Hati Zahira terasa perih, ia tak menyangka Abram, akan terobsesi padanya seperti orang telah kehilangan akal, di tatapnya lukisan itu, bentuk tubuhnya terekpos sempurna dalam kanvas, bahkan kaki Zahira terasa lemas, menatap dirinya yang setengah telanjang. Air mata seketika luruh, kenangan pahit tiga tahun yang lalu kembali terkuak.“Tidak akan aku biarkan kamu merusak mentalku seperti ini, ada yang harus aku pertahankan, yaitu Mas Alan,” gerutu Zahira, dengan cepat ia membawa lukisan itu keluar kamar, dan menuju halaman samping, diraihnya pemantik api, dan dibakarnya lukisan dirinya. Suara mobil berhenti di halaman rumah, Zahira terlihat panik, karena lukisan belum semua terbakar, dengan cepat di guyurnya api yang dengan air , lalu dibuang sisa lukisan yang sebagian besar menjadi abu itu ke dalam tong sampah.“Zahira, apa yang kamu lakukan di situ?” tanya Alan, dengan mengeryitkan dahi.“Ini, Mas, aku membakar sampah kertas,”
Risma keluar ruangan Alan, dengan wajah cemberut dan kesal, langkahnya diperlebar keluar dari gedung kantor Wira campany. Belum lagi langkahnya sampai, panggilan Abram, menghentikan langkah Risma.“Mamah...”“Oh Abram.”“Ada perlu apa, datang ke Wira Campany?” tanya Abram.“Mamah, baru saja bertemu Alan. Oh ..ya bagaimana perkerjaanmu?” tanya balik Risma, dengan wajah datarnya.“Pekerjaanku akan baik-baik saja, jika Mamah mendukungku, bukan mendukung Alan.” Terdengar suara Abram ketus.Wajah Risma, semakin kesal, kedua putranya saat ini membuat naik pitam.“Kita bicara di ruanganmu,” ajak Risma, lalu keduanya pun melangkah menuju ruang kantor AbramRisma duduk di kursi depan meja kerja, dan menatap Abram, yang sudah duduk di kursinya.“Mamah ingin tahu, dari mana kamu tahu, jika kamu bukan darah daging Ridwan?” suara Risma terdengar pelan.Abram, tersenyum, getir. ”Dari tes Dna yang aku lakukan 3 tahun yang lalu, Mamah sendiri yang membuatku curiga, jika aku bukan anak Ridwan, Mamah
Dengan wajah dinginnya, Alan menaruh ponsel dengan kasar di atas meja, ditatapnya Zahira yang saat ini belum sadar. Wajah cantik alami yang bergitu mempesona, pastilah akan membuat semua lelaki mengaguminya.Perlahan terlihat Zahira mulai membuka matanya, tangannya pun bergerak pelan, Alan mendekat ke arah brankar.“Zahira..”“Mas, apa aku di rumah sakit?”“Iya, kamu sedang menjalani perawatan.”“Istirahatlah, kondisimu masih lemah, tapi tidak ada luka serius, aku akan menuntut pengendara sepeda montor yang menabrakmu itu,” ucap Alan.“Jangan, Mas, aku yang salah, kurang berhati-hati waktu menyebrang.”“Tapi, kenapa bisa kamu terledor di jalan, Zahira,” cerca Alan.“Aku...” Zahira menjeda ucapanya, seakan ada sesuatu yang di sembunyikan.“Sudahlah, istirahat, aku akan menemanimu di sini.” Alan mengusap pucuk kepala Zahira, lalu beralih menuju sofa, dan membaringkan tubuhnya, setelahnya berusaha memejamkan matanya, walau ada keinginan mencerca Zahira, kenapa ia menghubungi Abram, sebe
Zahira kembali ke kamar perawatan, kini Zahira duduk di sofa, menatap lukisan yang masih terbungkus rapi.“Suster, tinggalkan aku sendiri,” suruh Zahira.“Baik, Nyonya.”Zahira membuka kertas pembungkus lukisan, sebuah lukisan bunga teratai warna putih terlihat, ia bernapas lega, karena ia pikir Abram, memberikan lukisan gambarnya, tapi perasaan was-was masih menggantung di wajahnya, ia tak bisa seratus persen percaya pada Abram. Bisa saja pria itu masih menyimpam gambarnya, dan suatu saat seperti bom waktu yang siap meledak.Sementara itu, Abram, telah kembali ke kantor Wira Campany, sesampainya, di sana, Alan menunggunya dengan wajah dinginnya.“Untuk apa kamu menemui Zahira?” tanyanya dengan tangan dimasukan ke saku, dan menatap serius Abram.“Zahira, ingin membeli lukisanku, tapi aku tidak manjualnya, jadi aku berikan sebuah lukisan sebagai hadiah untuknya,” jawab Abram, dengan tenang.“Zahira ingin lukisanmu,” gumam Alan, lalu ia mengingat, jika Zahira pernah mengagumi lukisan ya
