Alan berjalan mendekati pintu kamar perawatan, di tangannya ada sekeranjang buah, lalu perlahan di bukanya pintu. Alan melihat Zahira yang sedang duduk di brankar dan tersenyum, ke arahnya.Alan menatap lukisan yang bersandar di sofa, ”Jadi kamu menghubungi Kak Abram, sebelum kecelakan itu hanya ingin lukisan ini?” tanya Alan.“Apa yang Kak Abram, katakan Mas?”“Kak Abram mengatakan, jika ia menemuimu pagi ini untuk memberikan lukisan yang kamu pesan malam sebelum kamu kecelakaan, itu sebabnya pihak rumah sakit menghubungi Kak Abram, karena nomor Kak Abram, yang terakhir kamu hubungi,” jelas Alan, seraya membuka jasnya dan melinting lengan kemejanya, lalu mencuci tangannya di wastafel.Zahira hanya mengiyakan, lebih baik memang kebenaran di tutupi demi sebuah ketenangan hubungan., baik hubungannya dengan Alan, atau hubungan persaudaran Alan dengan Abram. Asalkan Abram, menepati janjinya untuk membuang gambar Zahira, maka semuanya tidak perlu di khawatirkan.“Kamu mau buah apa, biar
Zahira menarik napas dalam, ia akan menceritakan kenapa ia melakukan psikoterapi di klinik Dokter Reha. Wanita yang saat ini menggunakan hijab tanpa cadarnya itu, menatap ke arah Alan, yang seakan menunggu jawaban atas pertanyaannya.“Tiga tahun yang lalu, aku mengalami tindak kriminal...” Zahira menjeda ucapannya dan masih menatap serius ke arah Alan yang juga manatapnya.“Teruskan..” suruh Alan, meraih telapak tangan Zahira, seakan tahu jika istrinya sangat berat bercerita.“Aku .. hampir di nodai, saat berusia 17 tahun.” “Oh..jadi yang aku dengar secara tidak sengaja itu benar, waktu kita berkunjung di kampung halamanmu, aku mendengar dua gadis membicarakanmu,” Alan berkata sambil semakin erat menggenggam telapak tangan Zahira, berharap Zahira percaya padanya.“Sejak peristiwa itu, aku mengalami, trauma, selalu bermimpi buruk tiap malam, dan selalu berprasangka buruk pada pria asing,” Zahira bercerita sambil terisak, membuat Alan merasa kasihan.“Sudahlah, hentikan, tidak usah be
Alan menatap sebuah lukisan yang tertuang di kanvas dengan seksama, sebuah gambar rumah mungil, di kelilingi perkebunan. Matanya menelusri setiap keindahan seni lukis di hadapannya.Lalu ia memanggil Zahira.“Zahira, kemarilah!” perintah Alan. Tak lama Zahira masuk ke kamar kosong itu dan ia terkejut, karena melupakan sebuah lukisan yang pernah di kirim Abram, untuknya.“Kenapa kamu menyembunyikan lukisan ini di kolong tempat tidur, lihat jadi berdebu?” tanya Alan.“Oh.. lukisan itu, tadinya aku mau pasang, tapi takut, jika Mas Alan tidak berkenan, jadi aku menyimpannya,” jawab Zahira jemarinya meremas ujung gamisnya.“Bagaimana kalau lukisan itu dipasang di ruang makan,” saran Alan, sambil mengusap debu yang menempel di lukisan.“Terserah, Mas Alan.”“Jika aku perhatikan, ini adalah lukisan pemandangan tempat tinggalmu, ini rumahmu di kampung ‘kan?”“Iya Mas..”“Hasil karya siapa ini?”“Hemmm... teman kampungku,” jawab Zahira asal.Lalu Alan membawa lukisan itu, keluar kamar dan me
Ridwan menatap serius Alan, ada gurat ke khawatiran di matanya, menurutnya Alan masih terlalu muda untuk mendirikan sebuah perusahan properti kontruksi.“Apa kamu yakin dengan keputusanmu?” tanya Ridwan.“Sebuah usaha di awali dengan niat, dan mulai menjalankaNnya, aku sudah memiliki modal, untuk memulainya, Pah,” jawab Alan.Sinta juga menatap Alan dengan serius, wanita lanjut usia itu justru mengkhawatirkan Wira Campany, entah firasat bisnisnya mengatakan, jika Abram, tidak mampu menjalankan tugasnya sebagai CEO Wira Campany.“Alan, Oma ingin kamu mempertimbangkan keinginanmu, untuk mengundurkan diri dari Wira Campany,” suruh Sinta.Pernyataan Sinta membuat Abram, menahan marah, ia tahu, jika Sinta meragukan kemampuannya.Alan tetap bersikukuh untuk keluar dari Wira Campany, jiwa kepemimpinannya mengatakan jika ia harus menjadi CEO, untuk perusahaannya sendiri.Akhirnya Ridwan dan Sinta tidak bisa berbuat apapun, walau keduanya sangat menyayangkan keputusan Alan.Beberapa jam berL
