak bisa keduanya bayangkan ketakutan Arch tiap kali hujan petir melanda."Terus Arch selama ini kalau hujan petir ngapain? Kok gak nyari papa atau om buat minta temenin?" Zico bertanya setelah melempar pakaian kotor Arch ke keranjang pakaian. Sang bocah bertepuk tangan heboh, sebab lemparan Zico sangat jitu."Kata Aunty Nancy, jadi anak cowok harus berani. Jadi Arch cuma sembunyi di balik selimut kalau ada petir," jawab Arch polos."Tapi tadi petirnya gede-gede biar pun hujannya gak gede. Arch takut banget. Semua orang belum balik, jadi Arch cari Aunty Le, kata mbak Desi, Aunty Le selalu ada di rumah. Enak tidur sama Aunty Le, kayak dikelonin mama." Arch menguap selepas bercerita panjang.Zico dan Zio kembali saling pandang."Ti
Uhuk! Lea tersedak kala teringat ucapan Zio semalam. "Suka dia cium katanya. Gak kebalik tuh, dia yang suka main cium." Lea menggerutu sambil menggosok gigi. Gara-gara Zio, dia tidak bisa tidur semalam. Alhasil dia memutuskan bangun ketika sinar mentari mulai mengintip di ufuk timur.Saat jendela kamarnya mulai silau, Lea beranjak ke kamar mandi. Mencoba mengabaikan visual pria yang tidur tengkurap tanpa baju. Hingga punggung berotot Zio membuat penglihatan Lea terganggu. Sungguh baru Zio, pria yang dia lihat nyaris telanjang di depannya. Tahu sendiri selama jadi istri Rian dia buta, bahkan rupa Rian baru beberapa waktu lalu dia lihat. Oh kenapa dia jadi penasaran dengan rupa orang-orang yang pernah dia temui sebelumnya. Dia ingin tahu rupa Vika, Rina, orang-orang yang kerap membulinya di masa lalu. Bukan ingin membalas. Hanya ingin tahu saja. Lea melonjak kaget ketika pintu kamar mandi terbuka, Zio masuk tanpa peduli Lea ada di situ. Perempuan itu buru-buru membasuh muka untuk kem
"Kamu kerja jadi baby sitter?" Suara itu memecah kebuntuan obrolan antara Lea dan Rian.Zico sudah ingin maju ingin menjelaskan ketika Lea meraih lengan sang pemuda. Dari kode tatapan mata, Lea menyuruh Zico diam."Iya, ada masalah?" jawan Lea tenang. Dia menduga perempuan berwajah tirus di hadapannya adalah Vika. Siapa lagi perempuan yang akan menempel mantan suaminya selain Vika. Benar sekali, pria yang mendatangi Lea adalah Rian. Sempit sekali dunia ini. Bagaimana bisa Lea justru bertemu Vika dan Rian di komplek rumah mereka. Apa mereka kebetulan lewat atau ... kemungkinan paling relevan rumah Vika ada di sekitar sini."Dia jadi baby sitter, sayang," bisik Vika dengan bibir menyeringai penuh ejekan.Sementara Rian tampak menelisik bocah dalam gendongan Lea yang asyik makan kue basah. Pun dengan remaja yang kemarin Rian temui di rumah sakit. Pemuda yang memanggil Lea kakak ipar. Kenapa remaja ini Rian pikir selalu ada di sekitar Lea?"Kamu betulan kerja jadi pengasuh anak. Siapa a
Lea menunduk, menatap semua bubur ayam yang dilempar Inez ke halaman. Semua berserak tak bisa dimakan. Perlahan bulir bening itu mengalir. Tak pernahkah mereka merasa kelaparan? Kalau belum, maka Lea pernah merasakannya.Dalam fase terendah kehidupannya dulu, dia dan ayahnya pernah mengais di tong sampah untuk mencari makanan yang masih layak untuk mereka makan, sekedar untuk mengganjal perut.Sungguh, membuang makanan adalah hal yang tidak pernah Lea lakukan dalam hidupnya. Tapi kini, benda yang bagi banyak orang di luar sana sangat berharga, diperlakukan bak sampah tak berguna.Makanan itu baru, masih sangat bisa di makan, kenapa tidak diberikan pada orang yang memerlukan jika Inez tak suka sebab dia yang sudah beli."Mama, kenapa dibuang. Itu aku yang beli, Archie yang minta. Kak Lea cuma nemenin," Zico jelas marah dengan kelakuan mamanya yang mulai ikut-ikutan macam Nancy, tidak masuk akal."Kau membelanya? Aku ini mamamu Zico. Beraninya kamu melawan mama!" teriak Inez tak terima.
"Tuan Kulkas" frasa yang Lea jadikan nama untuk kontak Zio. Selepas pesan itu masuk, Lea tak segera beranjak pergi. Dia malah berdiri di dekat jendela. Memandang halaman tempat insiden bubur tadi pagi. Semua sudah kembali bersih. Kotak bubur dan isinya yang berselerak sudah tidak ada. "Tidak higienis," kutip Lea menirukan alasan Inez saat membuang makanan tersebut."Tidak higienis, nyatanya tempat jualan mereka bersih, lalat saja tidak ada yang berani mampir."Lea sendiri yakin kalau komplek tempat mereka tinggal akan menerapkan standar kebersihan yang sangat tinggi, mengingat penghuninya dari kelas atas semua.Tapi tidak termasuk dirinya, Lea cuma orang yang kesasar ke tempat ini. Asyik melamun, Lea kembali dikejutkan dengan bunyi ponselnya. "Kau tidak mati kan?"Lea mendengus kesal. Selain kulkas, ternyata mulut Zio pedas macam cabe carolina reaper."Apa kontaknya kuganti saja dengan TMC, tuan mulut cabe."Lea tertawa sendiri, begitu cepat mood Lea berubah. Detik sebelumnya dia se