Alan berjalan mendekati pintu kamar perawatan, di tangannya ada sekeranjang buah, lalu perlahan di bukanya pintu. Alan melihat Zahira yang sedang duduk di brankar dan tersenyum, ke arahnya.Alan menatap lukisan yang bersandar di sofa, ”Jadi kamu menghubungi Kak Abram, sebelum kecelakan itu hanya ingin lukisan ini?” tanya Alan.“Apa yang Kak Abram, katakan Mas?”“Kak Abram mengatakan, jika ia menemuimu pagi ini untuk memberikan lukisan yang kamu pesan malam sebelum kamu kecelakaan, itu sebabnya pihak rumah sakit menghubungi Kak Abram, karena nomor Kak Abram, yang terakhir kamu hubungi,” jelas Alan, seraya membuka jasnya dan melinting lengan kemejanya, lalu mencuci tangannya di wastafel.Zahira hanya mengiyakan, lebih baik memang kebenaran di tutupi demi sebuah ketenangan hubungan., baik hubungannya dengan Alan, atau hubungan persaudaran Alan dengan Abram. Asalkan Abram, menepati janjinya untuk membuang gambar Zahira, maka semuanya tidak perlu di khawatirkan.“Kamu mau buah apa, biar
Zahira menarik napas dalam, ia akan menceritakan kenapa ia melakukan psikoterapi di klinik Dokter Reha. Wanita yang saat ini menggunakan hijab tanpa cadarnya itu, menatap ke arah Alan, yang seakan menunggu jawaban atas pertanyaannya.“Tiga tahun yang lalu, aku mengalami tindak kriminal...” Zahira menjeda ucapannya dan masih menatap serius ke arah Alan yang juga manatapnya.“Teruskan..” suruh Alan, meraih telapak tangan Zahira, seakan tahu jika istrinya sangat berat bercerita.“Aku .. hampir di nodai, saat berusia 17 tahun.” “Oh..jadi yang aku dengar secara tidak sengaja itu benar, waktu kita berkunjung di kampung halamanmu, aku mendengar dua gadis membicarakanmu,” Alan berkata sambil semakin erat menggenggam telapak tangan Zahira, berharap Zahira percaya padanya.“Sejak peristiwa itu, aku mengalami, trauma, selalu bermimpi buruk tiap malam, dan selalu berprasangka buruk pada pria asing,” Zahira bercerita sambil terisak, membuat Alan merasa kasihan.“Sudahlah, hentikan, tidak usah be
Alan menatap sebuah lukisan yang tertuang di kanvas dengan seksama, sebuah gambar rumah mungil, di kelilingi perkebunan. Matanya menelusri setiap keindahan seni lukis di hadapannya.Lalu ia memanggil Zahira.“Zahira, kemarilah!” perintah Alan. Tak lama Zahira masuk ke kamar kosong itu dan ia terkejut, karena melupakan sebuah lukisan yang pernah di kirim Abram, untuknya.“Kenapa kamu menyembunyikan lukisan ini di kolong tempat tidur, lihat jadi berdebu?” tanya Alan.“Oh.. lukisan itu, tadinya aku mau pasang, tapi takut, jika Mas Alan tidak berkenan, jadi aku menyimpannya,” jawab Zahira jemarinya meremas ujung gamisnya.“Bagaimana kalau lukisan itu dipasang di ruang makan,” saran Alan, sambil mengusap debu yang menempel di lukisan.“Terserah, Mas Alan.”“Jika aku perhatikan, ini adalah lukisan pemandangan tempat tinggalmu, ini rumahmu di kampung ‘kan?”“Iya Mas..”“Hasil karya siapa ini?”“Hemmm... teman kampungku,” jawab Zahira asal.Lalu Alan membawa lukisan itu, keluar kamar dan me
Ridwan menatap serius Alan, ada gurat ke khawatiran di matanya, menurutnya Alan masih terlalu muda untuk mendirikan sebuah perusahan properti kontruksi.“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Ridwan.“Sebuah usaha di awali dengan niat, dan mulai menjalankaNnya, aku sudah memiliki modal, untuk memulainya, Pah,” jawab Alan.Sinta juga menatap Alan dengan serius, wanita lanjut usia itu justru mengkhawatirkan Wira Campany, entah firasat bisnisnya mengatakan, jika Abram, tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai CEO Wira Campany.“Alan, Oma ingin kamu mempertimbangkan keinginanmu, untuk mengundurkan diri dari Wira Campany,” suruh Sinta.Pernyataan Sinta membuat Abram, menahan marah, ia tahu, jika Sinta meragukan kemampuannya.Alan tetap bersikukuh untuk keluar dari Wira Campany, jiwa kepemimpinannya mengatakan jika ia harus menjadi CEO, untuk perusahaannya sendiri.Akhirnya Ridwan dan Sinta tidak bisa berbuat apapun, walau keduanya sangat menyayangkan keputusan Alan.Beberapa jam berL