Alan, Zahira dan 0ma Sinta selesai menikmati makan, mereka berbincang ringan dan santai mengenai Wira Campany dan mengenai Abram.“Alan, apa kamu pernah melihat lukisan seperti itu di kamar Abram?” tanya Sinta menunjuk lukisan yang tergantung di dinding, hal itu membuat Zahira menjadi cemas lagi, sambil membersihkan dapur, Zahira hanya mendengarkan perbincangan Oma Sinta dan Alan.Alan terlihat mengamati lukian itu, lalu ia mengedikan bahu, tanda tidak tahu menahu tentang lukisan itu.“Zahira mendapatkan lukisan itu dari teman kampungnya,” sahut Alan“Mungkin saja, aku salah mengingatnya, tapi aku melihat lukisan itu tiga tahun yang lalu, saat kejadian yang buruk menimpa Abram,” kenang Sinta.“Kejadian buruk? Memangnya kejadian apa? Oma, aku tak pernah mendengar ada kejadian buruk menimpa Kak Abram?” Alan tampak penasaran.Sementara Zahira mendengarkan dengan jantung berdetak kencang, tiga tahun yang lalu, ia tahu persis kejadian apa yang menimpa Abram.Sinta menarik napas panja
Malam harinya, Abram, membuat pesta kecil, di sebuah roptof apartemen tempatnya tinggal, tidak banyak yang hadir, hanya karyawan dan staf kantor Wira Campany, karena Abram, memang tak punya banyak teman, tapi yang pasti, Amanda datang di pesta itu.Risma dan Ridwan juga hadir, pasangan suami istri sudah duduk di kursi dengan meja bundar di depannya, hidangan sudah tersaji. Di pesta itu, Abram, berniat membuat Zahira terkesan, pria berawakan tinggi tegap itu berharap Zahira akan kagum pada dirinya, sejak dari Zahira datang, Abram selalu mencuri pandang gadis bercadar, yang mengenakan khimar warna pink lembut, dengan cadar warna senada, riasan seputar mata, tampak mempercantik manik hitam dan bulu lentik Zahira.Zahira dan Alan duduk di kursi, satu meja dengan kedua orang tuanya. Seperti biasa, Risma bersikap acuh ketika Zahira datang, bahkan ucapan salam dari Zahira tidak dihiraukannya, wanita itu masih dingin dan kesal dengan Zahira. Tak berselang lama, Amanda datang, langkah kakinya
Malam harinya, Abram, membuat pesta kecil, di sebuah roptof apartemen tempatnya tinggal, tidak banyak yang hadir, hanya karyawan dan staf kantor Wira Campany, karena Abram, memang tak punya banyak teman, tapi yang pasti, Amanda datang di pesta itu.Risma dan Ridwan juga hadir, pasangan suami istri sudah duduk di kursi dengan meja bundar di depannya, hidangan sudah tersaji. Di pesta itu, Abram, berniat membuat Zahira terkesan, pria berawakan tinggi tegap itu berharap Zahira akan kagum pada dirinya, sejak dari Zahira datang, Abram selalu mencuri pandang gadis bercadar, yang mengenakan khimar warna pink lembut, dengan cadar warna senada, riasan seputar mata, tampak mempercantik manik hitam dan bulu lentik Zahira.Zahira dan Alan duduk di kursi, satu meja dengan kedua orang tuanya. Seperti biasa, Risma bersikap acuh ketika Zahira datang, bahkan ucapan salam dari Zahira tidak dihiraukannya, wanita itu masih dingin dan kesal dengan Zahira. Tak berselang lama, Amanda datang, langkah kakinya
Beberapa menit kemudian mobil yang di kendarai Ridwan dan Risma, datang. Keduanya berlari menuju bawah tangga, di mana Sinta masih tergeletak, tidak ada yang berani menolong. Darni dan seorang security hanya berdiri di dekat tubuh wanita tua dengan darah mengucur di area kepala.“Bi Darni, kenapa , Oma bisa jatuh?” tatapan Risma, menajam ke arah asisten rumah tangganya.“Saya tidak tahu Nyonya. Ndoro Oma, baru saja dari lantai atas,” jawab Darni dengan gugup.Risma mendekati tubuh Sinta, dan memeriksa denyut nadinya, Risma melihat tangan Sinta menggenggam sesuatu, dibukanya jari jamari Sinta dan diambilnya kertas dan di masuakan di dalam tas miliknya, sedangkan Ridwan, sibuk menelepon seseorang.Tidak lama kemudian, mobil ambulance terdengar memasuki halaman rumah.Pertugas medis mengevakuasi Sinta, dan langsung membawanya ke rumah sakit. Sementara Risma, dan Ridwan mengikuti ambulance dari belakang.Sesampainya di rumah sakit, Ridwan, semakin cemas menunggui sang ibu. Sementara R