Wisaka berkata sambil menarik tangan musuhnya itu. Ia membantunya berdiri.
"Ambil hadiahnya ... ambil hadiahnya!"
"Ayo gendong dan bawa pulang!"
Teriakan-teriakan penonton menambah panas hati Pemburu Iblis. Hatinya tak rela wanita itu berpindah tangan. Dirinya tak henti-hentinya mengutuk dirinya yang sombong menantang kembali orang buat melawannya.
'Bagaimana ini? Mengapa Wisaka yang memenangkan sayembara?' pikir Iblis betina itu. Pikirannya kalut, tentu saja dengan begitu mudah penyamarannya akan diketahui. Apalagi sekarang kekuatannya belum pulih sepenuhnya, karena kegagalan dulu menjadikan Faruq sang pengantin, sebagai tumbal.
"Ambil hadiahnya!"
"Ayo, bawa pulang!"
Sorak-sorai dan teriakan-teriakan penonton, semakin ramai. Semua berharap agar Wisaka membawa wanita bercadar itu.
Wanita itu nampak duduk dengan tegang, ia duduk sambil meluruskan punggungnya. Sesungguhnya ia berharap Pemburu Iblis itu tidak dikalahkan oleh
Gadis itu dibantu temannya membawa jenazah Pendekar Pemburu Iblis. Mereka berpandangan satu sama lainnya, mungkin merasa shock. Mayat itu keadaannya begitu mengenaskan. Badan gosong mengkerut serta telanjang bulat. Matanya melotot tanda ketika sakratul maut datang begitu menakutkan.Saat kembali ke kamarnya mereka juga mendapati Karmilah tengah duduk melamun seperti menyesali diri. Saat disapa ia hanya menoleh sekejap dan melamun kembali. Akhirnya teman-temannya menjauh, membiarkannya sendirian."Dia kenapa?" bisik temannya bertanya."Entahlah, setelah dia kembali dari ruangan pemimpin kita, dia seperti itu, terbengong-bengong tanpa bisa ditanya," temannya bertanya sambil berbisik pula."Kenapa, ya?"Mereka, gadis-gadis yang belum menjadi tumbal Iblis Tengkorak serentak menggeleng. Apalagi setelah penyeret mayat Pemburu Iblis bercerita, dalam hati mereka muncul rasa takut. Para gadis-gadis itu tidak bisa tidur sampai pagi. &nbs
Dengan diam-diam Onet mengikuti gadis berbaju serba hitam itu. Wisaka dan Cantaka mengikuti sambil sesekali berlindung di balik pohon.Sekar Ayu merasa curiga karena Wisaka begitu saja melepaskan dirinya. Ia bingung harus ke mana dirinya menuju kini? Diam-diam sudut matanya melihat ke atas pohon. Ia melihat seekor kera seperti mengikutinya dari tadi, dan gadis itu tahu kalau kera itu adalah peliharaan Wisaka.Tap tap tap.Karena kebingungan akhirnya ia naik pohon dan berbaring di cabangnya. Ia berpura-pura tidur sambil berpikir.'Apa yang harus kulakukan,' pikirnya.Lama-lama ia tertidur juga akhirnya. Wisaka kesal jadinya.Sementara itu di tempat yang berbeda, seorang wanita dengan cadar kuning nampak mondar-mandir di halaman sebuah gubuk sederhana. Hari sudah semakin sore.Seorang wanita dengan anak perempuan kecil di pangkuan menatap heran."Apa yang membuatmu gelisah, Kakak?" tanya perempuan itu."Orang yang kunantikan
Wisaka berseru memanggil wanita bercadar kuning. Namun, wanita itu terus melesat.Pendekar Pemburu Iblis tiba-tiba muncul di hadapan Wisaka. Membuat pemuda itu terkesiap kaget. Wisaka menyingkirkannya, tetapi badan Pemburu Iblis itu berat bagaikan batu."Enyahlah, kau!" teriak Wisaka.Pemburu Iblis itu diam saja, wanita bercadar itu semakin menjauh. Wisaka tidak dapat menyusulnya karena selalu dihalangi oleh Pemburu Iblis."Maksudmu apa?" tanya Wisaka. "Aku ada urusan penting dengan wanita bercadar kuning itu!" teriak Wisaka geram. Ia kemudian melepaskan pukulan jarak pendek.Blaaar.Hancurlah badan Pemburu Iblis itu. Wisaka cepat melesat memburu ke arah menghilangnya wanita bercadar. Sunyi, tak ada siapa pun, bahkan pohon-pohon kecil yang berayun pun sudah diam kembali."Sialan!" maki Wisaka. Ia merasa kesal karena kesempatan bertemu anaknya, Mayang, lenyap sudah.Brukkk.Saat Wisaka mundur ia menabrak sesua
Wisaka heran dengan persyaratan lomba seperti begitu. Untuk sesaat ia tak bisa menjawab. "Pertandingan macam apa ini? Mengapa syaratnya harus perjaka, aku baru dengar seumur hidup?" tanya Wisaka geram. "Peraturannya memang begitu, Kisanak?" jelas petugas. "Siapa yang membuat peraturan?!" tanya Wisaka lagi. "Wanita Bercadar Hitam, ia yang menginginkan seluruh pendekar yang bertarung adalah seorang perjaka tulen," kata petugas kembali, menjelaskan. "Peraturan yang aneh," desis Wisaka. Ia tidak mengerti mengapa semua yang bertarung harus seorang perjaka tulen. 'Bukankah ini mengundang kecurigaan?' tanya Wisaka dalam hati. "Bagaimana, Kisanak, apakah kau seorang perjaka?" tanya petugas pencatat lagi tak sabar. "Iya, dia masih perjaka, Paman," jawab Cantaka. Wisaka kaget sekali mendengar pernyataan Cantaka. Lelaki itu memandang Cantaka yang mengedipkan sebelah matanya dengan cengengesan. "Ya sudah, dua minggu l
"Wahai, kau rupanya," kata Anjani alias Wanita Bercadar Kuning. "Ya, aku menyelamatmu karena suatu urusan, di mana Mayang?" Wisaka langsung menodong perempuan itu dengan pertanyaan. "Aku ... aku--" "Jawab!" bentak Wisaka memotong perkataan Anjani. "Wahai, dia ada bersamaku, sudahlah biarkan aku mengurusnya," jawab Anjani. "Tidak bisa, kau harus mengembalikannya!" seru Wisaka. "Wahai, biarkan aku ikut menyayangi keponakanku, eh," kata Anjani keceplosan, ia menutup mulutnya. "Maksudmu apa?" tanya Wisaka. Wisaka merasa penasaran dengan kata-kata Anjani. Maksudnya apa ia bilang keponakan? Pria itu melihat wanita bercadar itu salah tingkah. Anjani kebingungan harus menjelaskan apa kepada Wisaka. Ia menggaruk kepalanya yang terasa gatal tiba-tiba, memandang Wisaka dan Cantaka bergantian. Hiaaat.Anjani menyerang Wisaka, kemudian melesat pergi. Namun, Wisaka tidak tinggal diam ia cepat mengejarnya. Dil
"Siapa, wahai?" tanya Anjani. Tetap saja kata wahai belum bisa dihilangkan. "Gayatri," jawab Wisaka singkat. "Gayatri siapa?" tanya wanita bercadar itu cerewet. "Nanti aku ceritakan," jawab Wisaka lagi. Mereka bertiga melesat meninggalkan tempat tersebut menuju goa tempat tinggal Wisaka. Meskipun Cantaka masih bocah, ia bisa mengimbangi lari manusia dewasa di sampingnya itu, apalagi Onet sambil duduk di bahunya. Wisaka mengambil sebuah buntelan yang sudah usang, pertanda benda itu sudah berusia puluhan atau mungkin ratusan tahun. Laki-laki itu menyerahkannya kepada Anjani. Anjani yang merasa penasaran dengan cepat membuka isi buntelan tersebut. Ia terbelalak melihatnya. "Baju ini bagus sekali, walau sudah berusia lama," ujar Anjani sambil memeriksa baju tersebut. Sebuah baju yang bermodel kerah Shanghai, berkain halus ringan melayang. Selain baju tersebut, ada tusuk konde yang berhiaskan untaian manik-manik pula.
Cempaka yang dibawa panitia penyelenggara sayembara, cepat-cepat diserahkan kepada Iblis Tengkorak sesuai permintaan. Tentu saja membuat hati gadis itu ketar-ketir."Bagaimana bisa, aku tidak punya kemampuan untuk melawan mereka kalau mereka bermaksud jahat," kata Cempaka. Ia kaget mendengar rencana Anjani. "Kau pun tahu, aku tidak bisa terkena sinar matahari," sambungnya."Nanti kita ke sana kalau sudah lewat tengah hari, jadi matahari sudah agak teduh," ujar Anjani."Aku pikir-pikir lagi, ini terlalu berbahaya, apalagi diriku belum bertukar jasad lagi dengan Iblis betina itu," kata Cempaka geram.Anjani yang terdiam, masih diingat Cempaka, mungkin lagi berpikir, tak mungkin juga ia memaksa Cempaka. Idenya ini memang agak sedikit gila. Namun, bukan berarti Anjani juga akan melepaskan Cempaka begitu saja."Ya, sudah, aku setuju, dengan syarat aku tak boleh lepas dari pantauan, Kakak." akhirnya Cempaka mengambil keputusan setelah lama terdiam.
Wisaka memperhatikan pintu yang bergetar tersebut, pintu itu terbuat dari batu. "Cempaka ... Cempaka!" teriak Wisaka. Tak terdengar jawaban, hanya pintu batu itu yang bergetar. Padahal di dalam sana para gadis tumbal tersebut sedang berteriak-teriak minta tolong. Wisaka mengamati lagi lebih teliti barangkali ada tombol rahasia untuk menggeser pintu yang beratnya lebih dari seribu kati tersebut. Mata Wisaka liar memandang ke segala arah. Ia tertarik dengan sebuah lubang kecil tersembunyi di balik sebuah batu. Wisaka menggeser batu itu, kemudian merogoh lubang tersebut dan menarik tuas di dalamnya. Terdengar bunyi berderak dari pintu yang bergeser. "Horeee ... horeee!" Gadis-gadis itu berteriak kegirangan. "Cempaka mana?" tanya Wisaka. Para gadis itu saling berpandangan, tidak ada yang bernama Cempaka di antara mereka. Bahkan mereka tak pernah mendengar nama itu di sebutkan. "Tidak ada orang bernama Cempaka di s